"Para ulama dan imam agama ini senantiasa menjelaskan tipu daya setan dan memperingatkan umat dari kesesatan. Oleh sebab itu mereka menulis karya-karya tulisan, sehingga dapat dipetik faedahnya oleh generasi dahulu dan akan diambil oleh generasi yang akan datang"[1].
Nasab
Beliau adalah seorang Syaikh salafi, pengarang kitab-kitab manhaj dan peneliti kitab-kitab ilmiah, nasab Beliau adalah Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid, Abul Harits, penisbatan Beliau adalah al-Halabi, adapun tempat hijrahnya adalah Yordania.
Ayah dan kakek Syaikh Ali hijrah dari kota Yafa, Palestina menuju Yordania pada tahun 1368 H (1948 M), karena adanya peperangan yang dikobarkan oleh zionis Yahudi.
Tempat & Tahun Kelahiran
Syaikh Ali al-Halabi dilahirkan di kota az-Zarqâ' Yordania pada tanggal 29 Jumadil Ula tahun 1380 H.
Pendidikan
Syaikh berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat atas dengan sukses pada tahun 1398 H (1978 M). Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya ke fakultas Bahasa Arab di Amman, untuk mempelajari cabang ilmu bisnis dan akuntansi, akan tetapi Allah tidak menakdirkan kepada Beliau untuk menyelesaikan kuliahnya tersebut.
Guru
Syaikh memulai menuntut ilmu agama sekitar seperempat abad yang lalu. Dan Beliau mengambil ilmu ini dari banyak guru. Berikut diantara guru Beliau yang terkemuka:
· Al-'Allâmah, Ahli hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Beliau bertemu dengan Syaikh al-Albani pada akhir tahun 1977 M di kota Amman. Dan pada tahun 1981 M Beliau belajar dari Syaikh al-Albani kitab Isykâlât al-Bâ'its al-Hatsîts dan beberapa kitab lainnya.
· Pakar bahasa, Syaikh Abdulwadud az-Zarori rahimahullah,
· Juga Syaikh yang mulia Muhammad Nasib ar-Rifa'i, dan beberapa ulama lainnya.
Pertumbuhan beliau
Nama: Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah.
Kuniyah beliau: Abu Abdullah
Nasab beliau:
Tanggal lahir: Beliau dilahirkan pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at 13 Syawwal 194 H
Tempat lahir: Bukhara
Masa kecil beliau: Bukhari dididik dalam keluarga yang berilmu. Bapaknya adalah seorang ahli hadits, akan tetapi dia tidak termasuk ulama yang banyak meriwayatkan hadits, Bukhari menyebutkan di dalam kitab tarikh kabirnya, bahwa bapaknya telah melihat Hammad bin Zaid dan Abdullah bin Al Mubarak, dan dia telah mendengar dari imam Malik, karena itulah dia termasuk ulama bermadzhab Maliki. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil, sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu dalam kondisi yatim. Akan tetapi ayahnya meninggalkan Bukhari dalam keadaan yang berkecukupan dari harta yang halal dan berkah. Bapak Imam Bukhari berkata ketika menjelang kematiannya; "Aku tidak mengetahui satu dirham pun dari hartaku dari barang yang haram, dan begitu juga satu dirhampun hartaku bukan dari hal yang syubhat."
Maka dengan harta tersebut Bukhari menjadikannya sebagai media untuk sibuk dalam hal menuntut ilmu.
Ketika menginjak usia 16 tahun, dia bersama ibu dan kakaknya mengunjungi kota suci, kemudian dia tinggal di Makkah dekat dengan baitulah beberapa saat guna menuntut ilmu.
Kisah hilangnya penglihatan beliau: Ketika masa kecilnya, kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Khalilullah Nabi Ibrahim 'Alaihi wa sallam berujar kepadanya; "Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya." Menjelang pagi harinya ibu imam Bukhari mendapati penglihatan anaknya telah sembuh. Dan ini merupakan kemuliaan Allah subhanahu wa ta'ala yang di berikan kepada imam Bukhari di kala kecilnya.
Kolom ini, insya Allah, akan berisi tentang pendapat imam yang empat (imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad). Tentu tidak semua perkataan mereka akan dimunculkan. Disamping keterbatasan tempat, tidak semua pendapat mereka selalu benar.
Tujuan menampilkan pendapat mereka tentu bukan untuk membatasi bahwa imam dalam perjalanan kaum muslimin hanya terbatas pada 4 (empat) imam tersebut. Sebelum dan sesudah mereka ada banyak imam, baik yang masyhur maupun tidak. Tidak pula kolom ini bertujuan untuk menggiring pada sikap fanatik madzhab (pendapat/pandangan) tertentu.
Agama Islam adalah agama yang sempurna dengan kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga tak layak dibatasi oleh sekat pendapat satu atau dua imam. Kolom ini sekadar untuk sedikit mencoba menunjukkan sikap penghormatan kepada ulama besar. Tekad untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah sesuai pemahaman para sahabat tidaklah berarti kemudian diikuti sikap menyepelekan mereka. Hanya dengan ulama dari zaman-ke-zaman umat Islam bisa memahami agamanya dengan baik.
Sebelum menikmati nasihat dan pendapat mereka, ada baiknya diulas secara singkat tentang biografi mereka. Perjalanan hidup mereka sejak lahir hingga wafatnya, tentu secara singkat saja. Pemaparan ini diharapkan bisa memberikan gambaran secara lebih utuh.
Imam Abu Hanifah
Namanya Nu'man bin Tsabit bin Zhuthi' lahir tahun 80 H/699 M di Kufah, Iraq, sebuah kota yang sudah terkenal sebagai pusat ilmu pada zamannya. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Abu Hanifah kadang menyertai ayahnya saat berdagang, tetapi minatnya untuk membaca dan menghafal al-Qur'an lebih besar.
Abu Hanifah mulai belajar dengan mendalam ilmu qira'at dan bahasa Arab. Bidang ilmu yang paling diminati ialah hadits dan fikih. Abu Hanifah berguru kepada asy-Sya'bi dan ulama lain di Kufah. Jumlah gurunya di Kufah dikatakan mencapai 93 (sembilan puluh tiga) orang. Beliau kemudian berhijrah ke Basrah berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah, dan Syu'bah. Setelah belajar kepada Syu'bah, saat itu sebagai Amir al-Mukminin fi Hadits (pemimpin umat dalam bidang hadits), beliau diizinkan mulai mengajarkan hadits.
Di Makkah dan Madinah beliau berguru kepada 'Atha' bin Abi Rabah, Ikrimah, seorang tokoh di Makkah murid Abdullah ibn 'Abbas, 'Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan 'Abdullah ibn 'Umar radhiyallahu 'anhuma. Kehandalan Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadits dan fikih dikenal Ikrimah sehingga disetujui menjadi guru penduduk Makkah.
Abu Hanifah kemudian meneruskan pengajiannya di Madinah bersama Baqir dan Ja'afar as-Shaddiq. Kemudian belajar juga kepada Malik bin Anas, tokoh di kota Madinah ketika itu.
Saat guru kesayangannya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120 H/738 M, Abu Hanifah diminta menggantikannya sebagai guru dan tokoh agama di Basrah. Abu Hanifah juga berdagang. Beliau amat bijak dalam mengatur antara dua tanggung jawabnya ini, seperti dijelaskan oleh salah satu muridnya, al-Fudhail ibn 'Iyyad;
"Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fikih, kaya, suka bersedekah kepada yang memerlukannya, sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, banyak beribadah pada malam hari, banyak berdiam diri, sedikit berbicara kecuali ditanya sesuatu masalah agama, pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mau menerima pemberian penguasa."
Pada zaman pemerintahan 'Abbasiyyah, Khalifah al-Mansur memintanya menjadi qadhi (hakim) kerajaan, tapi ditolak sehingga dipenjara. Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab 150 H/767 M dalam penjara karena keracunan. Shalat jenazahnya dilangsungkan 6 (enam) kali, tiap kalinya terdiri tidak kurang dari 50.000 (lima puluh ribu) orang.
Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, dua kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini, memimpin dan mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka itulah para ulama Rabbaniyyin -yang dengan kesabaran dan keyakinan mereka terhadap ayat-ayat Allah- telah berhasil memimpin umat dari generasi ke generasi untuk berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.
Di antara tokoh ulama yang pantas untuk digelari imam yang berhasil memimpin dan membimbing umat menuju agama Allah adalah ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullah. Kesabarannya yang luar biasa telah membuka jalan baginya untuk meraih kepemimpinan dalam agama ini. Ditambah ketinggian dan kekokohan ilmu yang dimilikinya, semakin menempatkan beliau kepada derajat ‘alim yang layak untuk diteladani.
Madinah An-Nabawiyyah, telah menyimpan banyak kenangan bersejarah yang tidak akan terlupakan dalam sendi kehidupan kaum muslimin. Di sanalah tonggak jihad fi sabilillah mulai dipancangkan di bawah naungan nubuwwah dalam rangka meninggikan kalimat Allah ‘azza wajalla di muka bumi dan memadamkan api kesombongan dan keangkaramurkaan kaum musyrikin.
Semakin tumbuh dan berkembang kota tersebut sebagai ibukota sebuah negara Islam yang baru lahir, di bawah pimpinan insan terbaik yang terlahir di muka bumi. Kota Madinah menjadi pusat penggemblengan pahlawan-pahlawan Islam yang akan meneruskan tongkat estafet jihad fi sabilillah dan para ulama yang akan menyebarkan dakwah Islam di seluruh penjuru negeri.
Seiring dengan pergantian waktu, namanya pun semakin bertambah harum semerbak laksana mawar yang sedang tumbuh merekah dengan warnanya yang indah dan menawan. Halaqah-halaqah ilmu tumbuh semarak dan berkembang dengan sangat pesatnya mewarnai kehidupan kaum muslimin. Dengan di bawah bimbingan para ulama shahabat yang telah mendapatkan warisan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lahirlah melalui tangan mereka, generasi terbaik kedua umat ini, yaitu generasi Tabi’in, yang berhasil mewarisi ilmu dari para shahabat sehingga mereka benar-benar menjadi tokoh terkemuka dalam ilmu dan amal.
Kota Madinah pun menjadi impian, dambaan, dan angan-angan para penuntut ilmu di seluruh penjuru negeri untuk bisa mereguk manisnya warisan nubuwwah. Satu di antara sekian buah usaha pendidikan dan bimbingan para sahabat, lahirlah di sana sejumlah ulama yang dikenal dengan sebutan Al-Fuqaha’ As-Sab’ah yang mumpuni dalam hal ilmu dan amal. Mereka itu adalah:
1. Sa’id bin Al-Musayyib
2. ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam
3. Sulaiman bin Yasar
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr
5. Abu Bakr bin ‘Abdirrahman
6. Kharijah bin Zaid
7. ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Selengkapnya: Mengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (Tujuh Tokoh Ulama dari Madinah) - 1