PENGOBATAN
-
ßóÇäó
íóÃúßõáõ ÇáúÞóËóÇÁó ÈöÇáÑøõØóÈö . ٥٦
“Rasulullah e memakan mentimun dengan kurma yang
matang (sebelum menjadi tamar).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (2/506), Imam Muslim (6/122), Imam Abu Dawud (hadits no. 3835), Ibnu
Majah (3325), Imam Ahmad (1/203) dan hadits Abu Hasan Ahmad bin Muhammad yang
dikenal dengan Ibnul Jundi di dalam Al-Fawa’idul Hisan (nomir: 2/1) dari
hadits Abdullah bin Ja’far secara marfu’. Sedang redaksi
hadits ini milik Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam yang lain
memakai kata raaitu sebagai ganti dari kaana.
Imam Tirmidzi berkomentar: “Hadits
ini hasan shahih.” (tidak jelas antara hasan dan
shahih).
Menurut redaksi Imam Ahmad di tempat
lain (1/204) disebutkan:
“Makanan terakhir yang saya lihat di
dalam satu tangan Nabi adalah kurma-kurma yang matang, sedang di tangannya yang
lain saya melihat mentimun. Beliau memakan sebagian kurma itu
dan memegang mentimunnya, dan Beliau memakannya dari sini dan mengunyahnya dari
sini.”
Di dalam sanad hadits ini terdapat
Nashr bin
Demikian pula
Al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyandarkan hadits itu kepada Al-Haitsami di dalam Al-Fath
(9/496). Dia
menilainya: Sanadnya dha’if.
Mereka sebenarnya
telah melupakan bahwa hadits itu juga disebutkan di dalam Al-Musnad. Adapun penilaian
Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut, bisa jadi karena terpengaruh peniliaian
Al-Haitsami, yang menyatakan bahwa salah satu perawinya Ashram bin Hausyab
adalah matruk.
Oleh karena itu
saya berpendapat, dengan adanya tambahan itu, maka hadits itu menjadi dha’if. Kedua sanad itu
tidak saling menguatkan, sebab ke-dha’if-annya sudah terlalu berat.
Namun demikian hadits itu memiliki syahid (hadits dengan perawi lain yang
maknanya sama) yang diriwatkan oleh Anas bin Malik
dengan redaksi sebagai berikut:
“Rasulullah e memegang korma yang matang di
tangan kanannya dan memegang mentimun di tangan kirinya. Kemudian beliau
memakan korma itu dengan mentimun, buah yang sangat disukai oleh beliau.”
Namun hadits ini
juga dha’if, bahkan telalu dha’if. Al-Haitsami menambahkan:
“Hadits ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath. Di dalam sanadnya terdapat Yusuf
bin ‘Athiyyah Ash-Shafar. Ia seorang perawi yang matruk.”
Dari jalur ini
Al-Hakim mentakhrijnya (juz IV hal. 121), dan menyebutkan bahwa Yusuf
menyendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut. Sementara Adz-Dzahabi selanjutnya
menilai: “Ia seorang rawi yang lemah.”
Demikian pula
Al-Hafizh menilai sebagaimana yang saya kemukakan di atas.
Hadits
yang sudah dha’if ini masih mengandung perbedaan redaksi, yaitu kata qitsa’
diganti dengan kata biththikh (semangka). Namun demikian penggantian kata ini
juga mempunyai dasar dari beberapa sahabat, di antaranya Anas ra yang akan saya sebutkan berikutnya.
Abu Dawud di dalam
kitabnya (3903) dan Ibnu Majah (3324) mentakhrij sebuah hadits dari Aisyah ra
yang berkata:
“Ibuku
pernah merawatku agar aku kembali gemuk, karena beliau ingin membawaku
menghadap Rasulullah e. Beliau belum
merasa tenang (karena diriku masih terlalu kurus). Akhirnya
aku memakan mentimun dengan korma yang matang. Lalu bertambah gemuk,
dengan paras yang lebih cantik.”
Sanad
hadits ini shahih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyandarkan hadits ini kepada Ibnu Majah dan Nasa’I,
seakan ia menunjukkan bahwa hadits itu ada di dalam
kitab As-Sunan Al-Kubra. Ia menambahkan, “Di
dalam riwayat Abu Na’im dalam bab Ath-Thib dijelaskan adanya jalur lain
dari Aisyah yang berisi perintah Nabi e kepada kedua orang tua Aisyah agar melakukan hal itu.”
Menurut
saya sanad hadits ini perlu dipertimbangkan lagi nilainya.
“Rasulullah e memakan mentimun dengan korma yang
matang, (Lalu beliau bersabda: “Kita menangkal panasnya korma dengan dinginnya
mentimun, dan menangkal dinginnya mentimun dengan panasnya korma).”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Humaidi di dalam kitab Musnad-nya (42/1), Abu Dawud
(3835), Ath-Thirmidzi (1/338), Abubakar Muhammad bin
Akhbaru Ashbahan (1/103), Abu Ja’far Al-Bahtari dalam Al-Fawa’id
(4/77/2) dan Abubakar bin Dawud di dalam Musnad Aisyah (54/2) dari
hadits Aisyah ra. Sementara itu Ath-Thirmidzi menilai: “Hadits ini hasan
gharib (tidak jelas antara hasan atau gharib).”
Saya
berpendapat sanad Al-Humaidi shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari dan
Muslim. Sedangkan sanad Abu Dawud adalah hasan. Tambahan
itu (yang ada di dalam kurung pada hadits di atas) juga berasal dari
Al-Humaidi. Sedang Al-Hafizh Ibnu Hajar menyandarkan
hadits ini kepada Imam Nasa’I tanpa menyebutkan tambahan itu. Beliau
menilai: “Hadits ini shahih sanadnya.”
Hadits ini juga
memiliki syahid dari hadits Anas, seperti yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I dan
ditakhrij oleh Ibnudh-Dhuraisi di dalam Al-Hadits Muslim bin Ibrahim Al-Adzi
(5/1), dengan sanad yang perawi-perawinya tsiqah.
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits tersebut (3326) dari hadits Sahl bin Sa’id, tetapi sanadnya
lemah sekali. Dengan demikian sudah dianggap cukup memegangi
hadits Aisyah.
Adapun Ibnu Qayyim di
dalam Zaadul Ma’ad (3/175) memberikan komentar setelah tambahan itu
dengan tambahannya:
“Mengenai
Al-bithikh (semangka) banyak hadits yang menerangkannya, tetapi tidak
ada yang shahih satu pun, kecuali hadits ini. Yang dimaksud adalah buah hijau
yang ranum dan basah (kadar airnya tinggi). Mengenai semangka ini khalayak sudah mengenalnya (mudah diperoleh).
Buah ini lebih mudah larut ketika sudah berada di dalam perut, dibanding dengan
makanan lain. Jika seseorang terserang demam, maka ia
bisa memanfaatkan buah ini. Tetapi jika ia menderita
kedinginan, maka bisa memanfaatkan jahe atau lainnya yang sejenis. Dan seyogyanya buah ini disantap sebelum makan. Jika tidak,
maka akan mengakibatkan mual atau muntah.
Apa
yang dikatakan dokter tersebut juga pernah disinyalir oleh Nabi e, melalui hadits marfu’, meskipun
tidak shahih. Dan hadits itu telah saya sebutkan di dalam Al-Hadits
Adh-Dha’ifah (hadits no. 144). Silahkan periksa.
Perkataan
Ibnu Qayyim “yang dimaksud buah hijau” adalah berdasarkan matan lahiriah
haditsnya (tekstualnya). Tetapi hal ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di
dalam kitabnya Al-Fath. Ia menyebutkan
bahwa yang dimaksud adalah buah yang sudah menguning. Ia
berargumen dengan hadits berikut ini: (Namun disitu ada jawabannya pula).
“Rasulullah memakan
korma yang matang dengan khirbiz, yakni sejenis semangka.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/141-143), Abubakar Asy-Syafi’I di dalam Al-Fawa’id
(105/2) dan Adh-Dhiya di dalam Al-Muhktarah (86/2) dari Jarir bin Hazim
dari Anas secara marfu’.
Kemudian Adh-Dhiya
meriwayatkannya dari Ahmad, yang memberitahukan: Wahb bin Jarir telah
meriwayatkan kepadaku, ia mengatakan: Ayahku telah meriwayatkan
kepadaku hadits seperti itu. Ia berkata:
“Diriwayatkan dari
Mihna, murid Imam Ahmad bin Hambal, ia menandaskan:
Hadits ini tidak shahih, dan tidak didapatkan dari Humaid atau yang lain,
tetapi hanya dari Abdullah bin Ja’far.”
Saya berpendapat, riwayat
Imam Ahmad di dalam Musanad-nya melemahkan pendapat ini, atau memperkuat
rujukannya dengan adanya riwayat darinya, tetapi ia
sendiri tidak menyebutkan hadits itu di dalam kitabnya. Demikian pula hadits
Abdullah bin Ja’far disebutkan di dalam shahih Bukhari dan Muslim, yaitu:
٥٨ - ßóÇäó íóÃúßõáõ ÇáÑøõØóÈó ãóÚó ÇáúÍöÑÈöÒö
íóÚúäöì ÇáúÈöØøöíúÍó .
“Saya melihat Nabi e memakan mentimun dengan korma yang
masak.”
Saya
berpendapat sanad hadits ini shahih, tidak ada cacat yang menjatuhkannya. Sekalipun Jarir bin Hazim dinilai
kacau hafalannya, tetapi Imam Bukahri ataupun Muslim meriwayatkannya sebelum
terjadi kekacauan pada hafalannya, seperti dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam At-Taqrib. Oleh karena itu ia
menilai sanad hadits itu sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Al-Fath
(9/496), setelah menyadarkan hadits itu kepada Imam Nasa’I, yakni dalam Al-Kubra.
Selanjutnya ia menjelaskan:
“Kata al-khirbiz
(dengan membaca kasra kha’, membaca sukun ra’ dan membaca kasrah ba’) merupakan
nama sebuah jenis semangka yang berwarna kuning. Jika mentimun sudah matang dan menguning karena panasnya cuaca,
maka mentimun itu seperti khirbiz, sebagaimana bisa disaksikan di Hijaz.
Ini merupakan komentar terhadap orang yang menyangka bahwa
yang dimaksud al-bhithikh di dalam hadits itu adalah yang hijau. Mereka beralasan bahwa mentimun yang kuning mengandung panas,
seperti korma. Padahal ada alasan, bahwa antara korma
dan mentimun saling mempengaruhi suhu masing-masing. Untuk menjawab
alasan itu adalah bahwa mentimun yang kuning jika dibanding dengan korma tetap akan diakatakan dingin.
Saya
sendiri berpendapat komentar ini perlu direnungkan kembali. Hal itu karena hadits itu ditakhrij
dari orang yang tidak sama. Hadits
pertama ditakhrij dari Aisyah, sedang hadits kedua diriwayatkan oleh Anas.
Sehingga tidak tepat jika hadits yang satu dijelaskan dengan hadits lainnya,
sebab ada kemungkinan mengandung maksud yang berbeda, terlebih lagi pada hadits
yang pertama terdapat tambahan: “… mengatasi panasnya ini dengan dinginnya
ini…” Kejelasan arti kalimat itu tidak berlaku pada khibriz, apalagi jika
selama yang dimaksudkan adalah yang mempunyai kadar
kalori tinggi seperti korma.
Kandungan Hadits
Al-Khatib di dalam
kitabnya Al-Faqih wal-Mutafaqqih (79/1-2) setelah menyebutkan
sanadnya sampai kepada Abdullah bin Ja’far, menandaskan:
“Orang-orang
yang menempuh jalur sufistik menegaskan bahwa orang yang makan karena mencari
kenikmatan, memenuhi tuntutan hawa nafsu dan mencari kebanggaan diri, bukan
semata untuk menjaga kondisi tubuh agar bisa beribadah dengan baik, sama sekali
tidak diperbolehkan. Tatkala hadits ini datang, runtuhlah pandangan mereka
itu, artinya seseorang boleh makan dengan maksud-maksud di atas. Selanjutnya mereka menegaskan, bahwa seseorang tidak diperkenankan
memakan dua jenis makanan (sekaligus) pula. Hadits ini
juga menggugurkan penegasan mereka yang terakhir itu. Dengan
demikian, seseorang diperbolehkan makan dengan jenis makanan dan lauk yang
lebih dari satu macam sekaligus.”
Saya berpendapat:
Sebenarnya mereka mempunyai dalil untuk memperkuat penegasannya. Tetapi hadist-hadits yang mereka pergunakan sangat lemah nilainya.
Saya telah menyebutkan beberapa di antaranya di dalam Silsilatul-Ahadits
Al-Maudhu’ah (lihat hadits no. 241 dan 257).
٥٩ - íóÇ Úóáöìøõ ÇóÕöÈú ãöäú åٰÐóÇ Ýóåõæó
ÇóäúÝóÚõ áóßó .
“Wahai Ali, ambillah makanan ini, karena sangat bermanfaat
bagimu.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud (3856), At-Tirmidzi (2/2,3), Ibnu Majah (2442),
Imam Ahmad (6364) dan Al-Khatib di dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih (255/2)
dari jalur Falih bin Sulaiman dari Ayub bin Abdurrahman bin Sha’sha’ah
Al-Anshari dari Ya’qub, dari Ummu Mundzir binti Qais Al-Anshariyyah, yang
menuturkan:
“Rasulullah
e datang kepadaku bersama Ali yang
baru saja sembuh dari sakitnya. Saya mempunyai beberapa tandan korma.
Rasulullah e berkenan mengambil sebagiannya
untuk dimakan. Sementara itu Ali ra ingin berdiri ikut
mengambilnya. Lalu Rasulullah e berkata kepada Ali: “Tunggu, engkau baru saja sakit.” Ali pun mengurungkan niatnya itu. Ummu Mundzir berkata:
“Saya membuat makanan dari terigu dan silq (sejenis ubi untuk sayuran). Saya menghidangkannya untuk mereka. Rasulullah e bersabda: (perawi menyebutkan sabda
Nabi e di atas).”
Imam Tirmidzi berkata:
“Hadits
ini hasan gharib (tidak jelas antara hasan atau gharib), kecuali yang saya
ketahui dari Fali.”
Saya
berpendapat sebenarnya Falih ini diperselisihkan.
Ibnul Qayyim di dalam
kitabnya Zaadul Ma’ad (3/97) setelah menuturkan hadits itu berkara:
“Perlu
diketahui bahwa larangan Nabi e
terhadap Ali untuk memakan anggur adalah karena kondisi Ali yang masih belum
pulih. Sehingga
jika ia memakannya dikhawatirkan sakitnya akan kambuh.
Buah ini kurang baik dimakan oleh orang yang baru saja sembuh
dari penyakitnya, karena mudah larut, sementara kondisi perut diperkirakan
belum siap menerimanya, disamping masih harus mengusir penyakit itu dari tubuh.
Kemungkinan yang terjadi bisa berkurang penyakitnya, atau
justru bertambah. Tatkala beliau disuguh makanan yang
terbuat dari terigu dan silq, maka Beliau mempersilahkan Ali untuk
menyatapnya. Sebab makanan itu sangat bermanfaat bagi
orang yang baru saja sembuh, apalagi jika manakan itu dimasak dengan akar shilq
(sejenis ubi untuk sayur) sekaligus. Makanan ini
sangat cocok bagi orang yang perutnya masih lemah, terlebih lagi untuk
menghindari keluarnya cairan yang tidak diharapkan.”
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |