Sebagian orang mengira tidur sejenak di siang hari merupakan kebiasaan pemalas. Sebab orang malas akan lebih cenderung untuk menghabiskan waktu luang dengan tidur dan istirahat dari pada memanfaatkannya untuk beraktivitas, bekerja, atau menyelesaikan tugas. Pemahaman tersebut tentu tidak benar. Dan itu diantara sebabnya, dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka akan tuntunan tidur atau istirahat sejenak di siang hari dalam padangan Islam. Atau, hal itu muncul dari mereka yang belum mengetahui, bahwa tidur sejenak di siang hari merupakan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, sangat perlu untuk kami ketengahkan sebuah tulisan yang menerangkan bahwa tidur atau istirahat sejenak di siang hari adalah sunnah. Semoga bermanfaat.
Definisi Qoilulah
Al-Qoilulah berasal dari kata Qoola, Yaqiilu, Qoilan, wa Qoo-ilatan, wa Qoilulatan, wa Maqoolan, wa Maqiilan.Para ahli bahasa mendefinisikannya dengan tidur di siang hari. Atau istirahat di siang hari, meskipun tidak dibarengi dengan tidur. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, juz 4, hlm 116-117, Lisanul ‘Arab, juz 11, hlm 688-689)
Abdullah bin Rowahah radhiyallahu ‘anhu, salah seorang penyair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam sebuah bait syairnya:
اليَوْمَ نَضْرِبْكُمْ عَلَى تَنْزِيْلِهِ ضَرْباً يُزِيْلُ الهَـامَ عَنْ مَقِيْلِهِ
Hari ini kami pukul (kalahkan) kalian dengan ayat-Nya
Laksana pukulan yang melenyapkan kantuk dari tidur siangnya
Padahal dalam agama Islam, istilah yang satu ini tidak asing lagi di telinga para ulama dan para penuntut ilmu. Begitu banyak kitab-kitab yang menyebutkan hadits tentang qoilulah dan membahasnya. Didukung dengan beberapa hadits dan atsar sahabat yang lebih memperjelasnya. Bahkan dalam sebuah ayat al-Qur’an, Allah telah mengisyaratkan tentangnya (lihat pula surat al-Furqon: 24). Allah ta’ala berfirman:
وَكَمْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا أَوْ هُمْ قَائِلُوْنَ
“Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (QS. al-A’rof: 4)
Ibnu Katsir rahimahullah bertutur: Yakni dari kata al-Qoilulah, yang berarti tidur tengah hari. Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: Al-Qoilulah adalah tidur tengah hari. Ada juga yang berpendapat, hanya sekedar istirahat di waktu tersebut lantaran panas yang berlebihan, tanpa dibarengi dengan tidur. (Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Qadir, surat al-A’rof: 4)
Qoilulah Adalah Sunnah
Qoilulah adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan tersebut dapat kita simpulkan setelah kita membaca hadits dan atsar yang dengan jelas memerintahkan kepada kita untuk mengerjakan qoilulah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قِيْلُوْا، فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ
Tidur sianglah kalian, sebab setan itu tidak tidur siang. (Hadis hasan. Lihat ash-Shahihah, no. 1647, Shahihul Jami’, no. 4431)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits tersebut memiliki bukti penguat riwayat mauquf (terhenti hanya pada sahabat) yang dikeluarkan oleh Ibnu Nashr dalam kitab Qiyamul Lail, halaman 40. Dari Mujahid rahimahullah: Tatkala sampai kepada Umar radhiyallahu ‘anhu sebuah kabar bahwa seorang pekerjanya tidak tidur siang, Umar mengirim surat kepadanya: “Amma ba’du, tidur sianglah engkau, karena setan itu tidak tidur siang.”
Komentar Syaikh al-Albani rahimahullah: “Atsar tersebut, meskipun mauquf, namun pernyataan seperti ini tidak mungkin diucapkan begitu saja dari akal pikiran. Bahkan, padanya terdapat petunjuk, bahwa hadits ini telah tenar di kalangan mereka. Oleh sebab itu, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak perlu lagi berterus-terang mengatakan akan marfu’-nya riwayatnya itu. (Lihat: ash-Shahihah, penjelasan hadits no. 1647)
Sunnah qoilulah ini tidak hanya sebatas ucapan pada lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Bahkan beliau sendiri pernah tidur qoilulah. Kabar ini pernah diceritakan oleh Anas bin Malik rahimahullah.
Ia berkata: “Ummu Harom bercerita kepadaku, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah tidur siang di rumahku. Lalu beliau terbangun dari tidurnya seraya tertawa. Ummu Harom bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau tertawa? Beliau menjawab: Aku merasa takjub terhadap suatu kaum dari umatku yang mengarungi lautan, (mereka) bagaikan raja di atas singgasananya. Ummu Harom berkata: Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah, agar aku termasuk dari kaum itu. Beliau bersabda: Engkau termasuk dari mereka.” (HR. al-Bukhari, no. 2788, 2789, 2799, 2877, 2894, 2895, 6282, 7001)
Waktu Pelaksanaan Qoilulah
Para sahabat dahulu mengerjakan qoilulah setelah pelaksanaan shalat zhuhur/jumat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Anas bin Malik dan Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berucap: “Kami dahulu bersegera pergi ke shalat jum’at, kemudian kami tidur siang setelah mengerjakan shalat jum’at.” (HR. al-Bukhari, No. 905 & 940.)
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami dahulu tidak tidur qoilulah dan tidak makan siang, melainkan setelah mengerjakan shalat jum’at.” Dalam riwayat lain ia berkata: “Kami dahulu mengerjakan shalat jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baru tidur siang.” (HR. al-Bukhari, no. 939, 941, 2349, 5403, 6248, dan Muslim, no. 859.)
Di sisi lain, mereka juga terkadang tidur qoilulah sebelum pelaksanaan shalat. Yang demikian mereka kerjakan, jikalau panas siang hari begitu menyengat dan berlebihan. Tujuannya adalah untuk menunggu turunnya suhu udara yang terlalu panas hingga terasa agak dingin. Sehingga, mereka dapat melaksanakan shalat zhuhur dengan khusyu’.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Bahwasanya sahabat mengerjakan shalat terlebih dahulu sebelum tidur siang. Hal ini menyelisihi kebiasaan mereka dalam mengerjakan shalat zhuhur ketika panas begitu menyengat. Yang mana mereka melakukan tidur siang terlebih dahulu, setelah itu baru mengerjakan shalat zhuhur. Alasannya, menunggu suhu udara hingga terasa dingin merupakan perkara yang disyariatkan. (Fathul Bari, juz 2, hal. 493)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila suhu udara terlalu panas, maka tundalah pelaksanaan shalat hingga udara terasa dingin. Karena sesungguhnya panasnya udara merupakan hembusan Jahannam.” (HR. al-Bukhari, no. 533, 534, 535, 536, 538, 539)
Khalid bin Dinar rahimahullah berkata: “Aku pernah mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila udara dingin, beliau menyegerakan pelaksanaan shalat. Dan apabila udara terasa panas, beliau menunda pelaksanaan shalat hingga udara terasa dingin.” (HR. al-Bukhari, no. 906)
Dari keterangan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa qoilulah merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudahkah anda menerapkannya?
Keutamaan Qoilulah
Sebagaimana kita ketahui bahwa qoilulah adalah sunnah. Apabila kita meneliti lebih mendalam, maka terdapat beberapa keutamaan sunnah qoilulah yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan riwayat para sahabat Rasulullah. Maka itu, begitu penting bagi kita untuk mengetahui beberapa keutamaan tersebut. Pembahasan seputar hal ini dapat disimak pada beberapa poin berikut ini. Semoga bermanfaat.
Adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Qoilulah merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Orang yang melakukan qoilulah berarti ia telah menghidupkan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dalam hal ini kami katakan, beramal sedikit namun sesuai sunnah, tentu jauh lebih baik dari pada beramal banyak namun semuanya bid’ah.
Sepertinya sunnah ini adalah biasa –meskipun pada hakekatnya tidak ada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa, semuanya adalah utama, tidak ada istilah kulit dan isi dalam agama-. Namun, jangan sekali-kali kita meremehkan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meremehkan sunnahnya berarti meremehkan agama. Menganggapnya tak bernilai, berarti mengganggap agama ini tak ada nilainya. Semoga Allah merahmati seorang hamba, yang senantiasa menghidupkan sunnah Nabi-Nya.
Merupakan istirahatnya penduduk surga
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاَ
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat qoilulahnya/istirahatnya.” (QS. al-Furqan: 24)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada waktu dhuha, wali-wali Allah istirahat di atas ranjang tidur bersama bidadari.”
Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Allah selesai menghitung amalan manusia di pertengahan hari, lalu penghuni surga istirahat tengah hari di dalamnya.”
Ikrimah rahimahullah bertutur: “Sungguh, aku tahu kapan penghuni surga masuk ke dalam surga dan penghuni neraka masuk ke dalam neraka, yaitu seperti waktu di dunia ketika terangkatnya waktu dhuha akhir, tatkala orang-orang kembali kepada keluarga mereka untuk istirahat. Maka penghuni neraka kembali ke neraka. Adapun penghuni surga, maka mereka dipindahkan ke surga, dan tempat istirahat siang mereka adalah surga.”
Dalam menafsirkan firman Allah, “dan paling indah tempat qoilulahnya” Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Yaitu tempat istirahat siangnya.”
Syaikh Abdurrahman bin nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Tempat tinggal mereka di surga dan istirahat mereka yang berupa istirahat siang, merupakan tempat tinggal bermanfaat dan istirahat yang sempurna, yang mana hal itu merupakan kesempurnaan nikmat yang tidak akan tercemari oleh kotoran.” (Periksa atsar-atsar tersebut di Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Qadir. Lihat juga Tafsir as-Sa’di,surat al-Furqan: 24)
Catatan
Qoilulah pada poin ini lebih sesuai jika diartikan dengan istirahat siang atau istirahat tengah hari, bukan diartikan dengan tidur siang. Sebab tidak ada tidur di dalam surga, dan penduduk surga tidak akan tidur di dalamnya.
Rasulullah rahimahullah bersabda:
النَّوْمُ أَخُوْ المْـَوْتِ وَلاَ يَنَامُ أَهْلُ الْـجَنَّةِ
“Tidur adalah saudaranya mati, dan penghuni surga tidaklah tidur.” (Lihat: ash-Shahihah, no. 1087)
Al-Azhari rahimahullah berkata: “Qoilulah atau Maqil menurut orang arab berarti istirahat di tengah hari, meskipun tidak dibarengi dengan tidur. Dalilnya adalah firman Allah, “dan paling indah tempat qoilulahnya“, sementara itu surga tidak ada tidur di dalamnya. (Faidhul Qadir, juz 4, hal. 694)
Merupakan akhlak terpuji
Khowwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidur di permulaan hari adalah kebodohan, di pertengahannya adalah akhlak (terpuji), dan di akhir hari merupakan perbuatan dungu. (Hadis shahih. Lihat: Shahih al-Adabul Mufrad, no. 942)
Khowwat bin Jubair bin Nu’man bin Umayyah merupakan salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara kandung Abdullah bin Jubair radhiyallahu ‘anhu. Wafat di Madinah pada tahun 40 H dengan usia 74 tahun. (Siyar A’lamin Nubala’, juz 2, hal. 329-330)
Merupakan kebiasaan generasi terbaik umat ini
Generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, mereka begitu antusias dalam mengamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang tidak kalah ketinggalan adalah sunnah qoilulah. Banyak dari mereka yang melakukan qoilulah, demi meneladani dan melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada tulisan selanjutnya yang berjudul Kisah Qoilulah Kaum Salaf, insyaAllah kami akan bawakan beberapa kisah tentang qoilulah para sahabat dan generasi setelahnya.
Dapat membantu qiyamul lail dan lebih menyegarkan badan
Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah hafizhahullah berkata, setelah membawakan hadits tentang qoilulah: “Hadits tersebut mengandung perintah untuk mengerjakan qoilulah yang dapat menjadikan badan menjadi segar kembali, lebih kuat untuk mengerjakan ketaatan, dan dapat membantu melakukan qiyamul lail. Juga mengandung peringatan untuk menjauhi tipu daya setan. Wallahu A’lam. (Syarh Shahih al-Adabul Mufrad, juz 3, hal. 348)
Qoilulah sangat diharapkan untuk dikerjakan bagi orang yang hendak mengerjakan qiyamul lail dan begadang demi tujuan kebaikan. Sebab, yang demikian dapat membantu pelaksanaan shalat tahajjud, sebagaimana makan sahur dapat membantu pelaksanaan puasa di siang hari. (Faidhul Qadir, juz 4, hal. 694-695)
Merupakan salah satu upaya untuk menyelisihi setan
Salah satu hadits yang menyatakan dengan jelas masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قِيْلُوْا، فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ
“Tidur sianglah kalian, sebab setan itu tidak tidur siang.” (Hadis hasan. Lihat ash-Shahihah, no. 1647, Shahihul Jami’, no. 4431)
Hadits di atas menganjurkan kepada kita untuk melakukan tidur siang. Tujuannya agar kita tidak menyerupai setan yang tidak tidur di siang hari. Setiap muslim tentunya dituntut untuk menyelisihi setan dalam segala tindak-tanduknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَأْكُلُوْا بِالشِّمَالِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ
“Janganlah kalian makan dengan tangan kiri, sebab setan makan dengan tangan tersebut.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلاَ يَشْرَبَنَّ بِهَا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِهَا
“Janganlah seorang dari kalian makan dan minum dengan tangan kiri, sebab setan makan dan minum dengan tangan kirinya.”
Nafi’ rahimahullah menambahkan: “Jangan pula ia menerima dan memberi dengan tangan itu.” (HR. Muslim, no. 2019, 2020)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum itu.” (Shahih. Lihat: Irwa’ul Ghalil, no. 1269, 2384)
Termasuk dalam hal ini, ber-tasyabbuh (menyerupai) perbuatan atau kebiasaan setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah datang larangan untuk menyerupai setan, baik penampilan maupun perbuatannya, seperti makan dan minum dengan tangan kiri, sebab yang demikian termasuk perbuatan setan. Sementara itu kita dilarang untuk mengerjakan rutinitas apa saja yang termasuk perbuatan setan, karena sesungguhnya setan adalah tercela, baik secara agama maupun rasio. Dalam hal ini kami mengambil pelajaran dan merenungi, bahwa segala sesuatu yang menjadi sifat para pengekor setan dan orang sesat, dari kalangan orang-orang fasik, tukang maksiat, pelaku kriminal, mereka yang zhalim, munafik dan yang semisalnya, maka semua itu dilarang. Sebab mereka dihukumi sebagai pengekor setan. Sedangkan kita dilarang untuk mendekati jalan setan dan mengikuti perbuatannya. Maka wajib bagi setiap muslim yang komitmen dengan agamanya, untuk menjauhi segala sesuatu yang menjadi panji-panji mereka, para pengekor setan dan bala tentaranya. Harus lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan mereka. Menjauhi tempat-tempat berkumpulnya mereka. Sebab, tempat tersebut adalah gudang syubhat. Terlalu dekat dengannya, dapat menjadikan seorang muslim tercela.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim, juz 2, hal. 49)
Kisah Qoilulah Generasi Salaf
Berikut beberapa kisah qoilulah generasi terbaik umat ini.
1. Atsar Umar bin Khattab
Atsar ini telah kami bawakan pada tulisan sebelumnya. Adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, tatkala ia mendengar sebuah kabar, bahwa seorang pekerjanya tidak tidur siang, Umar mengirim surat kepadanya yang berisi: Amma ba’du, tidur sianglah engkau, karena setan itu tidak tidur siang.
As-Sa-ib pernah bercerita: “Adalah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati kami di tengah hari –atau mendekati tengah hari- lalu ia berkata: Bergegas tidur sianglah kalian, waktu yang tersisa biar untuk setan. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 939)
2. Kisah qoilulah Ali bin Abi Thalib
Kisah ini berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang dipanggil dengan kunyah Abu Thurab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha. Namun beliau tidak mendapatkan Ali berada di sana. Beliau bertanya: Dimana suamimu? Fatimah menjawab: Diantara kami ada sedikit masalah, sehingga ia marah kepadaku, lalu ia keluar dan tidak tidur siang di sisiku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang: Coba lihat, dimana dia berada.
Setelah beberapa saat orang itu datang dan berkata: Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di masjid. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Ketika itu, ia sedang tidur siang di masjid. Sementara selendangnya terjatuh dari badannya, dan debu pun menerpanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membersihkan debu dari badannya seraya bersabda: Bangunlah wahai abu thurab, Bangunlah wahai abu thurab. (HR. al-Bukhari, No. 441, 3703, 6204, 6280, Muslim, no. 2409)
3. Atsar Ibnu Abbas
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, mengisahkan perjalanan dirinya dalam menuntut ilmu: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, aku berkata kepada seorang dari kaum Anshar: Kemarilah engkau, ayo kita bertanya kepada Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mumpung jumlah mereka saat ini masih banyak.
Orang itu berkata: Engkau ini aneh, ya Ibnu Abbas, apakah engkau mengira orang-orang nantinya akan membutuhkanmu? Sementara itu di tengah-tengah mereka masih ada sahabat dan orang-orang senior lainnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: Orang itupun pergi, lalu aku mulai bertanya tentang hadits kepada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sampai kepadaku kabar tentang hadits yang ada pada seorang sahabat, aku langsung pergi untuk mendatangi rumahnya. Tatkala itu ia sedang tidur siang, maka akupun berbaring dengan selendangku di depan pintu rumahnya, sampai-sampai debu beterbangan menerpa wajahku. Ketika keluar ia berkata: Wahai sepupu Rasulullah, apa tujuanmu datang kemari, mengapa engkau tidak mengirim utusan agar aku yang datang sendiri menemuimu?
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: Aku lebih berhak untuk mendatangimu. Kemudian akupun bertanya seputar hadits kepadanya. Orang dari kaum Anshar itu ternyata masih hidup. Hingga akhirnya pada suatu saat ia melihatku, ketika orang-orang berkumpul di sekitarku untuk menimba ilmu dariku. Ia berucap: Pemuda ini ternyata lebih cerdas dari diriku.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga pernah berkata: Aku mendapati kebanyakan ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada perkampungan dari kaum Anshar ini. Sungguh, aku dahulu pernah tidur siang di depan pintu rumah seorang dari mereka. Andai saja aku mau, pasti ia sudah mengizinkan aku untuk masuk. Namun, aku tidak akan melakukannya, supaya dia ridha dalam menyampaikan ilmunya. (Hilyatul ‘Alim al-Mu’allim wa Bulghatuth Thabil al-Muta’allim, hal. 26)
4. Atsar Abdullah bin Mas’ud
Dari as-Saib bin Yazid, dari Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Terkadang beberapa orang Quraisy duduk-duduk di depan pintu rumah Ibnu Mas’ud radha. Tatkala matahari telah tergelincir beliau berkata: Bangkit dan tidur sianglah kalian, waktu yang tersisa biar untuk setan.
Kemudian tidaklah beliau melewati seseorang, melainkan ia menyuruhnya bergegas untuk mengerjakan tidur siang. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 939)
5. Atsar Anas bin Malik
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berucap: Kami dahulu bersegera pergi ke shalat jum’at, kemudian kami tidur siang setelah mengerjakan shalat jum’at. (HR. al-Bukhari, no. 905 & 940)
6. Atsar Sahl bin Sa’ad
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami dahulu tidak tidur (tengah hari) dan makan siang, melainkan setelah mengerjakan shalat jum’at.
Dalam redaksi yang lain disebutkan: Kami dahulu mengerjakan shalat jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baru tidur siang. (HR. al-Bukhari, no. 939, 941, 2349, 5403, 6248, Muslim, no. 859)
7. Komenatar Khowwat bin Jubair
Khowwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: Tidur di permulaan hari adalah kebodohan, dipertengahannya adalah akhlak (terpuji), dan diakhir hari merupakan perbuatan dungu. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 942)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: Ucapannya, “dan di akhir hari merupakan perbuatan dungu“, pada hakekatnya, dungu adalah –sebagaimana di sebutkan di kitab an-Nihayah- meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, meskipun ia tahu bahwa itu adalah buruk. Dari sini dapat dipahami, adanya pujian bagi mereka yang mengerjakan tidur siang hari. (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 942 pada catatan kaki)
8. Komentar seputar qoilulah
Al-Khallal berkata: Dianjurkan tidur pada pertengahan hari.
Abdullah berkata: Ayahku dahulu selalu tidur tengah hari, baik musim dingin maupun panas, ia tidak pernah meninggalkannya dan mengajakku untuk mengerjakannya. Beliau bertutur: Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: Tidur sianglah kalian, sebab setan itu tidak tidur siang.
Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, Muhammad, ia berkata: Tidur tengah hari dapat menambah kecerdasan. Abdullah bin Syubrumah bertutur: Tidur tengah hari sebanding dengan minum obat. Sebagian orang bijak berkata: Rasa kantuk dapat menghilangkan kecerdasan, sedangkan tidur siang dapat menambah kecerdasan. (Al-Adab asy-Syar’iyyah, juz 3, hlm 146-148)
Penulis: Abu Musa Al-Atsary (www.sulhan.net)
Publikasi ulang: www.alquran-sunnah.com