MU’AWIAH, SEORANG PENULIS WAHYU
٨٢ . áÇóÇóÔúÈóÛó Çááåõ ÈóØúäóåõ . íóÚöäöì ãõÚóÇæöíóÉõ
“Semoga Allah tidak akan mengenyangkan perutnya, yakni perut Mu’awiayh.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi di dalam kitab Musnad-nya
(2746), ia memberitahukan, “Saya mendapatkan hadits
dari Hisyam dan Abu Awanah dari Abu Hamzah Al-Qashlab, dari Ibnu Abbas:
“Rasulullah e memanggil
Mu’awiyah untuk menuliskannya. Lalu ada yang
berkata kepada beliau, “Dia sedang makan.” Kemudian
memanggilnya untuk kedua kalinya. Tetapi orang itu juga berkata, “Dia
sedang makan.” Lalu Rasulullah bersabda: (kemudian perawi menyebutkan hadits di
atas).”
Saya berpendapat sanad ini shahih.
Seluruh perawinya tsiqah dan dipakai oleh Imam Muslim.
Sedangkan Abu Hamzah Al-Qashab yang nama aslinya adalah Imran bin Abu Atha’
dikritik oleh salah seorang imam. Tetapi hal itu tidak menjatuhkannya, sebab
beberapa imam lain yang jumlahnya lebih besar, di antaranya Imam Ahmad, Ibnu
Ma’in dan lainnya, menilainya tsiqah. Di samping itu orang
yang menilainya dha’if tidak menjelaskan alasannya. Jadi
termasuk jarh mabham (pencacatan yang tidak disertai alas an). Jarh
semacam ini tidak bias diterima. Dan nampaknya kaena
alas an itulah, Imam Muslim memakainya sebagai hujjah. Imam Muslim mentakhrij hadits itu di dalam kitab shahihnya (8/28)
dari Sya’bah dari Abu Hamzah Al-Qashab. Imam Ahmad di dalam kitabnya
(1/240,281,335,338) juga mentakhrijnya dari Sya’bah dari Abu Awanah dari Abu
Hamzah Al-Qashab tanpa menyebutkan kata: “Laa Asya’allahu Bahnahu.” Nampaknya hal itu merupakan ringkasan yang dilakukan oleh Imam
Ahmad, atau mungkin dari sebagian gurunya. Di tempat lain
Imam Ahmad menambahkan, “Ia seorang penulis beliau.” Sanad
hadits terakhir inik juga shahih.
“
٨٣ – ÇóæóãóÇ ÚóáöãúÊö ãóÇÔóÑóØúÊö Úóáóíúåö ÑóÈøöì
¿ ÞõáúÊõ : Çóááøóåõãøó ÇöäøóãóÇ ÇóäóÇ ÈóÔóÑñ ¡ ÝóÇóÊõì ÇáúãõÓúáöãöíúäó
áóÛóäúÊóåõ ÇóæúÓóÈøóíúÊóåõ ÝóÇÌúÚóáúåõ ÒóßóÇÉð æóÇóÌúÑðÇ .
“Apakah engaku tidak tahu isi perjanjian yang telah
saya buat dengan Tuhan saya? Saya memohon. “Ya
Allah, saya hanya seorang manusia. Muslim manapun yang telah saya laknat
dan saya caci, jadikanlah hal itu sebagai zakat (pemberian) dan pahala
baginya.”
Hadits ini dan hadits sebelumnya
diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam satu bab,
yaitu: “Orang yang Dilaknat, Dicaci atau Didoakan Jelek oleh Rasul.” Dalam bab tersebut dikatakan bahwa jika orang yang tidak layak
menerimanya, maka hal itu akan menjadi pembersih, pahala dan rahmat.
Setelah itu Imam Muslim menyebutkan
hadits Anas bin Malik: “Ummu Sulaim mempunyai bocah yatim asuh yang bernama
Ummu Anas. Rasulullah e suatu hari melihat bocah itu,
lalu bertanya, “Engkaukah itu?” Engkau telah besar,
semoga Allah tidak akan memanjangkan umurmu.” Kontan
saja si bocah yatim itu bergegas kembali kepada Ummu Sulaim sambil menangis
terisak. Ummu Sulaim terkejut dan bertanya, “Mengapa
engaku menangis, wahai anakku?” Anak itu menjawab,
“Rasulullah e
telah mendoakan jelek kepadaku, yaitu supaya aku tidak panjang umur.” Lalu Ummu Sulaim bergegas menghadap Rasul dengan mengalungkan
selendangnya di kepala. Begitu bertemu dengan Rasul,
Rasul mendahului bertanya. “
٨٤ - íóÇÇõãøó Óóáöíúãò ! ÇóãóÇ ÊóÚúáóãöíúäó Çóäøó ÔóÑúØöìú Úóáìٰ ÑóÈøöì
¿ Çöäøöì ÇÔúÊóÑóØúÊõ Úóáìٰ ÑóÈøöì ÝóÞõáúÊõ : ÇöäøóÇãó ÇóäóÇ ÈóÔóÑñ
ÇóÑúÖٰ ßóãóÇ íóÑúÖó ÇáúÈóÔóÑõ æóÇóÛúÖóÈõ ßóãóÇ íóÛúÖóÈõ ÇáúÈóÔóÑõ ¡
ÝóÇóíøõãóÇ ÇóÍóÏò ÏóÚóæúÊó Úóáóíúåö ãöäú ÇõãøóÊöì ÈöÏóÚúæóÉò áóíúÓó áóåóÇ
ÈóÇóåúáò . Çóäú íóÌúÚóáóåóÇ áóåõ ØóåõæúÑðÇ æóÒóßóÇÉð æóÞõÑúÊóÉð íõÞóÑøöÈõåõ
ÈöåóÇ ãóäúåõ íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö .
“Wahai Ummu Sulaim, apakah engkau tidak tahu pernjanjian yang
telah kuajukan kepada Tuhanku? Aku telah meminta janji dari
Tuhanku. “Sesungguhnya aku juga manusia. Aku
bias merasa lega sebagaimana manusia lain
merasakannya. Tapi aku juga bisa marah seperti manusia lain. Karena itu
siapapun umatku yang kudoakan jelek sedang ia tidak
sepantasnya menerima doa jelek, (aku berharap) agar itu dijadikan
sebagai pembersih dan ibadah taqarrub yang dapat mendekatkannya kepada Allah
kelak di hari kiamat.”
Kemudian Imam Muslim memperkuat
hadits ini dengan hadits yang berisi tentang Mu’awiyah sebagai penutup bab. Hal ini menunukkan bahwa kedua hadits itu berada dalam satu
bahasan. Oleh karena itu doa jelek yang
dilakukan oleh Nabi e terhadap Mu’awiyah justru menjadi
pembersih baginya dan sebagai amal taqarrub, seperti juga yang dilakukan beliau
terhadap anak yatim di atas. Imam Nawawi di dalam kitab Syarh-nya (2/325
cet.
“Doa jelek Nabi e kepada Mu’awiyah mengandung dua
kemungkinan:
Pertama: doa itu keluar dari Nabi e tanpa
sengaja
Kedua, sebagai balasan atas keterlambatan
Mu’awiyah. Dalam
memahami Haits ini Imam Muslim berpendapat, bahwa tidak sepantasnya Mu’awiyah
menerima doa seperti itu. Oleh karena itu beliau
memasukkannya ke dalam bab kelebihan Mu’awiyah, sebab
hakekat doa itu tetap baik baginya (bukan doa yang mencelakakan).”
Adz-Dzahabi nampaknya memilih
kemungkinan kedua di dalam bukunya Syaru A;lamin
Nabala (9/17/2).
Saya berpendapat: Doa
itu justeru merupakan pahala bagi Mu’awiyah, sebab Nabi e bersabda: “Ya Allah, orang-orang
yang aku doakan jelek, jadikanlah hal itu sebagai pembersih dan rahmat baginya.”
Perlu ditegaskan di sini bahwa sabda
Nabi e, “Sesungguhnya saya adalah manusia
biasa, yang kadang-kadang merasa lega…” merupakan pembicaraan lanjut dari apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an:
Þõáú ÇöäøóãóÇ ÇóäóÇ ÈóÔóÑñ ãöËúáõßõãú íõæúÍٰì Çöáøóì ÇóäøóãóÇ
Çöáٰåõßõãú Çöáٰåñ æóÇÍúÏõ Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæúÇ áöÞóÇÁóÑóÈøöåö
ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáÇú ÕóÇáöÍðÇ æóáÇóíõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈøöåö ÇóÍóÏð ( ÇáßåÝ : ١١٠)
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku.
“Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.”
Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi : 110).
Pengagungan
terhadap Nabi e adalah dengan mengimani semua
kebenaran yang dibawanya (termasuk hadits ini). Dengan demikian
kita mengimaninya sebagai hamba sekaligus seorang Rasul, tanpa melebih-lebihkan
dan tanpa menyepelekan. Beliau memang seorang manusia biasa seperti yang
lain, sebagaimana ditandaskan di dalam Al-Qur’an
maupun Al-Hadits, tetapi beliau juga seoirang pemimpin seluruh manusia dan
mahkluk termulia, seperti telah ditegaskan oleh hadits-haditsnya. Bukti lainnya
bahwa Allah telah menghiasinya dengan budi luhur dan sikap-sikap terpuji,
sebagai kesempurnaan yang belum pernah dicapai oleh manusia lain. Maha benar
Allah yang telah memuji kekasih-Nya dengan untaian kalimat-Nya:
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam : 4)
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |