MEMAKAN HARTA RAMPASAN PERANG
٢٠٢ - Åöäøó ÇáÔøóãúÓó áóãú ÊõÍúÈóÓú Úóáóì
ÈóÔóÑò ÅöáÇøó áöíõæúÔóÚó áóíóÇáöí ÓóÇÑó Åöáٰì ÈóíúÊö ÇáúãóÞúÏöÓö * æóÝöí ÑöæóÇíóÉö æóÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó
ÛóÒóÇ äóÈöíñ ãöäó ÇúáÃóäúÈöíóÇÁó ÝóÞóÇáó áöÞóæúãöåö áÇó íóÊøóÈöÚõäöí ÑóÌõáñ ÞóÏú
ãóáóßó ÈõÖúÚó ÇãúÑóÃóÉò æóåõæó íõÑöíúÏõ Ãóäú íóÈúäöíó ÈöåóÇ æóáóãøó úíóÈúäö
(ÈöåóÇ) æóáÇó ÃٰÎóÑõ ÞóÏú Èóäٰì ÈõäúíóÇäðÇ
æóáóãøóÇ íóÑúÝóÚõ ÓõÞõÝóåóÇ æóáÇó ÃٰÎóÑõ ÞóÏö
ÇÔúÊóÑٰì ÛóäóãðÇ Ãóæú ÎóáöÝóÇÊò æóåõæó íõäúÊóÙöÑõ ÃóæáÇóÏóåóÇ ÞóÇáó : ÝóÛóÒóÇ ÝóÇóÏúäóì áöáúÞóÑúíóÉö Íöíúäó ÕóáÇóÉó ÇáúÚóÕúÑö
Ãóæú ÞóÑöíúÈðÇ ãöäú Ðٰáößó – æóÝöì ÑöæóÇíóÉö – ÝóáóÞóì ÇáúÚóÏõæøó ÚöäúÏó
ÛóíúÈõæú ÈóÉö ÇáÓøóãúÓö - ÝóÞóÇáó : áòáÔøóãúÓö ÃóäúÊó ãóÃóãõæúÑóÉñ æóÃóäóÇ ãóÃúãõæúÑñ
Çóááøóåõãøó ÇÍúÈöÓúåóÇ Úóáóíøó ÔóíúÆðÇ ÝóÍõÈöÓóÊú Úóáóíúåö ÍóÊøٰì ÝóÊóÍó Çááåõ
Úóáóíúå [ÝóÛóäóãõæú ÇáúÛóäóÇÁöãó] ÞóÇáó : ÝóÌóãóÚõæúÇ ãóÇ ÛóäóãõæúÇ ÝóÃóÞúÈóáóÊö
ÇáäøóÇÑõ áöÊóÃúßõáóåõ ÝóÃóÈóÊú Ãóäú ÊóØúÚóãóåõ [æóßóÇäõ ÅöÐó ÇáúÛóäóãõæúÇ
ÇáúÛóäöíãóÉó ÈóÚóËó Çááåõ ÊóÚóáٰì ÚóáóíúåóÇ ÇáäøóÇÑó ÝóÃóßóáóÊúåóÇ] ÝóÞóÇáó
: Ýöíúßõãú Ûõáõæúáñ ÝóáúíõÈóÇíöÚõäúíú ãöäú ßõáøö ÞóÈöíúáóÉò ÑóÌõáñ ÝóÈóÇíöÚõæúåõ
ÝóáóÕöÞóÊú íóÏõ ÑóÌõáñ ÈöíóÏöåö ÝóÞóÇáó : Ýöíúßõãõ ÇáúÛõáõæúáõ ÝóáúíõÈóÇíöÚúäöí
ÞóÈöíúáóÊõßó ÝóÈóÇíóÚóÊúåõ ÞóÈöíúáóÊõåõ ÞóÇáó : ÝóáóÕöÞóÊú
ÈöíóÏö ÑóÌõáóíúäö Ãóæú ËóáÇóËóÉò [ÈöíóÏóåõ] ÝóÞóÇáó : Ýöíúßõãõ ÇáúÛõáõæúáñ ÃóäúÊõãú
ÛóáóáúÊõãú [ÞóÇáó : ÃóÌóáú ÞóÏúÛóáóáúäóÇ ÕõæúÑóÉó æóÌúåö ÈóÞóÑóÉò ãöäú ÐóåóÈò]
ÞóÇáó : ÝóÃóÎúÑõÌõæúÇ áóåõ ãöËúáó ÑóÃúÓö ÈóÞóÑóÉò ãöäú ÐóåóÈò ÞóÇáó ÝóæóÖóÚõæúåõ
Ýöí ÇáúãóÇáö æóåõæó ÈöÇáÕøóÚöíúÏö ÝóÃóÞúÈóáóÊö ÇáäøóÇÑõ ÝóÃóßóáóÊúåõ Ýóáóãú ÊóÍöáøó
ÇáúÛóäóÇÆöãó áÃöóÍóÏò ãöäú ÞóÈúáöäóÇ Ðٰáößó ÈöÃóäøó Çááåó ÊóÈóÇÑóßó æó ÊóÚóÇáٰì
