As-Shahihah Daftar Isi >
LARANGAN MENCIUM ketika bertemu (160 - 162)
PreviousNext

LARANGAN MENCIUM

KETIKA BERTEMU

 

 

١٦٠áÇó ¡ æóáÇó ßöäú ÊóÕóÇÝóåõæúÇ ¡ íóÚúäöì áÇóíóäúÍóäöìú áöÕóÏöÞöåö æóáÇó íóáúÊóÒöãõåõ ¡ æóáÇó íõÞóÈöøáõåõ Íöíúäó íóáúÞóåõ .

         

          “Tidak, tetapi bersalam-salamanlah. Yakni tidak membungkukkan diri pada temannya, tidak memeluknya dan tidak menciumnya ketika bertemu dengannya.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi (2/121), Ibnu Majah (3702), Al-Baihaqi (7/100) dan Imam Ahmad (3/198) dari beberapa jalan yang berasal dari Handzalah bin Abdullah As-Sudusi, dia memberitahukan, “Telah bercerita kepadaku Anas bin Malik, dia mengisahkan: “Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami menjumpai temannya, apakah dia mesti membungkuk kepadanya?” “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu memeluknya dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu bersalaman dengannya?” Beliau menjawab, “Ya, Insya Allah.”

 

          Lafazh Ibnu Majah juga seperti ini, hanya saja di situ terdapat: “Tidak, tetapi bersalam-salamanlah.”

 

          Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Yusuf Al-Furyabi dalam Ma-Asnada Ats-Tsauri (1/46/2), Abubakar Asy-Syafi’i dalam Al-Awaid (1/97)  dan dalam Ar-Ruba’iyyat (1/93/2), Al-Baghindi dalam Hadits Syaiban wa ghairihi (191/1), Abu Muhammad Al-Mukhalladi dalam Al-Fawaid (2/236), Adh-Dhiya Al-Muqaddasi dalam Al-Mushafahah (32/2) dalam Al-Muntaqi Min Masmu’athihi bi Marwin (28/2), mereka semua dari Handzalah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

 

          Saya berpendapat: Hadits ini memang seperti yang dikatakan At-Tirmidzi atau bahkan lebih tinggi. Semua perawinya tsiqah kecuali Handzalah. Mereka menilainya lemah. Tetapi tidak menuduhnya salah. Bahkan Yahya Al-Qaththan dan lainnya  menyebutkan bahwa hadits itu tercampur. Namun ada hadits lain yang mengukuhkannya bahkan ada pula hadits-hadits lain yang mengikutinya dan seklaigus menguatkannya. Saya menemukan tiga orang yang mengikutinya:

 

          Pertama: Syu’aib bin Al-Habbab.

 

          Hadits ini dikeluarkan oleh Adh-Dhiya dalam Al-Muntaqi  (87/2) dari jalur Abi.

 

          Sementara Bilal Al-Asy’ari memberitahukan pula, “Telah bercerita kepadaku Qais bin Ar-Rabi’ dari Hisyam bin Hisan dari Syu’aib. Hanya saja dia menyebutkan kata as-sujud sebagai ganti al-iltizam (memeluk).”

 

          Hadits ini sanadnya hasan sebagai hadits matabi’ (hadits yang mengikuti periwayatan perawi lain). Karena Qais bin Ar-Raba’ adalah orang yang dipercaya. Tetapi dia berubah ketika lanjut usia. Sedangkan Abu Bilal Al-Asy’ari, namanya adalah Mardas dan dia dinilai lemah oleh Ad-Daruquthni. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar orang-orang tsiqah. Sedangkan dua orang lainnya yaitu Hisyam bin Hisan dan Syu’aib, keduanya adalah tsiqah dan termasuk perawi-perawi Asy-Syaikhain (Bukhari-Muslim).

 

          Hadits matabi’ ini juga dikeluarkan oleh Abul Hasan Al-Mazakki, seperti telah disebutkan oleh Ibnul Muhib dalam Ta’liq-nya dalam Kitabul Mushafahah dimana saya menukilnya pula.

 

          Kedua: Katsir bin Abdullah, dia menceritakan. “Aku mendengar cerita Anas bin Malik, namun dia tidak menyebutkan “membungkuk” dan “memeluk”.

 

          Hadits itu dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam Ruba’iyyahti (72/2), “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Zahir, dia memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Mukhallid bin Muhammad, dia berkata, “Telah bercerita kepadaku Katsir bin Abdullah.”

 

          Katsir adalah dha’if seperti dikatakan oleh Ad-Daruquthni. Sedangkan Adz-Dzahabi mengatakan: “Aku tidak melihat riwayatnya itu dalam keadaan mungkar sekali. Bahkan Ibnu Adi telah meriwayatkannya dalam lebih dari sepuluh haditsnya, namun kemudian mengatakan, “Dalam sebagian riwayatnya ada sesuatu yang tidak terjamin.”

 

          Saya berpendapat: Insya Allah ada hadits lain yang juga mendukungnya.

 

          Ketiga: Al-Mahlab bin Abi Shufrah dari Anas secara marfu’ dengan lafazh:

 

áÇóíóäúÍóäöì ÇáÑøóÌõáõ áöáÑøóÌõáö ¡ æóáÇóíõÞóÈöøáõ ÇáÑøóÌõáõ ÇáÑøóÌõáö ¡ ÞóÇáõæúÇ íõÕóÇÝöÍõ ÇáÑøóÌõáõ ÇáÑøóÌõáõ ¿ ÞóÇáó : äóÚóãú .

 

          “Janganlah seseroang membungkuk kepada seseroang, janganlah pula seseorang mencium kepada seseorang. Mereka bertanya, “Seseorang bersalaman kepada seseorang?” Dia mejawab, “Ya/”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Adh-Dhiya dalam Al-Muntaqi (23/1) dari jalur Abdulaziz  bin Aban, “Telah bercerita kepadaku Ibrahim bin Thuhman, dari Al-Mahlab.”

 

          Saya berpendapat: Al-Mahlab adalah termasuk pemimpin yang jujur, seperti keterangan dalam At-Taqrib. Hanya saja sanadnya lemah, sebab Abdulaziz Aban adalah matruk (diabaikan haditsnya) dan dipandang dusta oleh Ibnu Ma’in maupun lainnya, seperti dikatakan pula oleh Al-Hafizh, sehingga hadits ini tidak bisa mendukungnya. Tetapi hadits-hadits pendukung sebelumnya telah cukup untuk menguatkan hadits tersebut. Hal ini telah diakui oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (367) yang menyinggung tentang At-Tirmidzi yang menilai hadits itu hasan. Dari situ kita tahu bahwa Al-Baihaqi yang mengatakan: “Handzlah menyendiri dalam meriwayatkan,” adalah tidak benar. Wallahu a’lam.

 

          Jika kita telah tahu demikian, maka dalam hal ini terdapat sanggahan terhadap orang yang mempermasalahkan hadits itu.1) Dia menulis sebuah buku kecil I’lamun Nabil bi Jawazit Taqbil. Dalam buku tersebut dia memuat beberapa hadits tentang mencium, baik itu hadits yang shahih maupun yang tidak shahih. Kemudian ia juga memuat hadits itu dan menilainya sebagai hadits yang lemah, karena ada Handzalah. Mungkin dia tidak melihat beberapa hadits mutabi’ yang mendukungnya. Lalu dia menakwilkannya bahwa boleh saja jika hal yang mendorong untuk mencium itu adalah berupa sesuatu yang membawa kemaslahatan dunia, seperti kekayaan, kedudukan atau kepemimpinan. Sungguh ini penakwilan yang salah. Karena para sahabat bertanya kepada Nabi r tentang mencium itu, yang dimaksudkan adalah bukan seperti yang diduga tersebut, tetapi adalah mencium sebagai suatu penghormatan, sebagaimana mereka juga bertanya kepada Nabi r tentang membungkukkan badan dan bersalaman. Semua itu yang mereka maksudkan adalah sebagai penghormatan. Namun semua itu bagi mereka tidak diperbolehkan kecuali sekedar bersalaman saja. Lalu apakah bersalaman itu juga untuk tujuan dunia? Jelas tidak.

 

          Yang benar adalah, bahwa hadits itu adalah merupakan suatu nash yang jelas mengenai tidak dianjurkannya mencium ketika bertemu. Dalam hal ini tidak termasuk mencium anak-anak dan isteri, seperti yang telah dimaklumi. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi r juga pernah mencium sebagian sahabat dalam beberapa kesempatan yang berbeda, seperti halnya beliau mencium dan memeluk Zain bin Haritsah ketika datang di Madinah, mencium dan memeluk Abi Al-Haitsam Ibnu Tihan dan lain-lainnya, maka jawabannya dapat ditinjau dari beberapa segi:

 

          Pertama: Bahwa hadits-hadits itu adalah mu’lulah (mengandung cacat) tidak dapat dijadikan pegangan. Insya Allah kami akan membicarakan hal ini dan menerangkan ‘illat-‘illatnya.

 

          Kedua: Seandainya hadits-hadits itu benar, toh tidak boleh dipertentangkan dengan hadits shahih ini. Karena perbuatan Nabi r dimungkinkan sebagai sifat khususiyah bagi beliau atau alasan lain yang sudah barang tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membantah hadits ini. Karena hadits ini berupa qauli (ucapan) dan khithabnya bersifat umum ditujukan kepada seluruh umat. Jadi hadits ini merupakan pegangan bagi mereka. Dalam kaidah ushul telah ditetapkan, bahwa ucapan harus diutamakan daripada perbuatan manakala terjadi pertentangan, demikian pula peringatan (larangan) lebih didahulukan daripada membolehkan. Sedangkan hadits ini adalah berupa ucapan dan larangan. Maka dia harus didahulukan daripada hadits-hadits lain tersebut meskipun shahih.

 

          Demikian pula saya katakan bahwa soal membungkukkan badan dan berpelukan itu tidak dianjurkan, bahwa hadits tersebut telah melarangnya. Akan tetapi Anas memberitahukan:

 

          Para sahabat Nabi r, manakala mereka bertemu bersalaman. Manakala mereka datang dari bepergian, mereka berpelukan.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-Ausath. Para perawinya adalah perawi-perawi shahih, seperti dikatakan oleh Al-Mundziri (3/270) dan Al-Haitsami (8/36). Kemudian Al-Baihaqi (7/100) juga meriwayatkan dengan sanad shahih dari Asy-Sya’bi yang menuturkan:

 

          Para sahabat Muhammad r manakala bertemu mereka bersalaman. Kemudian manakala mereka datang dari bepergian, sebagian mereka memeluk sebagian yang lain.”

 

          Al-Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adab Al-Mufrad (970) dan Imam Ahmad (3/495) dari Jabir bin Abdullah yang mengisahkan:

 

          ”Telah sampai kepadaku suatu cerita dari seorang lelaki, ia mendengarnya dari Rasulullah r. Lalu aku membeli onta, kemudian mengukuhkan kepergianku. Selanjutnya aku menuju kepada lelaki itu. Ternyata dia Abdullah bin Unais. Selanjutnya aku meminta kepada penjaga pintu: “Katakanlah kepadanya, Jabir di pintu/” Dia bertanya, “Ibnu Abdullah?” Aku bilang, “Ya.” Kemudian ia keluar sambil merendahkan pakaiannya, lalu dia memelukku, aku memeluknya.” Al-Hadits.

 

          Sanad hadits ini hasan, seperti dikatakan oleh Al-Hafizh (1/190). Sementara Al-Bukhari juga menyatakan demikian.

 

          Mungkin juga dikatakan bahwa berpelukan sewaktu bepergian adalah merupakan sesuatu yang dikecualikan dari larangan tersebut, karena para sahabat melakukan hal itu. Dan dengan demikian ada kemungkinan sebagian dari hadits-hadits terdahulu itu adalah shahih. Wallahu a’lam.

 

          Soal mencium tangan, telah pula disinggung oleh banyak hadits dan atsar, yang menunjukkan hal itu bahwa memang ada dari Rasulullah r Sehingga boleh mencium tangan orang alim, manakala memenuhi syarat sebagai berikut:

1.     Hendaknya hal itu tidak menjadi tradisi atau kebiasaan. Dimana seorang alim akan mengulurkan tangannya kepada murid-muridnya dan mereka akan menciumnya untuk mengambil berkah. Memang Nabi r pernah dicium tangannya akan tetapi hal itu jarang sekali. Dan jika demikian halnya, maka sesuatu itu tidak boleh dijadikan sebagai sunnah yang berterusan. Seperti hal ini telah dimaklumi dalam kaidah fiqhiyah.

2.     Hendaknya hal itu tidak menimbulkan kesombongan orang alim atas lainnya, dan dia pongah terhadap dirinya sendiri, seperti yang banyak terjadi pada sebagian guru pada saat ini.

3.     Hendaknya hal itu tidak justru mengaburkan sunnah yang telah dimaklumi, seperti bersalaman, dimana ia memang dianjurkan melalui perbuatan dan ucapan Nabi r Bahkan bersalaman itu dapat mengugurkan dosa-dosa, seperti yang telah diriwayatkan oleh banyak hadits. Jadi tidak boleh mengabaikannya karena suatu perkara.

 

١٦١ - ÇöÐúåóÈú ÝóæóÇÑö ÃóÈóÇßó ( íÚäí ÚáíÇ ÑÖí Çááå Úäå ) . ÞóÇáó ( áÇó ÃõæóÇÑöíúåö ) ( Åöäøóåõ ãóÇÊó ãõÔúÑößðÇ ) . ( ÝóÞóÇáó ÇÐúåóÈú ÝóæóÇÑöåö ) Ëõãøó áÇó ÊõÍóÏøöËóäøó ( ÍÏËÇ ) ÍóÊìøٰ ÊóÃúÊöíóäöíú . ÝóÐóåóÈúÊõ ÝóæóÇÑóíúÊõåõ æóÌöÆúÊõåõ ( æóÚóáóí ÃóËóÑö ÇáÊøõÑóÇÈö æóÇáúÛõÈóÇÑö ) ÝóÃóãóÑóäöí ÝóóÇÛúÊóÓóáúÊõ æóÏóÚóÇ áöí ( ÈöÏóÚóæóÇÊò ãóÇ íóÓõÑøõäöí Ãóäøó áöíú Èöåöäøó ãóÇ Úóáóì ÇúáÃóÑúÖö ãöäú ÔóíúÁò ) .

          “Pergilah lalu kebumikanlah bapakmu.” (Khithab ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib). Dia berkata (Aku tidak akan mengebumikannya) (sesungguhnya dia mati sebagai seorang musyrik). (Kemudian beliau bersabda: “Pergilah lalu kebumikanlah dia.”) selanjutnya janganlah kamu bercakap sehingga kamu datang kepadaku.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3124), An-Nasai (1/282-283), Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (1/123), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mashnaf (3/95 dan 142 cet. Hind), Ibnul Jurud dalam Al-Muntaqa (hal. 269), Ath-Thayalisi (120), Al-Baihaqi (3/398), Ahmad (1/97-131) dan Muhammad Al-Khuldi dalam suatu juz dari Fawa-id-nya (Q. 47/1) dari beberapa jalan yang berasal dari Abi Ishaq dari Najiyah bin Ka’ab dari Ali yang menceritakan:

 

          “Saya berkata kepada Nabi r: “Sesunguhnya pamanmu itu orang tua yang tersesat, sungguh ia telah mati.” (Kemudian siapa yang mengebumikannya?).  Beliau bersabda: (lalu menyebutkan hadits tersebut).

 

          Saya menilai: Hadits ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqah, yaitu perawi-perawi Asy-Syaikhain, kecuali Najiyah bin Ka’ab, namun dia juga tsiqah seperti keterangan dalam At-Taqrib. Ar-Rafi’ menguatkannya, diikuti oleh Al-Hafizh di dalam Irwa’ul Ghalil (hal. 707).

 

          Kemudian dalam Musnad Ahmad (1/103) dan Zawa’idu Ibnihi ‘Alaihi (1/129-130) hadits ini mempunyai jalur lain yang berasal dari Al-Hasan bin Yazid Al-Ashammi yang menuturkan: “Aku mendengar As-Saddi Ismail menyebutkannya dari Abi Abdurrahman As-Salami dari Ali dan ia menambahkan pada akhir hadits itu:

 

          “Adalah Ali t dia memandikan mayat maka dia lalu mandi.”

 

          Saya menilai: Hadits ini sanadnya hasan. Para perawinya adalah perawi-perawi Muslim kecuali Al-Hasan namun diduga juga dapat dopercaya, seperti keterangan dalam At-Taqrib.

 

          Kandungan Hadits:

 

  1. Sesungguhnya bagi orang Muslim dianjurkan agar mengurus pengebumian kerabatanya, yang musyrik sekalipun. Hal ini tidak berarti menghilangkan kebencian terhadap kemusyrikannya. Bukanlah kita melihat bahwa pada mulanya Ali radiallahu anhu tidak mau menguburkan ayahnya dengan alasan musyrik dan dia mengatakan: “Sesungguhnya dia mati dalam keadaan musryik.” Dia mengira bahwa dengan menguburkannya berarti melanggar firman Allah I:

 

áÇ ÊóÊóæóáóøæúÇ ÞóæúãðÇ ÛóÖöÈó Çááóøåõ Úóáóíúåöãú

Janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah.” (Qs Al-Mumtahanah : 13)

 

Namun manakala Nabi r mengulangi perintah agar dia mengebumikannya, Ali segera melaksanakannya dan meninggalkan presepsinya semula. Memang demikianlah ketaatan itu. Dimana seseorang hendaklah meninggalkan pendapatnya sendiri, demi mengikuti perintah Nabinya r. Jadi, menurut saya, bahwa menguburkan mayat, ayah atau ibu yang masih dalam keadaan musyrik adalah merupakan akhir kebaktian seorang anak yang harus memberikan darma baktinya terhadap orang tua di dunia. Adapun setelah menguburkannya, maka dia tidak perlu berdoa atau memohonkan ampun untuknya, karena telah jelas Allah I melarang dalam firman-Nya:

 

ãóÇ ßóÇäó áöáäóøÈöíöø æóÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ Ãóäú íóÓúÊóÛúÝöÑõæÇ áöáúãõÔúÑößöíäó æóáóæú ßóÇäõæÇ Ãõæáöí ÞõÑúÈóì

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),” (QS At-Taubah : 113)

 

Jika demikian halnya, maka amatlah disayangkan perbuatan memohonkan ampun dan kasih sayang hingga termuat di koran maupun majalah-majalah buat orang-orang kafir, hanya karena mereka adalah orang-orang besar, dan agar mendapatkan simpatik. Seharusnya bagi orang yang menghendaki kehidupan akhirat, tidaklah sampai melakukan demikian.

 

2.     Bagi seorang muslim tidak diperintahkan untuk memandikan, mengkafani dan menshalatkan mayat kafir, meskipun ia adalah karib kerabatnya. Karena Nabi r tidak menyuruh Ali radiallahu anhu melakukan demikian. Jika saja hal itu memang diperbolehkan, tentu Nabi r akan menerangkannya. Telah menjadi ketetapan bahwa mengakhirkan keterangan sewaktu diperlukan adalah menunjukkan tidak diperbolehkan. Ini menurut pendapat Hambali dan lainnya.

3.     Sesungguhnya tidak dianjurkan mengikuti atau mengantarkan jenazah orang musyrik. Nabi r tidak melakukan hal itu terhadap pamannya. Padahal beliau lah orang yang paling setia dan menyayangi pamannya. Sehingga pernah dia berdoa kepada Allah I untuk pamannya kemudian Allah I meringankan siksanya di neraka, seperti diterangkan dalam hadits terdahulu (no. 53). Semua itu merupakan pelajaran bagi orang-orang yang tertipu oleh nasab keturunannya, sedangkan dia tidak mengetahui bagaimana nasib mereka di sisi Tuhannya. Maha benar Allah I ketika Dia berfirman:

 

ÃóäúÓóÇÈó Èóíúäóåõãú íóæúãóÆöÐò æóáÇ íóÊóÓóÇÁóáõæäó

“Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS Al-Mu’minun : 101)

 

١٦٢ -  áÇó íóÇ ÈöäúÊó ÇáÕøöÏøöíúÞö æóáٰßöäøóåõãõ ÇáøóÐöíúäó íóÕõæúãõæúäó æóíõÕóáõæúäó æóíóÊóÕóÏøóÞõæúäó æóåõãú íóÎóÇÝõæúäó Ãóäú áÇó íõÞúÈóáõ ãöäúåõãú  ÇõæúáٰÆößó íõÓóÇÑöÚõæúäó Ýöí ÇáúÎóíúÑóÇÊö

 

          “Tidak, wahai anak perempuan Ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, bersahabat dan bersedekah. Mereka takut kalau-kalau mereka tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.”

 

          Hadits ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2/201), Ibnu Jarir (18/26), Al-Hakim (2/393-394), Al-Baghawi dalam Tafsir-nya (6/25), Ahmad (6/159 dan 205) dari jalur Malik bin Maghul dari Abdurrahman bin Sa’id bin Wahab Al-Hamdani, dari Aisyah isteri Nabi r yang mengisahkan:

 

          “Aku bertanya kepada Rasulullah r tentang ayat: “Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (Al-Mu’minun : 60). Aisyah berkata: “Apakah mereka orang-orang yang meminum khamar dan berlebihan?” Nabi bersabda: kemudian dia menyebutkan hadits itu. At-Tirmdzi mengatakan:

 

          “Hadits ini telah diriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’id dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah dari Nabi r serupa dengan ini.”

 

          Saya berpendapat: Sanad hadits Aisyah ini semua perawinya tsiqah. Oleh karena itu Al-Hakim menilai: “Hadits ini shahih sanadnya dan penilaian ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.”

 

          Saya menemukan: Disitu terdapat ‘illat. Yaitu terputusnya antara Abdurrahman dan Aisyah. Sesungguhnya dia tidak bertemu langsung dengan Aisyah seperti telah diterangkan dalam At-Tahdzib. Tetapi dia dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah, sebagaimana diisyaratkan oleh At-Tirmidzi, bahwa ia bersambung (mausul) berdasarkan penjelasan Ibnu Jarir: “Telah bercerita kepadaku Umar bin Qais, dari Abdurrahman bin Sa’id bin Wahab Al-Hamdani, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, yang memberitahukan: “Telah berkata Aisyah: (Haditsnya serupa ini).”

 

          Sanad hadits ini perawi-perawinya tsiqah, kecuali Ibnu Hamid. Dia adalah Muhammad bin Hamin bin Hiyan Ar-Ruzi, dia lemah hafalannya. Akan tetapi barangkali ada juga yang mengikuti periwayatannya. Kemudian hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dan Ibnul Anbari dalam Al-Mashanhif, juga oleh Ibnu Al-Mardawaih, seperti disebutkan dalam Ad-Durril Mantsur (5/11). Sedangkan Ibnu Abid Dun-ya adalah termasuk deretan guru Ibnu Jarir, maka jauh kemungkinannya jika dia meriwayatkannya dari gurunya ini. Wallahu a’lam.

 

          Saya berpendapat: Ketakutan seorang mukmin bila ibadah mereka tidak diterima bukan berarti mereka takut kalau Allah I tidak memberikan pahala kepada mereka. Tentu saja ini tidak sesuai dengan janji Allah I kepada mereka seperti yang termaktub dalam firman-Nya:

 

æóÃóãóøÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ æóÚóãöáõæÇ ÇáÕóøÇáöÍóÇÊö ÝóíõæóÝöøíåöãú ÃõÌõæÑóåõãú

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna(QS Al-Imran : 57)

 

          Bahkan Allah I akan menambahkan pahala amalan mereka itu seperti yang disinggung dalam firman-Nya:

 

ÝóíõæóÝöøíåöãú ÃõÌõæÑóåõãú æóíóÒöíÏõåõãú ãöäú ÝóÖúáöåö

 

“Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya.” (QS An-Nisa : 173)

 

          Allah Subhanahu Wata’aka tidak akan mengingkari janji-Nya seperti yang termaktub dalam firman-Nya. Sesungguhnya soal penerimaan suatu ibadah itu tergantung kepada bagaimana pelaksanaannya, apakah ia sesuai dengan perintah Allah I atau tidak. Sedangkan mereka tidak dapat memastikan bahwa mereka telah melaksanakan persis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah I. Bahakan mereka mengira bahwa mereka tidak dapat melaksanakan seperti itu. Oleh karena itu mereka takut kalau-kalau ibadah mereka tidak diterima. Seharusnya seorang mukmin selalu mempunyai perasaan demikian supaya ia senantiasa memperbaiki ibadahnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah I, yakni dengan penuh ikhlas dan mengikuti Nabi-Nya r. Inilah yang dimaksud oleh ayat:

 

Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæ áöÞóÇÁó ÑóÈöøåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáÇ ÕóÇáöÍðÇ æóáÇ íõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈöøåö ÃóÍóÏðÇ

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al-Kahfi : 110)

 

 

****

 

 

_________________
1) Dia adalah Syaikh Abdullah bin Muhammad Ash-Shiddiq Al-Ghumari


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com