LARANGAN MENCIUM
KETIKA BERTEMU
١٦٠ – áÇó ¡ æóáÇó ßöäú ÊóÕóÇÝóåõæúÇ ¡ íóÚúäöì
áÇóíóäúÍóäöìú áöÕóÏöÞöåö æóáÇó íóáúÊóÒöãõåõ ¡ æóáÇó íõÞóÈöøáõåõ Íöíúäó íóáúÞóåõ
.
“Tidak, tetapi bersalam-salamanlah. Yakni tidak
membungkukkan diri pada temannya, tidak memeluknya dan tidak menciumnya ketika
bertemu dengannya.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi (2/121), Ibnu Majah (3702), Al-Baihaqi
(7/100) dan Imam Ahmad (3/198) dari beberapa jalan yang berasal dari Handzalah
bin Abdullah As-Sudusi, dia memberitahukan, “Telah bercerita kepadaku Anas bin
Malik, dia mengisahkan: “Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, salah
seorang kami menjumpai temannya, apakah dia mesti membungkuk kepadanya?” “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu
memeluknya dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Dia bertanya lagi, “Lalu bersalaman dengannya?” Beliau menjawab, “Ya, Insya Allah.”
Lafazh
Ibnu Majah juga seperti ini, hanya saja di situ terdapat: “Tidak, tetapi
bersalam-salamanlah.”
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf Al-Furyabi dalam Ma-Asnada
Ats-Tsauri (1/46/2), Abubakar Asy-Syafi’i dalam Al-Awaid (1/97) dan dalam Ar-Ruba’iyyat (1/93/2),
Al-Baghindi dalam Hadits Syaiban wa ghairihi (191/1), Abu Muhammad Al-Mukhalladi dalam Al-Fawaid
(2/236), Adh-Dhiya Al-Muqaddasi dalam Al-Mushafahah (32/2) dalam Al-Muntaqi
Min Masmu’athihi bi Marwin (28/2), mereka semua dari Handzalah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
Saya berpendapat: Hadits ini memang
seperti yang dikatakan At-Tirmidzi atau bahkan lebih tinggi. Semua
perawinya tsiqah kecuali Handzalah. Mereka menilainya
lemah. Tetapi tidak menuduhnya salah. Bahkan
Yahya Al-Qaththan dan lainnya
menyebutkan bahwa hadits itu tercampur. Namun ada hadits lain yang mengukuhkannya bahkan ada pula hadits-hadits lain
yang mengikutinya dan seklaigus menguatkannya. Saya menemukan tiga orang yang
mengikutinya:
Pertama: Syu’aib bin Al-Habbab.
Hadits ini dikeluarkan oleh Adh-Dhiya
dalam Al-Muntaqi (87/2) dari jalur Abi.
Sementara Bilal Al-Asy’ari
memberitahukan pula, “Telah bercerita kepadaku Qais bin Ar-Rabi’ dari Hisyam
bin Hisan dari Syu’aib. Hanya saja dia menyebutkan kata as-sujud
sebagai ganti al-iltizam (memeluk).”
Hadits ini sanadnya hasan sebagai
hadits matabi’ (hadits yang mengikuti periwayatan perawi lain). Karena Qais bin Ar-Raba’ adalah orang yang dipercaya. Tetapi
dia berubah ketika lanjut usia. Sedangkan Abu Bilal
Al-Asy’ari, namanya adalah Mardas dan dia dinilai lemah oleh Ad-Daruquthni. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar orang-orang tsiqah.
Sedangkan dua orang lainnya yaitu Hisyam bin Hisan dan Syu’aib, keduanya adalah
tsiqah dan termasuk perawi-perawi Asy-Syaikhain (Bukhari-Muslim).
Hadits matabi’
ini juga dikeluarkan oleh Abul Hasan Al-Mazakki, seperti telah disebutkan oleh
Ibnul Muhib dalam Ta’liq-nya dalam Kitabul Mushafahah dimana saya
menukilnya pula.
Kedua: Katsir bin Abdullah, dia
menceritakan. “Aku mendengar cerita Anas bin Malik, namun dia tidak menyebutkan
“membungkuk” dan “memeluk”.
Hadits itu dikeluarkan oleh Ibnu
Syahin dalam Ruba’iyyahti (72/2), “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin
Zahir, dia memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Mukhallid bin Muhammad,
dia berkata, “Telah bercerita kepadaku Katsir bin Abdullah.”
Katsir adalah dha’if
seperti dikatakan oleh Ad-Daruquthni. Sedangkan Adz-Dzahabi mengatakan:
“Aku tidak melihat riwayatnya itu dalam keadaan mungkar sekali. Bahkan Ibnu Adi telah meriwayatkannya dalam lebih dari sepuluh
haditsnya, namun kemudian mengatakan, “Dalam sebagian riwayatnya ada sesuatu
yang tidak terjamin.”
Saya berpendapat: Insya Allah ada
hadits lain yang juga mendukungnya.
Ketiga: Al-Mahlab bin Abi
Shufrah dari Anas secara marfu’ dengan lafazh:
áÇóíóäúÍóäöì
ÇáÑøóÌõáõ áöáÑøóÌõáö ¡ æóáÇóíõÞóÈöøáõ ÇáÑøóÌõáõ ÇáÑøóÌõáö ¡ ÞóÇáõæúÇ íõÕóÇÝöÍõ
ÇáÑøóÌõáõ ÇáÑøóÌõáõ ¿ ÞóÇáó : äóÚóãú .
“Janganlah
seseroang membungkuk kepada seseroang, janganlah pula seseorang mencium kepada
seseorang. Mereka bertanya, “Seseorang bersalaman kepada seseorang?” Dia
mejawab, “Ya/”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Adh-Dhiya dalam Al-Muntaqi (23/1) dari jalur Abdulaziz bin Aban,
“Telah bercerita kepadaku Ibrahim bin Thuhman, dari Al-Mahlab.”
Saya
berpendapat: Al-Mahlab adalah termasuk pemimpin yang jujur, seperti keterangan
dalam At-Taqrib. Hanya saja sanadnya lemah, sebab Abdulaziz Aban adalah matruk
(diabaikan haditsnya) dan dipandang dusta oleh Ibnu Ma’in maupun lainnya,
seperti dikatakan pula oleh Al-Hafizh, sehingga hadits ini tidak bisa
mendukungnya. Tetapi hadits-hadits pendukung sebelumnya telah
cukup untuk menguatkan hadits tersebut. Hal ini telah
diakui oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (367) yang menyinggung tentang
At-Tirmidzi yang menilai hadits itu hasan. Dari situ kita tahu bahwa
Al-Baihaqi yang mengatakan: “Handzlah menyendiri dalam meriwayatkan,” adalah
tidak benar. Wallahu a’lam.
Jika kita telah tahu demikian, maka dalam hal ini terdapat
sanggahan terhadap orang yang mempermasalahkan hadits itu.1) Dia
menulis sebuah buku kecil I’lamun Nabil bi Jawazit Taqbil. Dalam buku tersebut dia memuat beberapa hadits tentang mencium,
baik itu hadits yang shahih maupun yang tidak shahih. Kemudian ia juga memuat hadits itu dan menilainya sebagai hadits yang
lemah, karena ada Handzalah. Mungkin dia tidak melihat
beberapa hadits mutabi’ yang mendukungnya. Lalu
dia menakwilkannya bahwa boleh saja jika hal yang mendorong untuk mencium itu
adalah berupa sesuatu yang membawa kemaslahatan dunia, seperti kekayaan,
kedudukan atau kepemimpinan. Sungguh ini penakwilan
yang salah. Karena para sahabat bertanya kepada Nabi r tentang mencium itu, yang
dimaksudkan adalah bukan seperti yang diduga tersebut, tetapi adalah mencium
sebagai suatu penghormatan, sebagaimana mereka juga bertanya kepada Nabi r tentang membungkukkan badan dan
bersalaman. Semua itu yang mereka maksudkan adalah sebagai penghormatan.
Namun semua itu bagi mereka tidak diperbolehkan kecuali
sekedar bersalaman saja. Lalu apakah bersalaman itu
juga untuk tujuan dunia? Jelas tidak.
Yang benar adalah, bahwa hadits itu
adalah merupakan suatu nash yang jelas mengenai tidak
dianjurkannya mencium ketika bertemu. Dalam hal ini tidak
termasuk mencium anak-anak dan isteri, seperti yang telah dimaklumi.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi r juga pernah mencium sebagian sahabat dalam beberapa
kesempatan yang berbeda, seperti halnya beliau mencium dan memeluk Zain bin
Haritsah ketika datang di Madinah, mencium dan memeluk Abi Al-Haitsam Ibnu
Tihan dan lain-lainnya, maka jawabannya dapat ditinjau dari beberapa segi:
Pertama: Bahwa hadits-hadits
itu adalah mu’lulah (mengandung cacat) tidak dapat dijadikan pegangan.
Insya Allah kami akan membicarakan hal ini dan
menerangkan ‘illat-‘illatnya.
Kedua: Seandainya hadits-hadits
itu benar, toh tidak boleh dipertentangkan dengan hadits shahih ini. Karena
perbuatan Nabi r dimungkinkan sebagai sifat khususiyah bagi
beliau atau alasan lain yang sudah barang tentu tidak
bisa dijadikan alasan untuk membantah hadits ini. Karena
hadits ini berupa qauli (ucapan) dan khithabnya bersifat umum ditujukan
kepada seluruh umat. Jadi hadits ini merupakan
pegangan bagi mereka. Dalam kaidah ushul telah
ditetapkan, bahwa ucapan harus diutamakan daripada perbuatan manakala terjadi
pertentangan, demikian pula peringatan (larangan) lebih didahulukan daripada
membolehkan. Sedangkan hadits ini adalah berupa ucapan
dan larangan. Maka dia harus didahulukan daripada
hadits-hadits lain tersebut meskipun shahih.
Demikian pula saya
katakan bahwa soal membungkukkan badan dan berpelukan itu tidak dianjurkan,
bahwa hadits tersebut telah melarangnya. Akan tetapi Anas
memberitahukan:
“
Hadits ini
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-Ausath.
“
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adab
Al-Mufrad (970) dan Imam Ahmad (3/495) dari Jabir bin Abdullah yang
mengisahkan:
”Telah sampai kepadaku suatu cerita
dari seorang lelaki, ia mendengarnya dari Rasulullah r. Lalu aku membeli onta, kemudian
mengukuhkan kepergianku. Selanjutnya aku menuju kepada
lelaki itu. Ternyata dia Abdullah bin Unais. Selanjutnya aku meminta
kepada penjaga pintu: “Katakanlah kepadanya, Jabir di pintu/” Dia bertanya,
“Ibnu Abdullah?” Aku bilang, “Ya.” Kemudian
ia keluar sambil merendahkan pakaiannya, lalu dia memelukku, aku memeluknya.”
Al-Hadits.
Sanad hadits ini
hasan, seperti dikatakan oleh Al-Hafizh (1/190). Sementara
Al-Bukhari juga menyatakan demikian.
Mungkin juga
dikatakan bahwa berpelukan sewaktu bepergian adalah merupakan sesuatu yang
dikecualikan dari larangan tersebut, karena para sahabat melakukan hal itu.
Dan dengan demikian ada kemungkinan sebagian dari
hadits-hadits terdahulu itu adalah shahih. Wallahu
a’lam.
Soal mencium tangan, telah pula
disinggung oleh banyak hadits dan atsar, yang menunjukkan hal itu bahwa memang
ada dari Rasulullah r Sehingga
boleh mencium tangan orang alim, manakala memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Hendaknya hal itu tidak menjadi tradisi
atau kebiasaan. Dimana seorang alim akan mengulurkan
tangannya kepada murid-muridnya dan mereka akan menciumnya untuk mengambil
berkah. Memang Nabi r pernah dicium tangannya akan tetapi hal itu
jarang sekali. Dan jika demikian halnya, maka sesuatu itu tidak boleh dijadikan
sebagai sunnah yang berterusan. Seperti hal ini telah
dimaklumi dalam kaidah fiqhiyah.
2. Hendaknya hal itu tidak menimbulkan
kesombongan orang alim atas lainnya, dan dia pongah terhadap dirinya sendiri,
seperti yang banyak terjadi pada sebagian guru pada saat ini.
3. Hendaknya hal itu tidak justru
mengaburkan sunnah yang telah dimaklumi, seperti bersalaman, dimana ia memang
dianjurkan melalui perbuatan dan ucapan Nabi r Bahkan bersalaman itu dapat mengugurkan dosa-dosa,
seperti yang telah diriwayatkan oleh banyak hadits. Jadi tidak boleh
mengabaikannya karena suatu perkara.
١٦١ - ÇöÐúåóÈú ÝóæóÇÑö ÃóÈóÇßó ( íÚäí ÚáíÇ
ÑÖí Çááå Úäå ) . ÞóÇáó ( áÇó ÃõæóÇÑöíúåö ) ( Åöäøóåõ ãóÇÊó ãõÔúÑößðÇ ) . ( ÝóÞóÇáó
ÇÐúåóÈú ÝóæóÇÑöåö ) Ëõãøó áÇó ÊõÍóÏøöËóäøó ( ÍÏËÇ ) ÍóÊìøٰ ÊóÃúÊöíóäöíú .
ÝóÐóåóÈúÊõ ÝóæóÇÑóíúÊõåõ æóÌöÆúÊõåõ ( æóÚóáóí ÃóËóÑö ÇáÊøõÑóÇÈö æóÇáúÛõÈóÇÑö )
ÝóÃóãóÑóäöí ÝóóÇÛúÊóÓóáúÊõ æóÏóÚóÇ áöí ( ÈöÏóÚóæóÇÊò ãóÇ íóÓõÑøõäöí Ãóäøó áöíú
Èöåöäøó ãóÇ Úóáóì ÇúáÃóÑúÖö ãöäú ÔóíúÁò ) .
“Pergilah lalu
kebumikanlah bapakmu.” (Khithab ditujukan kepada Ali bin Abi
Thalib). Dia berkata (Aku tidak akan mengebumikannya)
(sesungguhnya dia mati sebagai seorang musyrik). (Kemudian beliau bersabda:
“Pergilah lalu kebumikanlah dia.”) selanjutnya
janganlah kamu bercakap sehingga kamu datang kepadaku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
(3124), An-Nasai (1/282-283), Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (1/123),
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mashnaf (3/95 dan 142 cet. Hind), Ibnul Jurud
dalam Al-Muntaqa (hal. 269), Ath-Thayalisi (120), Al-Baihaqi (3/398),
Ahmad (1/97-131) dan Muhammad Al-Khuldi dalam suatu juz dari Fawa-id-nya
(Q. 47/1) dari beberapa jalan yang berasal dari Abi Ishaq dari Najiyah bin
Ka’ab dari Ali yang menceritakan:
“Saya berkata kepada Nabi r:
“Sesunguhnya pamanmu itu orang tua yang
tersesat, sungguh ia telah mati.” (Kemudian siapa yang
mengebumikannya?). Beliau
bersabda: (lalu menyebutkan hadits tersebut).
Saya menilai: Hadits ini sanadnya
shahih.
Kemudian dalam Musnad Ahmad
(1/103) dan Zawa’idu Ibnihi ‘Alaihi (1/129-130) hadits ini mempunyai
jalur lain yang berasal dari Al-Hasan bin Yazid Al-Ashammi yang menuturkan:
“Aku mendengar As-Saddi Ismail menyebutkannya dari Abi Abdurrahman As-Salami
dari Ali dan ia menambahkan pada akhir hadits itu:
“Adalah Ali t dia memandikan mayat maka dia
lalu mandi.”
Saya menilai: Hadits ini sanadnya
hasan.
Kandungan Hadits:
áÇ ÊóÊóæóáóøæúÇ ÞóæúãðÇ ÛóÖöÈó
Çááóøåõ Úóáóíúåöãú
“Janganlah kamu jadikan
penolongmu kaum yang dimurkai Allah.”
