As-Shahihah Daftar Isi >
ATURAN MELIHAT WANITA PINANGAN (95 - 99)
PreviousNext

ANJURAN MELIHAT WANITA PINANGAN

 

 

۹٥ÇõäúÙõÑú ÇöáóíúåóÇ ÝóÇöäøó Ýöì ÇóÚúíõäö ÇúáÇóäóÕóÇÑö ÔóíúÁðÇ íóÚúäöì ÇáÖöÛóÑõ .

 

          “Lihatlah ia, sebab pada wanita Anshar terdapat sesuatu, yakni sipit.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya (4/142), Sa’id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya (523), An-Nasa’i (2/73), Ath-Thahawi di dalam Syarh Al-Ma’ani (2/8), Ad-Daruquthni (hal. 396) dan Al-Baihaqi (juz VII hal. 84) dari Abu Hazem dari Abu Hurairah t:

 

          Ada seseorang yang ingin mengawini wanita Anshar. Kemudian ia memberitahukan hal itu kepada Rasul r. lalu beliau bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas). Rangakain kalimat itu milik Ath-Thahawi, sedangkan redaksi yang dipakai oleh Imam Muslim dan Al-Baihaqi adalah:

 

          “(Suatu ketika) saya bersama Rasul r . Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghadap beliau memberitahukan bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita Anshar. Kemudian beliau memerintahkan kepadanya, “Lihatlah dahulu wanita itu.” Ia menjawab, “Tidak Rasul.” Lalu beliau kembali memerintahkan. “Lihatlah dahulu wanita itu…”

 

۹٦ – ÇõäúÙõÑú ÇöáóíúåóÇ ÝóÇöäøóåõ ÇóÍúÑٰì Çóäú íõÄúÏöãó ÈóíúäóßõãóÇ .

 

            “Lihatlah dulu wanita itu, sebab akan lebih  menjamin kelanggengan kalian berdua.”

 

          Hadtis itu ditakhrij oleh Sa’id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya (515-518), An-Nasa’i (2/73), At-Tirmidzi (1/202), Ad-Darimi (2/134), Ibnu Majah (1866), Ath-Thahawi (2/8), Ibnu Al-Jarud di dalam Al-Muntaqa (hal. 313), Ad-Daruquthni (hal.395), Al-Baihaqi (7/84), Imam Ahmad (4/144-245/246) dan Ibnu Asakir (17/44/2), dari Bakar bin Abdullah Al-Muzani, dari Al-Mugirah bin Syu’bah, bahwa ia meminang seorang wanita, lalu Rasulullah r menyarankan: (Kemudian ia menyebut sabda Nabi r  di atas). Imam Ahmad dan Al-Baihaqi menambahkan:

 

            “Kemudian saya mendatangi wanita itu yang saat itu sedang ditemani oleh kedua orang tuanya.” AL-Mughirah mekanjutkan, “Lalu saya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan r saya untuk melihatnya.” Masih melanjutkan kisahnya: “Kedua orang tuanya itu masih diam. Lalu wanita itu menampakkan diri dari balik biliknya dan berkata, “Saya sengaja keluar menemuimu. Jika benar Rasulullah   memerintahkan kepadamu untuk melihatku, maka mengapa Engkau tidak segera melihatku? Tetapi jika beliau tidak memerintahkan hal itu kepadamu, maka janganlah engkau melihatku.” Al-Mughirah mengakhiri penuturannya: “Kemudian saya melihatnya dan akhirnya menikah dengannya. Sejak itu tidak ada lagi wanita selain dia yang mendampingiku. Padahal sebelumnya saya telah menikah dengan lebih dari tujuh puluh wanita, tetapi semuanya gagal.”

 

          Imam Tirmidzi menilai: “Sanad itu hasan.”

 

          Saya berpendapat: Semua perawi hadits itu tsiqah, hanya saja Yahya Ibnu Ma’in menyatakan: “Bakar tidak mendengar langsung dari Mughirah bin Syu’bah.”

