NILAI LEBIH HANYA DITENTUKAN
OLEH KEISLAMAN
٥١ - ÇóíøõãóÇ Çóåúáõ ÈóíúÊò ãöäó ÇáúÚóÑóÈöì æóÇáúÚóÌóãö ÇóÑóÇÏóÇﷲõ
Èöåöãú ÎóíúÑðÇ ÇóÏúÎóáó Úóáóíúåöãõ ÇúáÇöÓúáÇóãó ¡ Ëõãøó ÊóÞóÚõ ÇáúÝöÊóäõ
ßóÇóäøóåóÇ ÇáÙøõáóáó .
“Penduduk manapun, Arab maupun non
Arab, yang dikehendaki menjadi baik oleh Allah, pasti akan dimasuki Islam.
Kemudian datanglah semua bentuk fitnah, ibarat kegelapan yang menyelimuti.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (3/477), Al-Hakim (1/34), Al-Baihaqi di dalam Haditsu Sa’dan bin
Nashar (1/4/1).
Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih
dan tidak memiliki ‘illat.”
Adz-Dzahabi juga memberikan
penilaian yang sama. Dan memang
seperti itulah keduanya mengatakan.
Al-Hakim (1/61-62) meriwayatkan
hadits senada melalui Ibnu Syihab:
“Umar bin Khattab pergi ke Syam. Di
antara kami ada Ubaidillah bin Jarrah. Mereka datang ke
Lalu Umar menjawab: “Seandainya yang
berkata itu bukan dirimu, niscaya akan aku singkirkan dari umat Muhammad. Ketahuilah, kita adalah kaum yang paling hina, lalu Allah memuliakan
dengan mendatangkan agama Islam. Karena itu jika kita
mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Dia akan menghinakan kita.”
Dalam hal ini, Al-Hakim mengatakan:
“Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.” Sementara
Adz-Dzahabi setuju dengan penilaian ini.
Namun Hakim juga mempunyai riwayat lain tentang hadits ini, yaitu:
“Wahai Amirul Mukmunin, para tentara
dan pembesar negeri Syam akan menyambut Anda, tetapi Anda seperti itu
keadaannya?” Lalu Umar menjawab: “Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan
oleh Allah dengan Islam. Karena itu kami tidak akan mencari
kemuliaan selain dengan Islam.”
Kata adh-dhalal
berarti segala sesuatu yang menaungi anda. Bentuk tunggalnya adalah dhullatun.
Namun arti yang dimaksud adalah gunung dan awan.
٥٢ -
Çöäøó Çﷲó ÚóÒøó æóÌóáøó áÇóíóÞúÈóáõ ãöäó ÇáÚóãóáö ÇöáÇøó ãóÇ
ßóÇäó áóåõ ÎóÇáöÕðÇ æóÈúÊóÛٰì Èöåö æóÌúåóåõ
“Sesungguhnya Allah hanya akan menerima amal yang
murni karena mengharap ridha-Nya.”
Sebab musabab keluarnya hadits ini,
seperti diriwayatkan oleh Abu Umamah, yaitu:
“
Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’I di
dalam Al-Jihad (2/59) dengan sanad hasan, seperti dikatakan oleh
Al-Hafizh Al-Iraqi di dalam Takhrijul Ihya’ (4/328).
Hadits yang senada
dengan ini banyak sekali, bisa dilihat di bagian awal pada kitab At-Targhib
karya Al-Mundziri.
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa
semu1a
amal shalih kaum mukminin tidak akan diterima kecuali
yang diniatkan untuk mencari ridha Allah I. Dalam hal ini Allah I menegaskan:
Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæ áöÞóÇÁó ÑóÈöøåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáÇ ÕóÇáöÍðÇ
æóáÇ íõÔúÑößú öÈÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈöøå ÇóÍóÏðÇ (
ÇáßåÞ : ١١۰ )
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya". (QS Al-Kahfi : 110)
Jika
demikian halnya dengan kaum mukminin, bagaimana dengan orang kafir yang berbuat
kebajikan. Jawabnya ada pada firman Allah I:
æó ÞóÏöãúäóÇ
Åöáóì ãóÇ ÚóãöáõæÇ ãöäú Úóãóáò ÝóÌóÚóáúäóÇåõ åóÈóÇÁð ãóäúËõæÑðÇ ( ÇáÝÑÞÇä
: ٢٣ )
“Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan :
23)
Jadi seandainya ada orang kafir yang
berbuat baik demi mencari ridha-Nya, Allah tidak akan
menyia-nyiakannya. Allah akan memberikan balasannya di
dunia ini. Hal ini juga dijelaskan oleh Rasulullsah e melalui sabdanya:
٥٣ - Çöäøó Çﷲó áÇóíóÙúáöãõ ãõÄúãöäðÇ
ÍóÓóäóÉð ¡ íõÚúØٰì ÈöåóÇ – æóÝöì ÑöæóÇíóÉò – íõËóÇÈú
ÚóáóíúåóÇÇáÑøöÒúÞó Ýöì ÇÏøõäúíóÇ . æóíõÌúÒٰì Ýöì úáÇóÎöÑóÉö ¡ æóÇóãøóÇ
ÇáúßÇÝöÑõ ÝóíõØúÚóãõ ÈöÍóÓóäóÇÊö ãóÇÚóãöáó ÈöåóÇ áöáøåö Ýöì ÇÏøõäúíóÇ ¡
ÍóÊøٰìÇöÐóÇ ÇóÝúÖó Çöáóì úáÇóÎöÑóÉö áóãú íóßõäú áóåõ ÍóÓóäóÉñ
íõÌúÒٰì ÈöåóÇ .
“Allah I tidak akan menganiaya perbuatan
baik orang mukmin. Dia akan membalasnya (riwayat
lain: memberi pahal berupa rizki di dunia) dan akan membalasnya pula kelak di
akhirat. Sedangkan orang kafir, semua kebaikannya akan
diberikan berupa rizki di dunia saja, sehingga kelak di akhirat ia tidak
memiliki kebaikan sedikit pun yang pantas dibalas.”
Hadits ini ditarkhirj oleh
Imam Muslim (8/135), Imam Ahmad (3/125) dan
Dengan demikian dari permasalahan
ini bisa dibuat kaidah: “Orang kafir yang berbuat baik secara syar’I akan di
balas di dunia, namun amalnya tidak akan bermanfaat di akhirat, tidak bisa memperingan siksaan apalagi menyelamatkan.
Catatan:
Semua ini berlaku bagi orang kafir
yang mati dalam keadaan kafir, seperti yang bisa ditangkap dari hadits itu.
Sedangkan jika sebelum mati ia telah memasuki Islam,
maka semua amal baiknya akan dicatat dan dibalas oleh Allah, baik amal ketika
masih kafir, maupun sesudah masuk Islam. Hal ini dijelaskan oleh Nabi e melalui berbagai haditsnya, di
antaranya:
ÇöÐóÇ ÇóÓúáóãó
ÇáúÚóÈúÏõ ÝóÍóÓõäó ÇöÓúáÇóãõåõ ßóÊóÈó Çﷲõßõáøó ÍóÓóäóÉò ßóÇäó ÇóÒú
áóÝóåóÇ .
“Jika
seseorang masuk Islam, lalu mengerjakan semua perintah-Nya dengan baik, maka
Dia akan membalas semua amal baiknya sejak sebelum masuk Islam.”
Hadits
selengkapnya insya Allah akan saya sebutkan pada
bagian yang akan datang.
Kemudian
pada permasalahan di atas, beberapa orang yang mengira bahwa kaidah tersebut
tidak sesuai dengan hadits Nabi e, misalnya:
٥٤
- Çóäú
ÇóÈöìú ÓóÚöíúÏò ÇáúÎõÏúÑöìú Çóäøó ÑóÓõæúáó Çﷲö ÕóÇáøóì Çﷲõ
Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÐóßóÑó ÚöäúÏóåõ Ûóãõåõ ÇóÈóæú ØóÇáöÈò ¡ ÝóÞóÇáó : áóÚóáøóåõ
ÊóäúÝóÚõåõ ÔóÝóÇÚóÊöìú íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÝóíóÌúÚóáú Ýöì ÖóÍúÖóÇÍò ãöäú äóÇÑö
¡ íóÈúáõÛõ ßóÚúÈóíúåö ¡ íóÛúáì ãöäúåõ ÏöãóÇÛõåõ .
“Diriwayatkan
dari Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah e mendengar pamannya disebutkan dihadapannya. Lalu beliau
bersabda: “Semoga syafaatku akan bisa menolongnya kelak, sehingga ia akan
diletakkan di dalam neraka yang paling dangkal, sampai pada kedua mata kakinya,
namun dapat mendidihkan otaknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Muslim (1/135), Imam Ahmad (3/50-55) dan Abu Ya’la di dalam kitab Musnad-nya
(nomor: 86/2).
Saya akan
menanggapinya dengan dua argumentasi yang menguatkan:
Pertama: Saya tidak menemukan satu hadits
pun yang bertentangan dengan kaidah di atas. Sebab di dalam
hadits itu tidak dijelaskan bahwa amal Abu Thalib lah yang menyebabkan siksanya
diperingan. Tetapi yang menyebabkan siksaannya
diperingan adalah syafaat Nabi e. Hal ini diperkuat
dengan sabdanya berikut ini:
٥٥ - Çóä ÇáÈøóÇÓ Èöäú ÚóÈúÏö ÇáúãõØóáöÈö Çóäøóåõ
ÝóÇáó : íóÇ ÑóÓõæúáó Çﷲö¡ åóáú äóÝõÚúÊó ÇóÈóÇØóÇáöÈò ÈóÔóíúÁò ¡
ÝóÇóäøóåõ ßóÇäó íóÍõæúØõä æóíóÛúÖóÈõ áóßó ¿ ÞóÇáó : äóÚóãú ¡ åõæó Ýöì ÖóÍúÖóÇÍò ãöäú
äóÇÑö æóáóæú áÇó ÇóäóÇ – Çóìú ÔóÝóÇÚóÊõåõ – áóßóÇäó Ýöì ÇáÏøóÑúßö ÇúáÇóÓúÝóáö
ãöäó ÇáäøóÇÑö
“Diriwayatkan dari Al-Abbas bin
Abdul Muthalib, bahwa ia berkata: “Wahai Rasul, apakah engaku dapat memberi
manfaat (syafaat) kepada Abu Thalib? Sebab dia telah melindungimu
dan marah demi kamu?” Beliau menjawab: “Benar. Ia
diletakkan di dalam neraka yang dangkal. Seandainya tidak ada syafaatku,
niscaya dia akan diletakkan di neraka yang paling bawah.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/134-135), Imam Ahmad (1/206, 207, 210), Abu
Ya’la (213/2 dan 313/2) serta Ibnu Asakir (19/51/1). Di sini Imam
Muslim telah melakukan penelitian terhadap sanad dan matannya.
Hadits ini
menegaskan bahwa yang menyebabkan diringankannya siksa Abu Thalib adalah
syafaat Nabi e, seperti hadits sebelumnya, bukan
amal Abu Thalib.
Dengan demikian, tidak ada kontradiksi sedikit pun antara
hadits itu dengan kaidah di atas. Akhirnya hadits itu bisa kita pahami,
bahwa hal itu merupakan keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Nabi e dan satu penghargaan tersendiri
yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya tercinta, karena syafaatnya tetap
diterima, walaupun diberikan kepada pamannya yang telah meninggal dunia dalam
keadaan musyrik. Padahal dalam ketentuannya orang yang mati dalam keadaan
musyrik adalah seperti yang dikemukakan oleh Al-Qur’an :
ÝóãóÇ ÊóäúÝóÚõåõãú ÔóÝóÇÚóÉõ
ÇáÔóøÇÝöÚöíäó (ÇáãÏËÑ :
٤٨ )
“Maka
tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan
syafaat.” (QS Al-Mudatsir : 48)
Namun
demikian Allah I dengan anugerah-Nya masih memberikan
keistimewaan kepada orang yang dikehendaki-Nya dan lebih berhak menerimanya,
yaitu Rasulullah e sebagai pemimpin semua
nabi-Nya.
Kedua: Seandainya kami
menerima bahwa yang menyebabkan diringankannya siksa Abu Thalib adalah karena
dia menolong Nabi e, maka hal ini tentu
merupakan pengecualian dari kaidah di atas. Dan hadits ini
tidak bisa dijadikan sebagai sanggahan terhadap kaidah di atas, seperti diakui
di dalam kaidah hokum Islam. Tetapi alasan yang saya
pakai adalah yang pertama, sebab lebih jelas.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |