As-Shahihah Daftar Isi >
ADAB MAKAN (198 - 199)
PreviousNext

ADAB MAKAN

 

 

 

۱۹٨ - ãóäú äóÓöíó Ãóäú íóÐúßõÑó Çááåó Ýöí Ãóóæøóáö ØóÚóÇãöå ÝóáúíóÞõáú Íöíúäó íóÐúßõÑõ :

ÈöÓúãö Çááåö Ýöí Ãóæøóáöåö æóÂÎöÑöåö ÝóÅöäøóåõ íóÓúÊóÞúÈöáõ ØóÚóÇãðÇ ÌóÏöíúÏðÇ æóíóãúäóÚõ ÇáúÎóÈöíúËó ãóÇ ßóÇäó íõÕöíúÈó ãöäúåõ

 

          “Barangsiapa yang mengingat Allah di awal makan, hendaklah ia membaca ketika ingat: “Bismillah di awalnya dan akhirnya.” Sesungguhnya ia menghadapi makanan yang baru dan menghalangi keburukan sesuatu yang menimpa dirinya.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1340 – Mawarid), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum Wal-Lailah (453) dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (3/74/1) dari Khalifah bin Khiyat: “Telah bercerita kepadaku Umar bin Ali Al-Muqaddami, dia berkata: “Aku mendengar Musa Al-Juhanni berkata: “Telah mengabarkan kepadaku Al-Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud  dari ayahnya dari kakeknya yang menuturkan: “Telah bersabda Rasulullah e; (lalu menyebutkan hadits ini).

 

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah. Musa Al-Juhanni adalah Ibnu Abdullah. Konon dikatakan: “Ia adalah Ibnu Abdurrahman Abu Salamah, dikatakan pula Abu Abullah Al-Kafi.”

 

          Mengenai hadits itu Al-Haitsami (5/235) mengatakan:

 

          “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, dimana para perawinya adalah tsiqah.”

 

          Saya menemukan: Abu Salamah Al-Juhanni juga memiliki hadits lain dengan sanad ini. Hanya saja di situ dia datang dengan nama kunyah. Sehingga para muhadditsin tidak mengetahui keadaannya. Bahkan mereka tidak mengenalinya. Hal ini dijelaskan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabi dan lainnya. Bahkan saya juga terkecoh beberapa waktu. Kemudian saya bersungguh-sungguh untuk mentashhih hadits yang diisyaratkan itu. Sampai kemudian saya menemukan hadits soal adab makan ini. Dan hadits ini datang dari riwayat Musa Al-Juhanni. Maka ada kesempatan bagi saya untuk mengenali Abu Salamah yang tidak lain adalah dia sendiri (Musa Al-Juhanni). Alhamdulilllah.

 

۱۹۹ - ãóÇ ÃóÕóÇÈó ÃóÍóÏðÇ ÞóØøõ åóãøñ æóáÇó ÍõÒúäñ ÝóÞóÇáó:  Çóááøåõãøó Åöäøöíú ÚóÈúÏõßó æóÇÈúäõ ÚóÈúÏößó æóÇÈúäõ ÃóãٰÊõßó äóÇÕöíóÊöí ÈöíóÏößó ãóÇÖò Ýöí Íõßúãõßó ÚóÏúáñ Ýöí ÞóÖóÇÄõßó ÃóÓúÃóáõßó Èößõáøö ÇÓúãò åõæó áóßó ÓóãóíúÊõ Èöåö äóÝúÓóßó Ãóæú ÚóáøóãúÊóåõ ÃóÍóÏóÇ ãöäú ÎóáúÞößó Ãóæú ÃóäúÒóáúÊóåõ Ýöí ßöÊóÇÈößó ÃóæöÇÓúÊóÃúËóÑúÊó Èöåö Ýöí Úöáúãö ÇáúÛóíúÈö ÚöäúÏóßó Ãóäú ÊóÌúÚóáó ÇúáÞõÑúÂäó ÑóÈöíúÚó ÞóáúÈöí æóäõæúÑó ÕóÏúÑöí æóÌóáÇóÁó ÍõÒúäöí æóÐóåóÇÈó åóãøöíú ÅöáÇøó ÃóÐúåóÈó Çááåõ åóãøóåõ æóÍõÒúóäóåõ æóÃóÈúÏóáóåõ ãóßóÇäóåõ ÝóÑóÌðÇ ÞóÇáó :  ÝóÞöíúáó íóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö ÃóáÇó äóÊóÚóáøóãõåóÇ ÝóÞóÇáó : Èóáٰì íóäúÈóÛöí áöãóäú ÓóãöÚóåóÇ Ãóäú íóÊóÚóáøóãóåóÇ  

 

          “Tidak akan menimpa pada seseorang sama sekali kesusahan dan duka cita. Kemudian dia membaca: “Ya Allah, sesungguhnya aku ini hamba-Mu, anak hamba-Mu dan anak umat-Mu. Ubun-ubunku di tangan-Mu, berlalu dalam keputusan-Mu, yang adil dalam ketentuan-Mu. Aku mohon kepadamu dengan tiap-tiap nama yang menjadi milik-Mu dimana Engkau menyebut diri-Mu dengannya, atau Engkau menurunkannya dalam kitab-Mu atau Engkau menentukannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Qur’an penyejuk hatiku, nur dadaku, penyibak kedukaannku dan penghapus kesusahanku,” kecuali Allah akan menghilangkan kesusahan dan duka citanya. Dan Allah akan menggantikan pada tempatnya jalan keluar. Perawi menceritakan, dikatakan: “Wahai Rasulullah, apakah kita tidak mempelajarinya?”  Beliau bersabda: “Benar, sepatutnya bagi orang yang mendengarnya agar mempelajarinya.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (3712), Al-Harits bin Abu Usamah dalam musnadnya (hal. 251 dari Zawaid), Abu Ya’la (Q. 156/1), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (3/73/1), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (2472), dan Al-Hakim (1/509) dari jalur Fudhail bin Marzuq: “Telah bercerita kepadaku Abu Salamah Al-Juhanni dari Al-Qasim bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abdullah yang menceritakan: “Telah bersabda Rasulullah e…(kemudian dia menyebutkan hadits itu).” Al-Hakim berkomentar:

 

          “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim, dengan catatan apabila tidak ada Abdurrahman bin Abdullah dari ayahnya, sebab tentang dia menengar dari ayahnya masih diperselisihkan.”

 

          Adz-Dzahabi mengomentarinya dengan mengatakan:

 

          “Saya katakan: Abu Salamah itu tidak diketahui siapakah dia dan tidak ditemukan riwayatnya dalam Kitabus Sunnah.”

 

          Saya menemukan, mengenai Abu Salamah Al-Juhanni telah dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam At-Ta’jil dan dikatakan: “Dia adalah maqbul.”

 

          Al-Hasani juga mengatakan demikian. Sedangkan Murrah juga demikian; “Tidak diketahui siapakah dia.” Begitu juga kata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan. Dan sungguh hal itu juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam At-Tsiqat. Ibnu Hibban mentakhrij haditsnya dalam Shahih-nya. Sementara itu Al-Hafizh bin Abdul Hadi menuliskan: “Mungkin saja dia (Abu Salamah) adalah Khalid bin Salamah”, namun menurut saya itu jauh. Karena Khalid adalah Mahzuni sedangkan yang ini Juhanni.”

 

          Saya berpendapat: Apa yang dianggap jauh oleh Al-Hafizh adalah benar, seperti keterangan berikut ini, dimana telah disepakati oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir yang dalam catatannya megnenai Musnad (5/267) dia menjelaskan: “Yang lebih tepat dari itu menurut saya, bahwa dia adalah Musa bin Abdullah atau Ibnu Abdil-Juhanni yang diberi kunyah Abu Salamah. Karena ia memang sesuai dengan nama itu.”

 

          Saya berpendapat: Apa yang dinilainya lebih tepat oleh Syaikh itu memang benar, dengan alasan seperti yang telah saya sebutkan tadi. Dia adalah Musa Al-Juhanni yang meriwayatkan hadits lain dari Al-Qasim bin Abdurrahman, yaitu hadits sebelumnya. Jika kita kaitkan kedua riwayat itu satu sama lain akan tampak bahwa perawi dari Al-Qasim itu adalah Musa Abu Salamah Al-Juhanni. Padahal tidak ada perawi yang namanya Musa AL-Juhanni kecuali Musa bin Abdullah Al-Juhanni, yang diberi nama kunyah Abu Salamah. Dia adalah tsiqah dan termasuk perawi Muslim. Al-Hakim mengisyaratkan kenyataan ini ketika dia berkomentar mengenai hadits ini: “Shahih menurut syarat Muslim…” Ini berarti bahwa para perawinya adalah perawi-perawi Muslim, yang diantaranya adalah Abu Salamah Al-Juhanni. Demikian ini tidak mungkin bila dia bukan Musa bin Abdullah Al-Juhanni. Coba perhatikan keterangan ini, karena mungkin tidak ada di tempat lain. Alhamdulillah.

 

          Pembeicaraan kemudian merembet pada soal “terputus” seperti yang disinggung oleh Al-Hakim dan diakui oleh Adz-Dzahabi, yaitu:

 

          “Jika selamat dari kemursalan Abdurrahman bin Abdullah dari ayahnya…”

 

          Saya berpendapat: Sanad ini selamat dari kemursalan yang dimaksud, sebab Abdurrahman bin Abdullah memang mendengar dari ayahnya dengan persaksian segolongan imam-imam hadits, termasuk Sufyan Ats-Tsauri, Syarik Al-Qadhi, Ibnu Mu’in, Al-Bukhari dan Abu Hatim. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Tarikh As-Saghir dengan sanad la ba’sa bih dari Al-Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya yang menuturkan: “Ketika Abdullah hendak wafat, anaknya Abdurrahman, berkata kepadanya: “Wahai ayahku, wasiatilah aku.” Ayahnya berkata: “Tangisilah kesalahanmu.”

 

          Dengan demikian maka tidak ada alasan untuk meragukan apakah itu mendengar dari ayahnya.

 

          Mengenai hadits itu, Al-Haitsami dalam Al-Mujma’(10/136) mengatakan: “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la Al-Bazzar dan Ath-Thabrani. Sedangkan para perawi Ahmad adalah perawi-perawi shahih. Kecuali Abu Salamah Al-Juhanni, namun ia telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban.

 

          Saya katakan: Kita telah tahu dari keterangan di depan bahwa dia (Abu Salamah) adalah tsiqah dan termasuk perawi Muslim. Namanya adalah Musa bin Abdullah. Ia tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini, namun diikuti oleh Abdurrahman bin Ishaq dari Al-Qasim bin Abdullah bin Mas’ud. Hanya saja Abdurrahman ini tidak menyebut dari ayahnya.

 

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Muhammad bin Al-Fadhal bin Ghazwan Adh-Dhabbi dalam Kitabud-Du’a (Q. 2/1-2). Juga oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum Wal-Lailah (355). Sedang Abdurrahman bin Ishaq, disini adalah Abu Syaibah Al-Wasithi. Dia telah disepakati kedha’ifannya.

 

          Kemudian saya melihat hadits ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdul Baqi Al-Anshari dalam Sittatu Majlis (Q. 8/1) dari jalur Imam Ahmad. Orang yang mentakhrijnya, Al-Hafizh Muhammad bin Nashir Abul Faisal Al-Baghdadi mengatakan: “Hadits itu hasan, tinggi nilai sanadnya, dan para perawinya adalah tsiqah.”

 

          Hadits ini juga mempunyai syahid dari hadits Fiyad dari Abdullah bin Zubad dari Abu Musa t yang memberitakan: “Telah bersabda Rasulullah e (kemudian dia menyebutkan hadits serupa ini).”

 

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Ibnu Sunni (343) dengan sanad shahih sampai kepada Fiyadh. Dia adalah Ibnu Ghazwan Adh-Dhobbi Al-Kifiyyi. Ahmad menilai: “Dia adalah tsiqah. Dan gurunya yakni Abdullah bin Zubaid, adalah Ibnul Harits Al-Yami Al-Kufiyyi.”

 

          Sementara itu Ibnu Abi Hatim (2/2/62) mengutip penuturan ayahnya yang mengatakan: “Orang-orang Kufah telah meriwayatkan darinya.” Dia tidak menyebutkan luka atau cacat di situ.

 

          Saya menilai: Dia mashyur, dan diperkuat oleh haditsnya yang lain, insya Allah.

 

          Mengenai hadits ini, Al-Haitsami mengatakan: “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan di situ terdapat orang yang tidak saya kenal.”

 

          Saya menilai: “Seolah-olah yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Zubaid. Sepertinya dia tidak meneliti tentang keadaanya dalam Al-Jarh Wat-Ta’dil. Dia memang tidak menyebutkannya adil atau mempunyai cacat. Namun biasanya dia tidak pernah melontarkan kata-kata: “Aku tidak mengenalnya.”, seperti telah diketahui oleh para peminat ilmu yang mulia ini.:

 

          Peringatan: Dalam kolam pinggiran Al-Mujma’ terdapat suatu catatan yang salah mengenai hadits ini, yakni sebagai berikut:

 

          “Saya berkatsa (yakni Ibnu Hajar): “Hadits ini telah ditakhrij oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i dari riwayat Abdul Jalil dengan sanad ini. Jadi tidak ada jalur Ibnu Hajar yang menyusulinya.”

 

          Segi kesalahan adalah bahwa catatan ini tidak tepat untuk hadits ini. Bahkan auntuk hadits yang sesudahnya, dalam Al-Mujma’ tersebut. Karena memang tidak seorang pun dari Ashabus-Sunan yang meriwayatkan hadits tersebut. Dan dalam sanadnya juga sebenarnya tidak ada Abdul Jalil. Bahkan adanya Abdul Jalil itu justru dalam sanad hadits lain, yakni hadits dari Abu Bakrah t. Jadi apakah kesalahan catatan itu dari pihak penerbit atau pihak penulis tidak jelas. Bukan untuk hadits yang pertama, tetapi untuk hadits yang kedua. Nampaknya hal ini tidak begitu disadari oleh Ahmad Syakir. Dimana setelah dia mengisyaratkan hadits ini dan menukil ucapan Al-Haitsami terdahulu dalam mentakhrij hadits ini, dia mengatakan: “Al-Hafizh Ibu Hajar telah memberikan catatan mengenai hadits ini di pinggirnya…”

 

          Kemudian dia menyebutkan kata-kata Al-Hafizh itu.

 

          Kesimpulannya, hadits ini adalah shahih dilihat dari riwayat Ibnu Mas’ud saja. Apalagi jika dikaitkan dengan hadits Abu Musa t. Sungguh hadits ini telah dinilai shahih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Dan ini telah dijelaskannya dalam buku-bukunya. Antara lain Syifa’ul ‘Alil (hal. 247). Sedangkan Ibnu Taimiyah, saya lupa di mana dia menyebutkannya.

 

 

****

 

 

 

         

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com