ADAB-ADAB DALAM MAJELIS
١٧٠ - ÅöÐóÇ
ÞõáúÊó áöáäøóÇÓö ÃóäúÕöÊõæúÇ æóåõãú íóÊóßóáøóãõæúäó ÝóÞóÏú ÃóáúÛóíúÊó Úóáóì äóÝúÓößú
“Manakala engaku
berkata kepada manusia, “Diamlah!” Sedangkan mereka
tengah berbicara maka sesungguhnya engkau telah berdosa
atas dirimu sendiri.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/318): “Telah bercerita kepadaku Abdurrazaq bin Humam; “Telah bercerita kepadaku Mu’ammar, dari Humam dari
Abu Hurairah yang menceritakan:
“Telah bersabda Rasulullah r…” Saya menemukan kemudian
dia menyebutkan beberapa hadits, salah satunya hadits
ini.
Hadits ini shahih sanadnya menurut syarat Asy-Syaikhain.
Asy-Syaikhain
telah mentakhrij hadits ini dalam
Ash-Shahihain dari jalur Sa’id bin Al-Musayyab yang berasal dari Abi Hurairah
secara marfu’ dengan lafazh:
“Manakala kamu
berkata kepada kawan kamu “Diamlah!”
pada hari Jum’at, sedangkan imam berkhutbah, maka sesungguhnya kamu berdosa.”
Demikian
pula hadits itu ditakhrij oleh Imam Muslim dan lainnya dari
jalur lain yang berasal dari Abi
Hurairah seperti telah saya jelaskan
dalam Irwa Al-Ghalil (no. 612).
Yang jelas hadits ini adalah
hadits lain yang diriwayatkan
oleh Hamam –dia adalah Ibnu
Munabbah- saudara Wahab, dari Abu Hurairah, bukan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id dan
orang yang telah saya isyaratkan. Wallahu a’lam.
Hadits ini tidak ditulis oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Al-Kabir. Maka segera ambillah
suatu faedah yang berharga yang tidak engkau temukan di tempat lain. Wallahu a’lam.
Kata al-ghaita artinya
kamu berkata sia-sia atau perkataan
yang tidak sepatutnya.
Ar-Raghib Al-Ashbihani dalam Al-Mufradat berkata:
“Kata-kata
“lagha” adalah kata-kata yang tidak semestinya dibiasakan. Inilah yang berlaku. Dan kata-kata
lagha itu seperti kicauan burung saja layaknya.
Abu Ubaidah mengatakan: “Lagha itu tidak ubahnya seperti
aib.” Dan mereka melantunkan syair:
“…Dari kesia-siaan
dan kata-kata yang kotor.”
Dikatakan bahwa setiap perkataan yang keji adalah sia-sia (lagha).
Saya berpendapat: Hadits ini memberikan peringatan agar menghindari perangai yang buruk dalam suatu majelis
pertemuan. Antara lain janganlah memotong pembicaraan orang lain, tetapi harus diam
menunggu hingga pembicaraan mereka selesai, sekalipun dia orang terkemuka.
Kemudian dia baru berbicara
jika sampai pada gilirannya. Dengan cara
ini pembicaraan akan lebih bermanfaat
daripada pembicaraan yang tumpang tindih. Apalagi jika yang dibahas adalah soal agama. Tetapi sayang cara seperti ini tidak banyak
dilakukan oleh para peserta majelis
saat ini, disebabkan hanya untuk menarik perhatian
saja. Semoga Allah I mendidik dengan adab Nabi-Nya r.
١٧١ - ßóÇäó Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÎúÑõÌõ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö
ÝóíõßóÈøöÑõ ÍóÊøٰì íóÃúÊöíó ÇáúãõÕóáøóì æóÍóÊøٰì íóÞúÖöíó ÇáÕøóáÇóÉó
ÝóÅöÐóÇ ÞóÖóì ÇáÕøóáÇøÉó ÞóØóÚó ÇáÊøóßúÈöíúÑó
“Adalah Rasulullah r keluar pada hari raya
fitri, maka dia membaca takbir
hingga sampai di mushalla dan
hingga sampai selesai shalat. Kemudian manakala shalat telah usai beliau
menghentikan takbir.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf (2/1/2): “Telah bercerita kepadaku Yazid bin Harun dari Ibnu Abi
Dzi’bi dari Az-Zuhri yang menjelaskan:
“Sesungguhnya
Rasulullah r adalah…” (Al Hadits).
Dari segi ini Al-Mahamili
mentakhrij hadits tersebut dalam Kitabu Shalati ‘Idain (juz II hal. 142, cet. II).
Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya hasan.
Kalaupun mursal (perawinya gugur di sanad terakhir),
ia masih
memiliki syahid yang menguatkannya. Hadits ini juga telah
ditakhrij oleh Al-Baihaqi (3/279) dari jalur Abdullah bin Umar berasal dari Nafi’
dari Abdullah bin Umar yang
mengisahkan:
“Sesungguhnya Rasulullah r keluar pada dua hari
raya bersama Fadhal bin Abbas, Abdullah, Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah dan Aiman bin Ummu
Aiman radiallahu anhum dengan suara
keras membaca tahlil dan takbir.
Kemudian beliau jalan kaki hingga sampai di
mushallah dan manakal selesai beliau berjalan hingga sampai ke
rumahnya.”
Saya menilai: Semua perawi hadits ini
adalah tsiqah, yakni para perawi
Muslim. Kecuali Abdullah bin Umar.
Dia adalah Al-Umari Al-Mukabbiri. Adz-Dzahabi mengomentarinya: “Dia terpercaya namun dalam segi hafalannya
ada yang kurang.”
Saya berpendapat: Hadits seperti ini patut
dijadikan pendukung. Sebab kedha’ifannya tidak muncul karena tuduhan
salah terhadap dirinya, tetapi hanya dari segi
hafalannya. Sehingga kedha’ifannya
adalah sedikit dan bisa menjadi
syahid yang kuat bagi hadits mursal
Az-Zuhri, hingga demikian hadits tersebut bisa menjadi
shahih sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Kemudian hadits tersebut juga mempunyai jalur lain yang berasal dari Ibnu
Umar, diriwayatkan dari jalur Az-Zuhri:
“Telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar mengabarkan kepadanya dan ini tampaknya
mursal.”
Hanya saja penyandaran
kepada Az-Zuhri dinilai sangat lemah sebagaimana telah saya terangkan
dalam Irwa Al-Ghalil (643). Sedangkan yang semisal
dengan itu tidak perlu dijadikan
pendukung. Oleh karenanya
khusus untuk hadits itu saya
jelaskan keberadaannya di sini.
Sesungguhnya hadits itu telah sah bila
dari jalur Nafi’ yang berasal dari Ibnu Umar
dengan mauquf (beritanya berhenti pada sahabat) dan
tidak saling menafikan antara hadits itu dengan
hadits marfu’ (disandarkan kepada Nabi sallallahu alaihi wasallam karena perbedaan orang yang mentakhrij). Jadi menurut saya, hadits
ini shahih secara marfu’ dan
mauquf. Adapun lafazh mauqufnya adalah:
“Beliau mengeraskan
bacaan takbir pada hari raya
fitri manakala pergi ke mushalla
hingga imam keluar. Kemudian dia
berakhir dengan takbirnya.”
Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Fariyabi dalam kitab Ahkamul ‘Idain (Q. 129.1) dengan sanad shahih. Juga hadits ini
telah diriwayatkan oleh Ad-Daruqtuhni (180) dan lainnya dengan
tambahan:
( æíæã
ÇﻷÖÍì )
“dan hari
raya Adha”.
Sanad hadits ini adalah jayyid.
Hadits tersebut menununjukkan disyariatkannya apa
yang telah dilakukan oleh kaum muslim,
yaitu takbir dengan keras di
jalan menuju ke tempat shalat.
Namun sebagian besar dari mereka
melakukannya dengan cara seenaknya
seolah meremehkan sunnah ini, sehingga
sunnah ini nyaris menjadi cerita belaka. Hal ini terjadi karena
lemahnya semangat beragama dank arena adanya perasaan malu untuk
mengamalkan sunnah
secara terbuka. Yang sangat disesalkan
seolah tugas mereka itu hanya
sebatas memberi pelajaran secara formal tentang segala yang perlu diketahui. Akan tetapi dalam
pada itu, hal-hal yang perlu diketahui seperti sunnah tersebut
kurang diperhatikan, bahkan mereka berasumsi
bahwa pembatasan maupun peringatan yang berbentuk ucapan atau perbuatan merupakan persoalan sepele yang tidak memerlukan dukungan usaha pendidikan baik yang berbentuk teori maupun praktek.
Perlu diingatkan disini
bahwa mengeraskan takbir tidak diperintahkan
adanya paduan suara, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula pada tiap-tiap dzikir baik yang dianjurkan mengeraskan suara atau tidak,
maka tidak diperintahkan untuk memadukan suara. Seperti halnya adzan untuk
jamaah yang terkenal di Damsyiq adzan
al-juq dan masih banyak lagi.
Karena paduan itu kadang
justru menyebabkan terputusnya kalmat atau jumlah di
tempat mana kita tidak boleh
waqaf (berhenti) di situ. Seperti kata “La ilaaha”
dalam tahlil seringkali kita dengar.
Jadi kita harus memperhatikan peringatan ini dan selalu
mengingat sabda Nabi r.
Sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |