As-Shahihah Daftar Isi >
PENGOBATAN ALA NABI (56 - 59)
PreviousNext

        PENGOBATAN ALA NABI

 

 

 

 

 -   ßóÇäó íóÃúßõáõ ÇáúÞóËóÇÁó ÈöÇáÑøõØóÈö .  ٥٦

“Rasulullah e memakan mentimun dengan kurma yang matang (sebelum menjadi tamar).”

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (2/506), Imam Muslim (6/122), Imam Abu Dawud (hadits no. 3835), Ibnu Majah (3325), Imam Ahmad (1/203) dan hadits Abu Hasan Ahmad bin Muhammad yang dikenal dengan Ibnul Jundi di dalam Al-Fawa’idul Hisan (nomir: 2/1) dari hadits Abdullah bin Ja’far secara marfu’. Sedang redaksi hadits ini milik Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam yang lain memakai kata raaitu sebagai ganti dari kaana.

 

Imam Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan shahih.” (tidak jelas antara hasan dan shahih).

 

Menurut redaksi Imam Ahmad di tempat lain (1/204) disebutkan:

 

“Makanan terakhir yang saya lihat di dalam satu tangan Nabi adalah kurma-kurma yang matang, sedang di tangannya yang lain saya melihat mentimun. Beliau memakan sebagian kurma itu dan memegang mentimunnya, dan Beliau memakannya dari sini dan mengunyahnya dari sini.”

 

Di dalam sanad hadits ini terdapat Nashr bin Bab. Ia seorang rawi yang lemah. Sedang Imam Al-Haitsami di dalam kitabnya Mujma’uz Zawa’id menyadarkan hadits tersebut kepada Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath dalam sebuah hadits yang panjang. Selanjutnya ia memberikan catatan: “Di dalam sanad hadits ini terdapat Ashram bin Hausyab. Ia seorang perawi matruk (diabaikan haditsnya).”

 

Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyandarkan hadits itu kepada Al-Haitsami di dalam Al-Fath (9/496). Dia menilainya: Sanadnya dha’if.

 

Mereka sebenarnya telah melupakan bahwa hadits itu juga disebutkan di dalam Al-Musnad. Adapun penilaian Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut, bisa jadi karena terpengaruh peniliaian Al-Haitsami, yang menyatakan bahwa salah satu perawinya Ashram bin Hausyab adalah matruk.

 

Oleh karena itu saya berpendapat, dengan adanya tambahan itu, maka hadits itu menjadi dha’if. Kedua sanad itu tidak saling menguatkan, sebab ke-dha’if-annya sudah terlalu berat. Namun demikian hadits itu memiliki syahid (hadits dengan perawi lain yang maknanya sama) yang diriwatkan oleh Anas bin Malik dengan redaksi sebagai berikut:

 

“Rasulullah e memegang korma yang matang di tangan kanannya dan memegang mentimun di tangan kirinya. Kemudian beliau memakan korma itu dengan mentimun, buah yang sangat disukai oleh beliau.”

 

Namun hadits ini juga dha’if, bahkan telalu dha’if. Al-Haitsami menambahkan:

 

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath. Di dalam sanadnya terdapat Yusuf bin ‘Athiyyah Ash-Shafar. Ia seorang perawi yang matruk.”

 

Dari jalur ini Al-Hakim mentakhrijnya (juz IV hal. 121), dan menyebutkan bahwa Yusuf menyendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut. Sementara Adz-Dzahabi selanjutnya menilai: “Ia seorang rawi yang lemah.”

 

Demikian pula Al-Hafizh menilai sebagaimana yang saya kemukakan di atas.

Hadits yang sudah dha’if ini masih mengandung perbedaan redaksi, yaitu kata qitsa’ diganti dengan kata biththikh (semangka). Namun demikian penggantian kata ini juga mempunyai dasar dari beberapa sahabat, di antaranya Anas ra yang akan saya sebutkan berikutnya.

Abu Dawud di dalam kitabnya (3903) dan Ibnu Majah (3324) mentakhrij sebuah hadits dari Aisyah ra yang berkata:

“Ibuku pernah merawatku agar aku kembali gemuk, karena beliau ingin membawaku menghadap Rasulullah e. Beliau belum merasa tenang (karena diriku masih terlalu kurus). Akhirnya aku memakan mentimun dengan korma yang matang. Lalu bertambah gemuk, dengan paras yang lebih cantik.”

Sanad hadits ini shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyandarkan hadits ini kepada Ibnu Majah dan Nasa’I, seakan ia menunjukkan bahwa hadits itu ada di dalam kitab As-Sunan Al-Kubra. Ia menambahkan, “Di dalam riwayat Abu Na’im dalam bab Ath-Thib dijelaskan adanya jalur lain dari Aisyah yang berisi perintah Nabi e kepada kedua orang tua Aisyah agar melakukan hal itu.”

Menurut saya sanad hadits ini perlu dipertimbangkan lagi nilainya.

“Rasulullah e memakan mentimun dengan korma yang matang, (Lalu beliau bersabda: “Kita menangkal panasnya korma dengan dinginnya mentimun, dan menangkal dinginnya mentimun dengan panasnya korma).”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Humaidi di dalam kitab Musnad-nya (42/1), Abu Dawud (3835), Ath-Thirmidzi (1/338), Abubakar Muhammad bin Akhbaru Ashbahan (1/103), Abu Ja’far Al-Bahtari dalam Al-Fawa’id (4/77/2) dan Abubakar bin Dawud di dalam Musnad Aisyah (54/2) dari hadits Aisyah ra. Sementara itu Ath-Thirmidzi menilai: “Hadits ini hasan gharib (tidak jelas antara hasan atau gharib).”

Saya berpendapat sanad Al-Humaidi shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari dan Muslim. Sedangkan sanad Abu Dawud adalah hasan. Tambahan itu (yang ada di dalam kurung pada hadits di atas) juga berasal dari Al-Humaidi. Sedang Al-Hafizh Ibnu Hajar menyandarkan hadits ini kepada Imam Nasa’I tanpa menyebutkan tambahan itu. Beliau menilai: “Hadits ini shahih sanadnya.”

Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Anas, seperti yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I dan ditakhrij oleh Ibnudh-Dhuraisi di dalam Al-Hadits Muslim bin Ibrahim Al-Adzi (5/1), dengan sanad yang perawi-perawinya tsiqah.

Ibnu Majah meriwayatkan hadits tersebut (3326) dari hadits Sahl bin Sa’id, tetapi sanadnya lemah sekali. Dengan demikian sudah dianggap cukup memegangi hadits Aisyah.

Adapun Ibnu Qayyim di dalam Zaadul Ma’ad (3/175) memberikan komentar setelah tambahan itu dengan tambahannya:

“Mengenai Al-bithikh (semangka) banyak hadits yang menerangkannya, tetapi tidak ada yang shahih satu pun, kecuali hadits ini. Yang dimaksud adalah buah hijau yang ranum dan basah (kadar airnya tinggi). Mengenai semangka ini khalayak sudah mengenalnya (mudah diperoleh). Buah ini lebih mudah larut ketika sudah berada di dalam perut, dibanding dengan makanan lain. Jika seseorang terserang demam, maka ia bisa memanfaatkan buah ini. Tetapi jika ia menderita kedinginan, maka bisa memanfaatkan jahe atau lainnya yang sejenis. Dan seyogyanya buah ini disantap sebelum makan. Jika tidak, maka akan mengakibatkan mual atau muntah. Ada seorang dokter yang berpendapat, bahwa makan semangka (mentimun) sebelum makan (makanan lain atau makanan pokok) dapat membersihkan perut dan menghilangkan penyakit lain secara tuntas.”

Apa yang dikatakan dokter tersebut juga pernah disinyalir oleh Nabi e, melalui hadits marfu’, meskipun tidak shahih. Dan hadits itu telah saya sebutkan di dalam Al-Hadits Adh-Dha’ifah (hadits no. 144). Silahkan periksa.

Perkataan Ibnu Qayyim “yang dimaksud buah hijau” adalah berdasarkan matan lahiriah haditsnya (tekstualnya). Tetapi hal ini disanggah oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath. Ia menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah buah yang sudah menguning. Ia berargumen dengan hadits berikut ini: (Namun disitu ada jawabannya pula).

“Rasulullah memakan korma yang matang dengan khirbiz, yakni sejenis semangka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/141-143), Abubakar Asy-Syafi’I di dalam Al-Fawa’id (105/2) dan Adh-Dhiya di dalam Al-Muhktarah (86/2) dari Jarir bin Hazim dari Anas secara marfu’.

Kemudian Adh-Dhiya meriwayatkannya dari Ahmad, yang memberitahukan: Wahb bin Jarir telah meriwayatkan kepadaku, ia mengatakan: Ayahku telah meriwayatkan kepadaku hadits seperti itu. Ia berkata:

“Diriwayatkan dari Mihna, murid Imam Ahmad bin Hambal, ia menandaskan: Hadits ini tidak shahih, dan tidak didapatkan dari Humaid atau yang lain, tetapi hanya dari Abdullah bin Ja’far.”

Saya berpendapat, riwayat Imam Ahmad di dalam Musanad-nya melemahkan pendapat ini, atau memperkuat rujukannya dengan adanya riwayat darinya, tetapi ia sendiri tidak menyebutkan hadits itu di dalam kitabnya. Demikian pula hadits Abdullah bin Ja’far disebutkan di dalam shahih Bukhari dan Muslim, yaitu:

٥٨ -  ßóÇäó íóÃúßõáõ ÇáÑøõØóÈó ãóÚó ÇáúÍöÑÈöÒö íóÚúäöì ÇáúÈöØøöíúÍó .

“Saya melihat Nabi e memakan mentimun dengan korma yang masak.”

Saya berpendapat sanad hadits ini shahih, tidak ada cacat yang menjatuhkannya. Sekalipun Jarir bin Hazim dinilai kacau hafalannya, tetapi Imam Bukahri ataupun Muslim meriwayatkannya sebelum terjadi kekacauan pada hafalannya, seperti dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib. Oleh karena itu ia menilai sanad hadits itu sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Al-Fath (9/496), setelah menyadarkan hadits itu kepada Imam Nasa’I, yakni dalam Al-Kubra. Selanjutnya ia menjelaskan:

“Kata al-khirbiz (dengan membaca kasra kha’, membaca sukun ra’ dan membaca kasrah ba’) merupakan nama sebuah jenis semangka yang berwarna kuning. Jika mentimun sudah matang dan menguning karena panasnya cuaca, maka mentimun itu seperti khirbiz, sebagaimana bisa disaksikan di Hijaz. Ini merupakan komentar terhadap orang yang menyangka bahwa yang dimaksud al-bhithikh di dalam hadits itu adalah yang hijau. Mereka beralasan bahwa mentimun yang kuning mengandung panas, seperti korma. Padahal ada alasan, bahwa antara korma dan mentimun saling mempengaruhi suhu masing-masing. Untuk menjawab alasan itu adalah bahwa mentimun yang kuning jika dibanding dengan korma tetap akan diakatakan dingin.

Saya sendiri berpendapat komentar ini perlu direnungkan kembali. Hal itu karena hadits itu ditakhrij dari orang yang tidak sama. Hadits pertama ditakhrij dari Aisyah, sedang hadits kedua diriwayatkan oleh Anas. Sehingga tidak tepat jika hadits yang satu dijelaskan dengan hadits lainnya, sebab ada kemungkinan mengandung maksud yang berbeda, terlebih lagi pada hadits yang pertama terdapat tambahan: “… mengatasi panasnya ini dengan dinginnya ini…” Kejelasan arti kalimat itu tidak berlaku pada khibriz, apalagi jika selama yang dimaksudkan adalah yang mempunyai kadar kalori tinggi seperti korma.

Kandungan Hadits

Al-Khatib di dalam kitabnya Al-Faqih wal-Mutafaqqih (79/1-2) setelah menyebutkan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Ja’far, menandaskan:

“Orang-orang yang menempuh jalur sufistik menegaskan bahwa orang yang makan karena mencari kenikmatan, memenuhi tuntutan hawa nafsu dan mencari kebanggaan diri, bukan semata untuk menjaga kondisi tubuh agar bisa beribadah dengan baik, sama sekali tidak diperbolehkan. Tatkala hadits ini datang, runtuhlah pandangan mereka itu, artinya seseorang boleh makan dengan maksud-maksud di atas. Selanjutnya mereka menegaskan, bahwa seseorang tidak diperkenankan memakan dua jenis makanan (sekaligus) pula. Hadits ini juga menggugurkan penegasan mereka yang terakhir itu. Dengan demikian, seseorang diperbolehkan makan dengan jenis makanan dan lauk yang lebih dari satu macam sekaligus.”

Saya berpendapat: Sebenarnya mereka mempunyai dalil untuk memperkuat penegasannya. Tetapi hadist-hadits yang mereka pergunakan sangat lemah nilainya. Saya telah menyebutkan beberapa di antaranya di dalam Silsilatul-Ahadits Al-Maudhu’ah (lihat hadits no. 241 dan 257).

 ٥٩ -    íóÇ Úóáöìøõ ÇóÕöÈú ãöäú åٰÐóÇ Ýóåõæó ÇóäúÝóÚõ áóßó .

“Wahai Ali, ambillah makanan ini, karena sangat bermanfaat bagimu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3856), At-Tirmidzi (2/2,3), Ibnu Majah (2442), Imam Ahmad (6364) dan Al-Khatib di dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih (255/2) dari jalur Falih bin Sulaiman dari Ayub bin Abdurrahman bin Sha’sha’ah Al-Anshari dari Ya’qub, dari Ummu Mundzir binti Qais Al-Anshariyyah, yang menuturkan:

“Rasulullah e datang kepadaku bersama Ali yang baru saja sembuh dari sakitnya. Saya mempunyai beberapa tandan korma. Rasulullah e berkenan mengambil sebagiannya untuk dimakan. Sementara itu Ali ra ingin berdiri ikut mengambilnya. Lalu Rasulullah e berkata kepada Ali: “Tunggu, engkau baru saja sakit.” Ali pun mengurungkan niatnya itu. Ummu Mundzir berkata: “Saya membuat makanan dari terigu dan silq (sejenis ubi untuk sayuran). Saya menghidangkannya untuk mereka. Rasulullah e bersabda: (perawi menyebutkan sabda Nabi e di atas).”

Imam Tirmidzi berkata:

“Hadits ini hasan gharib (tidak jelas antara hasan atau gharib), kecuali yang saya ketahui dari Fali.”

Saya berpendapat sebenarnya Falih ini diperselisihkan. Ada beberapa imam yang menilainya dha’if. Ada pula yang menilainya sebagai perawi yang masyhur. Imam Bukhari dan Imam Muslim juga memakainya di dalam kedua kitabi Shahi mereka. Yang paling tepat menurut saya adalah shaduq (sangat dipercaya). Hanya saja ia kadang-kadang melakukan kesalahan. Hadits ini juga ditakhrij oleh Al-Hakim di dalam kitabnya Al-Mustadrak (4/407) dan berkata: “Hadits ini shahih sanadnya.” Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini. Sebenarnya hadits itu hanya mencapai derajat hasan, seperti juga yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi.

Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (3/97) setelah menuturkan hadits itu berkara:

“Perlu diketahui bahwa larangan Nabi e terhadap Ali untuk memakan anggur adalah karena kondisi Ali yang masih belum pulih. Sehingga jika ia memakannya dikhawatirkan sakitnya akan kambuh. Buah ini kurang baik dimakan oleh orang yang baru saja sembuh dari penyakitnya, karena mudah larut, sementara kondisi perut diperkirakan belum siap menerimanya, disamping masih harus mengusir penyakit itu dari tubuh. Kemungkinan yang terjadi bisa berkurang penyakitnya, atau justru bertambah. Tatkala beliau disuguh makanan yang terbuat dari terigu dan silq, maka Beliau mempersilahkan Ali untuk menyatapnya. Sebab makanan itu sangat bermanfaat bagi orang yang baru saja sembuh, apalagi jika manakan itu dimasak dengan akar shilq (sejenis ubi untuk sayur) sekaligus. Makanan ini sangat cocok bagi orang yang perutnya masih lemah, terlebih lagi untuk menghindari keluarnya cairan yang tidak diharapkan.”

 

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com