(Qs Al-Mumtahanah : 13)
Namun manakala Nabi r
mengulangi perintah agar dia mengebumikannya, Ali segera melaksanakannya dan
meninggalkan presepsinya semula. Memang
demikianlah ketaatan itu. Dimana seseorang hendaklah
meninggalkan pendapatnya sendiri, demi mengikuti perintah Nabinya r.
Jadi, menurut saya, bahwa menguburkan mayat, ayah atau ibu
yang masih dalam keadaan musyrik adalah merupakan akhir kebaktian seorang anak
yang harus memberikan darma baktinya terhadap orang tua di dunia. Adapun
setelah menguburkannya, maka dia tidak perlu berdoa atau memohonkan ampun
untuknya, karena telah jelas Allah I melarang dalam firman-Nya:
ãóÇ ßóÇäó
áöáäóøÈöíöø æóÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ Ãóäú íóÓúÊóÛúÝöÑõæÇ
áöáúãõÔúÑößöíäó æóáóæú ßóÇäõæÇ Ãõæáöí ÞõÑúÈóì
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),” (QS At-Taubah :
113)
Jika demikian halnya, maka amatlah
disayangkan perbuatan memohonkan ampun dan kasih sayang hingga termuat di koran maupun majalah-majalah buat orang-orang kafir, hanya
karena mereka adalah orang-orang besar, dan agar mendapatkan simpatik. Seharusnya bagi orang yang menghendaki kehidupan akhirat, tidaklah
sampai melakukan demikian.
2. Bagi seorang muslim tidak diperintahkan untuk memandikan, mengkafani dan
menshalatkan mayat kafir, meskipun ia adalah karib kerabatnya. Karena Nabi r tidak menyuruh Ali radiallahu anhu
melakukan demikian. Jika saja hal itu memang diperbolehkan, tentu Nabi r akan
menerangkannya. Telah menjadi ketetapan bahwa mengakhirkan keterangan sewaktu
diperlukan adalah menunjukkan tidak diperbolehkan. Ini menurut pendapat Hambali
dan lainnya.
3. Sesungguhnya tidak
dianjurkan mengikuti atau mengantarkan jenazah orang musyrik. Nabi r tidak melakukan hal itu terhadap
pamannya. Padahal beliau lah orang yang paling setia dan menyayangi pamannya.
Sehingga pernah dia berdoa kepada Allah I untuk pamannya
kemudian Allah I meringankan siksanya di neraka, seperti
diterangkan dalam hadits terdahulu (no. 53). Semua itu merupakan pelajaran bagi
orang-orang yang tertipu oleh nasab keturunannya, sedangkan dia tidak
mengetahui bagaimana nasib mereka di sisi Tuhannya. Maha benar Allah I ketika Dia
berfirman:
ÃóäúÓóÇÈó Èóíúäóåõãú íóæúãóÆöÐò æóáÇ íóÊóÓóÇÁóáõæäó
“Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di
antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS Al-Mu’minun :
101)
١٦٢ - áÇó íóÇ ÈöäúÊó ÇáÕøöÏøöíúÞö
æóáٰßöäøóåõãõ ÇáøóÐöíúäó íóÕõæúãõæúäó æóíõÕóáõæúäó æóíóÊóÕóÏøóÞõæúäó æóåõãú
íóÎóÇÝõæúäó Ãóäú áÇó íõÞúÈóáõ ãöäúåõãú ÇõæúáٰÆößó
íõÓóÇÑöÚõæúäó Ýöí ÇáúÎóíúÑóÇÊö
“Tidak, wahai anak perempuan Ash-Shiddiq, akan tetapi
mereka adalah orang-orang yang berpuasa, bersahabat dan bersedekah. Mereka takut kalau-kalau mereka tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.”
Hadits ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2/201), Ibnu Jarir
(18/26), Al-Hakim (2/393-394), Al-Baghawi dalam Tafsir-nya (6/25), Ahmad
(6/159 dan 205) dari jalur Malik bin Maghul dari Abdurrahman bin Sa’id bin
Wahab Al-Hamdani, dari Aisyah isteri Nabi r yang mengisahkan:
“Aku bertanya kepada Rasulullah r tentang ayat: “Dan orang-orang yang telah
memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut” (Al-Mu’minun : 60). Aisyah berkata: “Apakah mereka
orang-orang yang meminum khamar dan berlebihan?” Nabi bersabda: kemudian dia
menyebutkan hadits itu. At-Tirmdzi mengatakan:
“Hadits ini telah diriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’id
dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah dari Nabi r serupa dengan ini.”
Saya berpendapat: Sanad hadits Aisyah ini semua perawinya
tsiqah. Oleh karena itu Al-Hakim menilai: “Hadits ini shahih sanadnya dan
penilaian ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.”
Saya menemukan: Disitu terdapat ‘illat. Yaitu
terputusnya antara Abdurrahman dan Aisyah. Sesungguhnya
dia tidak bertemu langsung dengan Aisyah seperti telah diterangkan dalam At-Tahdzib.
Tetapi dia dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah, sebagaimana diisyaratkan oleh
At-Tirmidzi, bahwa ia bersambung (mausul) berdasarkan penjelasan Ibnu
Jarir: “Telah bercerita kepadaku Umar bin Qais, dari Abdurrahman bin Sa’id bin
Wahab Al-Hamdani, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, yang memberitahukan:
“Telah berkata Aisyah: (Haditsnya serupa ini).”
Sanad hadits ini perawi-perawinya tsiqah,
kecuali Ibnu Hamid. Dia adalah Muhammad bin Hamin bin Hiyan Ar-Ruzi, dia
lemah hafalannya. Akan tetapi barangkali ada juga yang
mengikuti periwayatannya. Kemudian hadits ini juga
dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dan Ibnul Anbari dalam Al-Mashanhif,
juga oleh Ibnu Al-Mardawaih, seperti disebutkan dalam Ad-Durril Mantsur
(5/11). Sedangkan Ibnu Abid Dun-ya adalah termasuk deretan guru Ibnu
Jarir, maka jauh kemungkinannya jika dia meriwayatkannya dari gurunya ini. Wallahu a’lam.
Saya berpendapat: Ketakutan seorang mukmin bila ibadah
mereka tidak diterima bukan berarti mereka takut kalau Allah I tidak memberikan pahala
kepada mereka. Tentu saja ini tidak sesuai dengan janji Allah I kepada mereka seperti yang
termaktub dalam firman-Nya:
æóÃóãóøÇ
ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ æóÚóãöáõæÇ ÇáÕóøÇáöÍóÇÊö ÝóíõæóÝöøíåöãú
ÃõÌõæÑóåõãú
“Adapun orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan
sempurna”(QS Al-Imran : 57)
Bahkan Allah I akan
menambahkan pahala amalan mereka itu seperti yang disinggung dalam firman-Nya:
ÝóíõæóÝöøíåöãú
ÃõÌõæÑóåõãú æóíóÒöíÏõåõãú ãöäú ÝóÖúáöåö
“Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk
mereka sebagian dari karunia-Nya.” (QS
An-Nisa : 173)
Allah Subhanahu Wata’aka tidak akan mengingkari janji-Nya seperti yang termaktub dalam
firman-Nya. Sesungguhnya soal penerimaan suatu ibadah itu tergantung kepada
bagaimana pelaksanaannya, apakah ia sesuai dengan
perintah Allah I atau tidak. Sedangkan
mereka tidak dapat memastikan bahwa mereka telah melaksanakan persis sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah I. Bahakan
mereka mengira bahwa mereka tidak dapat melaksanakan seperti itu. Oleh karena itu mereka takut kalau-kalau ibadah mereka tidak
diterima. Seharusnya seorang mukmin selalu mempunyai perasaan demikian
supaya ia senantiasa memperbaiki ibadahnya sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah I, yakni dengan penuh ikhlas dan mengikuti
Nabi-Nya r.
Inilah yang dimaksud oleh ayat:
Ýóãóäú
ßóÇäó íóÑúÌõæ áöÞóÇÁó ÑóÈöøåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáÇ ÕóÇáöÍðÇ æóáÇ íõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö
ÑóÈöøåö ÃóÍóÏðÇ
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al-Kahfi : 110)
****
_________________
1) Dia adalah Syaikh Abdullah bin Muhammad Ash-Shiddiq Al-Ghumari
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |