RUKU’ SAMBIL BERJALAN MENUJU SHAF
DALAM SHALAT BERJAMA’AH
٢٢۹ - ÅöÐóÇ ÏóÎóáó ÃóÍóÏõßõãõ ÇáúãóÓúÌöÏó
æóÇáäøóÇÓõ ÑõßõæúÚñ¡ ÝóáúíóÑúßóÚú Íöíúäó íóÏúÎõáõ Ëõãøó íóÏõÈøõ ÑóÇßöÚðÇ ÍóÊøóì
íóÏúÎóáó Ýöí ÇáÕøóÝøöö ÝóÅöäøó Ðóáößó ÇáÓøõäøóÉõ
"Jika salah seorang di antara kalian
memasuki masjid, sementara orang-orang sudah ruku', maka hendaklah
ia ikut ruku'. Kemudian sambil ruku' hendaknya ia masuk
barisan. Sebab hal itu merupakan sunnah."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam
Al-Ausath (1/133) dari Zawa'idul-Mu'jamam, Al-Ausath Wash-Shaghir: '"Muhammad bin
Nashr telah meriwayatkan kepada kami, ia berkata: "Hannalah bin Yahya telah meriwayatkan kepada saya. ia
mengatakan: Ibnu Juraij telah memberi kabar yang
diperolehnya dari Atha'. bahwa
Atha' mendengar Ibnu Zubair
berkata di atas mimbar: (Kemudian ia menyebutkan hadits di atas secara mauquf). Atha' berkata:
"Saya mengetahui ia membuat sendiri hadits itu." Ibnu Juraij sendiri berkata: "Saya melihat Atha' membuat sendiri hadits itu." Sementara itu Ath-Thabrani mengomentarinya:
"Tidak ada hadits yang diriwayatkan dari lbn
Zubair, kecuali hadits ini dengan sanad
seperti itu. Sedang Harmalah meriwayatkannya seorang diri (nutafarrid)."
Saya berpendapat: Harmalah bin Yahya
sebenarnya tsiqah. dan terrmasuk perawi Imam Muslim.
Sementara Orang-orang yang
ada di atasnya dalam rangkaian sanadnya lebih tsiqah.
dan dipakai oleh Bukhari-Muslim. Sedang Muhammad bin Nasher adalah Ibnu
Humaid Al-Wazh Al-Bazzar. (orang-orang selain Ath-Thabrani menyebutnya
Ahmad, seperti halnya Al-Khathib (Juz II biografi no. 1411 dan juz V biografi
no. 2625). Kemudian Al-Khatib menilai Muhammad bin Nasher adalah seorang
perawi tsiqah.
Mengenai hadits itu, Al-Haitsami
berkata (2/96): "Hadits itu diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam
Al-Ausath. Perawi-perawinya shahih.
Saya berpendapat: Sanad itu shahih, jika Ibnu Juraij benar- benar mendengarnya
dari Atha1. Sebab ia seorang mudallis (suka menyembunyi
Hadits ini ditakhrij oleh
Al-Hakim (1/214). Sedang
Al-Baihaqi darinya
(3/106) melalui Sa'id bin Al-Hakam bin Abu Maryam meriwayatkan. Sa'id berkata: "Abdullah bin Waham telah
meriwayatkan hadits itu ke-padaku.
Kemudian Al-Hakim mengomentari: "Hadits itu shahih. sesuai
dengan kriteria
Bukhari-Muslim." Sementara itu Adz-Dzahabi juga sependapat dengannya. Demikianlah keduanya menilai.
Yang mendukung keshahihan
hadits itu adalah tindakan sahabat setelah wafatnya Nabi r di antaranya Abubakar, Zaid bin Tsabit. dan Abdullah bin Mas'ud, dengan kisah:
1.
Al-Baihaqi
(2/90) meriwayatkan dari Abubakar bin Abdirrahman bin
Al-Harits bin Hisyam, bahwa Abubakar A.sh-Shiddiq dan Zaid bin Tsabit
memasuki masjid. sedangkan
imam sudah rukuk Lalu keduanya segera mengambil posisi ruku'
dan dalam posisi itu. mereka berjalan meluruskan diri
sejajar dengan shaf.
Saya berpendapat: Semua perawinya tsiqah.
Seandainya MakhuI tidak meriwayatkannya secara an ‘anah dari Abubakar bin Harits. maka saya akan menilamya hasan.
Tetapi hadits itu dari Zaid bin Tsabit sehingga
bagaimanapun
tetap shahih.
2.
Dari Abu Umumah bin Sahal bin
Hanif, bahwa ia melihat Zaid bin Tsabit memasuki
masjid. sementara Imam sedang ruku’. Lalu beliau berjalan mendekati shaf
dalam keadaan ruku’. Beliau bertakbir lalu ruku' kemudin melangkah dalam
keadaan ruku hingga sejajar dengan shaf.
Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi (2/90,
3/106). Adapun sanadnya shahih.
3. Dari Zaid bin Wahab, ia menceritakan:
"Saya
keluar bersama Abdullah bin Mas'ud menuju masjid. Ketika kami sampai di masjid imam sedang ruku’.
Kemudian dalam keadaan ruku’ kami
berjalan mendekati shaf hingga jamaah tegak dari ruku'. Tatkala shalat selesai.
Saya kembali hendak berdiri. sebab
saya mengira tidak mendapatkan satu raka'at. Namun Abdullah memegang tangan saya dan mendudukkan saya kembali, lalu
berkata: ''Engkau benar-benar sudah mendapatkan raka'at
itu."
Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah
di dalam Al-Mushannaf
(1/99). Ath-Thahawi di
dalam Syarhul-Ma'ani (1/231-232). Ath-Thabrani di dalam dalam Al-Mu 'jamul-Kabir (3/32/1) dan
Al-Baihaqi di dalam kitab Sunan-nya. (2/90-91) dengan sanad shahih. Hadits itu memiliki sanad lain dalam riwayat Ath-Thabrani.
Atsar-atsar
ini menunjukkan adanya hukum barn yang belum ada pada atsar-atsar
sebelumnya. yakni orang yang menemukan ruku'
bersama imam, maka ia juga menemukan raka'atnya. Hal itu menurut pendapat Ibnu Mas'ud dan
Ibnu Umar yang didasari oleh hadits dengan sanad yang
shahih. Saya telah mentakhrij
kedua atsar itu
di dalam Irwa'ul-Ghalil (hadits no. 119). Mengenai hai
yang sama ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah, yang juga saya takhrij di tempat yang sama.
Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari di dalam Jaz 'ul-Oira 'at (hal.
24) adalah dari Ma'qal bin Malik yang menuturkan:
Telah meriwayatkan kepada kami Abu Awanah dari
Muhammad bin Ishaq dari Abdurrahman Al-A'raj dari Abu Hurairah yang berkata: "Jika engkau
jamaah dengan ruku'. maka raka'at itu tidak
dihitung."
Karena bertentangan dengan
riwayat di atas. maka
riwayat itu dha'if lebih-lebih karena ada Ma'qal.
dimana tidak ada yang menilainya tsiqah
kecuali Ibnu Hibban. Semuanya Al-Azdi
menilai: "la (Ma'qal) matruk." Riwayat itu juga disampaikan secara
an'anah dari Ibnu Ishaq. seorant mudallis. Jadi diamnya Al-Hafizh dalmn At-Talkhis (Hal.
127) mengisyarat
Namun demikian. Al-Bukhari meriwayatkan dari
jalur lain dari Ibnu Ishaq
yang memberitahukan: "Telah meriwayatkan kepadaku Al-A'raj.
tetapi dengan matan."
"Tidak
cukup bagimu (untuk mendapatkan raka'at) kecuali bila
engkau menemukan imam dalam keadaan masih berdiri. "
Atsar ini sanadnya hasan
dan tidak bertentangan dengan atsar-atsar di atas
bahkan saling mengisi. Hanya saja disyaratkan
harus menemukan imam dalam keadaan berdiri. Hal
keterangan mengenai syarat ini berasal dari Abu Hurairah ra.
Meskipun demikian tidak bisa memakainya. sebab atsar-atsar yang berlawanan
dengan itu lebih disepakati disamping
jumlahnya lebih besar.
Sesungguhnya
disebutkan pula bahwa ada hadits lain yang shahih. yang bertentangan dengan hadits di atas. yaitu:
٢٣٠ - ÒóÇÏóßó
Çááåõ ÍöÑúÕðÇ æóáÇó ÊóÚõÏøó
"Semoga Allah menamhahkan
semangat tmggi padamu. Dan jangan kamu ulangi."
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dauud. Ath-Thahawi.
Imam Ahmad. Al-Baihaqi dan Ibnu Hazem. dari hadits Abu Bakrah. bahwa Abu Bakrah datang, nam tin Rasulullah
r telah ruku'.
Lalu Abu Bakrah pun ruku’ sebelum mencapai shaf dan
berjalan menuju shaf. Ketika beliau Rasul telah menyelesaikan
shalatnya. beliau
bertanya: "Siapa di antara kalian yang
ruku' sebelum
mencapai shaf lalu berjalan menuju shaf?" Abu Bakrah menjawab:
"Saya wahai Rasu.”, Beliau
pun bersabda: (Kemudian perawi menyebutkan sabda Nabi di atas). "
Saya berpendapat: Sanad hadits ini
shahih, sesuai dengan syarat Imam Muslim. Hadits pertamakali muncul di dalam Shahihul-Bukhari. Saya mentakhrijnya di
dalam Irwa'ul-Ghalil {hadits no. 684. 685).
Yang saya maksudkan
menyebut hadits itu di sini adalah bahwa hadits itu secara lahiriah
menunjukkan larangan ruku' sebelum mencapai shaf. dan berjalan menuju ke
arahnya. Hal ini
berbeda dengan hadits yang telah saya sebutkan di atas. Bagaimana kita bisa mengkompromikan kedua
hadits yang kontradiktif itu? Saya akan
menjawab:
Hadits ini tidak menunjukkan apa
yang telah saya sebutkan di atas, kecuali
berdasarkan isthimbath (pengambilan hukum berdasarkan kaidah
tertentu). bukan atas dalil nash.
Sebab sabda Nabi laa ta'ud mengandung kemungkinan, bahwa Nabi r melarang
segala yang telah dilakukan oleh Abu Bakrah dalam
kasus ini. Setelah saya menelitinya secara
detail, temyata kata itu mengandung tiga kemungkinan arti:
1. Menghitung
raka'at yang hanya ditemui ruku'nya
oleh Abu Bakrah.
2. Tergesa-gesanya Abu Bakrah ketika
berjalan menuju shaf. Makna ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad (5/42) melalui
jalur lain dari Abu Bakrah,
yakni bahwa Abu Bakrah datang. sedang
Nabi r sudah ruku'.
Beliau mendengar suara terompah Abu Bakrah. yang
tampaknva sedang
berlari (tergesa-gesa). Abu Bakrah
ingin mendapatkan raka'at itu. Sehingga tatkala beliau selesai shalat beliau bersabda: "Siapa yang berjalan cepat tadi?'"
Ahu Bakrah menjawab: "Suya wahai Rusul". Beliau
bersabda: (Kemudian Imam Ahmad menyebutkan sabda Nabi di atas).
Sanad hadits ini hasan bila dipakai untuk mutabi'.
Ibnus Sakan juga meriwayatkannya di dalam
kitab Shahih-nya dengan redaksi yang sama. Di dalamnya ada kalimat: "Saya datang dengan tergesa-gesa." Dan
sabda Nabi: "Siapa
yang berjalan cepat tadi?" Riwayat ini diperkuat oleh riwayat Ath-Thahawi pada jalur pertama di atas.
"Saya datang. sedang
Rasulullah dalam keadaan ruku'. Hati
saya terdorong untuk segera mencapai shaf. lalu saya ruku' sebelum mencapainya..."
Hadits dan sanadnya ini
snahih. Sebab perkataan
"hati saya terdorong" menunjukkan arti keinginan yang sangat. Ini merupakan kinayah dan berlari (jalan
cepat).
3. Ruku’ yang dilakukan
oleh Abu Bakrah sebelum mencapai baris (shaf) dan jalannya.
Jika kita telah mengetahui dengan jelas semua itu. maka
apakah sabda Nabi laa la ‘ud merupakan larangan
terhadap ketiga hal di atas? Atau larangan terhadap sebagian di antaranya? Pertanyaan inilah yang akan saya jawab dengan melakukan penelitian secara
lebih cermat. Selanjutnya saya katakan:
Mengenai hal pertama. tampaknya tidak termasuk dalam larangan itu. Sebab seandainya hal itu dilarangnya. tentu
beliau akan memerintahkan untuk
mengulangi shalatnya. Dengan demikian maka hal itu
menunjukkan bahwa shalatnya sah, juga tidak ada
larangan menghitung raka'at yang ditemuinya
dengan cara seperti itu. Yakni menghitung raka'at yang hanya ditemukan mulai ruku',
Hal ini menunjukkan kekeliruan apa yang dikatakan oleh Ash-Shan'ani di dalam kitabnya Subulus-Salaam (22/23): "Nabi r tidak memerintahkan untuk mengulangi shalat,
kemungkinan dikarenakan Abu Bakrah tidak mengetahui
hukum yang sebenarnya. Ketidaktahuan inilah yang menyebabkan beliau memaafkannya."
Kekeliruan Ash-Shan'ani tampak jelas bila
dilihat dalam "Ash-Shahihain" dimana
disebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi r menyuruh seseorang yang tidak memperbaiki shalatnya, mengulangi sampai tiga kali. Sedang
orang itu juga belum mengerti, tetapi mengapa beliau menyuruhnya demikian
padahal orang itu juga tidak meninggalkan satu raka'at
pun. Beliau juga tidak menyuruh Abu Bakrah
mengulangi shalatnya padahal ia
telah ketinggalan satu raka'at. Seandainya itu tidak
bisa dihitung dengan menemukan ruku'nya, niscaya
beliau akan memerintahkan untuk mengulangi shalatnya. Kemudian bagaimana bisa
diterima hal itu diiarang, sedang yang melakukannya
adalah pembesar-pembesar sahabat? Oleh karena itu saya
merasa yakin bahwa hal pertama tidak termasuk yang dilarang oleh Nabi r dengan sabdanya laa la 'ud.
Mengenai hal kedua, kita tidak meragukan lagi bahvva hal itu termasuk yang dilarang oleh beliau, karena
riwayat-riwayat yang telah saya sebutkan. Juga karena
tidak ada hadits yang bertentangan dengan riwayat-riwayat tersebut.
Hadits itu adalah riwayat Abu Hurairah secara marfu":
"Jika kalian hendak
melakukan shalat, maka janganlah kalian datang dengan
tergesa-gesa. Datanglah dalam keadaan tenang." Hadits ini muttafaq 'alaih.
Sedangkan mengenai hal ketiga, inilah yang
menjadi bahan diskusi kita saat ini. Sebab.
secara lahiriyah atau secara
tekstual riwayat Abu Dawud "Siapa di
antara kalian yang ruku' sebelum mencapai shaf, kemudian berjalan," dan sabdanya
" laa ta 'ud", menyuratkan adanya larangan pada masalah
ketiga ini. Meskipun tidak secara langsung. Karena
adakalanya kemungkinan masalah lain yang dilarang oleh Nabi terhadap apa yang dilakukan Abu Bakrah. Juga karena kata itu tidak menunjukkan larangan secara keseluruhan. Alasannya adalah bahwa hal pertama tidak masuk pada larangan.
Maka ada kemungkinan juga larangan itu tidak mencakup masalah
ketiga ini. Meskipun kesimpulan (kemungkinan) ini tidak sejalan dengan nash hadits, tetapi banyak ulama
yang meninggalkan dhahir nash karena
bertentangan dengan nash lain. Misalnya meninggalkan
mafhum (arti yang tersirat) nash
beralih kepada mantuq (arti dhahir)
nash lainnya, meninggalkan am (yang bersifat umum) beralih kepada khash (yang bersifat khusus), dan sebagainya. Saya melihat
bahwa tindakan kita ini termasuk (sejenis) dari semua itu. Dhahir larangan hadits ini berheda
dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair. Meskipun demikian, kita harus mentarjih
kedua dalil tersebut. Telah diketahui oleh semua yang
memahami. bahwa nash sharih (dapat diketahui maksudnya dengan jelas) lebih kuat
daripada dalalah dhahir nash. Hadits di atas tersebut masih mengandung kemungkinan
arti lain yang ditunjukkannya,
sedangkan hadits sebelumnya. yakni hadits Abdullah bin
Zubair menunjuk
Yang tidak diragukan lagi adalah bahwa
dalalah hadits ini tidak qathi' (pasti) tetapi thtunal. Berbeda dengan
hadits Abdullah bin Zubair, yang dalalahnya
bersifat qathi 'ah, sehingga menjadikannya lebih kuat.
1.
Khutbah yang dilakukan Ibnuz Zubair dengan haditsnya di
atas mimbar di hadapan pembesar-pembesar Masjidil
Haram. Hal itu dikatakan oleh nya sebagai sunnah dan
tidak seorang pun yang menyanggahnya.
2.
Praktik yang dilakukan oleh pembesar-pembesar
sahabat, misalnya Abubakar, ibnu
Mas'ud dan Zaid bin Tsabit,
seperti yang telah saya
jelaskan. Praktik sahabat juga merupakan indikasi rajih-nya (kuatnya) suatu dalil, seperti yang dikenal dalam ilmu ushul. Berbeda dengan
hadits yang baru saja saya sebutkan. kita tidak
menemukan seorang sahabat pun yang mengatakan hal itu.2) Semua itu menjadi petunjuk
yang jelas bahwa dalalahnya lemah. sehingga
dengan demikian hadits Ibnu Zubairlah yang lebih kuat
(rajih). Wallahu a'lam.
Ash-Shan'ani setelah menyebutkan pendapat Ibnu
Juraij yang mengatakan: "Saya benar-benar
melihat Atha' membuat sendiri hadits tersebut."
Mengatakan:
Saya berpendapat: Hal itu tampaknya didasarkan pada kenyataan bahwa kata lau ta’ud, yang dari kata dasar i'adah. artinya:
(semoga Allah menambahkan semangat kepadamu
untuk mencari kebaikan dan) janganlah kamu mengulangi shalatmu.
(karena shalatmu sudah sah).
Diriwayatkan bahwa kata itu dibaca sukun am-nya yang berarti berasal dari kata al-udwu Hal ini didukung oleh riwayat Ibnus-Sakan dari hadits Abu Bakrah
(kemudian Ash-Shan'ani menyebutkan haditsnya.
Hadits yang sama juga telah saya sebutkan. yakni riwayat Imam Ahmad. Kemudian Ash-Shan'ani
berkata:) "Yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa kata
itu berasal dari ai-audu. yang maksudnya adalah: jangan engkau ulangi berjalan dengan cepat memasuki shaf
dan bertakbir. sebelum engkau mencapainya, Sebab dalam hadits itu tidak ada isyarat yang menunjukkan shalatnya
batal. Bahkan sabda Nabi r: "Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu", menunjukkan keseluruhan gerakannya. Atau kata itu berasal dari al-adwu (lari)."
Saya berpendapat, seandainya benar. maka}
yang dimaksudkan adalah hanya larangan berjalan dengan cepat (karena
tergesa-gesa). yang sementara itu ketika ruku' dimulai
Abu Bakrah masih berada di luar shaf. Tetapi antara hadits itu dengan hadits Ibnu Zubair
tidak terjadi pertentangan. Bahkan
sementara itu di dalam shahih Bukhari disebutkan. bahwa
pendapat yang masyhur adalah kata laa tu'id. Al-Hafizh di dalam Al-Fath (2/214): menjelaskan: "Kita memberi harakat kata itu dengan fathah pada
huruf awalnya dan dhammah pada huruf ain-nya, yang dengan
demikian berasal dari kata "al-audu."
Kemudian Al-Hafizh
menyebutkan kata di atas, tetapi dia memilih riwayat yang ada pada shahih
Bukhari. Silakan Anda cek.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa larangan
itu tidak mencakup penghitungan bilangan raka'at,
juga ruku' sebelum mencapai shaf. Larangan
itu hanya berlaku bagi jalan yang tergesa-gesa. sebab
dapat menghilangkan kekhusyu'an. Hal
ini telah dijelaskan di dalam riwayat
Abu Hurairah. Dengan pengertian ini pula Imam Syafi'i
menginterpretasikan hadits tersebut dengan mengatakan
"Sabda Nabi laa ta'ud sama
dengan "Janganlah kalian datang untuk melakukan shalat dengan
tergesa-gesa." Pendapat Imam Syafi'i
ini dikutip oleh Al-Baihaqi di dalam kitab Sunan-nya. (2/90).
Jika dikatakan: "
"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi (akan melakukan shulat), maka
janganlah ruku' sebelum ia mencapai barisan shalat (shaf), hingga benar-benar telah menempatkan diri di dalam shaf itu"
Maka saya akan menjawab. bahwa
hadits itu memiliki illat yang samar. Dan di sini tidak pada tempatnya jika saya jelaskan. Silakan Anda periksa
di dalam Silsilatul-Ahaditsidh-Dha 'ifah {98 1).
****
__________________________
1) Pendapat
ini dilontarkan oleh Al-Hazimi di dalam Al-I'tibar (hal. 12),
2) Sungguh. kecuali sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ia berkata: Janganlah
engkau bertakbir. sehingga engkau telah menempatkan
diri di shaf. Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah. la
telah meriwayatkannya secara marfu'
namun tidak shahih,
seperti yang saya jelaskan di dalam kitab lain (hal. 981).
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |