KHUTBAH YANG KOSONG
١٦۹ - ßõáøõ ÎõØúÈóÉò áóíúÓó ÝöíúåóÇ ÊóÔóåøõÏñ Ýóåöíó ßóÇáúíóÏö ÇáúÌóÐúãóÇÁö
.
“Setiap khutbah yang di situ tidak ada tasyahud
(pembacaan syahadat,) maka ia seperti tangan yang
terputus.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (4841), Ibnu HIbban
(1994), Al-Baihaqi (3/209),, Ahmad (2/302 dan 343) dan
Al-Harbi dalam Gharibul- Hadits
(5/82/1) dari beberapa jalur yang berasal dari Abdul Wahid bin Ziyad
yang memberitakan: “Telah bercerita kepadaku ‘Ashim bin Khulaib dari ayahnya
dari Abu Hurairah secara marfu’.
Kemudian Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Al-Fadhl Ahmad
bin Salamah: “Aku mendengar Muslim bin Al-Hujjaj berkata: “Tidak ada yang
meriwayatkan hadits ini dari ‘Ashim bin Khulaib kecuali Abdul Wahid Ibnu
Ziyad.” Maka saya berkata kepadanya: Telah menceritakan kepadakau Abu Hisham
Ar-Rifa’i: “Telah bercerita kepadaku Ibnu Fudhail dari ‘Ashim itu.” Kemudian
Muslim berkata: “Sesungguhnya Yahya bin Ma’in memperbincangkan mengenai Abi
Hisyam dengan sesuatu yang diriwayatkannya dari Ibnu Fudhail.” Selanjutnya
Al-Baihaqi berkomentar: “Abdul Wahid bin Ziyad adalah tsiqat. Ia termasuk orang-orang yang diterima riwayatnya meskipun
menyendiri dalam meriwayatkan.”
Saya berpendapat: Dia memang tsiqat kecuali dalam haditsnya
yang berasal dari A’masy, dimana masih ada pembahasan. Sementara
itu Asy-Syaikhain juga memakainya sebagai hujjah. Sedang
riwayat yang ini bukan dari A’masy, dan semua perawinya tsiqah, sehingga sanad
hadits ini dapat dinilai shahih.
Hadits pendukung milik Abu Hisyam Ar-Rifa’i yang nama sebenarnya adalah Abu Muhammad bin Yazid bin Muhammad
Al-Kufiyyi, tidaklah mengapa, sebab meskipun dia dinilai dha’if oleh sebagian
imam, hal itu bukan karena adanya praduga yang melemahkan dirinya. Bahkan
At-Tirmidzi (1/206) telah mentakhrij hadits itu darinya dan mengatakan: “Hadits
itu hasan shahih gharib.”
(Faedah): Al-Manawi dalam Faidhul Qadir
menjelaskan:
“Yang dimaksud dengan “tasyahud”
di sini adalah membaca dua kalimat syahadat. Ini termasuk dalam bab mengucapkan sebagian atas keseluruhan seperti dalam “at-tahiyat”.
Al-Qadhi berkata: “Asal tasyahud adalah membaca dua kalimah syahadat. Dinamakan tasyahud karena dalam tahiyyat mengandung
dua kalimah syahadat tersebut. Kemudian disitu
ditambahkan pujian dan penghormatan kepada Aallah Subhanahu Wata’ala.”
Saya berpendapat: Bahwa yang dimaksudkan dengan tasyahud
dalam hadits ini hanyalah khutbah hajah yang telah diajarkan Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam kepada para sahabatnya:
“Sesungguhnya segala
puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan memohon
ampun kepada-Nya. Kita berlindung dari Allah terhadap
kejahatan diri kita dan dari keburukan perkataan kita. Barangsiapa yang telah ditunjukkan oleh Allah maka tidak ada yang
menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang
menunjukkannya. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah
Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Alasan saya mengatakan
hal ini adalah hadits Jabir dengan lafazh:
“Adalah
Rasulullah r berdiri berkhutbah kemudian memuji kepada Allah dan
menyangjung-Nya dengan sesuatu yang memang sesuatu yang sepatutnya milik Allah.
Dan beliau bersabda: “Barangsiapa yang ditunjukkan Allah maka tidak ada yang
menyesatkannya dan barangsiapa yang Dia sesatkan tidak ada yang menunjukkannya.
Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah…” (Al-Hadits)
Dalam lain riwayat yang juga dari
Jabir dengan lafazh:
“Beliau Rasulullah
dalam khutbahnya, setelah membaca tasyahud berkata: “Sesungguhnya sebaik-baik
pembicaraan adalah Kitabullah…”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa apa
yang ada pada lafazh awal sebelum “Sesungguhna sebaik-baik pembicaraan…”
adalah tasyahud. Dalam hal ini meskipun tidak disebutkan secara jelas, telah
diisyaratkan dengan bunyi hadits tersebut: “Kemudian dia memuji Allah dan
menyanjug-Nya.” Telah dijelaskan bahwa hadits-hadits lain
mengenai mengenai khutbah bahwa sesungguhnya memuji kepada Allah I telah memuat syahadatain. Oleh karenanya dapat kita katakan bahwa tasyahud dalam hadits ini
adalah mengisyaratkan kepada tasyahud yang terdapat dalam khutbah hajjah
tersebut. Ini sesuai dengan lafazh kedua dalam hadits
Jabir yang mengisyaratkan hal itu. Bahkan mengenai hal
ini juga telah saya bicarakan dalam “Khutbatul Hajjah” (hal. 32 Cet.
Al-Maktab Al-Islami). Silahkan periksa!
Sabda Nabi r “seperti tangan orang kusta” yakni
terpotong. Kusta berarti cepat terpotong.
Artinya bahwa setiap khutbah yang di dalamnya tidak memuat pujian dan sanjungan
kepada Allah subhanahu wata’ala adalah seperti tangan yang terputus, dalam arti
tidak berfungsi sama sekali. Demikian
menurut Manawi.
Saya berpendapat: Agaknya inilah minimal yang menyebabkan
tidak adanya hasil atau kesan dari ceramah atau pelajaran-pelajaran yang
disampaikan kepada siswa, yaitu karena dalam menyampaikannya tidak dibuka
dengan tasyahud tersebut. Padahal ini telah diajarkan oleh
Nabi r
kepada para sahabatnya, sebagaimana telah saya jelaskan. Jadi hadits ini memperingatkan kepada para penceramah agar
menyertakan hal yang telah mereka lengahkan itu.
(Peringatan): As-Suyuthi dalam Al-Jamiush-Saghir
menyandarkan hadits ini kepada Abu Dawud saja. Sedangkan
dalam Al-kabir Al-Askari dan Al-Hilyah dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan
menyebutkan tambahan. Namun At-Tirmdzi, Ahmad dan Al-Harbi justru
menafikannya. Adapun saya sendiri tidak melihatnya dalam
daftar Al-Hilyah karya Al-Ghumari. Wallahu
a’lam.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |