As-Shahihah Daftar Isi >
TIDAK ADA KETAATAN DALAM MAKSIAT KEPADA ALLAH (179 - 181)
PreviousNext

TIDAK ADA KETAATAN

DALAM MAKSIAT TERHADAP ALLAH

 

 

 

 

١٧۹ -  áÇó ØóÇÚóÉó áÃöóóÍóÏò Ýöíú ãóÚúÕöíóÉö Çááåö ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáٰì

 

          Tidak ada ketaatan terhadap seseorang dalam mendurhakai Allah Yang Suci dan Maha Luhur.”

 

          Hadits ini diriwatakan oleh Imam Ahmad (5/66) dari Abdullah bin Shamit yang menceritakan: “Ziyad hendak mengutus Imran bin Hushain di Khurasan. Imran menolak untuk menghadapi mereka. Maka kawan-kawannya bertanya kepadanya.” Kemudian perawi melanjutkan: “Imran berkata: “Sesungguhnya demi Allah aku tidak suka bershalat dengan panasnya sedangkan kamu bershalat dengan sejuknya. Dan aku takut berada di depan musuh, padahal menurut surat dari Ziyad aku harus. Jika aku laksanakan maka aku akan rusak, dan jika aku pulang tentulah aku akan dipancung leherku.” Perawi melanjutkan kisahnya: “Kemudian Ziyad menghendari Al-Kaham bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kata perawi, lalu dia meluluskan perintahnya.” Kata perawi lagi, “Kemudian Imran berkata: “Tidak adakah seseorang yang mendoakan kebaikan untukku?” “Kemudian utusan itu berangkat” Kata perawi: “Lalu Al-Hakam menghadap kepadanya.” Kata perawi lagi: “Lalu ia masuk padanya.” Perawi masih menambahkan, “Kemudian Imran bertanya kepada Al-Hakam “Apakah kamu dengar Rasulullah e bersabda: (lalu menyebutkan hadits itu)?” Al-Hakam menjawab, “Benar.” Imran lalu mengucapkan: “Alhamdulillah atau Allahu Akbar.”

 

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Imam Muslim. Ia dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (13/109). Sedang Ath-Thabrani juga telah meriwatakannya dalam Al-Kabir (1/154/2) secara marfu’ dari Abdullah bin Shamit saja dengan lafazh tersebut.

 

          Hadits ini juga mempunyai jalur lain menurut Ath-Thayalisi (856), Imam Ahmad (4/432, 5/66) dan Ath-Thabrani (1/155) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad yang mengisahkan:

 

          “Seorang laki-laki datang kepada Imran bin Hushain sedangkan kami ada di sebelahnya. Laki-laki itu berkata: “Tugaskanlah Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kemudian Imran benar-benar menghendakinya hingga seorang laki-laki dari suatu kaum berkata kepadanya: “Apakah kami tidak menyertakanmu?” Imran menjawab: “TIdak.” Kemudian Imran berdiri menjumpai Al-Hakam di tengah keramian, lalu berkata: “Sesungguhnya engkau telah memegang suatu perkara besar dari urusan kaum muslimin.” Kemudian dia memberikan perintah, larangan dan sekaligus nasihat, serta berkata: “Apakah kamu ingat suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak wajib taat kepada makhluk dalam mendurhakai Allah e?” Al-Hakam menjawab: “Ya.” Imran lalu mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

 

          Dalam suatu riwayat kepunyaan Imam Ahmad dari Muhammad:

 

          “Diceritakan kepadaku bahwa Imran bin Hushain berkata kepada Al-Hakam Al-Ghifari, keduanya adalah sahabat Rasulullah e. ; “Apakah kamu mengetahui pada suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam mendurhakai Allah e?”Al-Hakam menjawab: “Ya.” Lalu Imran mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

 

          Perawi-perawinya adalah tsiqah, yaitu perawi-perawi Asy-Syaikhain. Akan tetapi terputus antara Muhammad (Ibnu Sirin) dengan Imran, sepertinya Imam Ahmad bermaksud menjelaskan riwayat kedua.

 

          Kemudian hadits itu juga ditakhrij oleh Imam Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Hakim (3/443) dari dua jalur yang berasal dari Al-Hasan:

 

          “Sesungguhnya Ziyad telah menugaskan kepada Al-Hakam Al-Ghifari untuk membawa suatu pasukan. Lalu Imran bin Hushain mendatangi dan menjumpainya di tengah keramaian orang. Dia berkata: “Apakah kamu tahu mengapa aku mendatangimu?” Al-Hakam balik bertanya, “Mengapa?” Imran mejawab, “Apakah kamu ingat kata-kata Rasulullah e kepada seseorang yang amirnya memerintahkan “Menceburlah ke dalam api!” (Kemudian lelaki itu berdiri untuk mencebur ke dalam situ). Lalu sang amir menangkap dan menahannya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Nabi e ã. Maka beliau bersabda: “Seandainya dia mencebur ke situ tentu masuk neraka sekalian. Tidak ada ketaatan dalam durhaka kepada Allah.” Perawi melanjutkan: “Imran berkata, “Sesungguhnya aku hanya ingin mengingatkanmu mengenai hadits ini.”

 

          Al-Hakim terhadap hadits ini berkomentar: “Hadits ini shahih sanadnya.” Sementara Adz-Dzahabi menyepakatinya.

 

          Saya berpendapat, memang hadits itu sebagaimana yang keduanya katakan. Jika Al-Hasan itu adalah Al-Bashri, maka dia mendengarnya dari Imran, dan jika demikian halnya maka hadits itu adalah mudallas. Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (5/226), setelah menyampaikan dari jalur Abdullah bin Shamit dan jalur Al-Hasan ini mengatakan:

 

          “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan beberapa lafazh dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan ringkas. Pada sebagian jalur-jalur terdapat kalimat “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Khaliq (Sang Pencipta).” Sedang perawi-perawi Imam Ahmad adalah para perawi yang shahih.”

 

          Yang diriwayatkan secara marfu dari Nabi Muhammad e ada pula jalur lain yang disebutkan secara ringkas dengan lafazh:

 

١٨٠ -  áÇó ØóÇÚóÉó Ýöíú ãóÚúÕöíóÉö Çááåö ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáٰì

 

          “Tiada (kewajiban) untuk taat dalam hal durhaka kepada Allah Tabaraka Wata’ala.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (4/426,427 dan 436) dan Ath-Thayalisi (850) dari Qatadah yang berkata: “Saya mendengar Abu Marayah All-Ujali berkata: “Saya mendengar Imran bin Hushain meriwayatkan hadits dari Nabi e , beliau bersabda: (kemudian dia menyebutkan sabda Nabi e di atas).

 

          Saya berpendapat: Perawi-perawi hadits ini tsiqat dan dipakai oleh Bukhari Muslim, kecuali Abu Marayah. Namun ia dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya At-Tsiqat.

 

          Al-Haitsami juga menampilkan hadits itu dengan matan yang sama (5/226), dari hadits Imran dan Al-Hakam bin Amer. Selanjutnya Al-Haitsami menjelaskan:

 

          “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Perawi-perawi yang dipakai oleh Al-Bazzar adalah perawi-perawi shahih.”

 

          Imam Suyuthi menyebutkan hadits tersebut di dalam Al-Jami’ Al-Kabir (3/13/1) dengan matan milik Ath-Thabrani sendiri di dalam Al-Kabir serta Ibnu Qani’ dari Imran bin Hushain bersama Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari, kemudian Abu Na’im di dalam kitabnya Al-Mu’jam dan Al-Khatib dari Anas, Asy-Syirazi di dalam Al-Alqab dari Jabir, juga Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir yang dari An- Nawwas bin Sam’an.

 

          Saya berpendapat: Dalam takhrij hadits ini terdapat kecerobohan yang tidak diragukan lagi. Sebab seperti yang anda lihat sendiri, bahwa matan itu bukan milik Imam Ahmad dan Imam Hakim. Matan itu hanya milik Imam Ath-Thabrani, seperti dijelaskan oleh Al-Haitsami. Saya tidak mengetahui apakah matan itu juga dimiliki oleh orang-orang yang dijadikan sandaran oleh As-Suyuthi berkenaan dengan hadits itu, atau hadits yang sama dengan itu. Yang lebih ceroboh lagi adalah apa yang disebutkan di dalam Al-Jami ash-Shaghir, dimana (As-Suyuthi) mengatakan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad dan Al-Hakim. Ini jelas tidak benar. Dan kecerobohan tersebut tampak jelas dalam hadits yang disebutkan dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir, ia menyebutkan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad an Al-Hakim. Inilah letak kesalahannya. Yang tiada salah hanyalah Allah I

          Hadits di atas mempunyai syahid dari hadits Ali radiallahu anhu yang menjelaskan kisah Al-Amir yang memerintahkan bala tentaranya untuk masuk ke dalam api. Hadits yang dimaksud adalah:

 

١٨١ -  áÇó ØóÇÚóÉó ( áóÈóÔóÑò ) Ýóíò ãóÚúÕöíóÉö Çááåö ÅöäøóãóÇ ÇáØøóÇÚóÉõ Ýöí ÇáúãóÚúÑõæúÝö

 

          “Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah I. Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (13/203 Fath), Imam Muslim (6/15), Imam Abu Dawud (2625), Imam Nasa’i (12/187), Ath-Thayalisi (109) dan Imam Ahmad (1/93) dari Ali radiallahu anhu:

 

          “Bahwa Rasulullah e mengirim bala tentara dan menunjuk seseorang untuk memimpin mereka. Lalu orang itu menyulut api dan berkata: “Masuklah kalian ke dalamnya.” Ada di antara mereka yang ingin masuk, tetapi yang lain berkata, “Kami akan benar-benar lari darinya.” Hal itu kemudian dilaporkan kepada Baginda Rasul e, lalu beliau bersabda kepada mereka yang akan masuk ke dalam api: “Jika kalian masuk ke dalamnya, maka kalian akan seperti itu selamanya hingga datang hari kiamat.” Sedangkan kepada yang lain beliau bersabda: “(Kemudian rawi menyebutkan sabda Nabi di atas).” Tambahan itu milik Ath-Thayalisi, sedangkan susunan kalimat selebihnya yaitu milik Imam Muslim.”

 

          Riwayat lain yang juga berasal dari Ali radiallahu anhu:

 

          “Rasulullah e mengirim satu peleton pasukan dan menunjuk seseorang untuk memimpin. Pemimpin itu berasal dari kaum Anshar. Beliau memerintahkan agar menaati apa yang diperintahkan oleh pemimpin itu. Kemudian ada sesuatu yang membuat pemimpin itu jengkel, yakni sikap pasukan itu. Lalu pemimpin itu memerintahkan: “Kumpulkan kayu bakar untukku.” Mereka segera mengumpulkannya. Pemimpin itu memerintahkan, “Nyalakan api.” Mereka juga segera melakukannya. Lalu dikatakan: “Bukankah Rasul telah memerintahkan kepada kalian agar menaati semua perintahku?” Mereka menjawab, “Benar.” Ia berkata: “Karena itu, masuklah kalian ke dalam api itu.” Perawi berkata: “Kemudian mereka saling memandang lalu berkata: “(riwayat lain menyebutkan, ada seorang pemuda yang berkata kepada mereka): Kita harus lari kepada Rasulullah menjauhi api (karena itu janganlah kalian tergesa-gesa sebelum mendapatkan nasihat dari Rasul. Jika beliau memerintahkannya, maka masuklah kalian). Seperti itulah sikap yang emreka ambil. Kemarahannya pun mulai reda dan api pun segera padam. Tatkala mereka telah kembali, mereka melaporkan hal itu kepada Nabi e Belia bersabda: “Kalau mereka masuk ke dalamnya, maka tidak akan keluar selamanya. (Kewajiban) taat hanya dalam hal ma’ruf.”

 

          Hadits itu ditakhrij oleh Imam Bukhari (8/46, 13/109), Imam Muslim (6/16) dan Imam Ahmad (1/82, 134)

 

          Hadits ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya tidak diperbolehkannya mentaati orang yang memerintahkan durhaka kepada Allah I, baik hal itu dilakukan oleh umara’, ulama ataupun masyaikh. Dari sini kita dapat mengetahui kesesatan beberapa golongan:

 

          Pertama: Beberapa ahli tasawuf yang menaati gurunya meskipun diperintah untuk melaksanakan kemaksiatan dengan dalih bahwa hal itu sebenarnya bukan maksiat. Keyakinan mereka bahwa gurunya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh muridnya. Saya pernah mendengar suatu kisah bahwa ada seorang guru yang memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh ayahnya di saat sedang tidur dengan isterinya. Tatkala mereka berhasil membunuh orang tuanya, mereka datang kepada gurunya dengan hati lega karena telah berhasil melaksanakan perintahnya! Sang gurunya pun  berkata: “Apakah engaku mengira bahwa hakikatnya engaku membunuh orang tuamu? Yang kamu bunuh sebenarnya adalah sahabat Ibmunu. Ayahmu sebenarnya tidak ada.” Dari kisah ini mereka membuat suatu kesimpulan hukum, bahwa seroang guru (syaikh) memerintahkan muridnya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama (syar’i), maka sang murid harus menaatinya. Mereka berkata: “Meskipun yang kalian lihat adalah bahwa seorang guru memerintahkan membunuh orang tuanya yang jelas haram, namun hakekatnya guru memerintahkan membunuh orang yang berbuat zina dengan ibunya. Ia memang harus dibunuh menurut syari’at. Kesimpulan ini jelas salah dari segi apapun.

1.     Melaksanakan hukuman bukan menjadi hak sang guru itu, bagaimana pun keadaan orang yang hendak dibunuh. Hak bunuh ada di tangan penguasa (al-amir).

2.     Kalau memang hal itu benar perbuatan zina, maka mengapa hukumannya harus dijatuhkan kepada sang laki-laki tidak kepada wanitanya (si ibu) juga, padahal keduanya sama.

3.     Hukuman pelaku zina mushan adalah hukum bunuh dengan rajam, bukan dengan cara lain.

 

Dari sini jelaslah bahwa syaikh itu telah melakukan kesalahan hukum yang dibuat oleh Mursyid di atas, yang mewajibkan mentaati syaikh meskipun memerintahkan sesuatu yang menyimpang dari syara’. Bahkan Mursyid pun berkata kepada para murid: “Jika kalian melihat syaikh berkalung salib, maka kalian tidak boleh menilainya mungkar.” Dengan jelasnya bukti-bukti kesesatan yang dilakukan ini, kita masih melihat ada orang yang membelanya, padahal orang itu termasuk pemuda yang berpendidikan. Saya pernah mengadakan dialog dengan salah seorang di antara mereka mengenai kisah tersebut. Ia telah mendengar kisah dan kesimpulan hukum itu langsung dari gurunya. Tetapi dialog yang saya lakukan tetap tidak menghasilkan sesuatu. Sebab mereka tetap meyakini kebenaran kisah tersebut. Karena menurutnya, hal ini merupakan karamah. Ia mengatakan: “Kalian bisa berpendapat seperti itu, karena kalian tidak percaya adanya karamah.”

 

Menanggapi itu, saya katakan kepadanya: “Seandainya syaikhmu memerintahkan kepadamu untuk membunuh orang tuamu, apakah engkau akan menaatinya?” Ia pun menjawab: “Sesungguhnya saya belum sampai ke derajat seperti itu.” Celaka benar petunjuk yang mengesampingkan akal dan hanya menyerah kepada orang-orang yang menyesatkan. Salahkah jika kita melarang mereka dan mengklaim bahwa hal itu menjadi candu bagi bangsa!

 

Kedua: Mereka bertaklid buta dan memilih pendapat madzhab dengan mengesampingkan tuntunan Nabi e yang sudah diketahuinya. Jika dikatakan kepada mereka, misalnya: “Janganlah engaku melakukan shalat sunnat fajar jika shalat subuh telah dilakukan, sebab Nabi  melarang hal itu.” Mereka akan menjawab: “Ada madzhab yang memperbolehkannya.” Kemudian jika di katakan kepada mereka: “Sesungguhnya nikah tahlil (nikah yang dilakukan agar suami sebelumnya bisa kembali lagi kepada wanita yang sekarang menjadi isterinya) dilarang, sebab Nabi e sangat melaknat perbuatan itu.” Mereka akan menjawab: “Tidak menurut madzhab ini, hal itu diperbolehkan.” Dan masih banyak masalah fiqhiyah yang mereka sikapi seperti itu. Menurut para Ulama Muhaqqiqin, mereka ini termasuk golongan yang dalam Al-Qur’an difrimankan oleh Allah I.bagi orang-orang Nasrani, yaitu:

 

ÇÊóøÎóÐõæÇ ÃóÍúÈóÇÑóåõãú æóÑõåúÈóÇäóåõãú ÃóÑúÈóÇÈðÇ ãöäú Ïõæäö Çááóøåö æóÇáúãóÓöíÍó ÇÈúäó ãóÑúíóãó

 

          Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam.” (QS At-Taubah : 31

          Masalah ini dijelaskan pula oleh Al-Fakhrur-Razi di dalam tafsirnya.

          Ketiga: Mereka menaati para penguasa yang membuat peraturan atau undang-undang yang menyimpang dari syara’, seperti negara yang menganut system sosialis atau system lain yang sejenis. Yang paling parah adalah mereka yang mengatakan bahwa system seperti itu memiliki kesamaan dengan Islam. Inilah musibah yang menimpa kita, yang banyak dilakukan oleh para cendekiawan dengan dalih menyumbangkan pemikiran demi kemajuan suatu bangsa. Akibatnya banyak kaum awam yang terkecoh dengan pemikiran mereka itu. Jadi mereka dan para pengikutnya dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya di atas. Hanya Allah lah yang dapat memeberikan pertolongannya kepada kita.

 

****

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com