ÑóÃٰì ÖõÚúÝóäóÇ æóÚóÌúÒóäóÇ ÝóØóíøóÈóåóÇ áóäóÇ . ( æÝí ÑæÇíÉ ÝÞÇá ÑÓæá Çááå
Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÚöäúÏó Ðٰáößó Åöäøó Çááåó ÃóØúÚóãóäóÇ ÇáúÛóäóÇÆöãó ÑóÍúúãóÉð
ÈöäóÇ æóÊóÎúÝöíúÝóÇ áöãóÇ Úóáöãð ãöäú ÖõÚúÝöäóÇ )
. ( åÐÇ ÍÏíË ÕÍíÍ Ìáíá ããÇ ÍÝÙå áäÇ ÃÈæ åÑíÑÉ ÑÖí Çááå Úäå).
"Sesungguhnya matahari tidak pernah
berhenti karena seseorang kecuali untuk Nabi Yusya',
beberapa malam ketika beliau berjalan menuju Baitul-Maqdis.
(Riwayat lain menyebutkan:) Seorang Nabi berperang
bersama kaumnya, lalu berkata kepada mereka: "Orang yang telah beristri
tidak boleh mengikutiku, karena la ingin membangun
keluarga di
Hadits ini termasuk hadits shahih dan agung di antara
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Hadits mi memiliki
empat jalur;
Pertama: Imam Ahmad (2/325)
menyebutkan: "Aswad bin Amir meriwayatkan
hadits kepada kami, ia berkata: "Abubakar
meriwayatkan hadits kepada kami dari Hisyam dari Ibnu Sirin
dari Abu Hurairah, la berkata: "Rasulullah r bersabda:
(Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas)."
Demikian pula Ath-Thahawi, ia
mentakhrij hadits itu di dalam Musykilul Atsar (2/10) melalui dua jalur Iain yang
berasal dari Al-Aswad bin Amir.
Saya berpendapat: Sanad ini bagus. Semua perawinya tsiqah
dan termasuk perawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,
kecuali Abubakar bin Hisyam. Perawi ini hanya
dipakai oleh Imam Bukhari.
la mendapat kritikan, tetapi
tidak menyebabkan turunnya status hadits itu. Dalam hal ini
yang paling baik adalah penilaian Ibnu Hibban di dalam kitabnya Ats-Tsiqat (2/324):
"Abubakar
termasuk di antara para hafizh yang kukuh.
Yahya Al-Qaththan dan Ibnul Madini menilainya kurang
obyektif. Hal itu karena ia memang buruk hafalannya ketika sejak usia memasuki senja. la sering melakukan kesalahan ketika
meriwayatkan hadits. Kesalahan dan kekeliruan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas
dari manusia. Namun jika seorang perawi ia melakukan kesalahan atau
kekeliruan dalam meriwayat
Selanjutnya Ibnu Hibban
mengatakan: "Yang benar adalah. jika diketahui 1a melakukan kesalahan, maka haditsnya harus ditinggalkan,
baik sesuai dengan perawi adil lainnya atau tidak. Sebab dia sendiri juga termasuk
perawi yang adil. Perawi yang
telah dinilai adil tidak menerima penilaian
cacat (al-Jarh) kecuali jika sifat keadilannya hilang karena sebab tertentu yang disebutkan di dalam Al-Jarh. Inilah ketentuan bagi perawi tsiqah yang telah diakui keadilannya, namun
diketahui melakukan kesalahan."
Oleh karena itu Al-Hafizh
Ibnu Hajar di dalam Ai-Fath menjelaskan keshahihan
hadits itu dengan sanad di atas (6/154), lalu
berkomentar: "Perawi-perawinya dibuat hujjah dalam hadits shahih."
Penilaian semacam ini sebelumnya telah dilontarkan
oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir, seperti yang akan saya
sebutkan. Sementara itu Adz-Dzahabi
juga sependapat dengan penilaian ini. Seperti yang disebutkannya
di dalam Tanzihusy-Syari 'ah (1/379).
Kedua: Imam
Ahmad (2/318) juga menyebutkan: "Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan kepada kami, ia
berkata: "Mu'ammar meriwayatkan hadits kepada kami dan Hammam dari Abu
Hurairah yang berkata: Rasulullah r bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi di atas). Kemudian dia menyebutkan hadits senada yang tidak
kurang dari seratus buah hadits dengan sanad
ini pula. Hadits ini salah satunya,
semuanya terdapat di dalam kumpulan hadits Hammam bin Munabbih yang
diriwayat
Kemudian ia juga mentakhrijnya bersama Al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nyn
(6/154-156, 9/193. tepatnya dalam syarh Al-Fath), dari Abdullah bin Al-Mubarak dari Mu'ammar.
Ketiga:
Ath-Thahawi (2/10-11)
menyebutkan: "Muhammad bin Ismail bin Salim
Ash-Sha'igh meriwayatkan hadits itu kepadaku. la berkata: "Ubaidillah
bin Umar bin Maisarah Al-Qawariri
meriwayatkan kepada kami. Ia berkata: "Muhammad bin Hisyam meriwayatkannya
kepada kami dari ayahnya dari
Qatadah dari Sa'id bin Al-Musayyab dan Abu
Hurairah."
Hadns dengan sanad ketiga ini memuat banyak lambahan,
yakni yang
saya tulis di dalam kurung.
Sanad ini shahih. Perawi-perawinya tsiqah dan
termasuk perawi-perawi yang dipakai oleh Bukhari-Muslim.
Kecuali Muhammad bin Ismail. Mengenai
perawi terakhir ini. Ibnu Abi Hatim (3/2/190) berkata:
"Saya mendengarkan (belajar) haditsnya di Makkah. Ia seorang yang shaduq (dipercaya)."
Sanad ini oleh Al-Hafizh (6/155)
disandarkan kepada Imam Nasa'i, Abu Awanah dan Ibnu Hibban.
Keempat: Hadits dengan sanad
ini ditakhrij oleh Al- Hakim (2/129) dari Mubarak
bin Fadhalah berasal dari Ubaidillah
bin Umar dari Sa'id Al-Maqbari
dari Abu Hurairah. seperti riwayat kedua pula, dengan
memberikan tambahan:
"Lalu Ka'ab berkata:
"Maha benar Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seperti itulah yang terdapat di dalam Kitab-Nya.
yakni Taurat. Kemudian ia
berkata: "Wahai Abu Hurairah, siapa nama nabi yang diberitahukan kepadamu oleh Rasulullah r?" Abu Hurairah menjawab:
"Saya tidak tahu. " Ka'ab memberitahukan: "Dia adalah Yusya' bin Nun." Ka'ab bertanya: Daerah mana yang
dimaksud oleh Rasul r? la
menjawab: "Saya tidak tahu. " Ka'ab memberitahukan lagi: "Daerah itu adalah Ariha."
Imam Hakim berkomentar: "Hadits ini gharib tapi shahih." Adz-Dzahabi
juga sependapat dengan penilaian ini.
Demikianlah penilaian
keduanya. Mubarak bin Fadhalah adalah seorang mudallis dan meriwayatkan dengan cara
'an'anah (menggunakan kata "an"). Oleh karena itu sanadnya tidak shahih, tidak pula hasan. Dengan sanad
ini Al-Bazzar juga meriwayatkannya,
seperti yang disebut
Di samping itu hadits dengan sanad ini juga mengandung pertentangan, sebab disandarkan
kepada Ka'ab (mauquf) padahal hadits dengan sanad sebelumnya disandarkan
kepada Nabi r (marfu').
Di dalam sanad
ini pula disebutkan nama daerah, yaitu Ariha. Sedang riwayat pertama
menyebutkan daerah itu Baitul-Maqdis. Dan yang kedua
itulah yang benar. Anehnya, Al-Hafizh tidak menyebutkan hal ini. la menjelaskan nama daerah itu di dalam riwayat Sfiahihain:
"Daerah yang dimaksud adalah Ariha,
tanpa Hamzah di akhirnya.1) Al-Hakim
menyebutkan nama iru dari
Ka'ab."
Sedang Al-Hafizh
tidak menyebutkan nama Baitul
Maqdis. padahal demikian
itu yang disebutkan di dalam hadits marfu' yang saya sebutkan sebelumnya.
Kekurangan ini telah disinyalir
oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir
setelah menyebutkan hadits di atas.
Dia juga mengutip nama Ariha
yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar, dengan mengatakan (1/323): "Pernyataannya itu
masih perlu dipertimbangkan. Yang agak lebih tepat adalah bahwa peristiwa itu terjadi ketika membuka
Ibnu Katsir
berargumentasi dengan riwayat pertama. Setelah
menyebutkannya dari jalur Ahmad, Ibnu Katsir
berkomentar:
"Imam Ahmad meriwayatkannya seorang diri. Namun meskipun demikian,
periwayatannya itu tetap sesuai dengan syarat Imam
Bukhari. Ini
menunjukkan pula bahwa yang membuka kota Baitul Maqdis adalah Nabi Yusya
bin Nun as, bukan Nabi Musa u Berhentinya sejenak matahari juga ketika terjadi penaklukan Baitul Maqdis, bukan Ariha,. seperti yang telah
saya sebutkan."
Kosa Kata Hadits:
Kata "budh 'u imra
'at" ( ÈÖÚ
ÇãÑÃÉ ) berarti farji, menikah dan bersetubuh.
Ketiga materi inilah yang terkandung konteks susunan kata tersebut. Kata itu juga berarti mahar (maskawin) dan talak. Hal ini disebutkan oieh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
Kata "lamma yabni biha" (æáãÇ Èíä ÈåÊ) berarti belum memasukinya. Namun kata "lamma" ( áãÇ) menunjukkan adanya harapan untuk itu.
Kata khalifat ( ÎáÝÇÊ ) merupakan bentuk jama’ dari kata khalifat ( ÎáÝÉ ), yang
artinya onta yang bunting.
Kalimat "ihbisha
alayya syai'an" ( ÅÍÈÓåÇ Úáí ÔíÁÇ ), kata Syai'an ( ÔíÁÇ ) dibaca nashab seperti mashdar (disamakan dengan mashdar), yakni
selama penaklukan, atau selama waktu yang dibutuhkan untuk menaklukkan daerah itu. Iyadh menjelaskan:
"Mengenai berhentinya matahari terdapat perbedaan interpretasi.
Saya berpendapat: Bahwa mana yang lebih tepat tidak menjadi masalah. Yang
penting adalah bahwa berhentinya matahari itu
dimaksudkan agar Ytisya'
dan kaumnya bisa shalat Ashar sebelum matahari
terbenam. Meskipun hal ini tidak menjadi tujuan utama. Tujuan utamanya adalah agar penaklukkan itu tidak sampai pada hari Sabtu.
Karena pada hari Sabtu mereka
diharamkan untuk melakukan peperangan. Hal ini jika apa yang disebutkan
oleh Ibnu Katsir
dari seorang ahli kitab benar, yakni mereka menyebutkan bahwa pengepungan itu sampai pada hari Jum'at. tepatnya setelah Ashar. Tatkala matahari hampir terbenam, mereka akan segera memasuki
hari Sabtu. Padahal, hari Sabtu merupakan hari larangan bagi mereka untuk mengadakan peperangan."2)
Kandungan Hadits:
Pertama: Al-Mihlab menjelaskan: "Hadits itu mengandung pengertian
bahwa pesona dunia yang berupa wanita maupun materi dapat melahirkan ketamakan
dan kecintaan terhadap kejayaan yang semu. Demikian juga
dengan orang yang telah beristri. baik ketika
belum menggaulinya. atau
sudah menggaulinya. Hatinya akan
selalu terdorong untuk pulang ke rumah. Setan pun memiliki banyak cara untuk merayunya. Demikian pula dengan hal-hal keduniaan lainnya."
Kedua: Ibnui Munir mengatakan: "Hadits itu dapat dipergunakan untuk
menyanggah kaum awam yang mendahulukan haji dari pada menikah. Mereka menduga bahwa si fat iffah dengan menikah akan lebih baik jika
dilakukan setelah haji. Padahal sebaiknya justru sebaliknya,
menikah dahulu baru berhaji.
Saya berpendapat:
Ketiga: Hadits itu
menunjukkan bahwa matahari tidak pernah berhenti untuk seorang pun kecuali Nabi
Yusya' u Hal ini menunjukkan kelemahan
hadits yang menunjukkan bahwa matahari pernah berhenti untuk Nabi yang lain. Untuk lebih jelasnya. akan
saya sebutkan hadits-hadits yang telah saya teliti. yaitu:
1. Hadits yang disebutkan oleh Ibnu Ishak di dalam Al-Mubtada melalui jalur Yahya
bin Urwa bin Az-Zubair dari
ayahnya. bahwa matahari
pemah berhenti untuk Nabi Musa
u ketika membawa Tabut (peti
tempat
menyimpan Taurat yang membawa ketenangan) milik Nabi
Yusuf u.
Saya berpendapat:
Hadits ini jelas mauquf
(sanadnya terhenti pada sahabat). Dan yang jelas, hadits itu termasuk berita Isra'iliyyat. Mengenai kisah pemindahan jenazah Nabi Yusuf oleh Nabi Musa u memang
ada hadits shahih yang menjelaskannya, tetapi tidak menyebutkan berhentinya
matahari. Hadits itu disebutkan di dalam Al-Mustadrak (2/571-572).
2. Hadits yang menyebutkan bahwa matahari pernah berhenti untuk
Nabi Dawud u Hadits ini ditakhrij oleh Al-Khathib di dalam Dzammun-
Niijum dari Abu Hudzaifah.
Kemudian Ibnu Ishak di dalam Al-Mubtada'
juga mentakhrijnya dari Ali t dengan redaksi yang cukup panjang.
Dalam hal ini Al-Hafizh memberikan catatannya: "Sanad hadits ini sangat
dha'if. Hadits senada yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang ditakhrij oleh Imam Ahmad tampaknya lebih
baik, sebab perawi-perawinya muhtaj (dibuat hujjah, dalil pokok) dalam hadits-hadits shahih.
Meskipun demikian, pendapat yang dipegang oleh para ulama adalah bahwa matahari
hanya pernah berhenti untuk Nabi Yusya' u "
3. Hadits yang menyebutkan bahwa matahari pernah berhenti untuk
Nabi Sulaiman bin Dawud u dalam suatu kisah tentang
seekor kuda.
Sebagian perkataannya disebutkan dalam Al-Qur'an. yaitu:
ÑõÏõøæåóÇ Úóáóíóø ÝóØóÝöÞó ãóÓúÍðÇ ÈöÇáÓõøæÞö
æóÇáÃÚúäóÇÞö
"Bawalah semua
kuda itu kembali kepadaku". Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.”
(QS Shad : 33)
Hadits itu diriwayatkan oleh Ats-Tsa'labi
dan Al-Baghawi dari ibnu Abas. Dalam
hal ini Al-Hatlzh berkata:
"Hadits ini tidak berasal dari
Ibnu Abbas atau lainnya. melainkan dari
tokoh-tokoh ahli tafsir. baik dari kalangan sahabat
maupun orang-orang sesudahnya. Mereka memberikan penafsiran bahwa dhamir (kata ganti) yang ada pada kata "rudduuha"
(rudduha alayya) kembali kepada kata "al-khail" yang berarti kuda. Wallahu
A'lam." (Sebab orang yang mengira bahwa matahari pernah berhenti
untuk Nabi Sulaiman bin Dawud menduga bahwa dhamir
itu kembali kepada kata asy-syams (matahari), dan ayat itu
dijadikan sebagai dalilnya {Penerj).
4, Riwayat yang diceritakan oleh Al-lyadh. bahwa matahari pernah berhenti
untuk Nabi Muhammad r pada waktu menggali parit (Khandaq). Beliau dengan para sahabat terlalu
sibuk dengan pekerjaan itu. Sehingga matahari
terbenam. padahal mereka belum shalat Ashar. Kemudian matahari itu dikembalikan lagi oleh Allah I sehingga mereka bisa shalat Ashar pada waktunya.
Dalam hal ini Al-Hafizh berkata: "Demikianlah Al-Iyadh
menceritakannya.
la menyandarkan hadits itu kepada Ath-Thahawi. Padahal yang saya lihat di dalam Musykilul Atsar. karya Ath-Thahawi,
adalah apa yang telah saya sebutkan, yakni hadits dari Asma".
Hadits yang diriwayatkan oleh Asma' yang dimaksudkan. akan
saya sebutkan insya Allah. Hadits yang menjelaskan kesibukan
Nabi r bersama para sahabatnya
memang ada, tetapi tidak menyebutkan dibalikkannya
matahari. Hadits itu disebutkan di dalam Shahih Bukhari-Muslim. dan kitab
hadits lainnya. Periksa Nashbur-Rayah (2/164).
5. Dari situ pula. hadits yang diriwayatkan
oleh Yunus bin Bukhari di dalam Maghazi Ibnu Ishak, bahwa Nabi r
sewaktu pulang dari Isra'
bercerita kepada kaum Quraisy bahwa beliau melihat kabilah di perjalanan dan akan sampai di Makkah bersamaan dengan terbitnya matahari. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar matahari berhenti sejenak
sampai kabilah itu datang. Kemudian
seperti itulah kejadiannya. matahari terbit
sewaktu mereka datang.
Saya
berpendapat: Hadits itu mu'dhal (ada beberapa perawinya yang gugur secara
berturut-turut). Al-Hafizh mengatakan: "Hadits
ini munqathi (perawinya ada yang gugur sebelum
sampai sahabat). Tetapi di dalam Al-Ausath
karya Ath-Thabrani
disebutkan pula hadits Jabir, bahwa Nabi r memerintahkan kepada matahari agar
berhenti beberapa saat. Sanad hadits ini hasan."
Saya berpendapat:
Penilaian hasan oleh Ath-Thabrani terhadap hadits itu
sendiri masih perlu dipertimbangkan. Sebab penilaian ini dilakukan oleh gurunya. yakni Al-Haitsami, bisa jadi Ath-Thabrani
hanya mengutipnya. Namun kalaupun
penilaian ini benar, maka juga tidak bertentangan dengan hadits Yusya'. Sebab keduanya bisa dikompromikan. Dalam hal ini Al-Hafizh
menjelaskan: "Cara memadukannya adalah bahwa pembatasan berhentinya
matahari hanya yang diperuntukkan bagi Nabi Yusya'
juga mencakup nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad r sebab hadits itu
tidak mengisyaratkan adanya penegasan terhadap terjadinya peristiwa tersebut
bagi diri Nabi r."
Setelah mengutip pendapatnya itu, alhamdulillah saya meneliti sanad
hadits itu. Ternyata
hadits itu tidak hasan. tetapi dha'if atau bahkan maudhu'
(palsu).
Oleh karena itu saya menyebutkannya di dalam Silsilatul-Ahadits Adh-Dha'ifah Wal-Maudhu'ah (lihat hadits no. 976).
6. Hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan lainnya yang berasal dari Asma' binti Umais, bahwa matahari berhenti sejenak untuk sahabat Ali t
sehingga ia bisa shalat Ashar.
la nyaris kehilangan waktu Ashar
karena Nabi r tidur di pangkuannya.
Kisah ini tidak benar. Kedua
jalur periwayatan yang dimiliki oleh Ath-Thahawi dari Asma' adalah dha'if
dan majhul (tidak dikenal).
Al-Hafizh Ibnu Katsir di
dalam Al-Bidayah
mengomentari hadits yang menjelaskan berhentinya matahari untuk Nabi Yusya' u
"Hadits ini menunjukkan bahwa
berhentinya matahari itu hanya terjadi untuk Nabi Yusya'
dan merupakan keistimewaan baginya. Dengan demikian jelaslah kedha'ifan hadits
yang kami riwayatkan tersebut, dimana menjelaskan
bahwa matahari pernah berhenti sejenak untuk sahabat Ali ra, sehingga dia bisa shalat Ashar
pada waktunya. Meskipun hadits itu diniiai
shahih oieh Ahmad bin Shaleh
Al-Mishari,
yang benar hadits itu tetap munkar (tidak diterima) sebab tidak ada unsur yang menetapkan shahih
atau hasan sedikitpun.
Adz-Dzahabi menilai hadits itu maudhu' dari segi matan
(redaksi haditsnya). Sebelumnya penilaian seperti itu
telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Dan sebelumnya juga telah
dinilai maudhu"
oleh Abul-Faraj Ibnul-Jauzi. ketika dia menyebutkannya di dalam Al-Muudhu'at. As-Suyuthi mengkritik keduanya di dalam
kitab Al-La'ali. Begitu pula Ibnu Hajar Al Asqalani. mengkritik Ibnu Taimiyah dan Ibnui-Jauzi yang menghukumi maudhu’ hadits tersebut. Namun yang benar adalah apa yang disebutkan oleh Abul-Faraj dan Ibnu
Hajar. seperti yang saya jelaskan di dalam Silsilatul-Ahadits Adh-Dha 'ftah (lihat hadits no. 975).
Kesimpulannya adalah bahwa hadits shahih yang menjelaskan
berhentinya matahari hanyalah hadits yang
saya sebutkan di atas.
____________________________
1.
Seperti itulah yang disebutkan di dalam Mu'jamul-Buldan, yakni tanpa Hamzan
(dibaca pendek). Di dalam Mustadrak disebutkan
Ariha' (dibaca panjang).Tampaknya inilah yang lebih
tepat. Di dalam Al-Qamus
disebutkan bahwa Ariha'. seperti
halnya dengan Zulaikha' dan Karbila",
termasuk kawasan Syam (Syiria).
Yaqut menjelaskan: "Ariha'
adalah
sebuah
2. Saya juga melihat lbnu Taimiyah mengemukakan pendapat yang senada dengan apa yang saya sebutkan, yang disebutkannya di dalam Minhajus Sunnah (juz IV, hal. 187).
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |