Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

‘Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi berpaling sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari keduanya memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Ketahuilah, sesungguhnya mereka yang zuhud di dunia menjadikan bumi sebagai permadani, tanah sebagai kasur dan air sebagai minyak wangi. Ingatlah, siapa saja yang merindui surga niscaya terhibur dan terlupakan dari syahwat; barangsiapa yang takut dengan neraka niscaya mundur dari hal-hal yang diharamkan; dan barangsiapa yang zuhud di dunia maka terasa ringan baginya segala musibah.” [Ar-Riqqah wal Bukā` fī Akhbār ash-Shālīhīn wa Shifātihim, Imam Ibn Qudāmah, hal. 31; Az-Zuhd, hal. 130; dan Al-Bayhaqi dalam Syu’ab Al-Īmān no. 9670]

‘Aun Ibn ‘Abdillah berkata, “Kedudukan dunia dan akhirat dalam hati seseorang adalah bagaikan dua sisi timbangan. Jika salah satunya sisinya menurun maka sisi lainnya terangkat.”

 

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kita menjadikan untuk dunia adalah sisa dari akhirat mereka. Namun sekarang kalian justru menjadikan untuk akhirat kalian adalah sisa dari dunia kalian.” [Shifah Ash-Shafwah, vol. III, hal. 101]

Dari Muhammad Ibn Abī ‘Imrān, ia mendengar Hātim al-Ashamm ditanya oleh seseorang, “Di atas apa engkau membangun segala urusanmu dalam hal tawakkal kepada Allah?” Hātim menjawab, “Di atas empat perkara. (1) Aku tahu rizkiku tidak akan dimakan oleh selainku, karena itu jiwaku pun tentram. (2) Aku tahu amalanku tidak akan dilakukan oleh selainku, karena itu aku pun tersibukkan dengannya. (3) Aku tahu kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba, karena itu aku pun bersegera untuk itu. (4) Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari penglihatan Allah di mana pun aku berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” [Shifah ash-Shafwah, IV/161. Lihat pulaad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 21]

Yahya Ibn Mu’ādz berkata, “Sungguh kasihan anak Adam, sekiranya saja ia takut neraka sebagaimana ia takut kemiskinan niscaya ia akan masuk surga.” [Ihyā` ‘Ulūm ad-Dīn, vol. IV, hal. 162. Lihat pula ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 25]

Beliau juga berkata, “Wahai anak Adam, kau meminta dunia dengan tuntutan orang-orang yang benar-benar butuh kepadanya. Namun kau meminta akhirat dengan tuntutan orang-orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, apa yang kau dapatkan dari dunia sudah cukup meskipun kau tidak memintanya, sementara akhirat akan kau dapatkan dengan menuntut dan memintanya. Karena itu, sadarilah kondisimu.” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 93]

Fudhayl Ibn ‘Iyādh berkata, “Rasa takut seorang hamba kepada Allah adalah sebesar tingkat keilmuannya terhadap Allah; dan tingkatan zuhudnya terhadap dunia adalah sebesar hasratnya terhadap akhirat.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 28]

Suatu ketika beliau ditanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Fudhayl menjawab, “Keadaan mana yang engkau maksud? Keadaan dunia atau keadaan akhirat? Jika engkau bertanya tentang keadaan dunia, maka dunia telah condong bersama kami dan membawa kami kemana pun ia pergi. Dan jika engkau bertanya tentang keadaan akhirat, maka bagaimanakah engkau melihat keadaan orang yang telah banyak dosanya, lemah amalannya, fana umurnya, belum memiliki bekal untuk hari kembali, belum siap menghadapi kematian, serta belum tunduk, belum berusaha dengan sungguh-sungguh dan berhias untuk kematian, namun justru berhias untuk dunia.” [Ad-Dun-yā Zhill Zā-il, hal. 37]

Abū Muslim al-Khaulāni berkata, “Sekiranya aku melihat surga dengan mata kepala, maka aku tidak mempunyai bekal (untuk ke sana); dan sekiranya aku melihat neraka dengan mata kepala, aku juga tidak mempunyai bekal (untuk selamat darinya).” [Shifah ash-Shafwah, vol. IV, hal. 213; dan Siyar A’lām an-Nubalā`, vol. IV, hal. 9]