YANG BOLEH DILAKUKAN
SUAMI ATAS ISTERI
PADA SAAT BERPUASA
٢۱۹ - ßóÇäó íõÞóÈøöáõäöí æóåõæó ÕóÇÆöãñ æóÃóäóÇ ÕóÇÆöãóÉñ . íóÚúäöí
ÚóÇÆöÔóÉõ
“Rasulullah r menciumku,
padahal beliau sedang berpuasa. Saya juga sedang berpuasa (Saya Aisyah t).”
Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (1/347). Imam Ahmad (6/179) melalui dua jalur, yang berasal
dari Sufyan dari Sa" id bin Ibrahim dari Thalha bin Abdillah (bin Utsman Al-Qurasyi) dari Aisyah t
secara marfu".
Saya menilai: Sanad hadits ini
shahih. dan sesuai dengan syarat Bukhari.
Imam Ahmad juga rnentakhrijnya
(6/134, 175-176, 169-170). Kemudian Imam Nasa'i
di dalam Al-Kubra
(Q. 83/2), Ath-Thayalisi (1/187) Asy-Syafi'i di dalam kitab Sunan-nya (1/260), Ath-Thahawi di dalam Syarhul-Ma'ani (11346). Al-Baihaqi (4/223), dan Abu Ya'la di dalam kitab Musnad-nya (2/215) melalui jalur lain, dari Sa'ad bin
Ibrahim dengan matan:
"Rasulullah r hendak mencium saya. lalu saya berkata:
"Saya sedang berpuasa. Mendengar itu beliau
berkata: "Saya juga sedang berpuasa. Kemudian beliau mencium saya."
Hadits ini merupakan sanggahan terhadap hadits lain yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Asy'ats yang berasal dari Aisyah t pula:
"Beliau tidak pernah menyentuh wajah saya
sedikitpun selama saya berpuasa."
Sanad hadits ini dha'if, seperti telah
saya jelaskan di dalam Al-Ahadits Adh-Dha 'ifah (lihat hadits no. 962).
Had its di atas dengan matan kedua disandarkan
oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath kepada An-Nasa"i
(lihat juz IV. hal 123).
Separoh dari matan hadits itu memiliki sanad lain dari Aisyah t yang diriwayatkan
oleh Israil dari Ziyad dari
Amer bin Maimun dari Aisyah
t yang memberitakan:
"Rusudullah
r pernah mencium saya
padahal saya sedang berpuasa."
Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thahawi
dengan sanad shahih. Israii
di atas adalah putra Yunus bin Abu Ishaq As-Sabu. Sedang
Ziyad adalah putra Ilaqah.
Dalam periwayatan ini Imam Ahmad juga mentakhrijnya (6/258) melalui
Syaiban dari Ziyad bin llaqah dari Amer bin Maimun yang memberitahukan: "Saya bertanya
kepada Aisyah t tentang orang berpuasa yang
mencium istrinya. la menjawab:
"Rasulullah juga pernah mencium ketika beliau
sedang berpuasa. "
Saya menilai: Sanad hadits itu
shahih. Syaiban adalah putra Abdurrahman At-Tamimi Al-Bashri. Dia memenuhi kriteria sanad Imam Muslim. Imam Muslim sendiri juga mentakhrijnya di
dalam Kitab Shahih-nya (3/136) melalui jalur lain
dari Ziyad tanpa menunjukkan adanya pertanyaan dan
disertai dengan tambahan: pada bulan Ramadhan. Riwayat dengan
tambahan ini menurut versi Imam Ahmad (6/130).
Kemudian Imam Muslim juga memiliki jalur lain
yang berasal dari Ikrimah dari Aisyah t (6/292):
"Bahwa Nabi r memberikan ciuman, padahal
beliau sedang puasa, Pada diri Rasulullah kalian mendapatkan suri teladan."
Sanad hadits ini shahih. Ikrimah
adalah Al-Barbari, seorang budak yang dimerdekakan
oleh Ibnu Abbas yang telah mendengar langsung dari Aisyah t. Sedang Imam Ahmad (6/291) meriwayatkannya dari Ummu Salamah
dengan matan yang sama
dengan hadits Aisyah yang pertama. Sanadnva hasan jika
dipakai untuk syahid (hadits pendukung).
Hadits
di atas menunjukkan kebolehan seseorang melakukan ciuman kepada istrinya pada
siang had bulan puasa.
Abdullah menjawab: "Apakah aku boleh menciumnya.
sedang aku tengah berpuasa?"
Aisyah menjawab: "Mengapa tidak?" Hadits ini
ditakhrij oleh Imam Malik (1/274).
sedang Ath-Thahawi
meriwayatkan hadits itu dari Imam Malik (1/327)
dengan sanad yang shahih. Ibnu Hazem
berkata: (lihat bukunya juz VI, hal211):
"Aisyah binti Thalhah
adalah wanita tercantik pada masanya. Dan
peristiwa itu terjadi pada masa Aisyah t.
Jadi ia dan suaminya benar-benar masih muda belia."
Hadits ini dan yang sejenisnya mengisyaratkan bahwa
Aisyah tidak mengkhawatirkan keduanya
terperosok lebih jauh lagi. Karena itu A1-1 lafazh mengatakan (lihat
Al-Fath. 4/123) setelah menyebutkan hadits itu dari jalur Nasa’i:
".... lalu ia (Aisyah) berkata: "Saya
sedang berpuasa. tetapi
beliau mencium saya." Hal ini semakin memperkuat apayang saya katakan, bahwa boleh tidaknya melakukan caiman
adalah dengan melihat pengaruh yang diakibatkannya.
bukan karena faktor usia. Pada waktu
itu Aisyah memang masih sangat belia. Ha! ini
bisa dibenarkan. tetapi bukan berarti menjadi ukuran.
Namun karena alasan itulah ada pula yang membedakannya dengan faktor usia.
٢٢٠ - ßóÇäó íõÞóíøöáõ æóåõæó ÕóÇÆöãñ æóíõÈóÇÔöÑõ æóåõæó ÕóÇÆöãñ
æóßóÇäó Ãóãúáóßõßõãú öáÅöÑúÈöåö
“Rasulullah
mencium pada saat berpuasa, beliau menyentuh kulit
pada saat berpuasa. Beliau paling
mampu menguasai birahinya di antara kalian.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam
Bukhari (4/120-121, Al-Fath).
Imam Muslim
(3/135) Imam Asy-Syafi’i di dalam kitab Sunan-nya (1/261), Imam Abu
Dawud (2/284), Imam Tirmidzi (2/48), Ibnu Majah (1/516-5117), Ath-Thahawi (1/345), Al-Baihaqi (4/230) dan Imam Ahmad (4/42-126) melalui beberapa jalur
dari Aisyah t. Sedangkan At-Tirmidzi menilai: "Hadits ini
hasan shahih."
Hadits ini memiliki makna lain dari hadits sebelumnya. yang
berisi-kan tentang diperbolehkannya bersentuhan kulit
pada saat berpuasa. Namun kali ini
tentang sentuhan kulit lebih dari sekadar mencium.
1. Hadits
riwayat Aisyah t yang lain; "Jika salah
seorang bermubasyarah.
maka beliau memerintahkan agar ia berkain di alas tempat haidh. Saat itulah beliau bermubasyarah."
Lalu Aisyah berkata: "Siapa di
antara kalian yang mampu menahan birahinya. "
Hadits ini ditakhrij oleh
Imam Bukhari (1/320) dan Imam Muslim {1/166-167) serta Imam lainnya.
2.
Al-mubasyarah di sini sama
artinya dengan al-mubasyarah
pada hadits yang menjelaskan puasa, sebab kata yang digunakan sama persis. Dalalah dan riwayatnya juga sama. Di sini juga tidak terdapat mukhashshish (pengkhususan makna) bagi kata itu (yang
menyempitkan maknanya). Bahkan Aisyah t dalam hadits
tentang puasa memberikan tafsiran terhadap kata "mubasyarah".
Seperti riwayat berikut ini:
٢٢۱ - ßóÇäó íõÈóÇÔöÑõ æóåõæó ÕóÇÆöãñ Ëõãøó
íóÌúÚóáõ Èóíúäóåõ æóÈóíúäóåóÇ ËóæúÈðÇ . íóÚúäöí ÇúáÝóÑúÌö
“Rasulullah r bermubasyarah. Beliau membuat tabir antara beliau
dengan farji.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/59). Dia
memberitahukan: "Telah meriwayatkan kepada kami Ibnu Namir
dari Thalha bin Yahya yang
berkata: "Telah meriwayatkan kepada saya Aisyah binti Thalha
dari Aisyah t, bahwa Rasulullah r bermubasyarah...." Ibnu Khuzaimah
juga mentakhrijnya di dalam kitab Shahih-mz.(\i\2Q).
Saya berpendapat: Hadist ini memiliki sanad jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah dan dipakai oleh Imam Muslim. Kalau saja Thalha ini
tidak mendapat sedikit kritikan mengenai hafalannya, maka saya akan mengata
Saya berpendapat: Hadits ini memiliki arti yang
sangat penting. yaitu
tentang
penafsiran mengenai al-mubasyarah, yang diartikan dengan "menyentuh
wanita pada anggota selain kemaluan." Flat ini
memperkuat penafsiran sebelumnya, yang dikutip oleh Al-Qari.
Meskipun dalam mengutipnya dia menggunakan shighat tamridh (memakai
kata qilu: "dikatakan"). Dengan demikian. hadits ini dapat dijadikan tendensi. Tak ada dalil syara' yang menentangnya.
Bahkan saya telah menemukan pendapat ulama yang mendukung.
Di antaranya adalah. penafsiran
dari perawi hadits itu sendiri, yakni Aisyah t. Dalam hal ini Ath-Thahawi meriwayatkan (I
347) dengan sanad shahih dari Hakim bin Iqal yang
menceritakan: "Saya bertanya kepuda Aisyah t: "Apa yang haram saya lakukan terhadap
istri saya di saat saya sedang berpuasa.' Dia menjawub: "Kemaluannya."
Hakim ini dinilai tsiqah oleh Ibnu Hihban. Al-ljli sendiri
menilainya: "Seorang berkebangsaan Bashrah,
tabi'i dan tsiqah."
Sedangkan Imam Bu-khari mengomentari hadits ini dalam
pokok bahasan (4/120): "Bab Mubasyarah Bagi Seorang Yang Berpuasa."
Kembaii
pada Aisyah t. dia juga mengatakan: "Haram bagi dia kemaluan
istrinya."
Sementara Al-Hafizh tidak ketinggalan
memberikan komentarnva: "Ath-Thahaui
menyambung sanad hadits itu melalui Abu Murrah. bekas budak Uqail. dari Hakim bin Iqal..." Penyandarannya kepada Hakim ini shahih. Hal senada dijelaskan pula dalam
riwayat Abdurrazaq dengan sanad
shahih dari Masruq yang menuturkan: "Saya bertanya kepada Aisyah t: "Apa yang halal
dilakukan oleh seseorang terhadap istrinya di saat ia sedang berpuasa?'" Aisyah menjawab: "Semuanya halal. kecuali bersetubuh."
Saya mengetahui. Ibnu Hazem (6/221) menyebutkan hadits tersebut sebagai hujjah atas penolakannya terhadap orang yang memakruhkan persentuhan dengan
istri di saat berpuasa. Kemudian
saya sempat melihat naskah asli kitab Ats-Tsiqah di
perpustakaan Adh-Dhahiriyyah. Damaskus yang menyebutkan pendapatnya sebagai berikut:
(lihat
Seorang muhaddits membuat catatan kecil di
bagian tepi kitab ltu: "Al-Ijli.
seorang penduduk Bashrah. adalah tabi'i dan berstatus tsiqah."
Kemudian Ibnu Hazem menuturkan suatu kisah dari Sa'id bin Jubair balwa ada seseorang yang melapor kepada Ibnu Abbas:
"Saya telah menikah dengan putri paman saya. !a
seorang wanita elok. Saya memboyongnya
di bulan Ramadhan. Bolehkah saya menciumnya?"
Ibnu
Abbas menjawabnya seraya bertanya: “Apakah engkau
mampu meredam birahimu'?"
Orang itu menjawab:
"Mampu."
Kemudian Ibnu Abbas
berkata: "Boleh."
Namun
orang itu bertanya kembali: "Bolehkah saya bermubasyarah
dengannya?"
Ibnu
Abbas bertanya: Apakah engkau mampu meredam birahimu'?
la menjawab: "Mampu."
l.alu Ibnu Abbas pun
menjawab: "Boleh."
Orang itupun bermubasyarah dengan istrinya. Namun ia bertanya lagi: "Bolehkah saya menyentuh kemaluannya?"
lbnu Abbas bertanya:
"Mampukah kamu meredam birahimu?" Orang itu
menjawab: "Mampu."
Ibnu Abbas berkata:
"Peganglah kemaluannya.”
Ibnu Hazem menilai: "Inilah sanad yang paling shahih
dari Ibnu Abbas t." Selanjutnya Ibnu Hazem juga mengisahkan: "Melalui sanad
yang shahih pula diceritakan dari Sa'ad bin Abi Waqqash. bahwa dia pernah ditanya: "Pernahkah engkau mencium istrimu sedang kamu dalam keadaan berpuasa?"
Sa'ad menjawab: "Pernah. Bahkan aku juga sempat
menggenggam kemaluannya segala."
Juga diceritakan dari Amer
bin Syarahbil
bahwa Ibnu Mas'ud pernah bermubasyarah dengan istrinya
pada tengah hari bulan puasa. Ini juga merupakan sanad yang paling shahih dari Ibnu Mas'ud
t."
Saya berpendapat. atsar (segala perkataan dan perilaku sahabat.
tabi'in
dan lainnya) lbnu Mas'ud ini juga telah ditakhrij oleh lbnu Abi Svaibah (2'16V) dengan sanad shahih. sesuai dengan syarat
Bukhari-Muslim. Sedangkan atsar Sa'ad disebutkannya
dengan redaksi," Benar, bahkan aku memegang juga kemaluannya."
Sanad ini shahih. sesuai
dengan syarat Imam Muslim. Sedang atsar Ibnu Abbas
oleh Ibnu Abi Syaibah juga ditakhrijnya,
tetapi dengan redaksi yang agak singkat:
"Dia (Ibnu Abbas) memberikan keringanan kepadanya
(orang yang bertanya) untuk mencium isterinya. bermubasyarah dan meletakkan tangannya di atas
kemaluan istrinya, selama tidak mendorongnya melakukan yang lebih dari
itu."
Sanad atsar itu shahih. sesuai
dengan syarat Bukhari.
Ibnu Abi Syaibah juga
meriwayatkannya (2/170/1) dari Amer bin Haram yang menceritakan:
"Jabir ditanya tentang orang yang memandang istrinya di bulan Ramadhan. lalu mengeluarkan mani karena ereksi. apakah puasanya
batal?" Beliau menjawab: "Tidak", ia boleh melanjutkan puasanya."
Hadits itu diulas oleh Ibnu Khuzaimah dalam: "Bab Rukhshah Ber-mubasyarah
yang Tidak Mengundang Persetubuhan bagi Orang yang Berpuasa".
Disertakan pula tentang dalil mengenai satu kata yang
kadang-kadang memiliki dua arti. satu arti
diperbolehkan. sedang arti lain dilarang.
* * *
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |