BEBERAPA CONTOH
MORALITAS ISLAM
۷۲ - ÇóÍöÈøó ááöäøóÓö ãóÇ ÊõÍöÈøõ áöäóÝúÓóßó
“Cintailah
apa yang dimiliki oleh orang lain seperti mencitai
milikmu sendiri”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam At-Tarikh
Al-Kabir (2/4/317/3155), Abd. Bin Humaid
di dalam Al-Muntakhab Minal
Musnad (53/2), Ibnu Sa’d (7/428), dan Al-Qathi’I di dalam Al-Juz’ Al-Ma’ruf Bi Alfi Dinarin (2/29)
dari Siyar, dari Khalid bin
Abdillah Al-Qasari dari
ayahnya yang mengisahkan bahwa Nabi r bersabda kepada kakek Yazid bin Usaid: (Kemudian ia menyebtukan sabda Nabi di atas).
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Ruh bin Atha’ bin
Ibnu Asakir meriwayatkan hadits itu (5/242/2) dari Al-Qathi’I melalui jalur kedua. Sementara itu Al-Hakim (4/168) juga
meriwayatkannya yang kemudian dengan tegas
menyatakan: “Hadits itu shahih sanadnya.” Sedangkan Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian tersebut.
Saya berpendapat: Khalid bin Abdillah Al-Qasari adalah seorang penduduk Damaskus
yang menjabat sebagai Al-Amir. Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Mizan
menilainya: shaduq (sangat dipercaya), tetapi ia adalah seroang penguasa yang
keras dan lalim. Ibnu Ma’in mengatakan: “Ia seorang
lelaki yang kurang baik yang pernah mempunyai masalah dengan sahabat Ali t. Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya di dalam kitabnya Ats-Tsiqaat (2/72).
Ayahnya, yaitu Abdullah bin Yazid, juga disebutkan haditsnya oleh Ibnu Abi Hatim
(2/2/197), tetapi tidak disebutkan jarh
ataupun ta’dil-nya. Sedangkan
Ibnu Hibban juga menyebutkannya di dalam Ats-Tsiqaat (1/123).
Hadits itu oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz
Zawa’id (8/168) diberi komentar: “Hadits itu
diriwayatkan oleh Abdullah dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan di dalam Al-Ausath dengan redaksi yang sama. Perawi-perawinya tsiqah.”
Hadits itu juga memiliki syahid hadits lain yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi:
Ðan cintailah
milik orang lain seperti mencintai milikmu sendir,
niscaya engkau akan menjadi seorang mukmin (yang baik).”
Hadits ini ditakhrij
oleh Imam Tirmidzi (2/50) dan Imam Ahmad (2/310). Imam Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib (dalam meriwayatkannya
terdapat seorang yang menyendiri). Sementara Al-Hasan tidak
mendengarnya dari Abu Hurairah.”
Saya berpendapat: Yang meriwayatkannya dari Al-Hasan Al-Bashri
adalah Abu Thariq. Ia majhul
(tidak dikenal), seperti disebutkan di dalam At-Taqrib.
Di antara hadits lain
yang menguatkannya adalah hadits berikut ini:
۷٣ – áÇóíõÄúãöäõ ÇóÍóÏõßõãú ÍóÊøٰì íõÍöÈøó öáÇóÎöíúåö
ãóÇíõÍöÈøõ áöäóÝúÓöåö Ç [ ãöäó ÇáúÎóíúÑö ]
“Seseorang di
antara kamu belum dikatakan beriman dengan sempurna kecuali jika ia telah
mencintai (kebaikan) saudaranya seperti ia mencintai kebaikannya sendiri.”
Hadits ini
ditakhrij oleh Imam Bukhari (1/11), Imam Muslim (1/49). Juga ditakhrij oleh Abu Awanah di dalam kitab shahihnya
(1/33), Imam Nasa’I (2/27), Imam Tirmidzi (2/84),
Ad-Darimi (2/307), Ibnu Majah (hadits no. 66), Ath-Thayalisi
(hadits no. 2004), Imam Ahmad (3/177, 207,275, dan 278)) dari hadits Anas bin Malik secara marfu’.
Selanjutnya Imam Tirmdizi memberikan komentar:
“Hadits ini shahih.”
Tambahan itu (yang
ada di dalam kurung) milik Abu Awanah, Nasa’I dan Ahmad di dalam hadits mereka yang sanadnya juga
shahih.
Hadits itu mempunyai shahid (penguat) yang berasal dari hadits Ali dengan
redaksi:
“Seorang muslim yang mempunyai hak
yang harus dipenuhi oleh muslim lainnya, yaitu ada empat perkara… Dan
mencintainya seperti mencintai miliknya sendiri, serta menasehatinya secara
samar.”
Hadits ini
ditakhrij oleh Ad-Darimi (2/275-276), Ibnu Majah (1433) dan Imam Ahmad (1/89)
dengan sanad yang dha’if.
Perlu diketahui bahwa tambahan
(“kebaikan”) tersebut sangat tepat, sebab akan
memperjelas arti yang dimaksud. Di samping itu kata tersebut
merupakan kata umum (kata luas), mencakup semua ketaatan dan semua kebaikan
duniawi maupun ukhrawi serta mengeluarkan semua
larangan. Sebab kata “kebaikan” sudah pasti tidak
mencakup amal-amal terlarang. Karena itu moral seorang muslim dikatakan mencapai kesempurnaan apabila ia telah
mampu mencintai kebaikan yang dilakukannya sendiri, demikian juga mampu
membenci keburukan yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun muslim lain. Pemahaman terakhir ini meskipun tidak disebutkan di dalam hadits,
namun merupakan pemahaman yang tercakup di dalamnya. Karena
mencintai sesuatu pasti membenci kebalikannya. Jadi
tidak disebutkannya pemahaman kedua itu hanya untuk
menyederhanakan kalimat, seperti disebutkan oleh Al-Karmani
yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath (1/54)
dan diakui kebenarannya.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |