ETIKA
NABI SAAT PERPISAHAN
Bab ini memuat tiga hadits, yaitu:
Pertama: Dari Ibnu Umar
t. yang mempunyai beberapa sanad, diantaranya:
۱٤
- . ÇóÑúÓóáóäöì ÇÈúäõ ÚõãóÑó Ýöì ÍóÇÌóÉò ÝóÞóÇáó :
ÊóÚóÇáú ÍóÊøì ÇóÄÏóÚóßó ßóãóÇæóÏóÚóäöì ÑóÓõÄáõ Çááøåö Õóáøóì Çááøåõ Úóáóíúåö
æóÓóáøóãó æóÇóÑúÓóáóäöìú Ýöì ÍóÇÌóÉò áóåõ ÝóÞóÇáó : ,, ÇóÓúÊóÄÏöÚõ Çááøåó
Ïöíúäóßó æóÇóãóÇäóÊóßó æóÎóæóÇÊöíúãó Úóãóáöß ,,
Dari Quza’ah ia berkata: ”Ibnu Umar t. mengutusku untuk suatu keperluan.
Lalu ia berkata: ’Kemarilah aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu,
sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi r. kepadaku ketika beliau mengutusku
untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan:
”Aku menitipkan agamamu, umatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada
Allah.“
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (no : 2600), Imam Hakim (2/97), Imam Ahmad
(juz 2/25, 38 dan 136), dan Imam Abu Asakir (14/290/2 dan 15469/1), diperoleh
dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza’ah.
Perawi-perawinya
tergolong tsiqah (konsisten terhadap
ajaran Islam dan kuat ingatannya) tetapi ada yang diperselisihkan, yaitu
Abdulaziz. Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi
sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan
Quza’ah. Orang yang dimaksud tersebut adalah Ismail bin Jarir, namun sementara
Ulama juga ada yang menyebutnya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh
Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda- beda. Adapun Al-Hafizh
Ibnu Hajar di dalam kitabnya At-Taqrib
mengatakan: ”Yang benar adalah Yahya bin Ismail.“
Saya
berpendapat bahwa hadits itu adalah dha’if
, tetapi kemudian menjadi kuat karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat
Ibnu Asakir terdapat matan sebagai
berikut:
Sebagaimana Rasulullah r. mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja.
Setelah itu ia mengucapkan: (ia mengucapkan seperti kalimat hadits di atas).
Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu
Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian: ”Izinkan aku
mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi r mengucapkannya
kepadaku, lalu ia berucap (seperti kalimat pada hadits yang pertama).“
Hadits ini
ditakhrij oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Bulaq), Imam Ahmad (2/7), dan Abdul
Ghani Al-Maqdisy di dalam juz 63 (41/1), dari Sa’id bin Khutsaim dari Hanzalah
yang dikutip dari Salim. Imam Tirmidzi berkomentar: ”Hadits ini statusnya
adalah hasan shahih gharib (ada di
antara ketiga status tersebut), yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh
Salim.“
Saya berpendapat:
”hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa’id masih
dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya (1/442 dan 2/97)
dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin
Abu Sofyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan:
”Saya berada di
samping Ibnu Umar.
Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata: ”Saya
hendak pergi.” Lalu Ibnu Umar berkata: “Tunggulah, aku akan
mengucapkan selamat jalan kepadamu: (Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits
pertama).”
Imam Hakim berkomentar: “Hadits ini
statusnya shahih menurut syarat Bukhari-Muslim.” Penialian ini disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap
gharib
(Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang
menyendiri, baik di dalam keberadaan sifat maupun keadannya)
hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah, karena
dua orang perawi tsiqah,
yaitu Ishak n Sulaiman dan Al-Walid
bin Muslim, yang berbeda dengan Ibnu Khatsaim, sebab
Ibnu Khatsaim meriwayatkannya
dari Handzalah dari Salim,
sedangkan kedua perawi tsiqah
tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoleh
dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Salim.
Dan inilah nampaknya yang lebih shahih.
Abu Ya’la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya (2/270), dari jalur Al-Walid
bin Muslim saja.
Dari Mujahid, yang menceritakan:
“Saya dan seorang laki-laki pergi ke
Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah Ibnu Umar. Tatkala akan
berpisah ia berkata: ”Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan
kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah r. bersabda: ”Jika ia (musafir)
menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah-mudahan Allah berkenan menjaganya.
Dan saya menitipkan agamamu, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah I.“
Hadits dengan
riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (2376) dengan
sanad yang shahih.
Dari Nafi’
dikutip dari Mujahid yang menuturkan:
”Apabila Rasulullah r.
menginggalkan seseorang,
maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan
melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri
yang melepaskannya, dan beliau berkata (kemudian perawi menyebutkan ucapan
selamat tinggal seperti hadits yang pertama).”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Balaq) yang menilainya gharib.
Saya berpendapat,
bahwa yang dimaksudkan oleh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha’if dari segi
jalur (sanad) ini. Hal itu bisa demikian karena hadits
itu diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abdurrahman bin Zaid
bin Umayyah dari Nafi’. Padahal Ibrahim ini tidak dikenal (majhul).
Tetapi Ibrahim tidak meriwayatkan
hadits ini seorang diri, namun ada perawi lain yang juga meriwayatkannya,
yaitu Ibnu Mahah (2/943 nomor 2826), yang diperoleh
dari Ibnu Abi Laila dari Nafi’. Akan
tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya.
Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. Ia tidak
menyebutkan ceita tentang berjabat tangan.
Hadits kedua dari Abdullah Al-Khathami yang menceritakan:
۱٥ -. ÇóáÍóÏöíúËõ
ÇúáËøóÇäöìú : Úóäú ÚóÈúÏöÇááøåö ÇúáÎóÊöãöìøö ÞóÇáó : ,, ßóÇäó ÇáäøóÈöìøó Õóáøì
Çááøåõ Úóáóíúåö æó ÇáÓóáøóãó ÇöÐóÇÇóÑóÇÏó Çóäú íóÓúÊóÄÏöÚó ÇáúÌóíúÔó ÞóÇáó :
ÝóÐóßóÑóåõ.
“Adalah Rasulullah
r.
apabila hendak meninggalkan tentaranya, bersabda:
(kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan
oleh Nabi r. seperti pada hadits pertama).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Sina di dalam Amalul-Yaum
wal-Lailah (nomor : 498)
dengan sanad yang shahih menurut Muslim.
Hadits ketiga dari Abu Hurairah yang
memberitakan:
Çóäú ÇáäøóÈöìøó Õøáøì
Çááøåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇöÐóÇÇóÄÏóÚó ÇóÍóÏóÇ ÞóÇáó : ÝóÐóãóÑóåõ .
“Rasulullah r
jika meninggalkan seseorang beliau bersabda: (sebagaimana kalimat pada hadits
pertama).”
Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/358); dari Ibnu Labai’ah yang mengutip dari Al-Hasan bin Tsauban dari masa Ibnu Wirdan
yang diperolehnya dari Abu Hurairah.
Saya berpendapat,
bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya saja Ibnu Labai’ah agak buruk hafalannya.
Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai
oleh Al-Laits bin Sa’ad dan
Sa’id bin Abi Ayyub yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan:
“Aku akan
menitipkan kepada Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan barang titipan-Nya.”
1)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih
dan sanadnya jayyid (shahih). Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (403/1).
Saya juga melihat, bahwa Ibnu Labai’ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama
dengan riwayat yang ditakhrij oleh Ibnu Sina (nomor : 501) dan Ibnu Majah (2/943, nomor: 2825). Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang
pertama.
Faedah-faedah Hadits
Dari hadits yang shahih ini dapat
diambil beberapa faedah:
1.
Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan
kalimat yang telah berlaku, yaitu:
ÃÓÊæÏÚ Çááøå Ïíäß
æÇãÇäÊß æÎæÇÊíã Úãáß
Atau
ÃÓÊæÏÚßã Çááøå ÇáÐì áÇ ÊÖíÚ æÏÇäÚå
2.
Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada
banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya al-akhdzu
bi-yudi memegang tangan atau memegangnya. Di dalam Lisanul
Arab disebutkan: Kata al-mushafahah berarti
menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata al-tashafuh.
Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang
menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya
saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah
(ketika bertemu). Kata ini merupakan tindakan menempelkan telapak tangan
seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan
berhadap-hadapan.
Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan hadits
tersebut, seperti hadits marfu’ yang
diriwayatkan oleh Hudzaifah:
۱٦
-. Çöäøó ÇáúãÁúæãöäó
ÇöÐóÇáóÞöìó ÇáúãõÁúæ ãöäó ÝóÓóáøóãó Úóáóíúåö æðÇóÎóÖø ÈöíóÏöå ÝóÕóÇÝóÍóåó
ÊóäóÇËóÑóÊú ÎóØóÇíóÇ åõãóÇ ßóãóÇ ÊóäóÇ ËóÑóÊú æóÑóÞõ ÇáÔøóÌóÑö
“Jika seorang mukmin bertemu dengan
orang mukmin lainnya, lalu mengucapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu
akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran.”
Sementara itu Al-Mundziri (3/270) berkomentar: “Imam Thabrani
meriwayatkan hadits ini di dalam ‘Al-Ausath’,
dan sepengetahuan saya perawi-perawinya tidak ada yang jahr
(cacat).
Saya berpendapat,
hadits ini mempunyai beberapa syahid (hadits penguat)
yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadist yang diriwayatkan oleh Anas
di dalam kitabnya Al-Mukhtarah
(nomor : 240/1-2). Al-Mundziri
menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya.
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam
berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh bebetapa Syaikh, yakni berjabat
tangan dengan menggunakan dua tangan adalah menyelisihi
sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail.
3.
Berjabatan tangan juga dianjurkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi r.:
“Merupakan
kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan.”
Hadits ini dilihat
dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan
judul tersendiri tentang pembahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi
setelah saya teliti ternyata sanadnya dha’if
dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu
saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsiasul-Ukhra
(Rangkaian hadits yang lain) (1288).
Adapun mengenai pengambilan dalil
pembuktian kebenaran tentang disyariatkannya salam
ketika berpisah adalah sabda Nabi r.:
“Jika salah seorang di antara kalian
memasuki masjid, maka ucapkanlah salam.
Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah
salam. Salam yang pertama adalah lebih utama dari salam
yang kedua.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama yang
mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah
adalah bid’ah, sama sekali tidak mempunyai dalil.
Memang, orang-orang yang berpendapat mengenai adanya hadits-hadits yang
mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat
daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya
akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari’atkannya
berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika
berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yanga pertama adalah sunnah,
sedangkan yang kedua adalah anjuran (mustahabbah).
Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid’ah, sama
sekali tidak mempunyai dasar.
Adapun berjabatan tangan selepas shalat
adalah bid’ah.
Hal ini tidak diragukan lagi, kecuali antara dua orang yang tidak pernah
bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi ini berjabatan
tangan memang disunnahkan.1)
****
________________________________
1) Hal ini telah ditulis oleh Imam Izzuddin
Ibnu Abdissalam. Insya Allah saya akan memaparkan
pendapatnya pada risalah saya yang keempat, dari Tanfidul Ishabah.
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |