MELUDAH KE ARAH KIBLAT
٢٢٢ - ãóäú ÊóÝóáó ÊõÌóÇåó ÇáúÞöÈúáóÉö ÌóÇÁó íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö
æóÊóÝúáóÊóåõ Èóíúäó Úóíúäóíúåö
“Barangsiapa meludah ke arah
kiblat, maka ia akan datang pada hari kiamat,
sedang ludahnya akan menempel di kedua matanya. "
Hadits ini
ditakhrij oleh Imam Abu Dawud (3/425-"Aun) dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya. (332) melalui jalur Ibnu Khuzaimah dari Jarir
dari Abu Ishaq Asy-Syaibani dari 'Adi bin Tsabit dari Zur bin Hubaisy dari
Hudzaifah bin Al-Yaman dengan riwayat marfu'.
Saya berpendapat: Sanad ini
shahih. Semua perawinya tsiqah. dan dipakai oleh Bukhari-Muslim. kecuali Zur.
ia hanya dipakai oleh Imam Muslim. Sedang Jarir. adalah putra Abdul Hamid
Adh-Dhabi Al-Kufi. Adapun Abu Ishaq. adalah Sulaiman bin Abu Sulaiman Al-Khufi.
Hadits ini memiliki syahid.
yaitu:
٢٢٣ - íóÌöíúÁõ ÕóÇÍöÈõ ÇáäøóÎóÇãóÉö Ýöí ÇáúÞöÈúáóÉö íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö
æóåöíó Ýöí æóÌóåöåö
"Orang rang berdahak ke arah
kiblat akan datang pada hari kiamat, sedang dahak itu menempel di
mukanya."
Hadits ini ditakhrij oleh
Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya (333), ia berkata: "Abdurrahman bin Ziyad mengabarkan kepadaku, ia berkata: "Al-Hasan
bin Muhammad bin Ash-Shabah
menceritakan kepadaku, ia berkata: Syahabah
telah meriwayatkan hadits kepadaku, ia berkata: Ashim bin Muhammad telah
meriwayatkan dari Muhammad bin Saufah
dari Nafli’ dari Ibnu Umar secara marfu'.
Saya berpendapat: Sanad ini memiliki perawi-perawi yang tsiqah dan ma'ruf (terkenal)/ Mereka termasuk perawi-perawi yang dipakai oleh Imam
Bukhari. kecuali Al-Kinani. Perawi yang satu ini sampai sekarang. belum saya temukan
biografinya. Namun demikian. Ia tidak meriwayatkan seorang diri. Hadits itu
juga disandarkan oleh AI-Mundziri kepada Al-Bazzar di dalam At-Targhib (l/122) Juga kepada Ibnu Khuzaimah yang sekurun dengan Al-Kinani (se-thabaqah). Biasanya. ia tidak
meriwayatkan dari jalur Al-Kinani
namun dari lbnush Shabagh atau dari yang lain. Sedang Al-Bazzar, tentu saja jalur yang diambilnya tidak sama dengan jalur Al-Kinani di atas. Di dalam sanad Al-Kinani itu juga
lerdapat Ashim bin Umar, seperti disebutkan oleh Al-Haitsami (2/19): "Ia dinilai dha'if oleh
Al-Bukhari dan jamaah. Namun Ibnu Hibban memasukkannya di dalam Ats-Tsiqat.
Saya menemukan: Di dalam At-Taqrib Ashim itu dinilai
dha'if.
Saya berpendapat: Bagaimanapun hadits itu tetap shahih. Kalaupun tidak ada hadits lain yang mendukung atau menguatkan maka nilainya paling
tidak hanya turun pada la yadhurru
tidak berbahaya).
Had its itu mengandung tuntunan ajaran yang cukup penting. yaitu haramnya
meludah atau membuang dahak ke arah kiblat secara mutlak. baik di masjid. mushalla. atau di tempat lain.
Seperti yang dikatakan oleh Ash-Shan'ani di dalam Subulus-Salam (I/230). Ash-Shan'ani menjelaskan: "Imam
Nawawi lebih yakin
dengan larangan melakukan hal-hal tersebut dalam segala situasi. baik
ketika shalat atau di luar itu. di masjid atau di tempat lain."
Saya berpendapat: Inilah pendapat yang benar. Hadits yang menjelaskan larangan meludah ke
arah kiblat pada waktu shalat juga banyak sekali.
dan bisa dilihat dalam Shahih Bukhari. Shahih Muslim atau kitab lain,
Saya memilih pendapatnya. bukan pendapat yang lain, karena pentingnya masalah
itu. Sementara perhatian para ulama amat kecil. Perbuatan meludah tersebut jelas
melanggar norma shalat, terutama dalam kaitannya dengan penghormatan kepada
Ka'bah.
Hadits itu juga mengandung pengertian. bahwa larangan menghadap ke
kiblat ketika buang air kecil maupun buang air besar berlaku secara mutlak.
baik di tempat terbuka maupun tertutup. Sebab, jika hadits itu mengandung
pengertian larangan meludah secara mutlak. maka buang air kecil atau besar jelas lebih tidak diperbolehkan.
Namun yang mengherankan, Imam Nawawi justru memberlakukan secara mutlak
larangan meludah. tetapi memberlakukan secara terbatas (khusus) larangan
membuang air kecil atau air besar. "Sesunggunya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai hati atau menggunakam pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya." (Qaaf: 37).
٢٢٤- ÇóáÕøóæúãõ íóæúãñ ÊóÕõæúãõæúäó æóÇáúÝöØúÑõ íóæúãñ ÊóÝúØõÑõæúäó
æóÇúáÃóÖúÍٰì íóæúãñ ÊóÖúÍõæúäó
"Puasa adalah hari dimana
kalian berpuasa, Al-Fithr adalah hari dimana
kalian berbuka, sedang Al-Adh-ha adalah hari dimana kalian menyembelih
kurban."
Hadits ini ditakhrij oleh At-Tirmidzi (2/37-Tuhfah) dari Ishaq bin Ja'far
bin Muhammad yang menuturkan: "Abdullah bin Ja’far meriwayatkan kepadaku
dari Utsman bin Muhammad dari Abu Hurairah bahwa Nabi aw bersabda: (Kemudian
menyebutkan sabda Nabi di atas}."
At-Tirmidzi menilai
"Hadits in gharib hasan."
Saya berpendapat: "Sanad ini
jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah. Namun khusus bagi Utsman bin
Muhammad bin Mughirah bin Al-Akhnas ada sedikit kritikan. Al-Hafizh di dalam At-Taqrib mengatakan: la shaduq. tetapi
banyak menerima tuduhan."
Sedang Abdurrahman bin Ja’far adalah putra Abdurrahman bin Al-Musawwir Al-Makhrami Al-Madani. Dia seorang tsiqah dan
haditsnya pernah diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Adapun Ishaq bin Ja’far bin
Muhammad adalah Al-Hasyimi Al-Ja'fari Ishaq seorang shaduq seperti yang
dijelaskan di dalam At-Taqrib. la diperkuat
oleh Abu Sa'id. seorang bekas budak Bani Hasyim. Ishaq juga tsiqah dan termasuk
perawi Imam Bukhari. la menuturkan: "Abdullah bin Ja'far telah
meriwayatkan kepada kami tanpa menyebut bagian tengah kalimat yaitu: "Al-Fithr adalah hari dimana kalian
berbuka."
Hadits ini ditakhrij oleh Al-Baihaqi di dalam kitab Sunan-n\a (4/252).
Hadits ini juga memiliki sanad lain yang bermuara pada Abu Hurairah.
Berkaitan dengan itu Ibnu Majah (]/509) memberitakan: "Muhammad bin Umar Al-Muqri telah meriwayatkan kepada kami,
ia berkata: "Ishaq bin Isa
telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata: "Hammad bin Zaid telah meriwayatkan kepada kami, dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah t tanpa menyebutkan
kalimat pertama."
Perawi-perawi sanad ini tsiqah. kecuali Muhammad bin Umar Al-Muqri. ia
tidak dikenal, seperti dijelaskan di dalam At-Taqrib.
Saya kira kesalahan yang dilakukannya
adalah menyebut nama Muhammad bin Sirin. Sebab yang benar adalah Muhammad bin Al-Munkadir. yang haditsnya diriwayatkan oleh Al-Abbas bin
Muhammad bin Harun dan Ali bin Sahl. Keduanya mengatakan: Ishaq bin Isa Ath-Thiba' telah meriwayatkan hadits
kepada kami dari Hammad bin Zaid
dari Ayyub dari Muhhamd bin Al-Munkadir dari Abu Hurairah ra.
Hadits ini ditakhrij oleh Ad-Daruqutni di dalam kitab Sunan-nya (257-258).
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ubaid bin Hisab. la
seorang tsiqah, termasuk perawi Imam Muslim. Dia meriwayatkan dari Hammad bin
Zaid.
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Abu Dawud (1/366). ia berkata: Muhammad bin Ubaid telah
meriwayatkan kepada kami.
Hadits ini juga ditakhrij oleh Ruh bin Al-Qasim. Abdul Warits dan Mu'ammar dari Muhammad bin Al-Munkadir.
Hadits dengan sanad ini ditakhrij pula oleh Al-Baihaqi dari Abdul Warits.
Al-Harawi juga
mentakhrijnya dari Mu'amar bersama ruh. 1)
Dari Mu'ammar dan Ruh hadits itu
diriwayatkan oleh Yazid bin Zurai’. Riwayat Yazid tersebut berbeda dengan
riwayat lain. Yazid mengambilnya dari Mu'ammar, demikian pula dengan Yahya bin
Al-Yaman yang mengabarkan: "Dari Mu'ammar dari Muhammad bin Al-Munkadir
dari Aisyah t yang mengisahkan: "Rasulullah saw bersabda:
(Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi di atas selengkapnya). namun tidak
menyebutkan kalimat yang pertama.
Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh At-Tirmidzi {2/71) dan Ad-Daruquthni (258). Imam Tirmidzi berkata: "Saya bertanya kepada
Muhammad (yakni imam Bukhari): "Apakah Muhammad bin Al-Munkadir mendengar
langsung dari Aisyah? Dia menjawab: "Benar."
Dalam hadits yang diriwayatkannya. Muhammad bin Al-Munkadir menggunakan
kalimat "Saya mendengar dari Aisyah" sedang At-Tirmidzi menilai:
"Hadits ini hasan gharib dari sanad ini."
Saya katakan, seperti itulah pendapat At-Tirmidzi. Menurut saya hadits itu
dha'if. Sebab Yahya bin
Al-Yaman adalah seorang dha'if khusus-nya
dilihat dari segi hafalannya. Di dalam At-Taqrib
dijelaskan; "la (Yahya bin Al-Yaman) shaduq (terpercaya) dan ahli ibadah.
namun banyak melakukan kesalahan. serta kadang-kadang berubah."
Saya melihat, di samping itu.
riwayat Yazid bin Zurai juga bertentangan
(mukhalafah) dengan Yahya. padahal Yazid itu tsiqah. Di sini Yazid mengatakan: "Dari .Mu'amar dari
Muhammad bin Al-Munkadir dari Abu Hurairah." Inilah yang benar. dan tidak diragukan lagi, bahwa hadits itu
adalah musnad Abu Hurairah, bukan musnad Aisyah seperti yang dikatakan oleh Yahya. Kemudian jika demikian halnya. maka sanad itu jelas terputus (munqathi’). Sebab Muhammad
bin Al-Munkadir tidak mendengar langsung dari Abu Hurairah. seperti juga
dikatakan oleh Al-Bazzar dan lainnya. Jika demikian. maka ia juga tidak
mendengar dari Aisyah, sebab Aisyah wafat sebelum Abu Hurairah. Dari Uraian di
atas. Al-Hafizh di dalam kitabnya At-Tahdzib merasa yakin bahwa sanad itu munqathi’
bagaimanapun keadaannya.