 

          Saya berpendapat: Tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam At-Talkish (hal. 291) setelah menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan perawi-perawi lain yang telah saya sebutkan, menandaskan:

 

          “Ad-Daruquthni menyebutkan hadits itu di dalam kitabnya Al-‘Ilal dan menyebutkan perbedaan penilaian yang terjadi di kalangan ulama. Ia menyatakan bahwa Bakar bin Abdullah Al-Muzani mendengarnya dari Al-Mughirah.”

 

          Saya berpendapat: Bisa jadi karena itulah Al-Bushairi di dalam kitabnya Az-Zawa’id (hal. 118) menegaskan, “Sanad itu shahih dan semua perawinya tsiqah.”

 

          Saya berpendapat: Jika benar ia tidak mendengar secara langsung dari Al-Mughirah, kemungkinan ia mendengar dari Anas bin Malik, sebab ia banyak meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik sendiri banyak meriwayatkan hadits dari Al-Mughirah.

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Abdurrazaq di dalam Al-Amali (2/46/1-2), Ibnu Majah (1865), Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (hadits no. 17/0/1), Ibnu Hibban (1236),  Ibnu Al-Jarrud, Ad-Daruquthni, Al-Hakim (2/165), dan Adh-Dhiya di dalam Al-Mukhtarah (hadits no. 88/2), serta Al-Baihaqi. Semuanya melalui Abdurrazaq dan ia berkata, “Mu’ammar meriwayatkan kepada saya dari Tsabit, dari Anas yang menunuturkan:

 

          “Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah dan memberitahukannya kepada Rasul r. Lalu beliau bersabda: (kemudian perawi menyebutkan sabda Nabi di atas). Ia menambahkan: “Al-Mughirah kemudian melaksanakan perintah itu dan selang tidak lama, menikah dengan wanita tersebut. Ia juga memberitahukan kesediaan wanita itu ketika akan dilihat.”

 

          Al-Hakim menilai:

 

          “Hadits itu shahih, sesuai dengan criteria Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian itu. Sementara Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id (118/1) berkata:

 

          “Sanad itu shahih dan semua pewarinya tsiqah. Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya. Abd bin Humaid juga meriwayatkannya di dalam kitab Musnad-nya dari Abdurrazaq dengan matan yang sama.”

 

          Akan tetapi disini Ad-Daruquthni memberikan catatan: “Yang benar adalah dari Tsabit dari Bakar Al-Muzani.”

 

          Kemudian ia menyebutkan hadits itu dari Al-Mikhlad yang memberitahukan, “Abdurrazaq meriwayatkan hadits itu kepadaku, ia berkata: “Mu’ammar meriwayatkan hadits itu kepadaku dari Tsabit dari Bakar Al-Muzani, bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah berkata…” Saya berpendapat, Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits yang senada dengan hadits itu berkata, “Al-Hasan bin Abi Rabi’ memberi riwayat kepadaku dan ia berkata, “Abdurrazaq memberitahukan kepadaku mengenai hadits itu. Tetapi perawi yang meriwayatkan hadits itu dati Abdurrazaq yang berasal dari Tsabit dari Anas jumlahnya lebih banyak, sehingga lebih kuat, kecuali jika kekeliruan itu dilakukan oleh Abdurrazaq atau gurunya, yakni Mu’ammar. Wallahu a’lam.

 

          Kata yu’dinu berarti agar cintah kasih di antara kalian berdua lebih langgeng.

 

          Saya berpendapat: Melihat wanita yang dipinang diperbolehkan, meskipun wanita itu tidak melihat atau menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan, sebab ada sabda Nabi  r:

 

۹٧ – ÇöÐó ÎóØóÈó ÇóÍóÏõßõãõ ÇãúÑóÇóÉð ÝóáÇó ÌõäóÇÍó Úóáóíúåö Çóäú íóäúÙõÑó ÇöáóíúåóÇ ÇöÐóÇ ßóÇäó ÇöäøóãóÇ íóäúÙõÑõ ÇöáóíúåóÇ áöÎöØúÈóÊöåö ¡ æóÇöäú ßóÇäóÊú áÇó ÊóÚúáóãõ .

 

            “Jika ada salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita maka tiada dosa baginya untuk melihatnya, jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita itu sendiri tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat)”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thahawi dan Imam Ahmad (5/424) dari Zubair bin Mu’awiyah, ia berkata: “Abdullah bin Isa meriwayatkan hadits kepadaku dari Musa bin Abdullah bin Yazid dari Abu Humaid, ia benar-benar melihat Rasulullah r bersabda: (Kemudian ia menyebutkan hadits itu secara lengkap).

 

          Saya berpendapat: Sanad itu shahih. Semua perawinya tsiqah dan termasuk perawi yang dipakai oleh Imam Muslim.

 

          Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkannya di dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, seperti yang disebutkan di dalam Al-Majma’ (4/276), ia berkata: “Perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Ahmad adalah perawi shahih.”

 

          Ibnu Hajar di dalam At-Talkish tidak mengomentari hal itu.

 

          Ada sebagian sahabat Nabi r yang telah mempraktekkan hadits itu, yaitu Muhammad bin Maslamah Al-Anshari. Dalam hal ini Sahl bin Abu Khatsamah menceritakan:

 

          “Saya melihat Muhammad bin Maslamah mengitip Tsaniyah binti Dhahhak dari atas lotengnya dengan mata melotot. Lalu saya menegurnya: “Tegakah kamu melakukan hal ini, padahal kamu adalah salah seroang sahabat Rasul?” Kemudian ia menjawab, “Saya mendengar Rasulullah r bersabda:

 

۹٨ – ÇöÐóÇ ÇóáúÞóì Ýöì ÇáúÞóáúÈö ÇãúÑöÆò ÎöØúÈóÉó ÇãúÑóÃóÉò ÝóáÇó ÈóÃúÓó Çóäú íóäúÙõÑó ÇöáóíúåóÇ

 

            “Jika seseorang berminat meminag seorang wanita maka tiada dosa baginya untuk melihat wanita itu.”

 

          Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya (519), Ibnu Majah (1863), Ath-Thahawi (2/8), Al-Baihaqi, Ath-Thayalisi (1186) dan Imam Ahmad (4/225) dari Hajjah bin Arthat dari Muhammad bin Sulaiman Abu Khatsamah.

 

          Saya berpendapat: Sanad ini dha’if karena ada Hajjaj. Ia seorang mudallis (orang yang membuat kekaburan pada segi sanad) dan sering meriwayatkan hadits  dengan cara’an’anah. Sedang Al-Baihaqi berkata: “Sanadnya dipertimbangkan di kalangan ulama, masalahnya ada pada Hajjah bin Arthat. Hal ini cukup jelas.”

 

          Al Hafizh Al-Bushairi mengomentari hal itu di dalam kitabnya Az-Zawa’id (117/2).

 

          “Saya berpendapat:  Bagaimanapun Al-Hajjaj tidak meriwayatkan hadits itu seorang diri. Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadits itu di dalam kitab Shahih-nya, dari Abu Ya’la dari Abu Khatsamah dari Abu Hazim dari Sahl bin Abi Khatsamah dari pamannya Sulaiman bin Abu Khatsamah yang menuturkan: “Saya melihat Muhammad bin Salamah… (selanajutnya perawi menuturkan hadits di atas).”

 

          Seperti itulah naskah yang saya kutip dari Az-Zawaid. Saya tidak mengetahui apakah ada kekurangan dalam kutipan saya atau ada kekeiruan dalam naskah aslinya, bahwa antara Abu Khatsamah dan Abu Hazim terputus sanadnya. Sebab Abu Khatsamah yang nama aslinya adalah Zubair bin Harb wafat tahun 274 H, sedangkan Abu Hazim nama aslinya mungkin Salamah Al-Asyja’i, dan mungkin Salamah bin Dinar Al-A’raj (yang terakhir ini nampaknya yang lebih tepat. Keduanya adalah tabi’i. Yang kedua agak belakangan meninggalnya, yaitu pada tahun 140 H.

 

          Kemudian saya melihat hadits itu di dalam Zawa’id Ibnu HIbban (1225), persis dengan hadits yang saya kutip dari Al-Bushairi, hanya di dalam sanadnya tertulis Abu Khazim (bukan Abu Hazim), dari Sahl bin Muhammad bin Abu Khatsamah, sebagai ganti dari Suhail bin Abu Khatsamah. Mengenai Sahl bin Muhammad bin Abu Khatsamah saya tidak menemukan biografinya, kemungkinan orang itu ada di dalam kitab At-Tsiqat karya Ibnu Hibban. Silahkan anda periksa.

 

          Tetapi hadits itu memiliki dua jalur lain lagi:

         

          Pertama: Dari Ibrahim bin Shimah, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, dari Muhammad bin Sulaiman bin Abu Khatsamah.

 

          Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh Al-Hakim (3/434). Hadits ini gharib. Sedangkan Ibrahim bin Shirmah tidak ada hubungannya dengan ke-gharib-an hadits ini.

 

          Sementara itu Adz-Dzahabi di dalam bukunya At-Thalikish menyebutkan: “Saya melihat hadits itu dinilai dha’if oleh Ad-Daruquthni, sedang Abu Hatim mengatakan: “Ibrahim bin Shirmah adalah syaikh.”

 

          Kedua: Dari seorang penduduk Bahrah yang diperoleh dari Muhammad bin Salamah secara marfu’.

 

          Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (4/226), ia berkata:  “Waki’ memberi hadits kepadaku dari Tsaur, dari Muhammad bin Salamah.”

 

          Saya berpendapat: Semua perawinya tsiqah kecuali yang tidak disebutkan namanya itu.

 

          Kesimpulannya, dengan sanad-sanad tersebut, hadits itu memiliki status yang kuat. Wallahu a’lam.

 

          Jabir juga meriwayatkan hadits yang sama dengan apa yang saya sebutkan dari  Muhammad bin Maslamah.

 

          Judul yang saya pakai untuk menyebutkan hadits memang banyak dipakai oleh ulama, seperti di dalam Al-Fathul-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (9/157) disebutkan:

 

          “Jumhur ulama menyatakan: “Seseorang yang ingin menikah (meminang seorang wanita) diperbolehkan melihatnya walaupun tanpa izin darinya.” Sementara itu Imam Malik mengatakan bahwa melihat semacam itu diperbolehkan dengan syarat ada izin dari pihak wanita. Sedngkan Ath-Thahawi mengutip pendapat dari beberapa tokoh, bahwa melihat wanita yang hendak dipinang sama sekali tidak diperbolehkan, selama perjanjian belum dilakukan (akadnya). Sebab dalam kondisi seperti itu, wanita tersebut statusnya adalah orang lain (ajnabiyyah). Kemudian jumhur ulama menyanggah pendapat-pendapat lain, dengan mengemukakan hadits-hadits di atas.

 

          Cacatan:

 

          Abdurrazaq di dalam kitab Al-Amali (2/46/1) meriwayatkan suatu hadits dengan sanad shahih dari Ibnu Thawus, ia berkata, “Saya ingin menikah dengan seorang wanita. Lalu ayah saya mengingatkan: “Pergilah ke sana, lihatlah dahulu wanita itu.” Kemudian saya sanggupi saran itu. Saya berdandan dengan pakaian terbagus. Saat saya akan berangkat dan beliau menyaksikan diri saya dalam keadaan seperti itu, beliau melarang, “Jangan pergi ke sana.”

 

          Saya berpendapat: Seseorang yang ingin menikah dengan seseorang, maka ia diperbolehkan melihat lebih dari muka dan kedua telapak tangan, karena hadits-hadits itu tidak memberikan batasan yang jelas. Di samping itu ada hadits yang mendukung pendapat itu, yaitu:

 

۹۹ÇöÐóÇ ÎóØóÈó ÇóÍóÏõßõãõ áúãóÑúÇóÉð ¡ ÝóÇöäö ÇÓúÊóØóÇÚó Çóäú íóäúÙõÑó Çöáٰì ãóÇ íóÏúÚóæúåõ Çöáٰì äößóÇÍöåóÇ ÝóáúíóÝúÚóáú .

 

            “Jika salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (2082), Ath-Thahawi, Al-Hakim dan Imam Ahmad (3/334, 360), dari Muhammad bin Ishaq dari Daun bin Hushain dari Waqid bin Abdurrahman bin Sa’ad bin Mu’az dari Jabir bin Abdillah yang menuturkan Rasulullah r pernah bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas). Kemudian ia melanjutkan penuturannya:

 

          “Setelah itu saya melamar seorang gadis dan saya melihat anggota yang membuat saya tertarik kepadanya dan tertarik untuk menikahinya.”

 

          Rangkaian kalimat itu mirlik Abu Dawud. Sementara Al-Hakim menilai: “Hadits ini shahih Sesuai dengan kriteria Imam Muslim.” Sedang Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian itu.

 

          Saya berpendapat:  Ibnu Ishak hanya dipakai oleh Imam Muslim sebagai pendukung, ia sorang mudallis yang meriwayatkan hadits dengan cara ‘an’anah. Tetapi ia telah menyebut kalimat yang menyatakan bahwa ia menerima hadits (tahdits) pada salah satu riawayat Imam Ahmad. Dengan demikian, sanadnya tetap hasan. Demikian pula yang dikemukakan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath. Ia juga menegaskan di dalam At-Thalkish:

 

          “Imam Al-Qatham menilai cacat pada Waqid bin Abdurrahman. Selanjutnya ia mengatakan: Yang benar adalah Waqid bin Amr.”

 

          Saya berpendapat: Bahwa riwayat yang disebutkan oleh Al-Hakim adalah Waqid bin Amr, demikian pula yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan Abdurrazaq.

 

          Demikian juga riwayat-riwayat yang saya sebutkan, kecuali riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad di mana menyebutkan: “Waqid bin Abdurrahman.” Adapun Abdul Wahid bin Ziyad juga menyebutkan nama “Waqid bin Abduurahman”. Yang banyak adalah Waqid bin Amr. JIka perawi ini, maka ia adalah seorang tsiqah dan termasuk perawi yang dipakai oleh Imam Muslim. Sedang Waqid bin Abdurrahman adalah perawi yang majhul. Wallahu  a’lam.

 

Kandungan Hadits

 

          Hadits ini jelas menunjukkan apa yang baru saja saya sebutkan. Hal ini diperkuat pula dengan praktik seorang sahabat terkemuka, Jabir bin Abdillah t juga oleh Muhammad bin Maslamah, seperti yang telah dijelaskan di atas. Keduanya sudah merupakan hujjah yang kuat, dan tidak berbahaya jika kita mengamalkannya, meskipun ada yang berpendapat bahwa yang diperbolehkan hanya melihat muka dan kedua telapak tangan. Sebab pendapat itu merupakan pembatasan terhadap hadits tanpa ada dalil yang membatasinya, dan mengabaikan praktik yang dilakukan oleh sahabat. Apabila hal itu juga didukung oleh tindakan khalifah Umar bin Khaththab, seperti yang disebutkan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish’ (hal.291-292).

 

          Catatan:

 

          Abdurrazaq dan Sa’id bin Manshur meriwayatkan di dalam kitab Sunan-nya (520-521), juga Ibnu Umar serta Sufyan, dari Amr bin Dinar dari Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah:

 

          “Bahwa Umar bin Khaththab t memimang puteri Ali t yaitu Ummi Kulsum. Kemudian Ali memberitahukan bahwa puterinya masih terlalu hijau. Lalu dikatakan kepadanya: “Jika ia menolak, paksa dia!” Kemudian Ali mengatakan. “Aku akan kirim anak itu kepadamu, jika ia mau maka ia akan menjadi isterimu.” Setelah puterinya di datangkan kepada Umar, Umar segera membuka betisnya. Lalu si puteri itu berkata: “Seandainya engaku bukan seorang khalifah, pasti kedua matamu sudah aku tonjok.”1)

 

          Riwayat ini jelas merupakan penyangkalan terhadap apa yang dikemukakan sementara ulama yang menyatakan bahwa yang diperbolehkan hanya melihat muka dan kedua telapak tangan.

 

          Pendapat yang sulit menerima riwayat itu adalah mazhab Hanafi dan Syafi’i. Ibnu Qayyim di dalam Tahzibus-Sunan (3/25/26) mengatakan: “Dawud berkata: “Ia boleh melihat seluruh tubuhnya. Dari Imam Ahmad ada tiga riwayat, yaitu:

a.                 Boleh melihat muka dan kedua telapak tangannya

b.                Boleh melihat anggota yang umumnya terlihat, misalnya leher, kedua betis dan yang lain.

c.                 Boleh melihat semua anggota tubuhnya, baik aurat maupun tidak. Bahkan Dawud menandaskan bahwa boleh melihatnya dalam keadaan bugil.”

 

Saya berpendapat: Riwayat kedualah yang nampaknya lebih dekat kepada kebenaran, sesuai dengan makna teks hadits di atas dan praktik yang dilakukan oleh sahabat.

 

Catatan:

 

Ibnu Al-Jauzi di dalam Shaidu-Al-Khatir (1/82) menyebutkan riwayat yang hamper sama dengan riwayat Imam Ahmad yang kedua. Ia berkata: “Imam Ahmad telah menetapkan bahwa seorang laki-laki boleh melihat calon isterinya pada anggota yang termasuk auratnya. Ia menunjuk anggota yang melebihi waja (muka).”

 

Al-Ustadz Ali Ath-Thanthawi mengomentari pendapat itu dengan pernyataannya: “Menurut pendapat yang dikenal dari Imam Ahmad hal itu tetap tidak diperbolehkan.”

 

Yang jelas bahwa yang dimaksudkan adalah pendapat Imam Ahmad yang dikenalnya (yang sudah diketahuinya). Atau setidaknya pendapat yang ada di kalangan pengarang-pengarang pengikut mazhab Hambali. Hal itu bisa dibuktikan di dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah. Setelah menyebutkan riwayat pertama (7/4) beliau menandaskan:

 

“Imam Ahmad berkata, “Ia boleh melihat calon isterinya itu pada bagian tubuh yang membuatnya tertarik, misalnya tangan, muka dan lain-lain.” Sementara Abubakar Al-Maruzi berkata: Ketika melamar, seseorang boleh melihat wanita pinangan dalam keadaan sepeti itu adalah karena Nabi r ketika memberi izin hal itu tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan, menunjukkan bahwa beliau memperbolehkan melihat anggota badan yang umumnya terlihat. Sebab tidak mungkin seseorang hanya melihat muka saja, tanpa melihat anggota lain yang juga terlihat. Selanjutnya karena wanita itu berada di tengah mahramnya, maka laki-kali yang meminang juga diperbolehkan melihat anggota yang boleh dilihat oleh mahram. Hal itu juga merupakan perintah syara’.”

 

Kemudian ketika saya mempelajari kitab Rudud ala Abathil (Sanggahan terhadap Pendapat-pendapat yang Tidak Benar) karya Fadhilatusy-Syaikh Muhammad Al-Hamid, tiba-tiba saya menemukan pendapatnya (hal. 43) yang berbunyi:

 

“Pendapat yang mengatakan boleh melihat anggota lain selain muka dan kedua telapak tangan, samak sekali tidak benar.”

 

Hal ini agaknya kurang tepat. Sebab masalah yang masih dipertentangkan tidak boleh dicap sebagai suatu kesalahan total hanya karena tidak sesuai dengan pendapatnya, kecuali jika mampu mendatangkan dalil yang validistasnya bisa dipertentangkan dan dipertanggungjawabkan, atau setidaknya mampu menyanggah hadits-hadits di atas. Namun Syaikh Muhammad Al-Hamid tidak melakukan salah satu diantara alternafi yang saya ajukan itu. Bahkan sedikitpun beliau tidak menyinggung hadits yang mendukung pendapatnya itu. Dia mengatakan bahwa pendapat yang disanggahnya itu tidak berargumen, padahal kenyataannya tidak demikian, seperti yang baru saja kita lihat. Hadits-hadits itu dengan makna umumnya sangat bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Fadhilatusy-Syaikh. Mengapa tidak, sebab hadits itu jelas bertentangan dengan hadits Nabi (99): “Anggota yang membuatnya tertarik kepada wanita pinangannya,” juga sabda beliau (97): “Meskipun wanita itu tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan.” Hal itu didukung pula oleh praktik sahabat yang selalu berlandaskan ajaran Nabi, diantaranya Muhammad bin Maslamah dan Jabir bin Abdillah. Keduanya pernah mengintip wanita pinangannya untuk melihat anggota tubuhnya yang membuatnya lebih tertarik untuk menikahinya. Adakah seseorang yang menyangka bahwa mereka dengan bersusah payah seperti itu hanya ingin melihat muka dan kedua telapak tangannya saja? Bukti lainnya adalah tindakan Umar bin Khaththab yang membuka betis Ummi Kultsum, puteri Sayyidina Ali t. Di antara ketiga sahabat terkemuka itu ada yang menjadi seorang khalifah, yaitu Umar t. Mereka jelas, bahwa yang diperbolehkan melihat anggota lebih dari muka dan kedua telapak tangan. Dan sepengetahuan saya tidak ada seorang sahabat pun yang menentang mereka. Oleh karena itu saya tidak habis mengerti, mengapa dia dengan tegas memperbolehkan menentang pendapat mereka itu.

 

Meskipun telah ada hadits-hadits shahih dan berbagai pendapat ulama –kecuali mereka yang tidak sependapat- masih banyak juga orang yang tidak memperbolehkan puterinya dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, meskipun dengan alasan yang kurang tepat. Alasan mereka adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Namun anehnya, mereka justru memperbolehkan puterinya keluar sendirian tanpa memakai hijab yang sesuai dengan ajaran agama, sedang di sisi lain menolak pinangan yang akan melihatnya di rumahnya sendiri yang juga disaksikan oleh para mahramnya, serta dengan pakaian yang masih sesuai dengan ajaran agama.

 

Ada juga kalangan orang tua yang tidak berhati-hati dalam menjaga puterinya, dengan alasan mengikuti tuan-tuan mereka, yaitu orang-orang Eropa. Mereka memperbolehkan seorang fotografer memotret puterinya dalam keadaan mengenakan gaun yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran agama. Padahal fotografer itu adalah sama sekali orang lain (ajnabi), bahkan kadang-kadang orang non-Muslim. Setelah itu gambarnya diserahkan kepada beberapa pemuda dengan dalih karena diantara mereka ada yang mau meminangnya. Akibatnya foto itu masih ada di tangan mereka yang hanya dibuat main-main dan hanya untuk membangkitkan gairah kelelakian mereka! Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali.

 

 

****

 

 

____________________

1)    Kemudian Umar menikah dengannya dan menghasilkan dua orang anak, yaitu Zaid dan Ruqayah. Keterangan itu bisa dilihat lebih jelas di dalam Al-Ishabah. Hadits itulah yang saya gunakan sebagai pendukung.

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com