As-Shahihah Daftar Isi >
KEWAJIBAN BERDZIKIR DAN BERSHALAWAT (74 - 81)
PreviousNext

KEWAJIBAN BERDZIKIR

DAN BERSHALAWAT DIMANAPUN BERADA

 

 

 

۷٤Úóáìٰ äóÈöíøöåöãú ÇöáÇøó ßóÇäó Úóáóíúåö ÊöÑóÉñ ÝóÇöäú ÔóÇÁó ÚóÐóÈóåõãú æóÇöäú ÔóÇÁóÛóÝóÑóáóßõãú

 

“Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa berdzikir dan membaca shalawat atas nabi mereka, pasti mereka akan tertimpa dosa. Allah bisa menyiksa atau mengampuni mereka.”

 

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi (2/242), Imam Hakim (1/496), Ismail Al-Qadhi di dalam Fadhlus-Shalati Alan-Nabi sallallahu alaihi wasallam  (hadits no. 54 cet. Maktab al-Islami), Ibnu Sina di dalam Amalul Yaum Wal Lailat (hadits no.443), Imam Ahmad (2/446,453,481,484,495) dan Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (8/130) dari Sufyan Ats-Tsauri dari Saleh Maula At-Tu’mah dari Abu Hurairah secara marfu’.

 

Imam Tirmidzi berkomentar:

 

“Hadits ini hasan shahih, dan diriwayatkan dari beberapa jalur yang berasal dari Abu Hurairah secara marfu’.”

 

Kemudian Imam Tirmidzi meriwayatkannya dari jalur Abu Ishaq dari Al-Aghar Abu Muslim dari Abu Hurairah dari Abu Sa’id bersama-sama secara marfu’, ia berkata, “mitsluhu (sama)” tetapi ia tidak menyebutkan redaksinya.

 

Perkataannya: “mitsluhu” (sama) mungkin yang dimaksudkannya adalah bahwa hadits Al-Aghar adalah sama dengan haditsnya. Sedangkan Imam Muslim (8/72) dan Ibnu Majah (2/418) telah mentakhrij hadits semisal dengan redaksi:

 

۷٥ ãóÇÌóáóÓó Þóæúãñ ãóÌúáöÓðÇ íóÐúßõÑõæúäó ÇﷲóÝöíúåö ÇöáÇøó ÍóÝøóÊúåõãõ ÇáúãóáÇó ÁöößóÉõ ¡ æóÊóÛóÔøóÊúåõãõ ÇáÑøóÍúãóÉõ ¡ æóäóÒóáóÊú Úóáóíúåöãõ ÇáÓøóßöíúäóÉõ æóÐóßóÑóåõãõ Çﷲõ Ýöíúãóäú ÚóäúÏóåõ .

 

“Beberapa orang duduk-duduk di suatu tempat dengan berdzikir (mengingat Allah), niscaya dilindungi oleh para malaikat. Rahmat-Nya pun akan turun kepada mereka dan ketentraman akan tumbuh di hati mereka. Allah juga akan mengingat mereka sebagai makhluk yang ada di sisi-Nya.”

 

Redaksi hadits itu milik Ibnu Majah dan sebelumnya diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, yang mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”

 

Terhadap perkataannya “mitsluhu”, saya tidak memahaminya secara jelas. Saya sendiri masih ragu apakah hadits itu benar-benar ada di dalam kitab Tirmidzi, meskipun dalam beberapa naskahnya terdapat hadits itu. As-Suyuthi memang menyebutkan hadits itu di dalam Al-Jami’ Ash-Shagir dari riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bersama Abu Sa’id. Penyandarannya terhadap hadits itu kepada Ibnu Majah masih perlu dipertimbangkan. Sebab saya hanya menemukan hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hanya Allah lah yang mengetahui yang sebenarnya.

 

Di dalam kumpulan hadits At-Tirmidzi yang disyarahi, yaitu Tuhfatul Ahwadzi juga tidak terdapat teks itu.

 

Hadits yang diriwayatkannya itu juga diriwayatkan dengan jalur lain dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan redaksi:

 

“…Beberapa orang yang berkumpul di ‘rumah’ Allah dengan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikannya, maka Allah pasti akan menurunkan ketentraman di (hati) mereka...”

 

Hadits selanjutnya sama dengan hadits di atas.

 

Pada redaksi Shaleh Maula At-Tu’mah yang pertama, mengandung ke-dha’if-an karena kerancuan redaksinya. Tetapi ia tidak meriwayatkannya seorang diri. Ada beberapa perawi yang meriwayatkannya, diantaranya Abu Shaleh Dzakwan dengan redaksi:

 

۷٦ ãóÇÞóÚóÏó Þóæúãñ ãóÞúÚóÏðÇ áóãú íóÐúßõÑõæúÇÇÝóíúåö Çﷲó ÚóÒøóæóÌóáøó æóíõÕóáøõæúÇÚóáìٰ ÇáäøóÈöìøö Õóáøóì Çﷲõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇöáÇøó ßóÇäó Úóáóíúåóãú ÍóÓóÑóÉñ íóæúãó ÇáúÞóíóÇãóÉö ¡ æóÇöäú ÏóÎóáõ ÇáúÌóäøóÉõ áöáËøóæóÇÈö

 

“Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa berdzikir dan bershalawat, maka mereka akan menderita kerugian kelak di hari kiamat, meskipun mereka akan masuk surga karena memiliki pahala (keimanannya).”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/463), Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (hadits no.2322), Imam Hakim (1/492) dan Al-Khatib di dalam Al-Faqih Wal Mutafaqqih (237/2) dari jalur Al-A’masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’.

 

Sanad hadits ini shahih. Al-Haitsami dalam hal ini berkomentar: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan perawi-perawi tsiqah (perawi shahih).”

 

Ibnul Jauzy di dalam Minhajul Maqashidin (1/72/2) juga mentakhrijnya, tetapi di dalam sanadnya terdapat kalimat “dari Abu Sa’id Al-Khudri” menggantikan kalimat dari “Abu Hurairah”. Mungkin hal ini merupakan kekeliruan yang dilakukan oleh perawinya.

 

Saya katakan: “Suhail bin Abu Shaleh juga meriwayatkan hadits senada dari ayahnya, dengan redaksi:

 

۷۷ ãóÇãöäú Þóæúãò íóÞõæúãõæúäó ãóäú ãóÌúáöÓò áÇøíóÐúßõÑõæúäó Çﷲó Ýóíúåó ÇöáÇøó ÞóÇãõæú Úóáٰì ãóËóáö ÌöíúÝóÉö ÍöãóÇÑò ¡ æóßóÇäó Úóáóíúåöãú ÍóÓóÑóÉñ íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö .

 

“Orang-orang yang berdiri dari suatu tempat tanpa berdzikir, maka mereka ibarat bangkai himar. Mereka akan merasakan penyesalan kelak di hari kiamat.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4588), Ath-Thahawi (2/367), Abu Asy-Syaikh di dalam Tabhaqatul Ashbariyyin (229), Ibnu Bisyran di dalam Al-Amali (30/6/1 tahun 1927), Ibnu Sina (439), Al-Hakim (1/492), Abu Na’im (2/207) dan Imam Ahmad (2/389, 515, 527). Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria yang dipakai oleh Imam Muslim.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini. Dan memang begitulah adanya.

 

Perawi lain yang meriwayatkan hadits senada Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqabari, dengan redaksi:

 

 ۷۸ãóäú ÞóÚóÏó ãóÞúÚóÏð Çáóãú íóÐúßõÑöÇﷲóÝöíúåö ¡ ßóÇäóÊú Úóáóíúåö ãóäó ÇﷲöÊöÑóÉñ ¡ æóãóäö ÇÖúØóÌóÚó ãóÖúÌóÚðÇ áÇóíóÐúßõÑõÇﷲóÝöíúåö ßóÇäóÊú Úóáóíúåö ãöäó Çﷲö ÊöÑóÉñ .

 

“Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka ia akan mendapatkan kekurangan (dosa) dari Allah. Dan orang tidur di suatu tempat tidur tanpa menyebut nama Allah, maka ia juga akan mendapatkan dosa dari-Nya.”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4856.5059), Al-Humaidi di dalam kitab Musnadnya (hadits no, 1158) pada bagian pertama, dan Ibnu Sina (743) untuk bagian kedua melalui Muhammad bin Ijlan dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqbari.

 

Saya berpendapat: “Sanad hadits ini hasan”.

 

Al-Mundziri di dalam kitabnya At-Targhib (2/235) menyandarkan hadits tersebut kepada Abu Dawud, dengan tambahan:

 

“Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapat dosa dari Allah.”

 

Kemudian ia berkomentar, “Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, An-Nasa’I, dan Ibnu HIbban di dalam kitab shahihnya dengan redaksi yang sama dengan redaksi Abu Dawud.”

 

Mengenai hadits ini saya memberikan dua catatan:

 

Pertama: Tambahan di atas tidak berasal dari Abu Dawud yang menurut Al-Mundziri ada di dalam kitab Abu Dawud. Adapun asal tambahan itu adalah dari Ibnu Hibban (2321). Ia memiliki redaksi berbeda sebagai ganti dari kata “al-idhija”, yaitu:

 

“Seorang yang datang ke tempat tidur tanpa menyebutkan nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya.”

 

Kedua: Sebenarnya Imam Ahmad tidak meriwayatkan hadits itu dengan hadits di atas. Akan tetapi meriwayatkannya dari jalur lain dengan redaksi berikut:

 

Di antaranya dari Abu Ishaq Maula Al-Harits, redaksinya:

 

 ۷۹ ãóÇÌóáóÓó Þóæúãñ ãóÌúáöÓðÇ Ýóáóãú íóÐúßõÑõæúÇÇﷲóÝöíúåö ÇöáÇøó ßóÇäó Úóáóíúåöãú ÊóÑóÉñ ¡ æóãóÇ ãöäú ÇáÑóÌõáò ãóÔٰì ØóÑöíúÞðÇ Ýóáóãú íóÐúßõÑöÇﷲóÚóÒøóæóÌóáøó ¡ ÇöáÇóßóÇäó Úóáóíúåö ÊöÑóÉñ . æóãóÇãöäú ÇáÑóÌõáò Çæóì Çöáìٰ ÝöÑóÔöå Ç Ýóáóãú íóÐúßõÑö Çﷲó¡ ÇöáÇøó ßóÇäó Úóáóíúåö ÊóÑóÉñ .

 

“Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebutkan nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Dan orang yang datang ke tempat tidur tanpa menyebut nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya.”

 

Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/432), Ibnus Sina (375), Al-Hakim (1/550), dari Sa’id bin Abu Sa’id dari Abu Ishaq. Imam Ahmad mengatakan, “…Dari Ishaq.” Sedangkan Imam Hakim mengatakan. “…dari Ishaq bin Abdillah bin Al-Harits,” dan berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat (kriterria) Imam Bukhari.” Sendan Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria Imam Muslim.”

 

Saya berpendapat: Semua itu masih perlu dipertanyakan. Sebab, seandainya yang dimaksud Ishaq ini adalah Ishaq bin Abdillah bin Al-Harits, maka ia bukanlah perawi yang dipakai oleh Bukhari maupun Muslim. Namun ia adalah soerang perawi tsiqah dan haditsnya banyak diambil oleh sebagian besar ulama. Sedang apabila yang dimaksud adalah Abu Ishaq Maula Al-Harits, maka tidak dikenal, seperti yang dinyatakan oleh Adz-Dzahabi. Namun jika yang dimaksud adalah Ishaq saja, maka saya juga tidak mengenalnya. Di dalam Al-Majma’ (10/80) disebutkan:

 

“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Adapun mengenai Abdullah Maulah bin Al-Harits bin Naufal, tidak pernah dinilai tsiqah oleh seroang pun, tetapi juga tidak ada yang men-jarh (menilainya cacat) sedikitpun. Sedang perawi lainnya yang dipakai di dalam salah satu riwayat Imam Ahmad adalah perawi-perawi shahih.”

 

Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar dengan redaksi:

 

۸۰ ãóÇ ãöäú Þóæúãò ÌóáóÓõæúÇãóÌúáöÓðÇ áóãú íóÐúßõÑõÇÇﷲóÝöíúåö ¡ ÇöáÇøó ÑóÇóæúåõ ÍóÓóÑóÉð íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö .

 

“Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka mereka pasti akan melihatnya sebagai suatu penyesalan kelak di hari kiamat.”

 

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (2/124) dengan sanad hasan. Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Perawi-perawinya adalah perawi shahih.”

 

Syahid lain yang sama diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughaffal.

 

Hadits dengan sanad ini juga ditakhrij oleh Ibnudh Dhuraisi di dalam Ahaditsu Muslim bin Ibrahim Al-Farahidi (8/1-2) dengan sanad yang bisa dipakai (La Ba’sa Bihi) untuk matabi’  dan syahid. Imam Thabrani juga meriwayatkannya di dalam Al-Kabir  dan Al-Ausath dengan perawi-perawi shahih. Juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi seperti disebutkan di dalam At-Targhib (juz II hal. 236).

 

Kandungan Hukumnya

 

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang sejenis menunjukkan adanya kewajiban berdzikir dan bershalawat di mana pun berada. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:

 

Pertama: Sabda Nabi: “Allah bisa menyiksa mereka dan bisa mengampuni mereka.” Perkataan semacam ini tidak pernah dipakai kecuali untuk menunjukkan suatu perkara yang wajib dilakukan yang apabila ditinggalkan merupakan suatu kedurhakaan.

 

Kedua: Sabda Nabi: “Meskipun mereka akan masuk surga karena mereka memiliki pahala (keimanan mereka).”

 

Dengan sabda ini jelas bahwa orang yang tidak berdzikir dan bershalawat akan masuk neraka. Sekalipun akhirnya ia bertempat di surga sebagai pahala keimanannya.

 

Ketiga: Sabda Nabi: “Jika tidak, maka mereka akan berdiri seperti bangkai himar.”

 

Tamsil semacam ini merupakan pernyataan bahwa tindakan semacam ini (tidak berdzikir dan bershalawat). Dan hal ini tidak mungkin beliau sinyalir kecuali terhadap hal yang jelas haram. Wallahu a’lam.

 

Oleh karena itu seyogyanya setiap orang muslim memperhatikan hal itu dan jangan sampai tidak berdzikir dan bershalawat dimanapun ia berada. Jika tidak, maka keraguan dan penyesalan lah yang akan diperolehnya kelak di hari kiamat.

 

Al-Manawir di dalam Faidhul Qadir:

 

“Dengan demikian kokohlah ajaran berdzikir dan bershalawat itu dan bisa diperoleh dengan bacaan yang berbeda-beda. Tetapi dzikir yang paling sempurna adalah dengan bacaan berikut ini:

 

“Maha Suci Engkau Ya Allah. Dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Yang pantas disembah) kecuali Engaku. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

 

Sedangkan redaksi shalawat yang paling sempurna adalah seperti yang ada pada bagian ahir tasyahud (tahiyyat).”

 

Saya berpendapat: Dzikir yang disebutkan di atas itulah yang dikenal dengan Kaffaratul Majlis. Mengenai itu ada beberapa hadits yang menjelaskannya. Berikut ini saya sebutkan hadits yang terlengkap, yaitu:

 

۸١- ãóäú ÞóÇáó : ÓõÈúÍóÇäó ÇﷲöæóÈöÍóãúÏöå ¡ ÓõÈúÍóÇäóßó Çááøåõãøó æóÈöÍóãúÏößó ¡ ÇóÔúåóÏõ Çóäú áÇóÇöáٰåó ÇöáÇøó ÇóäúÊó ¡ ÇóÓúÊóÛúÝöÑõßó æóÇóÊõæúÈõ Çöáóíúßó ¡ ÝóÞóÇáóåóÇ Ýöì ãóÌúáöÓö ÐößúÑò ¡ ßóÇäóÊú ßóÇáØøóÇÈöÚö íóØúÈóÚõ Úóáóíúåö æóãóäú ÞóÇáóåóÇ Ýöì ãóÌúáöÓö áóÛúæò ¡ ßóÇäóÊú ßóÇÝóÑóÉó áóåõ .

 

 

“Orang yang berdo’a: Maha Suci Allah. Dan senantiasa memuji kepada-Nya. Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu (pula). Lalu ia mengucapkan doa itu di tempat dzikir, maka ia tak ubahnya seperti tukang cetak yang membubuhkan mesin cetaknya. Dan barangsiapa membacanya di tempat omong kosong, maka doa itu akan menjadi kaffarat (pelebur dosa baginya).

 

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ath-Thabrani (1/79/2) dan Imam Hakim (1/573) melalui Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya secara marfu’. Imam Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuati dengan syarat Imam Muslim.” Sedang Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini.

 

Al-Mundziri (2/236) menyandarkan hadits itu kepada Imam Nasa’I dan Imam Ath-Thabrani serta berkomentar. “Perawi-perawi yang dipakai oleh keduanya adalah perawi-perawi shahih.”

 

Sedangkan Al-Haitsami (10/142, 423) berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani. Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih.

 

Saya berpendapat: Imam Ath-Thabrani di dalam riwayatnya yang lain memiliki tambahan: “…yang diucapkannya tiga kali…” Mengenai tambahan itu Al-Haitsami tidak berkomentar. Hadits itu memang tidak baik (jayyid). Sebab di dalam hadits (yang memuat tambahan) itu terdapat Khalid bin Yazid Al-Umari yang oleh Abu Hatim dan Yahya dinilai pembohong. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh perawi-perawi maudhu’ (pendusta atau pernah berdusta dalam meriwayatkan hadits).”

 

Dengan demikian hadits itu dha’if dan tidak bisa dipakai.

 

 

****

 

   

 

 

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com