KESABARAN
MENGHADAPI COBAAN
١٧.
Ησδψσ ΗαδψσΘφμψσ Ηααψεφ ΗσνψυΔΘσ Υσαψσμ Ηααψευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ ασΘφΛσ
Θφεφ ΘσαΗσ ΑυΔευ ΛσγσΗδσ ΪσΤσΡσΙσ ΣσδσΙπ , έσΡσέσΦσευ ΗϊαήσΡφνϊΘυ ζσΗϊαΘσΪφνϊΟυ
ΗφαΗψσΡσΜυασνϊδφ γφδϊ ΗφΞζσΗδφε ίσΗδσΗνσΫϊΟζσΗδφε Ηφασνϊεφ ζσνσΡυΔΝσΗδφ
,έσήσΗασ ΗσΝσΟυευγσΗ αφΥσΗΝφΘφε ΠσΗΚσ νσΔγς : ΚσΪϊασγυ ζσΗααψεφ ασήσΟϊΗσΠϊδσΘσ
ΗσνψυΔΘυ ΠσδϊΘπΗγσΗΗσΠϊδσΘσευ ΗσΝσΟρ γφδσ ΗϊαΪσασγφΣϊδσ , έσήσΗασ ασευ
ΥσΗΝφΘυευ :,, ζσγσΗΠσΗίσ Ώ ,, γυδϊΠυ ΛσγσΗδσ ΪσΤσΡσΙσ ΣσδσΙπ ασγϊ νσΡϊΝσγϊευ
Ηααψευ έσΣσίϊΤφέυ γσΗΘφε ,έσασγψσΗΡσΗΝσΗΗφαμ ΗσνψυΔΘσ ασγϊ νσΥϊΘφΡφΗαΡψσΜυαυ
ΝσΚψμ ΠσίσΡσΠσαφίσ ασευ , έσήσΗασ ΗσνψυΔΘυ : αΗσ ΗσΟϊΡφμϊ γσΗΚσήυΔαΗσδφ ΫσνϊΡσ
Ησδψσ Ηααψεσ ΚσΪσαμ νσΪϊασγυ Ησδψφμ ΗσγυΡυ ΘφΗΗαΡψσΜυασνϊδφ νσΚσδσΗΠσΪσΗδφ ,
έσνσΠϊίυΡσΗδφ Ηααεσ έσΗσΡϊΜφΫυ Ηφαμ ΘσνϊΚφμ έσΗυίσέψφΡσ ΪσδϊευγσΗ ίσΡσΗεφνσΚσ
Ησδϊ νσΠϊίυΡσΗααψεσ ΗφαΗψσ έφμ Νσήψςς : ήσΗασ : ζσίσΗδσ νσΞϊΡυΜϊ Ηφαμ ΝσΗΜσΚφε
έσΗΠσΗήσΦ ΝσΗΜσΚσευ ΗσγϊΣσίσΚϊευ ΗσγσΡσΗΚυευ ΘφνσΟφε ΝσΚψμ νσΘϊαυΫσ , έσασγψσΗ
ίσΗδσ ΠσΗΚσ νσΔγσ ΗΘϊΨσΓψ ΪσασνϊεσΗζσΗσΔΝσμ Ηφαμ ΗσνψυΔΘσ : -( ΗΡίΦ ΘφΡσΜυαφί εٰΠσΗ
γυΫϊΚσΣσαρ ΘσΗΡφΟρ ζΤσΡσΗΘρ ) έσΗΣϊΚσΘϊΨσΓΚσευ έσΚσασήϊΚσευ ΚσδϊΩυΡυ ζσήσΟϊ ΓσήϊΘσαϊ
ΪσασνϊεσΗ ήσΟϊ ΓσΠϊεσΘσ Ηααευ γσΗ Θφεφ γφδσ ΗαϊΘσαΗσΑφ ζσευζσ ΓσΝϊΣσδυ γσΗ ίσΗδσ
έσασγψσΗ ΡσΓσΚϊευ ήσΗασΚϊ Γσνϊ ΘσΗΡσίσ Ηααευ έσνίσ εσαϊ ΡσΓσνϊΚσ δφσΘνψσ Ηααεφ
εٰΠσΗ ΗαϊγυΘϊΚσαφμ ζσΗααεφ Ϊσαٰμ Πٰαφίσ γσΗ ΡσΓσνϊΚυ ΓσΤϊΘσευ
γσδϊίσ ΕφΠσ ίσΗδσ ΥσΝφνϊΝσΗ έσήσΗασ έσΕφδψσν ΓσδσΗ ευζσ ζσίσΗδσ ασευ ΓσδϊΟσΡσΗδφ
( Γσνϊ ΘσνϊΟσΡσΗδφ ) ΓσδϊΟσΡρ αφαϊήυγϊΝφ ζσΓσδϊΟσΡρ ααΤψσΪφνϊΡ έσΘσΪσΛσ Ηααε ΣσΝσΗΘσΚσνϊδφ
έσασγψσΗ ίσΗδσΚϊ ΕφΝϊΟσΗευγσΗ Ϊσαٰμ ΓσδϊΟσΡφ ΗαϊήυγϊΝφ ΓσέΡΫΚ έφνεφ ΗαΠψσεσΘσ
ΝσΚμψٰ έσΗΦσ ζσΓέΡΫσΚϊ ΗϊαΓυΞϊΡσμ έσν ΓσδϊΟσΡφ ΗαΤψσΪφνϊΡφ ΗαϊζσΡσήσ ΝσΚμψٰ
έσΗΦσ .
“Nabi Ayyub u. terkena cobaan selama delapan belas tahun. Seluruh keluarga dekatnya
maupun yang jauh menjauhinya, kecuali dua orang saudaranya. Keduanya selalu
mendatangi dan menghiburnya. Suatu ketika salah seorang di antara mereka
berkata kepada kawannya: ”Katakanlah kawan demi Allah sungguh Ayyub telah
melakukan dosa yang belum pernah diperbuat oleh seorang pun.“ Lalu kawannya
bertanya: ”Dosa apa itu?“ Ia menjawab: ”Selama delapan belas tahun, Allah tidak
memberi belas kasihan kepadanya, lalu Allah menghilangkan penderitaannya.“
Tatkala keduanya menghadap Nabi Ayyub, salah seorang di antara mereka tidak
sabar, dan menceritakan apa yang dikatakan oleh kawannya. Lalu Nabi Ayyub
menjelaskan:”Saya tidak mengerti apa yang kalian berdua katakan, hanya Allah
mengetahui bahwa saya telah memerintahkan kepada dua orang yang sedang cekcok
untuk berbaikan, lalu keduanya menyebut Allah (Mendengar itu) kemudian saya
kembali ke rumah dan membenci keduanya, karena saya tidak suka mereka menyebut
Allah, kecuali dalam perkara yang haq (benar).“ Perawi melanjutkan, suatu
ketika Ayyub keluar untuk memenuhi hajatnya. Jika ia ingin memenuhi
kebutuhannya, biasanya ia dipapah oleh isterinya hingga sampai di tempat. Suatu
hari ia memenuhi hajatnya agak lama (lambat), ternyata ia diberi wahyu
(perintah): (Allah berfirman): ”Hantanmkanlah kakimu, inilah air yang sejuk
untuk mandi dan untuk minum. (Shaad : 42). Sedang isterinya itupun tetap
(sabar) menantinya. Tatkala isterinya itu menyambutnya ia melihat bahwa Ayyub
telah pulih dari penyakitnya. Ayyub terlihat lebih ganteng dari semula. Ketika
itu si isteri segera berkata: ’Wahai suamiku, semoga Allah memberi berkah
kepadamu. Saya belum pernah melihat (mengetahui) ada seorang nabi yang diuji
seperti ini.’ Kemudian Ayyub berseru: ”seperti inilah aku.“ Sementara Ayyub
juga mempunyai dua tempat menumbuk biji, satu untuk biji gandum dan yang
satunya lagi untuk terigu. Lalu Allah mengutus dua gerombol awan. Tatkala salah
satu awan itu berada tepat diatas tempat menumbuk biji gandum, maka ia
mengucurkan emas ke dalamnya hingga meluap, sedang awan lainnya mengucurkan
perak pada tempat menumbuk biji terigu.“
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya
(176/1-177/1) dan Abu Na’om di dalam Al-Hilayah
(3/374-375) dari dua jalur yang berasal dari Sa’id bin Abi Maryam yang
diperoleh dari Nafi’ bin Zaid dari Uqail dari Ibnu Syihab dan Anas bin Malik
secara marfu’. Selanjutnya Abu Ya’la
berkata:
”Hadits ini gharib dari hadits Zuhri. Tidak ada yang
meriwayatkan darinya kecuali Uqail. Sedang semua perawi disepakati adil
(konsisten di dalam menjauhi larangan-larangan syari’at), hanya Nafi’ yang
kurang mendapatkan kesepakatan dalam keadilannya.“
Namun saya
tetap berpendapat bahwa Nafi’ adalah tsiqah
seperti dikatakan oleh Imam Muslim. Dan Imam Muslim juga menyampaikan
haditsnya. Adapun perawi-perawi yang lain adalah perawi-perawi yang dipakai
oleh Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu hadits ini adalah shahih. Penilaian yang sama juga diberikan oleh Adh-Dhiya’
Al-Maqdisi, sehingga ia juga menyampaikannya di dalam Al-Mukhtarah (220/2-221/1). Sementara itu Ibnu Hibban juga meriwayatkan di dalam kitab shahih-nya (2091), dari Ibnu Wuhaib yang
diberi riwayat oleh Nafi’ bin Zaid.
Hadits ini
termasuk hadits yang membatalkan (menggugurkan) hadits yang ada di dalam Al-Jami’ush-Shaghir dengan redakisi:
”Allah menolak menjadikan
bala’(cobaan/ujian) sebagai penguasa bagi hambaNya yang mukmin.“
Penjelasan
mengenai hal ini akan saya sampaikan ketika menjelaskan hadist-hadits dha’if, insya Allah.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |