PERIHAL UMAT YANG MENGHALALKAN
KHAMR DAN ALAT MUSIK
٨۹ - ÇöäøóÇóæøóáó ãóÇíõßúÝöﺉõ - íóÚúäö
ÇúáÇöÓúáÇóãó – ßóãóÇíóßúÝóÃõ ÇúáÇöäóÇÁó – íóÚúäö ÇáúÎóãúÑó – ÝóÞöíúáó : ßóíúÝó
íóÇ ÑóÕõæúáó Çááåö æóÞóÏú Èóíúäó Çááåõ ÝöíåóÇ ãóÇÈóíúäó ¿ ÞóÇáó ÑóÕõæúáõ Çááåö
Õóáìٰ Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : íõÓóãøõæúäóåóÇ ÈöÛóíúÑö ÇÓúãóåóÇ .
“Mula-mula yang menyimpangkan Islam
(dari tujuan mereka) adalah minuman yang dipaksakan. Kemudian ada yang
bertanya. “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai
Rasul?” Beliau menjawab, “Mereka memberi nama yang tidak sebenarnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ad-Darimi (2/114), ia berkata, “Zaid
bin Yahya memberi hadits kepada kami, ia berkata, “Muhammad bin Rasyid memberi
hadits kepada kami, dari Abu Wahb Al-Kala’i dari Al-Qasim bin Muhammad dari
Aisyah yang menuturkan, “Saya mendengar Rasulullah r bersabda: (Kemudian menyebtukan
sabda Nabi di atas).”
Saya berpendapat, sanad hadits ini hasan. Al-Qasim bin
Muhammad adalah putera Abubakar Siddiq, seorang ahli fiqh Madinah, statusnya
tsiqah dan banyak dibuat hujjah oleh beberapa ulama.
Abu Wahb Al-Kala’i
nama aslinya Ubaidillah bin Ubaid ini dinilai tsiqah
oleh Dahim. Sedang mengenai statusnya Ibnu Ma’in mengatakan la
ba’sa bihi.
Muhammad bin
Rasyid Al-Makhluly Al-Khaza’i Ad-Dimasyqi dinilai tsiqah oleh beberapa imam
terkemuka, seperti Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan lain-lain, tetapi
oleh yang lainnya dinilai dha’if. Sedangkan yang memberikan penilaian moderat
mengatakan: “Ia seorang shaduq (sangat jujur) dan haditsnya hasan.”
Saya berpendapat penilaian yang terakhir inilah yang kuat menurut
kami, lebih-lebih karena Al-Hafizh di dalam At-Taqrib menilainya shaduq
yahim (sangat jujur namun agak kacau).
Sedang Zaid
bin Yahya, mungkin ia adalah Zaid bin Yahya bin Ubaid
Al-Khaza’i Abu Abdillah Ad-Dimasyqi dan mungkin juga Zaid bin Abu Zurka’ Yazid
Al-Mushili Abu Muhammad Nazhilur Ramlah. Samapai saat ini
saya belum mengetahui siapa yang pasti diantara keduanya. Sebab keduanya
meriwayatkan dari Muhammad bin Rasyid. Yang jelas salah satu
diantara keduanya adalah tsiqah.
Saya
menemukan jalur lain bagi hadits itu yang ditakhrij oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya
(225/1) dan Ibnu Addi (nomor 264/2) dari Al-Farrat bin Salman dari Abu Qasim,
dengan redaksi:
“Mula-mula Islam diselewengkan seperti arak diselewengkan dengan
tempatnya.”
Kemudian Ibnu
Addi meriwayatkannya dari Al-Farrat dan berkata: “Beberapa sahabat kami
meriwayatkan hadits kepada kami dari Al-Qasim yang menuturkan, “Mengenai
Al-Farrat ini saya tidak pernah melihat ada ulama mutaqaddimin
yang menjelaskan
kedha’ifannya. Saya berharap agar ia dinilai: La
Ba’sa Bihi. Sebab
di dalam semua riwayatnya tidak ada yang munkar (tidak diakaui).”
Ibnu Abi
Hatim di dalam kitabnya (3/2/80) berkata:
“Saya bertanya kepada ayah tentang Al-Farrat.” Beliau menjawab, “Tidak begitu dikhawatirkan, dia jujur dan merupakan
pewari yang bagus haditsnya.” Sedangkan Imam Ahmad
menilai, “Ia tsiqah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Mizan dan Al-Lisan.”
Saya
berpendapat: Dengan demikian sanadnya shahih. Kemajhulan
sahabat-sahabat Al-Farrat tidak berpengaruh. Sebab
jumlah mereka tidak sedikir, sehingga bisa saling mengisi. Kemungkinan di dalamnya juga ada Abu Wahb Al-Kala’i yang
meriwayatkannya dari Al-Qasim, seperti pada sanad pertama, jadi bagaimanapun
status hadits itu tetap shahih.
Sementara itu
penilaian Adz-Dzahabi mengenai biografinya: “Haditsnya munkar”, yang
dimaksudkannya dalah munkar perkataannya (bukan dalam arti hadits munkar). Dan
kemungkinan Ia tidak melihat sanad pertama di atas. Namun penilaian inilah yang nampaknya lebih tepat.
Hadits ini
disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jami’ul Kabir baik di bab “Inna” ataupun di bab “Awwalun”.
Beliau hanya menyebutkan hadits yang bisa dijadikan sebagai pendukungnya
(1/274/2):
۹٠ - áóíóÓúÊóÍöáøóäøó ØóÇÁöÝóÉñ ãöäú ÇõãøóÊì
ÇáúÎóãúÑõ ÈöÇÓúãò íõÓóãøõæúäóåóÇ ÇöíøóÇåõ ¡ æóÝóì ÑöæóíóÉò : - íõÓóãøõæúäóåóÇ
ÈóÛóíúÑöÇÓúãöåóÇ .
“Mula-mula
terkelabuinya umatku dari Islam (yang sebenarnya) adalah seperti dipalsukannya
minuman.”
Hadits ini ditakhrij
oleh Asakir dari Ibnu Amer.
Kemudian di dalam kitab Tarikh disebutkan (18/76/1) bahwa hadts itu diriwayatkan dari Zaid bin Yahya
bin Zaid bin Ubaid yang memberitahukan, “Ibnu Tsabit bin Tsauban telah memberi
hadits kepadaku dari Ismail bin Abdullah, yang berkata, “Saya mendengar Ibnu
Muhairiz berkata, “Saya mendengar Abdullah bin Amer berkata, (kemudian dia
menyebutkannya sampai kepada Nabi, dan pada bagian akhir ia menambahkan:
“Rasulullah bersabda”: (Kemungkinan bukan bersabda tetapi Rasulullah
mengernyitkan dahinya). Sanad ini bisa dipakai sebagai
syahid.
Hadits ini memiliki
sanad lain dengan redaksi yang lain pula, yang diriwayatkan dari Aisyah, dan akan disebutkan berikutnya.
Kata ath-thila’ seperti yang
disebutkan di dalam An-Nihayah, adalah sebagai berikut: Kata itu dibaca
kasrah tha’-nya dan huruf setelah nya dibaca fathah panjang, yang
berarti: Minuman yang terbuat dari perasan anggur, yakni sebangsa manisan.
Minuman itu tidak lain adalah arak. Setelah itu
disebutkan haditsnya dan dikomentari:
“Hadits ini senada dengan hadits
lain yang artinya:
“Umatku kelak
akan meminum minuman arak dengan nama yang bukan nama sebenarnya. Maksud beliau bahwa mereka meminum
perasan anggur yang mereka namakan manisan, untuk menghindari nama arak yang
diharamkan.”
Pendukung lainnya adalah:
“Sekelompok
umatku ada yang benar-benar menginginkan halalnya khamer yang mereka namai
dengan nama yang sebenarnya.” (Riwayat lain menyebutkan, “Mereka menamainya dengan nama lain.”)
Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah
(3385), Imam Ahmad (5/318) dan Ibnu Abdi-Dunya di dalam kitabna Dzummul
Muskir (Celaan Terhadap Minuman yang Memabukkan, nomor :4/2) dari Sa’id bin
Aus Al-Katib, dari Bilal bin Yahya bin Muairiz, dari Tsabit bin As-Simth, dari
Ubadah bin Shamit, yang menuturkan: Rasulullah r bersabda (kemudian ia menyebutkan
sabda Nabi di atas)
Saya berpendapat: Sanad ini bagus
dan perawinya tsiqah. Ibnu Muhariz yaitu Abdullah adalah
seorang perawi tsiqah dan termasuk perawi yang digunakan oleh Bukhari-Muslim.
Adapun Abubakar bin Hafsh, yang nama aslinya adalah Abdullah bin Hafsh adalah perawi tsiqah
dan dibuat hujjah (Muhtajj Bihi) di dalam Shahih Bukhari-Muslim.
Sementara Bilal bin Yahya Al-Abasi
oleh Ibnu Ma’in dinilai Laisa bihi ba’s. Sedangkan Ibnu Hibban menilainya tsiqah.
Hadits ini diperkuat oleh Syu’bah,
hanya saja ia tidak memasukkan Tsabit bin As-Simth di
dalam sanadnya. Ia menuturukan: “Dari seorang sahabat
Nabi r” dengan riwayat kedua.
Sanad ini
ditakhrij oleh An-Nasa’i (2/330) dan Imam Ahmad (4/237). Sanad ini lebih
shahih disbanding sanad pertama.
Diriwayatkan dari Abubakar bin Hafsh
dengan cara lain dari jalur Muhammad bin Abdul Wahab
Abu Syihab dari Abu Ishaq Asy-Syaibani dari Abubakar bin Hafsh dari IbnuUmar
yang menurutkan: “Rasulullah r bersabda: (kemudian ia menyebutkan sabda Nabi di
atas).
Hadtis dengan sanad ini ditakhrij
oelh Al-Khathib di dalam Tarikh Baghdad (6/205).
Saya
berpendapat: Semua perawinya tsiqah kecual Abu Syibah, perawi ini tidak saya
ketahui.
“Beberapa kelompok di antara umatku
ada yang benar-benar meminum arak (khamer) dengan menggunakan nama lain.”
Hadits dengan
sanad ini ditakhrij oleh Al-Hakim (2/417) dan Al-Baihaqi (7/294-295).
Al-Hakim menilai,
“Hadits ini shahih sesuai dengan syarat (criteria) Bukhari-Muslim.”
Sementara itu Adz-Dzahabi
mengomentarinya: “Menurut saya memang: Demikianlah ia
berkata: “Muhammad, orang ini majhul
(tidak dikenal), meskipun ia adalah putera Akhi Az-Zuhri. Dengan
demikian sanad itu munqathi (perawinya
ada yang gugur sebelum sampai ke sahabat).”
Saya berpendapat: Sa’id bin Abu
Hilal juga mengalami kerancuan, seperti yang anda lihat pada hadits Aisyah yang
redaksinya berbeda dengan hadits sebelumnya.
Pendukung kedua adalah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili yang menceritakan: “Rasulullah r
bersabda:
áÇó ÊóÐú åóÈõ ÇááøóíóÇáö æó úáÇó íøóÇãõ ÍóÊøٰì ÊóÔúÑóÈó ØóÇÁöÝóÉõ
ãöäú ÇõãøóÊöì ÇáúÎóãúÑó íõÓóãøõæú äóåóÇ ÈöÛóíúÑö ÇáÓúãöåóÇ .
“Malam dan siang tidak akan
sirna, kecuali ada sekelompok Umatku yang meminum khamar dengan nama yang
lain.”
Hadits dengan sanad ini
ditakhrij oleh Ibnu Majah (3384) dan Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (6/97) dari Abdus-Salam bin
“Seperti
itulah hadits yang kami riwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili. Ia meriwayatkannya dari Tsaur dari Khalid dari Abu Hurairah
dengan matan yang sama.”
Saya berpendapat: Semua
perawi hadits ini tsiqah kecuali Abdus-Salam. Perawi ini dha’if,
seperti disebutkan dalam At-Taqrib.
Pendukung ketiga adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Amir Al-Khazzaz dari Ibnu Malikah dari Ibnu
Abbas yang menceritakan Rasulullah r bersabda:
“Umatku di akhir zaman akan meminum khamar dan
memberinya nama yang lain.”
Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (3/114/3). Abu Amir nama aslinya adalah Saleh bin Rustam Al-Muzni. Ia perawi shaduq (sangat
jujur), tetapi sering melakukan kesalahan, seperti dikemukakan di dalam At-Taqrib. Namun hadits ini tetap bisa
dipakai sebagai pendukung. Wallahu a’lam.
Pendukung
keempat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hatim bin Harits, dari Malik bin
Abu Maryam yang berkata, “Abdurrahman bin Gharim dating kepada kami dan
berbicara tentang ath-thila’. Kemudian
ia berkata, “Abu Malik Al-Asy’ari meriwayatkan hadits
kepada saya, bahwa ia mendengar Rasulullah r bersabda:
“Diantara Umatku ada yang benar-benar meminum. Mereka menyebutnya dengan nama lain.”
Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (3688), Imam Bukhari di dalam Ath-Tarikh Al-Kabir (1/1/305 dan
4/1/222), Ibnu Majah (4020), Ibnu HIbban (1384), Al-Baihaqi (8/295 dan 10/231),
Imam Ahmad (5/242), Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam
Al-Kabir (1/167/2), Ibnu Asakir (16/115/2). Semuanya dari Mu’awiyah
bin Shaleh dari Hatim.
Saya
berpendapat: Semua perawinya tsiqah, kecuali Malik bin Abu Maryam. Mengenai
perawi ini Adz-Dzahabi mengatakan: “La yu’rafu” (tidak
dikenal). Sedangkan Ibnu HIbban menurut patokan yang
dibuatnya menilainya tsiqah.
Inilah cacat (illat) yang ada pada sanad tersebut. Sedangkan
Al-Mundziri di dalam Mukhtasar-nya
menyebutkan illatnya sebagai berikut (5/271):
Di
dalam sanadnya terdapat Hatim bin Harits Ath-Tha’i Al-Himshi. Ketika Abu Hatim
Ar-Razi ditanya tentang perawi ini, ia menjawab, “Ia
seorang Syaikh.” Sedangkan Ibnu Ma’in mengomentarinya, “Aku
tidak mengenalnya.”
Saya
berpendapat:
Adapun
Ibnu Addi menilai:
“Kumpulan haditsnya tidak dikenal oleh Ibnu Ma’in, tapi saya
berharap ini tidak menjadi masalah.”
Saya
berpendapat: Pemberian illat kepada gurunya, yaitu Malik bin Abi Maryam,
seperti yang kami lakukan adalah lebih baik, sebab Malik bin Abi Maryam tidak
ada yang menilainya tsiqah selain Ibnu Hibban.
Adapun
tambahan pada matan hadits dha’if di atas berasal dari Ibnu Majah dan Ibnu
Asakir, yaitu:
“Di hadapan mereka dilengkapi alat-alat musik dan para
penyanyi. Allah akan
menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi.”
Hadtis dengan tambahan ini shahih secara keseluruhan. Hadits pokoknya telah saya sebutkan beserta hadits-hadits
penguatnya.
Hadits
dengan tambahan itu mempunyai jalur yang lain, yaitu dari Abdurrahman bin
Ghanam. Redaksinya akan saya sebutkan berikutnya.
Mengenai hadits ini Al-Baihaqi berkomentar:
Hadits
ini memiliki beberapa syahid yaitu dari hadits Ali, Imran bin Husain, Abdullah
bin Bisr, Sahl bin Sa’d, Anas bin Malik dan Aisyah y dari Nabi r :
۹١- áóíóßõæú äóäøóÇ ãöäú ÇõãøóÊöìú ÇóÞúæóÇãñ ãöäú
íóÓúÊóÍöáøõæúäóÇáúÍöÑøóæó ÇáúÍóÑöíúÑó æóÇáúÎóãúÑó æóÇáúãóÚóÇÒúÝó ¡
æóáóíóäúÒöáóäøó ÇóÞúæóÇãñ Çöáٰì ÌóäúÈö Úóáóãò ¡ íóÑõæúÍõ Úóáóíúåöãú
ÈöÓóÇÑöÍóÉò áóåõãú ¡ íóÃúÊöíúåöãú ÈöÍóóÇÌóÉò ¡ ÝóíóÞõæúáõæúäó : ÇöÑúÌöÚú
ÇöáóíúäóÇ ÛóÏð ¡ ÝóíõÈóíøöÊõåõãõ Çááåõ ¡ æóíóÖóÚõ ÇáúÚöáãó ¡ æóíóãúÓóÎõ
ÇٰÎöÑöíúäó ÞóÑóÏóÉð æóÎóäóÇÒöíúÑó Çöáٰì íóæúãö ÇáúÞöíóÇãóÉö .
“Benar-benar akan ada kelompok umatku yang menghendaki
halalnya seks (zina), sutera, khamer dan alat-alat musik. Dan akan ada masyarakat yang turun di samping gunung yang menjulang,
dimana seorang penggembala ternak mereka kembali di sore hari dan datang kepada
mereka untuk suatu keperluan namun mereka berkata,
:Kembalilah kepada kami besok pagi.” Kemudian Allah menghancurkan mereka
di waktu malam, menimpakan gunung itu kepada mereka, dan mengubah rupa lainnya
menjadi kera dan babi sampai hari kiamat.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya
(4/30) dan berkata:
“Mengenai
orang yang menghendaki halalnya khamer dan menyebutkan dengan nama lain, Hisyam bin Ammar berkata, “Shadaqah bin Khalid
memberi hadits kepada kami, ia berkata: “Abdurrahman bin Yazid bin Jabin
meriwayatkan kepada kami, ia berkata, “Athiyah bin Qais Al-Kalabi meriwayatkan
hadits kepada kami, ia berkata, “Abdurrahman bin Ghanam meriwayatkan hadits
kepada saya dan ia berkata. “Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari -demi Allah, tidak membohongi saya –
ia mendengar Rasulullah r
bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas).
Ath-Thabrani
(1/167/1), Al-Baihaqi (10/221) dan Ibnu Asakir (19/79/2) dan Imam yang lain, dari beberapa sanad, dari Hisyam bin Ammar.
Hadits
ini memiliki sanad lain dari Abdurrahman bin Abu Dawud berkata Yazid: “Abu
Dawud berkata (40/39): “Abdul Wahab bin Nadjah meriwayatkan hadits kepada kami
dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir.”
Ibnu
Asakir juga meriwayatkan hadits itu dari sanad lain dari Bisyr.
Saya
berpendapat: Inilah pendapat yang shahih dan sebagai Matabi (pendukung) yang kuat bagi Hisyam bin Ammar dan
Shadaqah bin Khalid. Ibnu Hazm tidak memperhatikan hadits
itu, dalam memperbolehkan alat-alat musik di dalam karya-karyanya. Ia menilai hadits Bukhari itu munqathi
(terputus) antara Bukhari dan Hisyam. Sedangkan illat-illat
lain selanjutnya dikomentari oleh ulama yang datang berikutnya. Mereka
menolak penilaian dha’if yang dilakukan oleh Hisyam, diantaranya Ibnu Qayyim di
dalam Tahzibus As-Sunnah (5/270-272) dan Al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam Al-Fath,
disamping imam-imam yang lian. Saya telah mengupas hal itu
secara terperinci di dalam Ar-Rudd ala
Risalah Ibnu Hazm semoga Allah memudahkan penyelesaian dan penerbitannya.
Ibnu Hazm dengan keluasan dan kedalaman ilmunya tidak melacak hadits dengan
menyertakan para perawinya secara detail. Buktinya ia memberikan
penilaian dha’if terhadap hadits ini, dan penilaian majhul terhadap Imam
Tirmidzi yang merupakan Shahihus-Sunan. Hal
inilah yang merupakan salah satu factor yang mendorong Muhammad bin Abdul Hadi
(murid Ibnu Taimiyah) memberikan komentarnya di dalam Mukhtasar Thabaqat Ulama Al-Hadits (hal. 401): “Ia banyak
melakukan kesalahan dalam menilai shahih dan dha’if seorang perawi.”
Saya
berpendapat: Seyogyanya penilaiannya terhadap hadits tidak diterima begitu
saja, sebelum meneliti kebenarannya dan memeliti titik perbedaannya dengan
pendapat ulama lain. Pendapatnya yang controversial itu juga
kerap kali muncul di dalam permasalahan-permasalahan dalam lingkup disiplin
ilmu fiqh, demikian juga di dalam ilmu kalam, bahkan tidak jarang sangat
berbeda dengan pendapat para ulama Salaf. Setelah Ibn Abdul Hadi
menilainya memiliki daya hafalan kuat dan banyak menelaah buku, kembali ia berkomentar:
“Tetapi saya merasa yakin bahwa ia sebenarnya berbaju Jahamiyyah. Ia tidak menetapkan adanya makna nama (asma) Allah kecuali
sedikit sekali, Seperti Al-Khaliq, Al-haq.
Sedangkan asma’ lain menurutnya tidak
menunjukkan arti sama sekali, seperti Ar-Rahim, Ar-Rahman dan
lain-lain. Ilmu menurutnya adalah qudrah dan qudrah adalah
ilmu. Keduanya adalah dzat itu sendiri. Ilmu tidak menunjukkan sesuatu yang melebihi dzat. Inilah satu kecerobohan dan kesombongan pemikiran beliau. Memang beliau selalu berkutat dengan logika dan filsafat, sehingga
menimbulkan pemikiran seperti itu.
Kosa Kata Hadits
Kata al-hira berarti zina (melacur).
Kata al-mu’azif merupakan bentuk plural dari kata ma’zifah,
yang berarti alat-alat musik, dan alat-alat yang dapat menjauhkan seseorang
dari ibadah kepada Allah I
seperti yang dijelaskan di dalam Al-Fath.
Kata ‘alam berarti gunung yang menjulang.
Kata yaruhu’alaihim
(ia membawa pulang atau mengistirahatkannya kepada
mereka) terhadap pembuangan subyek, yaitu berupa penggembala, hal ini dapat
diamati dari rangkaian kalimat selengkapnya, sebab adanya binatang gembala
pasti ada penggembalanya.
Kata sarihah berarti binatang yang digembalakan di waktu
pagi dan dibawa pulang id waktu sore hari di kandangnya.
Ya’tihim
lihajatin, riwayat lain sebagaimana di dalam mustkhrajah ash-shahih menyebutkan
ya’tihim thalibu hujatin.
Wayadha’ul ‘alam berarti Allah menjatuhkan gunung di atas
mereka.
Kandungan Hadits
Hadits-hadits
di atas mengandung beberapa makna:
Pertama:
Makna diharamkannya khamer. Hal ini telah menjadi consensus
seluruh umat Islam. Namun perlu
disayangkan pada minuman yang terbuat dari perasan anggur diharamkan, sedangkan
minuman lain yang juga memabukkan tidak mereka haramkan, seperti minuman dari
anggur kering yang direndam dengan air, minuman yang terbuat dari perasan gandum
(jewawut, jelai) dan khamer negeri Habasyah (Abbesinia) yang terbuat dari
jagung. Menurut mereka semua jenis minuman itu halal, kecuali
jika sampai pada ukuran yang memambukkan. Jadi bila
sedikit saja meminumnya maka halal. Berbeda dengan
minuman yang terbuat dari anggur, sedikit ataupun banyak tetap diharamkan.
Pemisahan seperti ini jelas bertentangan dengan nash-nash, seperti perkataan
Umar t: “Pengharaman khamer turun ketika ayat yang mengharamkannya turun,
yaitu pada
Kembali saya
tegaskan, bahwa pemisahan semacam itu sama sekali
bertentangan dengan dalil-dalil di atas, juga menyalahi aturan qyas yang benar
dan penalaran akurat. Sebab perbedaan macam apa bila
khamer dari anggur dalam jumlah sedikit maupun banyak diharamkan karena
memabukkan, namun khamer dari jagung yang dalam jumlah banyaknya juga
memabukkan dan diharamkan, tetapi dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan
tidak diharamkan. Apakah diharamkannya khamer dalam jumlah kecil itu hanya
sebagai cara untuk menekan pemakaian dalam jumlah
banyak? Kalau benar seperti itu, maka mengapa khamer dalam
jumlah kecil yang terbuat dari jagung tidak diharamkan? Demi Allah,
pemisahan seperti itu jelas merupakan sesuatu yang mengherankan, aneh dan tidak
semestinya.1)
Dalam hal ini
Ibnu Qayyim di dalam Tahzibus-Sunan (5/263) setelah menyebutkan
dalil-dalil di atas menandaskan:
“Dengan adanya nash-nash yang shahih dan jelas artinya yang
memasukkan minuman selain yang terbuat dari anggur ke dalam jenis khamer, maka
tidak dibutuhkan lagi adanya analogi yang menetapkan bahwa minuman-minuman itu
termasuk khamer. Apalagi tentang kebenaran qyas
tersebut banyak dipertentangkan di kalangan ulama. Jika
telah jelas penamaan minuman-minuman itu sebagai khamer, maka hukum meminumnya
juga seperti minum khamer. Dengan demikian tidak
dibutuhkan lagi adanya qiyas untuk masalah ini. Kemudian apabila kita
menggunakan qiyas jail (jelas) semata, maka akan
disimpulkan bahwa semua minuman itu sama khamer yang terbuat dari anggur. Sebab telah menjadi consensus bersama bahwa meminum sedikit dari
khamer yang terbuat dari anggur diharamkan, meskipun tidak memabukkan. Hal ini dikarenakan nafsu tidak mungkin mau meminumnya dalam jumlah
yang tidak memabukkan. Meminumnya dalam jumlah sedikit akan merangsang untuk meminumnya dalam jumlah yang lebih
banyak. Hal ini berlaku pula pada semua jenis minuman yang
memabukkan. Dengan demikian pemisahan di atas jelas
tidak benar. Seandainya kita hanya menggunakan qiyas,
maka keharaman minuman-minuman itu sudah jelas apalagi didukung dengan
dalil-dalil tersebut, yang jelas telah terbukti keshahihan dan kejelasannya.”
Disamping itu diperbolehkannya meminum dalam jumlah yang tidak
memabukkan dan diharamkannya meminum dalam jumlah yang memabukkan tidak bisa
dipakai. Sebab tidak bisa diketahui secara pasti kadar
alcohol yang ada. Kadang-kadang satu jenis khamer dalam jumlah sedikit
mengandung kadar alkohol lebih banyak dari khamer lain
dalam jumlah yang lebih banyak. Juga mabuk dan tidaknya itu
juga dipengaruhi oleh kondisi tubuh peminumnya.
Perlu
diketahui bahwa dengan adanya pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan sunnah maupun qiyas yang benar, mengharuskan kita umat Islam
untuk semakin berhati-hati mengenai persoalan-persoalan agama. Sehingga kita tidak begitu saja menerima pendapat seseorang yang
tidak dijamin kebenarannya, meskipun orang itu telah diakui kapasitas keilmuan
dan keshalihannya. Kita harus menggali hukum itu dari
sumber-sumbernya, jika memang kita mampu. JIka tidak,
maka kita harus bertanya kepada orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya.
Sebab Allah I berfirman:
æóãóÇ ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöäú ÞóÈúáößó ÅöáÇ ÑöÌóÇáÇ
äõæÍöí Åöáóíúåöãú ÝóÇÓúÃóáõæÇ Ãóåúáó ÇáÐöøßúÑö Åöäú ßõäúÊõãú áÇ ÊóÚúáóãõæäó (ÇáäÍá : ٤٣)
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl : 43)
Namun demikian, tokoh yang melontarkan pendapat itu tetap
mendapatkan pahala, sebab mereka bertujuan mencari kebenaran, meskipun
kenyataan hasil ijtihadnya tidak tepat.2) Sedangkan orang yang
mengetahui hadits-hadits di atas, namun masih memegangi pendapat yang salah
itu, maka orang itu benar-benar ada dalam kesesatan yang nyata. Ia termasuk yang dikategorikan Nabi r
dalam sabdanya, yaitu meminum khamer dengan nama yang disamarkan, misalnya ath-thila’,
whisky, koniyak, dan sebagainya.
Maha
Benar Allah yang berfirman:
Åöäú åöíó ÅöáÇ ÃóÓúãóÇÁñ ÓóãóøíúÊõãõæåóÇ ÃóäúÊõãú
æóÂÈóÇÄõßõãú ãóÇ ÃóäúÒóáó Çááóøåõ ÈöåóÇ ãöäú ÓõáúØóÇäò Åöäú íóÊóøÈöÚõæäó ÅöáÇ
ÇáÙóøäóø æóãóÇ Êóåúæóì ÇáÃäúÝõÓõ æóáóÞóÏú ÌóÇÁóåõãú ãöäú ÑóÈöøåöãõ ÇáúåõÏóì
( ÇáäÌã :
٢٣)
“Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang
diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada
mereka dari Tuhan mereka.” (QS An-Najm : 23)
Kedua:
Diharamkannya alat-alat musik. Hadits ini menunjukkan hal tersebut dari
beberapa segi:
a.
Kalimat yastahilluna [mereka menghendaki
dihalalkannya (alat-alat musik itu)]. Kalimat itu jelas menunjukkan bahwa
alat-alat musik itu sebenarnya menurut syara’ diharamkan. Sedang mereka
menghendaki dihalalkan.
b.
Kata yang menunjukkan alat-alat musik itu
disertakan dengan hal lain yang diharamkan, yaitu zina
dan khamer. Seandainya alat-alat itu tidak diharamkan, maka kemungkinan tidak akan disebut bersamanya.
Banyak hadits-hasits
yang menjelaskan haramnya alat-alat musik tersebut yang saat ini banyak di
kenal, seperti drum, biola, piano, dan lain-lain. Sebagian hadits-hadits itu
bernilai shahih serta tidak ada hadits lain yang
berlawanan dan menyempitkan maknanya, kecuali rebana yang dipakai pada saat
pernikahan atau hari raya. Alat yang disebut terakhir ini
halal dengan alasan terperinci yang banyak dipaparkan dalam buku-buku fiqh.
Saya juga telah menjelaskannya pada saat saya menyanggah pendapat Ibnu Hazem. Oleh karena itu semua imam pemilik mazhab sepakat mengharamkan
semua jenis alat musik.
1.
Hal itu merupakan pengkhususan (penyempitan)
terhadap makna hadits di atas, padahal tidak mukhashish-nya (yang
mengkhususkan), kecuali hanya pendapat rasio semata, yakni istihsan. Hal
ini jelas tidak bisa dipakai.
2.
Bahwa yang diwajibkan bagi kaum musimin pada
saat berperang adalah selalu mengingat Allah (berkonsentrasi penuh kepada-Nya)
dan senantiasa memohon kemenangan dari-Nya. Sebab hal ini lebih mendukung
konsentrasi mereka dan lebih meneguhkan hati. Padahal pemakaian alat musik
justeru akan membuyarkan perhatian mereka, sebagaimana firman Allah:
íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ ÅöÐóÇ áóÞöíÊõãú
ÝöÆóÉð ÝóÇËúÈõÊõæÇ æóÇÐúßõÑõæÇ Çááóøåó ßóËöíÑðÇ áóÚóáóøßõãú ÊõÝúáöÍõæäó (ÇáÇäÝá : ٤٥)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh
hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS Al-Anfal : 45)
3.
Pemakaian alat-alat itu adalah tradisi
orang-orang non muslim (yang tidak beriman kepada
Allah sama sekali, tidak percaya adanya hari akhir, tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan tidak memegangi agama yang benar). Oleh karena itu
kita tidak boleh meniru mereka, apalagi pada hal yang jelas diharamkan oleh
Allah secara umum, seperti alat-alat musik tersebut.
Pembaca
jangan terpengaruh dengan pendapat sementara pakar hukum Islam yang
menghalalkan alat-alat musik. Sebenarnya orang itu hanya mengikuti saja apa yang didengarnya dari orang lain, sebab hadits di atas
menurutnya dha’if. Padahal seperti anda ketahui bahwa hadits
itu adalah shahih. Ibnu Hazem sendiri memang kurang
mendalam dan kurang hati-hati dalam menilai suatu hadits. Dan menurut saya orang yang berani mengemukakan bahwa alat-alat
musik itu halal adalah orang yang tidak mengikuti pendapat salah satu dari
empat imam mazhab. Seandainya orang itu berdalih bahwa
pendapatnya itu merupakan penyelesaian suatu masalah hukum secara ilmiah, maka
tidak bisa dibernarkan. Sebab yang dimaksud
menyelesaikan masalah secara ilmiah dalam persoalan ini adalah meneliti
hadits-hadits tentang masalah yang dibahasnya, kemudian diputuskan shahih
tidaknya. JIka telah terbukti shahih, maka dipelajari
lebih lanjut kandungan hukum yang sebenarnya dengan melihat hadits lain, yang
mempersempit maknanya, atau mendukungnya, atau justeru berlawanan. Inilah yang sesuai dengan kaidah (prinsip-prinsip) menentukan hukum
Islam. Jika orang itu mau menempuh cara-cara itu, maka tentu sulit bagi
orang lain untuk mengkritiknya dari segi apapun. Tetapi orang
itu tidak melakukan apapun di antara langkah-langkah tersebut. Jika mereka mempunyai suatu masalah, mereka hanya melihat pendapat
ulama dan hanya mencari hukum yang paling ringan dan paling mudah dilakukan.
Seharusnya mereka meneliti lebih jauh lagi, sesuai atau tidak
dengan Al-Qur’an maupun hadits.
Oleh karena itu seorang muslim hendaknya mengetahui agamanya benar-benar dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan dari pendapat seseorang semata. Sebab kebenaran
tidak mengenal tokoh, akan tetapi dengan melihat
kebenaran yang diketahui, maka kapasitas seorang tokoh dapat diketahui. Saya
sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh salah
seorang penyair:
Ilmu adalah apa yang difrimankan oleh Allah dan disabdakan oleh
Rasul-Nya, apa yang dikatakan oleh sahabat tidak disembunyikan. Ilmu bukanlah pertentangan yang Anda tegakkan antara Rasul dan
pendapat pribadi, karena Anda tidak mengetahui yang sebenarnya. Jangan seperti itu, jangan menafikan sifat dan tidak mengakuinya
karena khawatir menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Ketiga:
Allah I kadang-kadang menyiksa para durjana itu ketika
masih berada di dunia, dengan merubah parasnya menjadi bianatang, akal mereka
juga tidak ubahnya seperti akal binatang.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Fath menegaskan (10/49) berkenaan dengan
pengubahan paras mereka itu:
“Ibnu Al-Arabi berkata, “Hal ini mengandung kemungkinan adanya arti
hakekat (yang sesungguhnya) seperti yang terjadi pada umat terdahulu, dan
mungkin berarti kinayah dari perubahan prilaku mereka yang seperti
binatang.Tapi saya (al-Hafizh) berpendapat makna pertamalah yang lebih tepat
dalam hal ini.”
Saya
berpendapat: Tidak ada hambatan untuk memadukan (mengkompromikan) antara kedua
kemungkinan tersebut, seperti yang bisa kita pahami dari hadits-hadits di atas.
Beberapa mufassir kontemporer cenderung berpendapat bahwa
dirubahnya wajah mereka menjadi kera atau babi adalah bukan dalam arti yang
sesungguhnya. Pengubahan itu hanya dalam bentuk prilaku! Pendapat ini jelas bertentangan dengan teks ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits shahih. Oleh karena itu janganlah Anda
terpengaruh dengan pendapat itu. Mereka tidak
mempunyai argumentasi kecuali penalaran semata, yang justeru menunjukkan
lemahnya iman seseorang terhadap perkara-perkara ghaib (metafisis). Semoga Allah I
memberikan keselamatan kepada kita. Amin
Keempat:
Selanjutnya Al-Hafizh menjelaskan, “Hadits ini mengandung ancaman yang berat
bagi mereka yang mencoba merekayasa penghalalan khamer (umumnya hal-hal lain
yang diharamkan) dengan merubah nama yang sesungguhnya. Hukum
tetap bertumpu pada illat (alasan hukum). Sedangkan
illat adalah memabukkan. Dengan demikian, semua yang memabukkan pasti
haram, meskipun nama aslinya sudah tidak ada. Dalam
hal ini Ibnu Al-Arabi berkata: “Inilah yang merupakan suatu patokan, bahwa yang
dimaksud kata khamer adalah memang hakekatnya, sebagai sanggahan kepada mereka
yang menyangka hanya kata-katanya saja.”
۹٢ - ãóÇ ÇóäóÇÈöÇóÞúÏóÑó Úóáٰì Çóäú ÇóÏóÚó áóßõãú
Ðٰáößó ¡ Úóáٰì Çóäú ÊóÔúÚóáõæúÇ áöìú ãöäóåóÇ ÔóÚúáóÉð : íóÚúäöì
ÇáÔøóãúÓó .
“Aku tak kuasa
meninggalkan hal itu, meskipun karenanya kalian akan meletakkan matahari di
atasku.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far Al-Bakhtari di dalam Hadits Abil Fahdal
Ahmad bin Mala’ib (47/1-2), Ibnu Asakit (11/363/1, 19/44/201)
melalui Abu Ya’la dan yang lain, keduanya dari Yunus bin Bukair yang berkata,
“Telah meriwayatkan kepada kami Thalhah bin Yahya dari Musa bin Thalha, ia
berkata, “Ukail bin Abi Thalib meriwayatkan hadits kepadaku, ia mengisahkan:
“Orang-orang
Quraisy datang kepada Abu Thalib, lalu mereka melaporkan: “Apakah Engkau
melihat Ahmad? Ia benar-benar mengganggu dengan adzan
dalam menyeru kepada kami di masjid kami. Tolong hentikan
perbuatannya itu.” Kemudian Abu Thalib berkata: “Wahai Uqail, tolong
panggilkan Ahmad IMuhammad) ke sini.” Perawi melanjutnya kisahnya: “Setelah itu
aku mencarinya dan membawanya menghadap ayah. Setibanya di hadapan ayah, beliau
memberi tahu: “Wahai keponkakanku, kaum Quraisy melaporkan bahwa engaku telah
mengganggu mereka. JIka benar maka hentikanlah.”
Perawi masih menuturkan: “Lalu Rasulullah melirik pamannya itu (riwayat lain
menyebutkan: Rasulullah r mengernyinkan matanya) kemudian menengadah dan bersabda: (Perawi
kemudian menyebutkan sabda Nabi r di atas). Perawi mengakhiri
kisahnya: “Kemudian Abu Thalib berseru, “Keponakanku ini tidak berbohong,
karena itu, pulanglah kalian.”
Saya
berpendapat: Sanad hadits ini hasan, dan semua perawinya tsiqah disamping
termasuk perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Muslim. Mengenai Yunus bin
Bukhair dan Yahya bin Yahya memang ada kritik yang dilontarkan kepada keduanya,
tetapi kritik itu tidak berpengaruh.
Sedangkan
hadits yang redaksinya: “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di
tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku mau meninggalkan dakwahku
itu, maka aku tetap tidak akan meninggalkannya, sebelum Allah memberikan
kemenangan kepadaku, atau aku sendiri yang hancur.”
Sanad hadits terakhir ini tidak kuat. Oleh karena itu saya
memasukkannya ke dalam Al-hadits Adh-Dha;ifah
(lihat hadis no. 913).
****
__________________________
1) Periksa
Syarh Ma’ami Al-Atsar karya Ath-Thawai (1/322-329)
2) Kemungkinan
ia selanjutnya mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak
benar, kemudian melakukan penelitian ulang. Akan tetapi
pendapatnya yang baru tidak diketahui oleh banyak orang. Hal yang
demikian ini juga saya lihat di dalam kitab Fahda’ilu Abi Hanifah karya
Abu Qasim As-Sa’di (4/51/1) yang sanadnya dari Syu’aib bin Ishak dari Abu
Hanifah dari Hammad bin Ibrahim, ia berkata: “Kebanyakan orang salah
menyebutkan kalimat Kullu muskir haram, yang benar adalah Kullu sakar
haram. Kemudian saya mendengar sayub-sayub Abu Hanifah berkata: “Saya
khawatir bahwa yang salah justeru Ibrahim sendiri. Riwayat
ini sanadnya shahih, hanya As-Sa’di saya tidak melihat biografinya.”
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |