As-Shahihah Daftar Isi >
PERIHAL UMAT YANG MENGHALALKAN KHAMR DANALAT MUSIK (89 - 92)
PreviousNext

PERIHAL UMAT YANG MENGHALALKAN

KHAMR DAN ALAT MUSIK

 

 

 

 

٨۹  - ÇöäøóÇóæøóáó ãóÇíõßúÝöﺉõ - íóÚúäö ÇúáÇöÓúáÇóãó – ßóãóÇíóßúÝóÃõ ÇúáÇöäóÇÁó – íóÚúäö ÇáúÎóãúÑó – ÝóÞöíúáó : ßóíúÝó íóÇ ÑóÕõæúáó Çááåö æóÞóÏú Èóíúäó Çááåõ ÝöíåóÇ ãóÇÈóíúäó ¿ ÞóÇáó ÑóÕõæúáõ Çááåö Õóáìٰ Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : íõÓóãøõæúäóåóÇ ÈöÛóíúÑö ÇÓúãóåóÇ .

 

            “Mula-mula yang menyimpangkan Islam (dari tujuan mereka) adalah minuman yang dipaksakan. Kemudian ada yang bertanya. “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasul?” Beliau menjawab, “Mereka memberi nama yang tidak sebenarnya.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Darimi (2/114), ia berkata, “Zaid bin Yahya memberi hadits kepada kami, ia berkata, “Muhammad bin Rasyid memberi hadits kepada kami, dari Abu Wahb Al-Kala’i dari Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah yang menuturkan, “Saya mendengar Rasulullah r bersabda: (Kemudian menyebtukan sabda Nabi di atas).”

 

          Saya berpendapat, sanad hadits ini hasan. Al-Qasim bin Muhammad adalah putera Abubakar Siddiq, seorang ahli fiqh Madinah, statusnya tsiqah dan banyak dibuat hujjah oleh beberapa ulama.

 

          Abu Wahb Al-Kala’i nama aslinya Ubaidillah bin Ubaid ini dinilai tsiqah oleh Dahim. Sedang mengenai statusnya Ibnu Ma’in mengatakan la ba’sa bihi.

 

          Muhammad bin Rasyid Al-Makhluly Al-Khaza’i Ad-Dimasyqi dinilai tsiqah oleh beberapa imam terkemuka, seperti Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan lain-lain, tetapi oleh yang lainnya dinilai dha’if. Sedangkan yang memberikan penilaian moderat mengatakan: “Ia seorang shaduq (sangat jujur) dan haditsnya hasan.”

 

          Saya berpendapat penilaian yang terakhir inilah yang kuat menurut kami, lebih-lebih karena Al-Hafizh di dalam At-Taqrib menilainya shaduq yahim (sangat jujur namun agak kacau).

 

          Sedang Zaid bin Yahya, mungkin ia adalah Zaid bin Yahya bin Ubaid Al-Khaza’i Abu Abdillah Ad-Dimasyqi dan mungkin juga Zaid bin Abu Zurka’ Yazid Al-Mushili Abu Muhammad Nazhilur Ramlah. Samapai saat ini saya belum mengetahui siapa yang pasti diantara keduanya. Sebab keduanya meriwayatkan dari Muhammad bin Rasyid. Yang jelas salah satu diantara keduanya adalah tsiqah.

 

          Saya menemukan jalur lain bagi hadits itu yang ditakhrij oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (225/1) dan Ibnu Addi (nomor 264/2) dari Al-Farrat bin Salman dari Abu Qasim, dengan redaksi:

 

          “Mula-mula Islam diselewengkan seperti arak diselewengkan dengan tempatnya.”

 

          Kemudian Ibnu Addi meriwayatkannya dari Al-Farrat dan berkata: “Beberapa sahabat kami meriwayatkan hadits kepada kami dari Al-Qasim yang menuturkan, “Mengenai Al-Farrat ini saya tidak pernah melihat ada ulama mutaqaddimin  yang menjelaskan kedha’ifannya. Saya berharap agar ia dinilai: La Ba’sa Bihi.  Sebab di dalam semua riwayatnya tidak ada yang munkar (tidak diakaui).”

 

          Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya (3/2/80) berkata:

          “Saya bertanya kepada ayah tentang Al-Farrat.” Beliau menjawab, “Tidak begitu dikhawatirkan, dia jujur dan merupakan pewari yang bagus haditsnya.” Sedangkan Imam Ahmad menilai, “Ia tsiqah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Mizan dan Al-Lisan.”

 

          Saya berpendapat: Dengan demikian sanadnya shahih. Kemajhulan sahabat-sahabat Al-Farrat tidak berpengaruh. Sebab jumlah mereka tidak sedikir, sehingga bisa saling mengisi. Kemungkinan di dalamnya juga ada Abu Wahb Al-Kala’i yang meriwayatkannya dari Al-Qasim, seperti pada sanad pertama, jadi bagaimanapun status hadits itu tetap shahih.

 

          Sementara itu penilaian Adz-Dzahabi mengenai biografinya: “Haditsnya munkar”, yang dimaksudkannya dalah munkar perkataannya (bukan dalam arti hadits munkar). Dan kemungkinan Ia tidak melihat sanad pertama di atas. Namun penilaian inilah yang nampaknya lebih tepat.

 

          Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jami’ul Kabir baik di bab “Inna” ataupun di bab “Awwalun”. Beliau hanya menyebutkan hadits yang bisa dijadikan sebagai pendukungnya (1/274/2):

 

۹٠ -  áóíóÓúÊóÍöáøóäøó ØóÇÁöÝóÉñ ãöäú ÇõãøóÊì ÇáúÎóãúÑõ ÈöÇÓúãò íõÓóãøõæúäóåóÇ ÇöíøóÇåõ ¡ æóÝóì ÑöæóíóÉò : - íõÓóãøõæúäóåóÇ ÈóÛóíúÑöÇÓúãöåóÇ .

“Mula-mula terkelabuinya umatku dari Islam (yang sebenarnya) adalah seperti dipalsukannya minuman.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Asakir dari Ibnu Amer.

 

          Kemudian di dalam kitab Tarikh disebutkan (18/76/1) bahwa hadts itu diriwayatkan dari Zaid bin Yahya bin Zaid bin Ubaid yang memberitahukan, “Ibnu Tsabit bin Tsauban telah memberi hadits kepadaku dari Ismail bin Abdullah, yang berkata, “Saya mendengar Ibnu Muhairiz berkata, “Saya mendengar Abdullah bin Amer berkata, (kemudian dia menyebutkannya sampai kepada Nabi, dan pada bagian akhir ia menambahkan: “Rasulullah bersabda”: (Kemungkinan bukan bersabda tetapi Rasulullah mengernyitkan dahinya). Sanad ini bisa dipakai sebagai syahid.

 

          Hadits ini memiliki sanad lain dengan redaksi yang lain pula, yang diriwayatkan dari Aisyah, dan akan disebutkan berikutnya.

 

Kata ath-thila’ seperti yang disebutkan di dalam An-Nihayah, adalah sebagai berikut: Kata itu dibaca kasrah tha’-nya dan huruf setelah nya dibaca fathah panjang, yang berarti: Minuman yang terbuat dari perasan anggur, yakni sebangsa manisan. Minuman itu tidak lain adalah arak. Setelah itu disebutkan haditsnya dan dikomentari:

 

“Hadits ini senada dengan hadits lain yang artinya:

 

“Umatku kelak akan meminum minuman arak dengan nama yang bukan nama sebenarnya. Maksud beliau bahwa mereka meminum perasan anggur yang mereka namakan manisan, untuk menghindari nama arak yang diharamkan.”

 

Pendukung lainnya adalah:

 

“Sekelompok umatku ada yang benar-benar menginginkan halalnya khamer yang mereka namai dengan nama yang sebenarnya.” (Riwayat lain menyebutkan, “Mereka menamainya dengan nama lain.”)

 

Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah (3385), Imam Ahmad (5/318) dan Ibnu Abdi-Dunya di dalam kitabna Dzummul Muskir (Celaan Terhadap Minuman yang Memabukkan, nomor :4/2) dari Sa’id bin Aus Al-Katib, dari Bilal bin Yahya bin Muairiz, dari Tsabit bin As-Simth, dari Ubadah bin Shamit, yang menuturkan: Rasulullah r bersabda (kemudian ia menyebutkan sabda Nabi di atas)

 

Saya berpendapat: Sanad ini bagus dan perawinya tsiqah. Ibnu Muhariz yaitu Abdullah adalah seorang perawi tsiqah dan termasuk perawi yang digunakan oleh Bukhari-Muslim.

 

Adapun Abubakar bin Hafsh, yang nama aslinya adalah Abdullah bin Hafsh adalah perawi tsiqah dan dibuat hujjah (Muhtajj Bihi) di dalam Shahih Bukhari-Muslim.

 

Sementara Bilal bin Yahya Al-Abasi oleh Ibnu Ma’in dinilai Laisa bihi ba’s. Sedangkan Ibnu Hibban menilainya tsiqah.

 

Hadits ini diperkuat oleh Syu’bah, hanya saja ia tidak memasukkan Tsabit bin As-Simth di dalam sanadnya. Ia menuturukan: “Dari seorang sahabat Nabi r” dengan riwayat kedua.

 

Sanad ini ditakhrij oleh An-Nasa’i (2/330) dan Imam Ahmad (4/237). Sanad ini lebih shahih disbanding sanad pertama.

 

Diriwayatkan dari Abubakar bin Hafsh dengan cara lain dari jalur Muhammad bin Abdul Wahab Abu Syihab dari Abu Ishaq Asy-Syaibani dari Abubakar bin Hafsh dari IbnuUmar yang menurutkan: “Rasulullah r bersabda: (kemudian ia menyebutkan sabda Nabi di atas).

 

Hadtis dengan sanad ini ditakhrij oelh Al-Khathib di dalam Tarikh Baghdad  (6/205).

 

Saya berpendapat: Semua perawinya tsiqah kecual Abu Syibah, perawi ini tidak saya ketahui.

 

Ada hadits lain yang menguatkannya yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abu Hilal, dari Muhammad bin Abdullah bin Muslim yang mengatakan: bahwa suatu ketika Abu Muslim Al-Khaulani beribadah haji, lalu menghadap Aisyah, isteri Baginda Nabi r. Kemudian Asiyah bertanya tentang bagaimana suasana dan cuaca negeri Syam. Setelah ia menjelaskan, Asiyah bertanya. “Bagaimana kalian tahan dengan cuaca sedingin itu?” Abu Muslim menjawab, “Wahai Ibunda, mereka meminum minuman yang mereka beri nama ATh-Thila’. Aisyah berkata, “Maha benar Allah dan tepatlah apa yang disabdakan kekasihku.” Beliau bersabda:

 

“Beberapa kelompok di antara umatku ada yang benar-benar meminum arak (khamer) dengan menggunakan nama lain.”

 

Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh Al-Hakim (2/417) dan Al-Baihaqi (7/294-295).

 

Al-Hakim menilai, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat (criteria) Bukhari-Muslim.”

 

Sementara itu Adz-Dzahabi mengomentarinya: “Menurut saya memang: Demikianlah ia berkata: “Muhammad, orang ini majhul (tidak dikenal), meskipun ia adalah putera Akhi Az-Zuhri. Dengan demikian sanad itu munqathi (perawinya ada yang gugur sebelum sampai ke sahabat).”

 

Saya berpendapat: Sa’id bin Abu Hilal juga mengalami kerancuan, seperti yang anda lihat pada hadits Aisyah yang redaksinya berbeda dengan hadits sebelumnya.

 

Pendukung kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili yang menceritakan: “Rasulullah r bersabda:

 

áÇó ÊóÐú åóÈõ ÇááøóíóÇáö æó úáÇó íøóÇãõ ÍóÊøٰì ÊóÔúÑóÈó ØóÇÁöÝóÉõ ãöäú ÇõãøóÊöì ÇáúÎóãúÑó íõÓóãøõæú äóåóÇ ÈöÛóíúÑö ÇáÓúãöåóÇ .

            “Malam dan siang tidak akan sirna, kecuali ada sekelompok Umatku yang meminum khamar dengan nama yang lain.”

 

          Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh Ibnu Majah (3384) dan Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (6/97) dari Abdus-Salam bin Abdul Qudus, ia berkata, “Tsaur bin Yazid telah meriwayatkan kepada kami dari Khalid bin Ma’ dari Abu Umamah Al-Bahili. Sementara itu Abu Na’im berkata:

 

          “Seperti itulah hadits yang kami riwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili. Ia meriwayatkannya dari Tsaur dari Khalid dari Abu Hurairah dengan matan yang sama.”

 

          Saya berpendapat: Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Abdus-Salam. Perawi ini dha’if, seperti disebutkan dalam At-Taqrib.

 

          Pendukung ketiga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Amir Al-Khazzaz dari Ibnu Malikah dari Ibnu Abbas yang menceritakan Rasulullah r bersabda:

 

          “Umatku di akhir zaman akan meminum khamar dan memberinya nama yang lain.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (3/114/3). Abu Amir nama aslinya adalah Saleh bin Rustam Al-Muzni. Ia perawi shaduq (sangat jujur), tetapi sering melakukan kesalahan, seperti dikemukakan di dalam At-Taqrib. Namun hadits ini tetap bisa dipakai sebagai pendukung. Wallahu a’lam.

 

          Pendukung keempat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hatim bin Harits, dari Malik bin Abu Maryam yang berkata, “Abdurrahman bin Gharim dating kepada kami dan berbicara tentang ath-thila’. Kemudian ia berkata, “Abu Malik Al-Asy’ari meriwayatkan hadits kepada saya, bahwa ia mendengar Rasulullah r bersabda:

          “Diantara Umatku ada yang benar-benar meminum. Mereka menyebutnya dengan nama lain.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (3688), Imam Bukhari di dalam Ath-Tarikh Al-Kabir (1/1/305 dan 4/1/222), Ibnu Majah (4020), Ibnu HIbban (1384), Al-Baihaqi (8/295 dan 10/231), Imam Ahmad (5/242), Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (1/167/2), Ibnu Asakir (16/115/2). Semuanya dari Mu’awiyah bin Shaleh dari Hatim.

 

          Saya berpendapat: Semua perawinya tsiqah, kecuali Malik bin Abu Maryam. Mengenai perawi ini Adz-Dzahabi mengatakan: “La yu’rafu” (tidak dikenal). Sedangkan Ibnu HIbban menurut patokan yang dibuatnya menilainya tsiqah.

 

          Inilah cacat (illat) yang ada pada sanad tersebut. Sedangkan Al-Mundziri di dalam Mukhtasar-nya menyebutkan illatnya sebagai berikut (5/271):

 

          Di dalam sanadnya terdapat Hatim bin Harits Ath-Tha’i Al-Himshi. Ketika Abu Hatim Ar-Razi ditanya tentang perawi ini, ia menjawab, “Ia seorang Syaikh.” Sedangkan Ibnu Ma’in mengomentarinya, “Aku tidak mengenalnya.”

 

          Saya berpendapat: Ada juga ulama-ulama lain yang mengenalnya, bahkan Utsman Sa’id Ad-Darimi menilainya tsiqah. Sedang Ibnu Hibban memasukkanya di dalam Ats-Tsiqat.

 

          Adapun Ibnu Addi menilai:

 

          “Kumpulan haditsnya tidak dikenal oleh Ibnu Ma’in, tapi saya berharap ini tidak menjadi masalah.”

 

          Saya berpendapat: Pemberian illat kepada gurunya, yaitu Malik bin Abi Maryam, seperti yang kami lakukan adalah lebih baik, sebab Malik bin Abi Maryam tidak ada yang menilainya tsiqah selain Ibnu Hibban.

 

          Adapun tambahan pada matan hadits dha’if di atas berasal dari Ibnu Majah dan Ibnu Asakir, yaitu:

 

          “Di hadapan mereka dilengkapi alat-alat musik dan para penyanyi. Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi.”

 

          Hadtis dengan tambahan ini shahih secara keseluruhan. Hadits pokoknya telah saya sebutkan beserta hadits-hadits penguatnya.

 

          Hadits dengan tambahan itu mempunyai jalur yang lain, yaitu dari Abdurrahman bin Ghanam. Redaksinya akan saya sebutkan berikutnya. Mengenai hadits ini Al-Baihaqi berkomentar:

 

          Hadits ini memiliki beberapa syahid yaitu dari hadits Ali, Imran bin Husain, Abdullah bin Bisr, Sahl bin Sa’d, Anas bin Malik dan Aisyah y dari Nabi r :

 

۹١-  áóíóßõæú äóäøóÇ ãöäú ÇõãøóÊöìú ÇóÞúæóÇãñ ãöäú íóÓúÊóÍöáøõæúäóÇáúÍöÑøóæó ÇáúÍóÑöíúÑó æóÇáúÎóãúÑó æóÇáúãóÚóÇÒúÝó ¡ æóáóíóäúÒöáóäøó ÇóÞúæóÇãñ Çöáٰì ÌóäúÈö Úóáóãò ¡ íóÑõæúÍõ Úóáóíúåöãú ÈöÓóÇÑöÍóÉò áóåõãú ¡ íóÃúÊöíúåöãú ÈöÍóóÇÌóÉò ¡ ÝóíóÞõæúáõæúäó : ÇöÑúÌöÚú ÇöáóíúäóÇ ÛóÏð ¡ ÝóíõÈóíøöÊõåõãõ Çááåõ ¡ æóíóÖóÚõ ÇáúÚöáãó ¡ æóíóãúÓóÎõ ÇٰÎöÑöíúäó ÞóÑóÏóÉð æóÎóäóÇÒöíúÑó Çöáٰì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö .

 

            “Benar-benar akan ada kelompok umatku yang menghendaki halalnya seks (zina), sutera, khamer dan alat-alat musik. Dan akan ada masyarakat yang turun di samping gunung yang menjulang, dimana seorang penggembala ternak mereka kembali di sore hari dan datang kepada mereka untuk suatu keperluan namun mereka berkata, :Kembalilah kepada kami besok pagi.” Kemudian Allah menghancurkan mereka di waktu malam, menimpakan gunung itu kepada mereka, dan mengubah rupa lainnya menjadi kera dan babi sampai hari kiamat.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya (4/30) dan berkata:

 

          “Mengenai orang yang menghendaki halalnya khamer dan menyebutkan dengan nama lain, Hisyam bin Ammar berkata, “Shadaqah bin Khalid memberi hadits kepada kami, ia berkata: “Abdurrahman bin Yazid bin Jabin meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Athiyah bin Qais Al-Kalabi meriwayatkan hadits kepada kami, ia berkata, “Abdurrahman bin Ghanam meriwayatkan hadits kepada saya dan ia berkata. “Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari  -demi Allah, tidak membohongi saya – ia mendengar Rasulullah r bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas).

 

          Ath-Thabrani (1/167/1), Al-Baihaqi (10/221) dan Ibnu Asakir (19/79/2) dan Imam yang lain, dari beberapa sanad, dari Hisyam bin Ammar.  

 

Hadits ini memiliki sanad lain dari Abdurrahman bin Abu Dawud berkata Yazid: “Abu Dawud berkata (40/39): “Abdul Wahab bin Nadjah meriwayatkan hadits kepada kami dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir.”

 

Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadits itu  dari sanad lain dari Bisyr.

 

Saya berpendapat: Inilah pendapat yang shahih dan sebagai Matabi (pendukung) yang kuat bagi Hisyam bin Ammar dan Shadaqah bin Khalid. Ibnu Hazm tidak memperhatikan hadits itu, dalam memperbolehkan alat-alat musik di dalam karya-karyanya. Ia menilai hadits Bukhari itu munqathi (terputus) antara Bukhari dan Hisyam. Sedangkan illat-illat lain selanjutnya dikomentari oleh ulama yang datang berikutnya. Mereka menolak penilaian dha’if yang dilakukan oleh Hisyam, diantaranya Ibnu Qayyim di dalam Tahzibus As-Sunnah (5/270-272) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-Fath, disamping imam-imam yang lian. Saya telah mengupas hal itu secara terperinci di dalam Ar-Rudd ala Risalah Ibnu Hazm semoga Allah memudahkan penyelesaian dan penerbitannya.

 

Ibnu Hazm dengan keluasan dan kedalaman ilmunya tidak melacak hadits dengan menyertakan para perawinya secara detail. Buktinya ia memberikan penilaian dha’if terhadap hadits ini, dan penilaian majhul  terhadap Imam Tirmidzi yang merupakan Shahihus-Sunan. Hal inilah yang merupakan salah satu factor yang mendorong Muhammad bin Abdul Hadi (murid Ibnu Taimiyah) memberikan komentarnya di dalam Mukhtasar Thabaqat Ulama Al-Hadits (hal. 401): “Ia banyak melakukan kesalahan dalam menilai shahih dan dha’if seorang perawi.”

 

Saya berpendapat: Seyogyanya penilaiannya terhadap hadits tidak diterima begitu saja, sebelum meneliti kebenarannya dan memeliti titik perbedaannya dengan pendapat ulama lain. Pendapatnya yang controversial itu juga kerap kali muncul di dalam permasalahan-permasalahan dalam lingkup disiplin ilmu fiqh, demikian juga di dalam ilmu kalam, bahkan tidak jarang sangat berbeda dengan pendapat para ulama Salaf. Setelah Ibn Abdul Hadi menilainya memiliki daya hafalan kuat dan banyak menelaah buku, kembali ia berkomentar:

 

“Tetapi saya merasa yakin bahwa ia sebenarnya berbaju Jahamiyyah. Ia tidak menetapkan adanya makna nama (asma) Allah kecuali sedikit sekali, Seperti Al-Khaliq, Al-haq. Sedangkan asma’ lain menurutnya tidak menunjukkan arti sama sekali, seperti Ar-Rahim, Ar-Rahman  dan lain-lain. Ilmu menurutnya adalah qudrah dan qudrah adalah ilmu. Keduanya adalah dzat itu sendiri. Ilmu tidak menunjukkan sesuatu yang melebihi dzat. Inilah satu kecerobohan dan kesombongan pemikiran beliau. Memang beliau selalu berkutat dengan logika dan filsafat, sehingga menimbulkan pemikiran seperti itu.

 

Kosa Kata Hadits

 

          Kata al-hira berarti zina (melacur).

 

          Kata al-mu’azif merupakan bentuk plural dari kata ma’zifah, yang berarti alat-alat musik, dan alat-alat yang dapat menjauhkan seseorang dari ibadah kepada Allah I seperti yang dijelaskan di dalam Al-Fath.

 

          Kata ‘alam berarti gunung yang menjulang.

 

          Kata yaruhu’alaihim (ia membawa pulang atau mengistirahatkannya kepada mereka) terhadap pembuangan subyek, yaitu berupa penggembala, hal ini dapat diamati dari rangkaian kalimat selengkapnya, sebab adanya binatang gembala pasti ada penggembalanya.

 

          Kata sarihah berarti binatang yang digembalakan di waktu pagi dan dibawa pulang id waktu sore hari di kandangnya.

 

          Ya’tihim lihajatin, riwayat lain sebagaimana di dalam mustkhrajah ash-shahih menyebutkan ya’tihim thalibu hujatin.

 

          Wayadha’ul ‘alam berarti Allah menjatuhkan gunung di atas mereka.

 

Kandungan Hadits

 

          Hadits-hadits di atas mengandung beberapa makna:

 

          Pertama: Makna diharamkannya khamer. Hal ini telah menjadi consensus seluruh umat Islam.  Namun perlu disayangkan pada minuman yang terbuat dari perasan anggur diharamkan, sedangkan minuman lain yang juga memabukkan tidak mereka haramkan, seperti minuman dari anggur kering yang direndam dengan air, minuman yang terbuat dari perasan gandum (jewawut, jelai) dan khamer negeri Habasyah (Abbesinia) yang terbuat dari jagung. Menurut mereka semua jenis minuman itu halal, kecuali jika sampai pada ukuran yang memambukkan. Jadi bila sedikit saja meminumnya maka halal. Berbeda dengan minuman yang terbuat dari anggur, sedikit ataupun banyak tetap diharamkan. Pemisahan seperti ini jelas bertentangan dengan nash-nash, seperti perkataan Umar t: “Pengharaman khamer turun ketika ayat yang mengharamkannya turun, yaitu pada lima macam: dari anggur, korma, madu, gandum hinthah dan gandum sya’ir.” Yang dimaksud khamer adalah sesuatu yang dapat menutupi akal. Demikian juga apa yang disabdakan baginda Nabi r : “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamer.” Kedua hadits itu saya takhrij di dalam Takhrijul- Halal wa Haram (57-58) dan Al-Irwa (2431-2433).

 

          Kembali saya tegaskan, bahwa pemisahan semacam itu sama sekali bertentangan dengan dalil-dalil di atas, juga menyalahi aturan qyas yang benar dan penalaran akurat. Sebab perbedaan macam apa bila khamer dari anggur dalam jumlah sedikit maupun banyak diharamkan karena memabukkan, namun khamer dari jagung yang dalam jumlah banyaknya juga memabukkan dan diharamkan, tetapi dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan tidak diharamkan. Apakah diharamkannya khamer dalam jumlah kecil itu hanya sebagai cara untuk menekan pemakaian dalam jumlah banyak? Kalau benar seperti itu, maka mengapa khamer dalam jumlah kecil yang terbuat dari jagung tidak diharamkan? Demi Allah, pemisahan seperti itu jelas merupakan sesuatu yang mengherankan, aneh dan tidak semestinya.1)

 

          Dalam hal ini Ibnu Qayyim di dalam Tahzibus-Sunan (5/263) setelah menyebutkan dalil-dalil di atas menandaskan:

 

          “Dengan adanya nash-nash yang shahih dan jelas artinya yang memasukkan minuman selain yang terbuat dari anggur ke dalam jenis khamer, maka tidak dibutuhkan lagi adanya analogi yang menetapkan bahwa minuman-minuman itu termasuk khamer. Apalagi tentang kebenaran qyas tersebut banyak dipertentangkan di kalangan ulama. Jika telah jelas penamaan minuman-minuman itu sebagai khamer, maka hukum meminumnya juga seperti minum khamer. Dengan demikian tidak dibutuhkan lagi adanya qiyas untuk masalah ini. Kemudian apabila kita menggunakan qiyas jail (jelas) semata, maka akan disimpulkan bahwa semua minuman itu sama khamer yang terbuat dari anggur. Sebab telah menjadi consensus bersama bahwa meminum sedikit dari khamer yang terbuat dari anggur diharamkan, meskipun tidak memabukkan. Hal ini dikarenakan nafsu tidak mungkin mau meminumnya dalam jumlah yang tidak memabukkan. Meminumnya dalam jumlah sedikit akan merangsang untuk meminumnya dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini berlaku pula pada semua jenis minuman yang memabukkan. Dengan demikian pemisahan di atas jelas tidak benar. Seandainya kita hanya menggunakan qiyas, maka keharaman minuman-minuman itu sudah jelas apalagi didukung dengan dalil-dalil tersebut, yang jelas telah terbukti keshahihan dan kejelasannya.”

 

          Disamping itu diperbolehkannya meminum dalam jumlah yang tidak memabukkan dan diharamkannya meminum dalam jumlah yang memabukkan tidak bisa dipakai. Sebab tidak bisa diketahui secara pasti kadar alcohol yang ada. Kadang-kadang satu jenis khamer dalam jumlah sedikit mengandung kadar alkohol lebih banyak dari khamer lain dalam jumlah yang lebih banyak. Juga mabuk dan tidaknya itu juga dipengaruhi oleh kondisi tubuh peminumnya. Ada yang meminum dalam jumlah banyak tetapi tidak mabuk, ada pula yang sebaliknya. Oleh karena itu dalil yang paling tepat untuk masalah ini adalah sabda Nabi r : “Tinggalkan apa yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu.” Juga sabda Nabi r: “Orang yang berada di sekitar daerah terlarang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya.”

 

          Perlu diketahui bahwa dengan adanya pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan sunnah maupun qiyas yang benar, mengharuskan kita umat Islam untuk semakin berhati-hati mengenai persoalan-persoalan agama. Sehingga kita tidak begitu saja menerima pendapat seseorang yang tidak dijamin kebenarannya, meskipun orang itu telah diakui kapasitas keilmuan dan keshalihannya. Kita harus menggali hukum itu dari sumber-sumbernya, jika memang kita mampu. JIka tidak, maka kita harus bertanya kepada orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Sebab Allah I berfirman:

 

æóãóÇ ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöäú ÞóÈúáößó ÅöáÇ ÑöÌóÇáÇ äõæÍöí Åöáóíúåöãú ÝóÇÓúÃóáõæÇ Ãóåúáó ÇáÐöøßúÑö Åöäú ßõäúÊõãú áÇ ÊóÚúáóãõæäó  (ÇáäÍá : ٤٣)

            “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl : 43)

 

          Namun demikian, tokoh yang melontarkan pendapat itu tetap mendapatkan pahala, sebab mereka bertujuan mencari kebenaran, meskipun kenyataan hasil ijtihadnya tidak tepat.2) Sedangkan orang yang mengetahui hadits-hadits di atas, namun masih memegangi pendapat yang salah itu, maka orang itu benar-benar ada dalam kesesatan yang nyata. Ia termasuk yang dikategorikan Nabi r dalam sabdanya, yaitu meminum khamer dengan nama yang disamarkan, misalnya ath-thila’, whisky, koniyak, dan sebagainya.

 

          Maha Benar Allah yang berfirman:

 

Åöäú åöíó ÅöáÇ ÃóÓúãóÇÁñ ÓóãóøíúÊõãõæåóÇ ÃóäúÊõãú æóÂÈóÇÄõßõãú ãóÇ ÃóäúÒóáó Çááóøåõ ÈöåóÇ ãöäú ÓõáúØóÇäò Åöäú íóÊóøÈöÚõæäó ÅöáÇ ÇáÙóøäóø æóãóÇ Êóåúæóì ÇáÃäúÝõÓõ æóáóÞóÏú ÌóÇÁóåõãú ãöäú ÑóÈöøåöãõ ÇáúåõÏóì

( ÇáäÌã : ٢٣)

 

            Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS An-Najm : 23)

 

          Kedua: Diharamkannya alat-alat musik. Hadits ini menunjukkan hal tersebut dari beberapa segi:

a.     Kalimat yastahilluna [mereka menghendaki dihalalkannya (alat-alat musik itu)]. Kalimat itu jelas menunjukkan bahwa alat-alat musik itu sebenarnya menurut syara’ diharamkan. Sedang mereka menghendaki dihalalkan.

b.    Kata yang menunjukkan alat-alat musik itu disertakan dengan hal lain yang diharamkan, yaitu zina dan khamer. Seandainya alat-alat itu tidak diharamkan, maka kemungkinan tidak akan disebut bersamanya.

 

Banyak hadits-hasits yang menjelaskan haramnya alat-alat musik tersebut yang saat ini banyak di kenal, seperti drum, biola, piano, dan lain-lain. Sebagian hadits-hadits itu bernilai shahih serta tidak ada hadits lain yang berlawanan dan menyempitkan maknanya, kecuali rebana yang dipakai pada saat pernikahan atau hari raya. Alat yang disebut terakhir ini halal dengan alasan terperinci yang banyak dipaparkan dalam buku-buku fiqh. Saya juga telah menjelaskannya pada saat saya  menyanggah pendapat Ibnu Hazem. Oleh karena itu semua imam pemilik mazhab sepakat mengharamkan semua jenis alat musik. Ada di antara mereka yang mengecualikan kendang (Drum Band) yang dipakai pada saat perang, seperti yang sekarang dikenal di dunia militer. Namun pendapat itu tidak bisa dipakai sama sekali, karena beberapa alasan :

1.    Hal itu merupakan pengkhususan (penyempitan) terhadap makna hadits di atas, padahal tidak mukhashish-nya (yang mengkhususkan), kecuali hanya pendapat rasio semata, yakni istihsan. Hal ini jelas tidak bisa dipakai.

2.    Bahwa yang diwajibkan bagi kaum musimin pada saat berperang adalah selalu mengingat Allah (berkonsentrasi penuh kepada-Nya) dan senantiasa memohon kemenangan dari-Nya. Sebab hal ini lebih mendukung konsentrasi mereka dan lebih meneguhkan hati. Padahal pemakaian alat musik justeru akan membuyarkan perhatian mereka, sebagaimana firman Allah:

 

 

íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ ÅöÐóÇ áóÞöíÊõãú ÝöÆóÉð ÝóÇËúÈõÊõæÇ æóÇÐúßõÑõæÇ Çááóøåó ßóËöíÑðÇ áóÚóáóøßõãú ÊõÝúáöÍõæäó   (ÇáÇäÝá : ٤٥)

            “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS Al-Anfal : 45)

 

3.    Pemakaian alat-alat itu adalah tradisi orang-orang non muslim (yang tidak beriman kepada Allah sama sekali, tidak percaya adanya hari akhir, tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan tidak memegangi agama yang benar). Oleh karena itu kita tidak boleh meniru mereka, apalagi pada hal yang jelas diharamkan oleh Allah secara umum, seperti alat-alat musik tersebut.

 

Pembaca jangan terpengaruh dengan pendapat sementara pakar hukum Islam yang menghalalkan alat-alat musik. Sebenarnya orang itu hanya mengikuti saja apa yang didengarnya dari orang lain, sebab hadits di atas menurutnya dha’if. Padahal seperti anda ketahui bahwa hadits itu adalah shahih. Ibnu Hazem sendiri memang kurang mendalam dan kurang hati-hati dalam menilai suatu hadits. Dan menurut saya orang yang berani mengemukakan bahwa alat-alat musik itu halal adalah orang yang tidak mengikuti pendapat salah satu dari empat imam mazhab. Seandainya orang itu berdalih bahwa pendapatnya itu merupakan penyelesaian suatu masalah hukum secara ilmiah, maka tidak bisa dibernarkan. Sebab yang dimaksud menyelesaikan masalah secara ilmiah dalam persoalan ini adalah meneliti hadits-hadits tentang masalah yang dibahasnya, kemudian diputuskan shahih tidaknya. JIka telah terbukti shahih, maka dipelajari lebih lanjut kandungan hukum yang sebenarnya dengan melihat hadits lain, yang mempersempit maknanya, atau mendukungnya, atau justeru berlawanan. Inilah yang sesuai dengan kaidah (prinsip-prinsip) menentukan hukum Islam. Jika orang itu mau menempuh cara-cara itu, maka tentu sulit bagi orang lain untuk mengkritiknya dari segi apapun. Tetapi orang itu tidak melakukan apapun di antara langkah-langkah tersebut. Jika mereka mempunyai suatu masalah, mereka hanya melihat pendapat ulama dan hanya mencari hukum yang paling ringan dan paling mudah dilakukan. Seharusnya mereka meneliti lebih jauh lagi, sesuai atau tidak dengan Al-Qur’an maupun hadits.

 

Oleh karena itu seorang muslim hendaknya mengetahui agamanya benar-benar dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan dari pendapat seseorang semata. Sebab kebenaran tidak mengenal tokoh, akan tetapi dengan melihat kebenaran yang diketahui, maka kapasitas seorang tokoh dapat diketahui. Saya sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh salah seorang penyair:

 

Ilmu adalah apa yang difrimankan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasul-Nya, apa yang dikatakan oleh sahabat tidak disembunyikan. Ilmu bukanlah pertentangan yang Anda tegakkan antara Rasul dan pendapat pribadi, karena Anda tidak mengetahui yang sebenarnya. Jangan seperti itu, jangan menafikan sifat dan tidak mengakuinya karena khawatir menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

 

          Ketiga: Allah I kadang-kadang menyiksa para durjana itu ketika masih berada di dunia, dengan merubah parasnya menjadi bianatang, akal mereka juga tidak ubahnya seperti akal binatang.

 

          Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath menegaskan (10/49) berkenaan dengan pengubahan paras mereka itu:

 

          “Ibnu Al-Arabi berkata, “Hal ini mengandung kemungkinan adanya arti hakekat (yang sesungguhnya) seperti yang terjadi pada umat terdahulu, dan mungkin berarti kinayah dari perubahan prilaku mereka yang seperti binatang.Tapi saya (al-Hafizh) berpendapat makna pertamalah yang lebih tepat dalam hal ini.”

 

          Saya berpendapat: Tidak ada hambatan untuk memadukan (mengkompromikan) antara kedua kemungkinan tersebut, seperti yang bisa kita pahami dari hadits-hadits di atas.

 

          Beberapa mufassir kontemporer cenderung berpendapat bahwa dirubahnya wajah mereka menjadi kera atau babi adalah bukan dalam arti yang sesungguhnya. Pengubahan itu hanya dalam bentuk prilaku! Pendapat ini jelas bertentangan dengan teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Oleh karena itu janganlah Anda terpengaruh dengan pendapat itu. Mereka tidak mempunyai argumentasi kecuali penalaran semata, yang justeru menunjukkan lemahnya iman seseorang terhadap perkara-perkara ghaib (metafisis). Semoga Allah I memberikan keselamatan kepada kita. Amin

 

          Keempat: Selanjutnya Al-Hafizh menjelaskan, “Hadits ini mengandung ancaman yang berat bagi mereka yang mencoba merekayasa penghalalan khamer (umumnya hal-hal lain yang diharamkan) dengan merubah nama yang sesungguhnya. Hukum tetap bertumpu pada illat (alasan hukum). Sedangkan illat adalah memabukkan. Dengan demikian, semua yang memabukkan pasti haram, meskipun nama aslinya sudah tidak ada. Dalam hal ini Ibnu Al-Arabi berkata: “Inilah yang merupakan suatu patokan, bahwa yang dimaksud kata khamer adalah memang hakekatnya, sebagai sanggahan kepada mereka yang menyangka hanya kata-katanya saja.”

 

۹٢ -  ãóÇ ÇóäóÇÈöÇóÞúÏóÑó Úóáٰì Çóäú ÇóÏóÚó áóßõãú Ðٰáößó ¡ Úóáٰì Çóäú ÊóÔúÚóáõæúÇ áöìú ãöäóåóÇ ÔóÚúáóÉð : íóÚúäöì ÇáÔøóãúÓó .

            “Aku tak kuasa meninggalkan hal itu, meskipun karenanya kalian akan meletakkan matahari di atasku.”

 

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far Al-Bakhtari di dalam Hadits Abil Fahdal Ahmad bin Mala’ib (47/1-2), Ibnu Asakit (11/363/1, 19/44/201) melalui Abu Ya’la dan yang lain, keduanya dari Yunus bin Bukair yang berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Thalhah bin Yahya dari Musa bin Thalha, ia berkata, “Ukail bin Abi Thalib meriwayatkan hadits kepadaku, ia mengisahkan:

 

          “Orang-orang Quraisy datang kepada Abu Thalib, lalu mereka melaporkan: “Apakah Engkau melihat Ahmad? Ia benar-benar mengganggu dengan adzan dalam menyeru kepada kami di masjid kami. Tolong hentikan perbuatannya itu.” Kemudian Abu Thalib berkata: “Wahai Uqail, tolong panggilkan Ahmad IMuhammad) ke sini.” Perawi melanjutnya kisahnya: “Setelah itu aku mencarinya dan membawanya menghadap ayah. Setibanya di hadapan ayah, beliau memberi tahu: “Wahai keponkakanku, kaum Quraisy melaporkan bahwa engaku telah mengganggu mereka. JIka benar maka hentikanlah.” Perawi masih menuturkan: “Lalu Rasulullah melirik pamannya itu (riwayat lain menyebutkan: Rasulullah r mengernyinkan matanya) kemudian menengadah dan bersabda: (Perawi kemudian menyebutkan sabda Nabi r di atas). Perawi mengakhiri kisahnya: “Kemudian Abu Thalib berseru, “Keponakanku ini tidak berbohong, karena itu, pulanglah kalian.”

 

          Saya berpendapat: Sanad hadits ini hasan, dan semua perawinya tsiqah disamping termasuk perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Muslim. Mengenai Yunus bin Bukhair dan Yahya bin Yahya memang ada kritik yang dilontarkan kepada keduanya, tetapi kritik itu tidak berpengaruh.

 

          Sedangkan hadits yang redaksinya: “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku mau meninggalkan dakwahku itu, maka aku tetap tidak akan meninggalkannya, sebelum Allah memberikan kemenangan kepadaku, atau aku sendiri yang hancur.”

 

          Sanad hadits terakhir ini tidak kuat. Oleh karena itu saya memasukkannya ke dalam Al-hadits Adh-Dha;ifah (lihat hadis no. 913).

 

 

 

****

 

__________________________

1)    Periksa Syarh Ma’ami Al-Atsar karya Ath-Thawai (1/322-329)

2)     Kemungkinan ia selanjutnya mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak benar, kemudian melakukan penelitian ulang. Akan tetapi pendapatnya yang baru tidak diketahui oleh banyak orang. Hal yang demikian ini juga saya lihat di dalam kitab Fahda’ilu Abi Hanifah karya Abu Qasim As-Sa’di (4/51/1) yang sanadnya dari Syu’aib bin Ishak dari Abu Hanifah dari Hammad bin Ibrahim, ia berkata: “Kebanyakan orang salah menyebutkan kalimat Kullu muskir haram, yang benar adalah Kullu sakar haram. Kemudian saya mendengar sayub-sayub Abu Hanifah berkata: “Saya khawatir bahwa yang salah justeru Ibrahim sendiri. Riwayat ini sanadnya shahih, hanya As-Sa’di saya tidak melihat biografinya.”

           


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com