Al-Hafizh juga pernah meriwayatkan hadits Aisyah secara mauquf. Hadits
itu ditakhrij oleh Al-Baihaqi melalui jalur Abu Hanifah yang memberitakan:
"Telah meriwayatkan kepadaku Ali bin Al-Aqmar dari Masruq yang
menceritakan:
"Saya hadir di hadapan Aisyah t pada hari Arafah.
la berkata: "Berilah minum sawiq (sejenis minuman sari buah) kepada
Masruq. Dan perbanyaklah manisannya." Masruq melanjutkan: "Saya lalu
berkata: Sesungguhnya tidak ada yang menghalangi berpuasa. kecuali
kekhawatiranku bahwa hari ini adalah hari Nahar,
Aisyah menjawab: "Hari Nahar adalah
hari dimana manusia menyembelih hewan kurban. Sedang Al-Fithr adalah hari dimana mereka berbuka."
Saya berpendapat: Sanad ini jayyid (bagus) dengan dukungan sanad
sebelumnya.
Kandungan Hukumnya.
Imam Tirmidzi
mengomentari hadits tersebut:
"Beberapa ulama menafsirkan hadits tersebut dengan menjeiaskan: "Arti hadits itu adalah puasa dan berbuka (tidak puasa) bersama
jamaah dan mayoritas manusia."
Sementara Ash-Shan'ani di dalam Subulus-Salam
menegaskan: "Hadits itu menunjukkan bahwa dalam menetapkan hari
raya adalah berdasarkan kesepakatan mayoritas. Orang yang mengetahui hari raya secara individu. hams menyesuaikan dengan yang
lain. Demikian pula dalam masalah shalat. berbuka. dan berkorban."
Ibnul-Qayyim menyebutkan pendapat yang senada di dalam Tahdzibus-Sun an (3/214):
Dikatakan: "Hadits itu mengandung sanggahan terhadap orang yang
berpendapat bahwa seseorang yang mengetahui terbitnya bulan berdasarkan
perhitungan (hisab) bukan ru'yah boleh puasa dan boleh tidak. dimana hal ini
tidak berlaku bagi orang yang tidak mengetahuinya.
Abul-Hasan As-Sanadi di dalam kitabnya Hasyiyah ala Ibni Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah
tersebut dari At-Tirmidzi menandaskan:
"Yang jelas makna hadits itu
adalah bahwa perseorangan tidak memiliki pengaruh sedikitpun. Mereka secara
individual juga tidak diperboleh
Saya berpendapat: Makna inilah yang mudah dipahami dari hadits di atas.
Hal ini diperkuat dengan hujjah Aisyah t terhadap Masruq
yang tidak mau berpuasa Arafah karena khawatir hari itu hari Nahar. Aisyah
men-jelaskan bahwa pendapat pribadi Masruq tidak bisa dipakai. Mau tidak mau Masruq
harus mengikuti mayoritas. Aisyah menjelaskan: Nahar adalah hari. dimana manusia menyembelih kurban. Sedang Al-Fithr adalah hari dimana mereka harus
berbuka."
Saya berpendapat: Inilah yang sepantasnya dipakai dalam syari'at yang
ramah ini, dengan maksud untuk mempersatukan umat serta merapat
Maka hendaklah mereka yang selalu berpecah belah dalam shalat
merenungkan lebih dalam lagi hadits dan atsar di atas. Juga mereka yang tidak
bersedia mengikuti imam masjid. lebih-lebih dalam masalah shalat witir pada bulan
Ramadhan hanya karena menilainya tidak mengikuti madzhab yang dianut mereka.
****
1) Dari keterangan di atas, nyatalah bahwa
riwayat Muhammad bin Umar Al-Muqri sebagaimana disebutkan Ibnu Majah tidak bisa
diterima. sebab ia tidak dikenal. dan berbeda dengan
perawi tsiqah. Karena itu penilaian Ahmad
Syakir (Muhktasharus-Suriun, juz III. hal. 113) bahwa hadits itu shahih sesuai
dengan kritena Bukhari Muslim, sama sekali tidak benar
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |