ANJURAN MELIHAT WANITA PINANGAN
۹٥ – ÇõäúÙõÑú ÇöáóíúåóÇ ÝóÇöäøó Ýöì ÇóÚúíõäö
ÇúáÇóäóÕóÇÑö ÔóíúÁðÇ íóÚúäöì ÇáÖöÛóÑõ .
“Lihatlah ia,
sebab pada wanita Anshar terdapat sesuatu, yakni sipit.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim
di dalam Shahih-nya (4/142), Sa’id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya
(523), An-Nasa’i (2/73), Ath-Thahawi di dalam Syarh Al-Ma’ani (2/8),
Ad-Daruquthni (hal. 396) dan Al-Baihaqi (juz VII hal. 84) dari Abu Hazem dari
Abu Hurairah t:
“
“(Suatu
ketika) saya bersama Rasul r . Tiba-tiba ada seorang laki-laki
yang menghadap beliau memberitahukan bahwa ia akan
menikah dengan salah seorang wanita Anshar. Kemudian beliau memerintahkan
kepadanya, “Lihatlah dahulu wanita itu.” Ia menjawab, “Tidak
Rasul.” Lalu beliau kembali memerintahkan.
“Lihatlah dahulu wanita itu…”
۹٦
– ÇõäúÙõÑú ÇöáóíúåóÇ
ÝóÇöäøóåõ ÇóÍúÑٰì Çóäú íõÄúÏöãó ÈóíúäóßõãóÇ .
“Lihatlah
dulu wanita itu, sebab akan lebih menjamin kelanggengan kalian berdua.”
Hadtis itu ditakhrij oleh Sa’id bin Manshur
di dalam kitab Sunan-nya (515-518), An-Nasa’i (2/73), At-Tirmidzi
(1/202), Ad-Darimi (2/134), Ibnu Majah (1866), Ath-Thahawi (2/8), Ibnu Al-Jarud
di dalam Al-Muntaqa (hal. 313), Ad-Daruquthni (hal.395), Al-Baihaqi
(7/84), Imam Ahmad (4/144-245/246) dan Ibnu Asakir (17/44/2), dari Bakar bin
Abdullah Al-Muzani, dari Al-Mugirah bin Syu’bah, bahwa ia meminang seorang
wanita, lalu Rasulullah r menyarankan: (Kemudian ia
menyebut sabda Nabi r di atas). Imam Ahmad dan Al-Baihaqi
menambahkan:
“Kemudian saya mendatangi wanita itu yang saat itu sedang
ditemani oleh kedua orang tuanya.” AL-Mughirah mekanjutkan, “Lalu saya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
memerintahkan r saya untuk melihatnya.” Masih melanjutkan kisahnya:
“Kedua orang tuanya itu masih diam. Lalu wanita itu menampakkan diri dari balik
biliknya dan berkata, “Saya sengaja keluar menemuimu. Jika
benar Rasulullah memerintahkan kepadamu
untuk melihatku, maka mengapa Engkau tidak segera melihatku? Tetapi jika beliau tidak memerintahkan hal itu kepadamu, maka
janganlah engkau melihatku.” Al-Mughirah mengakhiri penuturannya:
“Kemudian saya melihatnya dan akhirnya menikah dengannya. Sejak
itu tidak ada lagi wanita selain dia yang mendampingiku. Padahal sebelumnya saya telah menikah dengan lebih dari tujuh puluh
wanita, tetapi semuanya gagal.”
Imam Tirmidzi menilai: “Sanad itu
hasan.”
Saya berpendapat: Semua perawi hadits
itu tsiqah, hanya saja Yahya Ibnu Ma’in menyatakan: “Bakar tidak mendengar
langsung dari Mughirah bin Syu’bah.”
Saya berpendapat: Tetapi Al-Hafizh
Ibnu Hajar di dalam At-Talkish (hal. 291) setelah menyandarkan hadits
itu kepada Ibnu Hibban dan perawi-perawi lain yang telah saya sebutkan,
menandaskan:
“Ad-Daruquthni
menyebutkan hadits itu di dalam kitabnya Al-‘Ilal dan menyebutkan
perbedaan penilaian yang terjadi di kalangan ulama. Ia menyatakan bahwa
Bakar bin Abdullah Al-Muzani mendengarnya dari Al-Mughirah.”
Saya berpendapat: Bisa jadi karena
itulah Al-Bushairi di dalam kitabnya Az-Zawa’id (hal. 118) menegaskan,
“Sanad itu shahih dan semua perawinya tsiqah.”
Saya berpendapat: Jika benar ia tidak mendengar secara langsung dari Al-Mughirah,
kemungkinan ia mendengar dari Anas bin Malik, sebab ia banyak meriwayatkan
hadits dari Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik sendiri banyak meriwayatkan
hadits dari Al-Mughirah.
Hadits ini ditakhrij oleh Abdurrazaq
di dalam Al-Amali (2/46/1-2), Ibnu Majah (1865), Abu Ya’la di dalam Musnad-nya
(hadits no. 17/0/1), Ibnu Hibban (1236),
Ibnu Al-Jarrud, Ad-Daruquthni, Al-Hakim (2/165), dan Adh-Dhiya di dalam Al-Mukhtarah
(hadits no. 88/2), serta Al-Baihaqi. Semuanya melalui Abdurrazaq dan ia berkata, “Mu’ammar meriwayatkan kepada saya dari Tsabit,
dari Anas yang menunuturkan:
“Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah
dan memberitahukannya kepada Rasul r. Lalu beliau bersabda: (kemudian
perawi menyebutkan sabda Nabi di atas). Ia
menambahkan: “Al-Mughirah kemudian melaksanakan perintah itu dan selang tidak
lama, menikah dengan wanita tersebut. Ia juga memberitahukan
kesediaan wanita itu ketika akan dilihat.”
Al-Hakim
menilai:
“Hadits itu shahih, sesuai dengan criteria Bukhari dan Muslim.”
Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian itu.
Sementara Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id (118/1) berkata:
“Sanad itu shahih
dan semua pewarinya tsiqah. Ibnu Hibban
meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya. Abd bin Humaid juga
meriwayatkannya di dalam kitab Musnad-nya dari Abdurrazaq dengan matan
yang sama.”
Akan tetapi disini Ad-Daruquthni
memberikan catatan: “Yang benar adalah dari Tsabit dari Bakar Al-Muzani.”
Kemudian ia
menyebutkan hadits itu dari Al-Mikhlad yang memberitahukan, “Abdurrazaq
meriwayatkan hadits itu kepadaku, ia berkata: “Mu’ammar meriwayatkan hadits itu
kepadaku dari Tsabit dari Bakar Al-Muzani, bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah
berkata…” Saya berpendapat, Ibnu Majah juga meriwayatkan
hadits yang senada dengan hadits itu berkata, “Al-Hasan bin Abi Rabi’ memberi
riwayat kepadaku dan ia berkata, “Abdurrazaq memberitahukan kepadaku mengenai
hadits itu. Tetapi perawi yang meriwayatkan hadits itu dati Abdurrazaq
yang berasal dari Tsabit dari Anas jumlahnya lebih banyak, sehingga lebih kuat,
kecuali jika kekeliruan itu dilakukan oleh Abdurrazaq atau gurunya, yakni
Mu’ammar. Wallahu a’lam.
Kata yu’dinu
berarti agar cintah kasih di antara kalian berdua lebih langgeng.
Saya berpendapat: Melihat wanita yang
dipinang diperbolehkan, meskipun wanita itu tidak melihat atau menyadari bahwa
dirinya sedang diperhatikan, sebab ada sabda Nabi r:
۹٧
– ÇöÐó ÎóØóÈó ÇóÍóÏõßõãõ
ÇãúÑóÇóÉð ÝóáÇó ÌõäóÇÍó Úóáóíúåö Çóäú íóäúÙõÑó ÇöáóíúåóÇ ÇöÐóÇ ßóÇäó ÇöäøóãóÇ
íóäúÙõÑõ ÇöáóíúåóÇ áöÎöØúÈóÊöåö ¡ æóÇöäú ßóÇäóÊú áÇó ÊóÚúáóãõ .
“Jika
ada salah seorang di antara kamu meminang seorang wanita maka tiada dosa baginya
untuk melihatnya, jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita
itu sendiri tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat)”
Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thahawi
dan Imam Ahmad (5/424) dari Zubair bin Mu’awiyah, ia
berkata: “Abdullah bin Isa meriwayatkan hadits kepadaku dari Musa bin Abdullah
bin Yazid dari
Saya berpendapat: Sanad itu shahih. Semua perawinya tsiqah dan termasuk perawi yang dipakai oleh Imam
Muslim.
Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkannya
di dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, seperti yang disebutkan di dalam
Al-Majma’ (4/276), ia berkata: “Perawi-perawi
yang dipakai oleh Imam Ahmad adalah perawi shahih.”
Ibnu Hajar di dalam At-Talkish
tidak mengomentari hal itu.
“Saya melihat Muhammad bin Maslamah
mengitip Tsaniyah binti Dhahhak dari atas lotengnya dengan mata melotot. Lalu
saya menegurnya: “Tegakah kamu melakukan hal ini, padahal kamu adalah salah
seroang sahabat Rasul?” Kemudian ia menjawab, “Saya
mendengar Rasulullah r bersabda:
۹٨
– ÇöÐóÇ ÇóáúÞóì Ýöì
ÇáúÞóáúÈö ÇãúÑöÆò ÎöØúÈóÉó ÇãúÑóÃóÉò ÝóáÇó ÈóÃúÓó Çóäú íóäúÙõÑó ÇöáóíúåóÇ
“Jika seseorang berminat meminag seorang wanita maka
tiada dosa baginya untuk melihat wanita itu.”
Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin
Manshur di dalam kitab Sunan-nya (519), Ibnu Majah (1863), Ath-Thahawi
(2/8), Al-Baihaqi, Ath-Thayalisi (1186) dan Imam Ahmad (4/225) dari Hajjah bin
Arthat dari Muhammad bin Sulaiman Abu Khatsamah.
Saya berpendapat: Sanad ini dha’if
karena ada Hajjaj. Ia seorang mudallis (orang yang membuat kekaburan
pada segi sanad) dan sering meriwayatkan hadits dengan cara’an’anah. Sedang
Al-Baihaqi berkata: “Sanadnya dipertimbangkan di kalangan ulama, masalahnya ada
pada Hajjah bin Arthat. Hal ini cukup jelas.”
Al Hafizh
Al-Bushairi mengomentari hal itu di dalam kitabnya Az-Zawa’id (117/2).
“Saya berpendapat:
Bagaimanapun Al-Hajjaj tidak meriwayatkan hadits itu seorang diri. Ibnu
Hibban telah meriwayatkan hadits itu di dalam kitab Shahih-nya, dari Abu
Ya’la dari Abu Khatsamah dari Abu Hazim dari Sahl bin Abi Khatsamah dari
pamannya Sulaiman bin Abu Khatsamah yang menuturkan: “Saya melihat Muhammad bin
Salamah… (selanajutnya perawi menuturkan hadits di
atas).”
Seperti itulah naskah yang saya
kutip dari Az-Zawaid. Saya tidak mengetahui
apakah ada kekurangan dalam kutipan saya atau ada kekeiruan dalam naskah
aslinya, bahwa antara Abu Khatsamah dan Abu Hazim terputus sanadnya.
Sebab Abu Khatsamah yang nama aslinya adalah Zubair
bin Harb wafat tahun 274 H, sedangkan Abu Hazim nama aslinya mungkin Salamah
Al-Asyja’i, dan mungkin Salamah bin Dinar Al-A’raj (yang terakhir ini nampaknya
yang lebih tepat. Keduanya adalah tabi’i. Yang kedua agak belakangan meninggalnya, yaitu pada tahun 140 H.
Kemudian saya
melihat hadits itu di dalam Zawa’id Ibnu HIbban (1225), persis dengan
hadits yang saya kutip dari Al-Bushairi, hanya di dalam sanadnya tertulis Abu
Khazim (bukan Abu Hazim), dari Sahl bin Muhammad bin Abu Khatsamah, sebagai
ganti dari Suhail bin Abu Khatsamah. Mengenai Sahl bin Muhammad bin Abu
Khatsamah saya tidak menemukan biografinya, kemungkinan orang itu ada di dalam
kitab At-Tsiqat karya Ibnu Hibban. Silahkan anda
periksa.
Tetapi hadits
itu memiliki dua jalur lain lagi:
Pertama:
Dari Ibrahim bin Shimah, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, dari Muhammad bin
Sulaiman bin Abu Khatsamah.
Hadits dengan sanad ini ditakhrij oleh Al-Hakim (3/434). Hadits ini gharib. Sedangkan Ibrahim bin Shirmah tidak ada
hubungannya dengan ke-gharib-an hadits ini.
Sementara itu
Adz-Dzahabi di dalam bukunya At-Thalikish menyebutkan: “Saya melihat
hadits itu dinilai dha’if oleh Ad-Daruquthni, sedang Abu Hatim mengatakan:
“Ibrahim bin Shirmah adalah syaikh.”
Kedua:
Dari seorang penduduk Bahrah yang diperoleh dari Muhammad bin Salamah secara marfu’.
Hadits dengan
sanad ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (4/226), ia
berkata: “Waki’ memberi hadits kepadaku
dari Tsaur, dari Muhammad bin Salamah.”
Saya
berpendapat: Semua perawinya tsiqah kecuali yang tidak disebutkan namanya itu.
Kesimpulannya, dengan sanad-sanad tersebut, hadits itu memiliki
status yang kuat. Wallahu a’lam.
Jabir juga
meriwayatkan hadits yang sama dengan apa yang saya sebutkan dari Muhammad bin Maslamah.
Judul yang
saya pakai untuk menyebutkan hadits memang banyak dipakai oleh ulama, seperti
di dalam Al-Fathul-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (9/157) disebutkan:
“Jumhur ulama
menyatakan: “Seseorang yang ingin menikah (meminang seorang wanita)
diperbolehkan melihatnya walaupun tanpa izin darinya.” Sementara
itu Imam Malik mengatakan bahwa melihat semacam itu diperbolehkan dengan syarat
ada izin dari pihak wanita. Sedngkan Ath-Thahawi mengutip pendapat dari
beberapa tokoh, bahwa melihat wanita yang hendak dipinang sama
sekali tidak diperbolehkan, selama perjanjian belum dilakukan (akadnya). Sebab dalam kondisi seperti itu, wanita tersebut statusnya adalah
orang lain (ajnabiyyah). Kemudian jumhur ulama menyanggah
pendapat-pendapat lain, dengan mengemukakan
hadits-hadits di atas.
Cacatan:
Abdurrazaq di dalam kitab Al-Amali (2/46/1) meriwayatkan
suatu hadits dengan sanad shahih dari
Saya
berpendapat: Seseorang yang ingin menikah dengan seseorang, maka ia diperbolehkan melihat lebih dari muka dan kedua telapak
tangan, karena hadits-hadits itu tidak memberikan batasan yang jelas. Di
samping itu ada hadits yang mendukung pendapat itu, yaitu:
۹۹ – ÇöÐóÇ ÎóØóÈó ÇóÍóÏõßõãõ áúãóÑúÇóÉð ¡ ÝóÇöäö
ÇÓúÊóØóÇÚó Çóäú íóäúÙõÑó Çöáٰì ãóÇ íóÏúÚóæúåõ Çöáٰì äößóÇÍöåóÇ
ÝóáúíóÝúÚóáú .
“Jika salah seorang di antara kamu meminang seorang
wanita, maka apabila ia mampu melihat apa yang
membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.”
Hadits ini
ditakhrij oleh Abu Dawud (2082), Ath-Thahawi, Al-Hakim dan Imam Ahmad (3/334,
360), dari Muhammad bin Ishaq dari Daun bin Hushain dari Waqid bin Abdurrahman
bin Sa’ad bin Mu’az dari Jabir bin Abdillah yang menuturkan Rasulullah r pernah bersabda: (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas). Kemudian ia melanjutkan penuturannya:
“Setelah itu saya melamar seorang gadis dan saya melihat anggota
yang membuat saya tertarik kepadanya dan tertarik untuk menikahinya.”
Rangkaian kalimat itu mirlik Abu Dawud. Sementara Al-Hakim
menilai: “Hadits ini shahih Sesuai dengan kriteria Imam Muslim.” Sedang Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian itu.
Saya
berpendapat: Ibnu Ishak hanya dipakai
oleh Imam Muslim sebagai pendukung, ia sorang mudallis
yang meriwayatkan hadits dengan cara ‘an’anah. Tetapi ia
telah menyebut kalimat yang menyatakan bahwa ia menerima hadits (tahdits) pada
salah satu riawayat Imam Ahmad. Dengan demikian, sanadnya
tetap hasan. Demikian pula yang dikemukakan oleh
Al-Hafizh di dalam Al-Fath. Ia juga
menegaskan di dalam At-Thalkish:
“Imam
Al-Qatham menilai cacat pada Waqid bin Abdurrahman. Selanjutnya ia mengatakan:
Yang benar adalah Waqid bin Amr.”
Saya
berpendapat: Bahwa riwayat yang disebutkan oleh Al-Hakim adalah Waqid bin Amr,
demikian pula yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i dan Abdurrazaq.
Demikian juga
riwayat-riwayat yang saya sebutkan, kecuali riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad di
mana menyebutkan: “Waqid bin Abdurrahman.” Adapun Abdul Wahid bin Ziyad juga
menyebutkan nama “Waqid bin Abduurahman”. Yang banyak
adalah Waqid bin Amr. JIka perawi ini, maka ia adalah
seorang tsiqah dan termasuk perawi yang dipakai oleh Imam Muslim. Sedang Waqid
bin Abdurrahman adalah perawi yang majhul. Wallahu a’lam.
Kandungan Hadits
Hadits ini
jelas menunjukkan apa yang baru saja saya sebutkan.
Hal ini diperkuat pula dengan praktik seorang sahabat terkemuka, Jabir bin
Abdillah t juga oleh Muhammad bin Maslamah, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Keduanya sudah merupakan hujjah yang kuat, dan tidak
berbahaya jika kita mengamalkannya, meskipun ada yang berpendapat bahwa yang
diperbolehkan hanya melihat muka dan kedua telapak tangan. Sebab pendapat itu merupakan pembatasan terhadap hadits tanpa ada
dalil yang membatasinya, dan mengabaikan praktik yang dilakukan oleh sahabat.
Apabila hal itu juga didukung oleh tindakan khalifah Umar bin
Khaththab, seperti yang disebutkan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish’
(hal.291-292).
Catatan:
Abdurrazaq
dan Sa’id bin Manshur meriwayatkan di dalam kitab Sunan-nya (520-521),
juga Ibnu Umar serta Sufyan, dari Amr bin Dinar dari Muhammad bin Ali bin
Al-Hanafiyah:
“Bahwa Umar
bin Khaththab t memimang puteri Ali t yaitu Ummi Kulsum. Kemudian Ali
memberitahukan bahwa puterinya masih terlalu hijau. Lalu dikatakan
kepadanya: “Jika ia menolak, paksa dia!” Kemudian Ali
mengatakan. “Aku akan kirim anak itu kepadamu, jika ia
mau maka ia akan menjadi isterimu.” Setelah puterinya
di datangkan kepada Umar, Umar segera membuka betisnya. Lalu si puteri
itu berkata: “Seandainya engaku bukan seorang khalifah, pasti kedua matamu
sudah aku tonjok.”1)
Riwayat ini
jelas merupakan penyangkalan terhadap apa yang
dikemukakan sementara ulama yang menyatakan bahwa yang diperbolehkan hanya
melihat muka dan kedua telapak tangan.
Pendapat yang sulit menerima riwayat itu adalah mazhab Hanafi dan
Syafi’i. Ibnu Qayyim di dalam Tahzibus-Sunan (3/25/26)
mengatakan: “Dawud berkata: “Ia boleh melihat seluruh tubuhnya. Dari Imam Ahmad
ada tiga riwayat, yaitu:
a.
Boleh melihat muka dan kedua telapak tangannya
b.
Boleh melihat anggota yang umumnya terlihat, misalnya leher,
kedua betis dan yang lain.
c.
Boleh melihat semua anggota tubuhnya, baik aurat maupun
tidak. Bahkan Dawud menandaskan bahwa boleh melihatnya dalam keadaan bugil.”
Saya berpendapat: Riwayat kedualah
yang nampaknya lebih dekat kepada kebenaran, sesuai dengan makna teks hadits di
atas dan praktik yang dilakukan oleh sahabat.
Catatan:
Ibnu Al-Jauzi di dalam Shaidu-Al-Khatir
(1/82) menyebutkan riwayat yang hamper sama dengan
riwayat Imam Ahmad yang kedua. Ia berkata: “Imam Ahmad
telah menetapkan bahwa seorang laki-laki boleh melihat calon isterinya pada
anggota yang termasuk auratnya. Ia menunjuk anggota yang
melebihi waja (muka).”
Al-Ustadz Ali Ath-Thanthawi
mengomentari pendapat itu dengan pernyataannya: “Menurut pendapat yang dikenal
dari Imam Ahmad hal itu tetap tidak diperbolehkan.”
Yang jelas bahwa
yang dimaksudkan adalah pendapat Imam Ahmad yang dikenalnya (yang sudah
diketahuinya). Atau setidaknya pendapat yang ada di kalangan pengarang-pengarang
pengikut mazhab Hambali. Hal itu bisa dibuktikan di
dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah. Setelah menyebutkan
riwayat pertama (7/4) beliau menandaskan:
“Imam Ahmad
berkata, “Ia boleh melihat calon isterinya itu pada bagian tubuh yang
membuatnya tertarik, misalnya tangan, muka dan lain-lain.” Sementara Abubakar Al-Maruzi
berkata: Ketika melamar, seseorang boleh melihat wanita pinangan dalam keadaan
sepeti itu adalah karena Nabi r ketika memberi izin hal itu tanpa sepengetahuan
wanita yang bersangkutan, menunjukkan bahwa beliau memperbolehkan melihat
anggota badan yang umumnya terlihat. Sebab tidak mungkin seseorang hanya
melihat muka saja, tanpa melihat anggota lain yang juga terlihat. Selanjutnya karena wanita itu berada di tengah mahramnya, maka
laki-kali yang meminang juga diperbolehkan melihat anggota yang boleh dilihat
oleh mahram. Hal itu juga merupakan perintah syara’.”
Kemudian ketika saya mempelajari
kitab Rudud ala Abathil (Sanggahan terhadap Pendapat-pendapat yang
Tidak Benar) karya Fadhilatusy-Syaikh Muhammad Al-Hamid, tiba-tiba saya
menemukan pendapatnya (hal. 43) yang berbunyi:
“Pendapat
yang mengatakan boleh melihat anggota lain selain muka
dan kedua telapak tangan, samak sekali tidak benar.”
Hal ini agaknya kurang tepat. Sebab masalah yang masih
dipertentangkan tidak boleh dicap sebagai suatu kesalahan total hanya karena tidak
sesuai dengan pendapatnya, kecuali jika mampu mendatangkan dalil yang
validistasnya bisa dipertentangkan dan dipertanggungjawabkan, atau setidaknya
mampu menyanggah hadits-hadits di atas. Namun Syaikh Muhammad
Al-Hamid tidak melakukan salah satu diantara alternafi yang saya ajukan itu.
Bahkan sedikitpun beliau tidak menyinggung hadits yang
mendukung pendapatnya itu. Dia mengatakan bahwa
pendapat yang disanggahnya itu tidak berargumen, padahal kenyataannya tidak
demikian, seperti yang baru saja kita lihat. Hadits-hadits itu dengan
makna umumnya sangat bertentangan dengan apa yang
dikemukakan oleh Fadhilatusy-Syaikh. Mengapa tidak, sebab hadits itu jelas
bertentangan dengan hadits Nabi (99): “Anggota yang membuatnya tertarik kepada
wanita pinangannya,” juga sabda beliau (97): “Meskipun wanita itu tidak
mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan.” Hal itu didukung pula oleh
praktik sahabat yang selalu berlandaskan ajaran Nabi, diantaranya Muhammad bin
Maslamah dan Jabir bin Abdillah. Keduanya pernah mengintip
wanita pinangannya untuk melihat anggota tubuhnya yang membuatnya lebih
tertarik untuk menikahinya. Adakah seseorang yang
menyangka bahwa mereka dengan bersusah payah seperti itu hanya ingin melihat
muka dan kedua telapak tangannya saja? Bukti lainnya adalah tindakan
Umar bin Khaththab yang membuka betis Ummi Kultsum, puteri Sayyidina Ali t. Di antara ketiga sahabat
terkemuka itu ada yang menjadi seorang khalifah, yaitu Umar t. Mereka
jelas, bahwa yang diperbolehkan melihat anggota lebih dari muka dan kedua
telapak tangan. Dan sepengetahuan saya tidak ada
seorang sahabat pun yang menentang mereka. Oleh karena
itu saya tidak habis mengerti, mengapa dia dengan tegas memperbolehkan
menentang pendapat mereka itu.
Meskipun telah ada hadits-hadits shahih dan berbagai pendapat ulama
–kecuali mereka yang tidak sependapat- masih banyak juga orang yang tidak
memperbolehkan puterinya dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, meskipun
dengan alasan yang kurang tepat. Alasan mereka
adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Namun anehnya,
mereka justru memperbolehkan puterinya keluar sendirian tanpa memakai hijab
yang sesuai dengan ajaran agama, sedang di sisi lain menolak pinangan yang akan melihatnya di rumahnya sendiri yang juga disaksikan
oleh para mahramnya, serta dengan pakaian yang masih sesuai dengan ajaran
agama.
****
____________________
1) Kemudian
Umar menikah dengannya dan menghasilkan dua orang anak, yaitu Zaid dan Ruqayah. Keterangan
itu bisa dilihat lebih jelas di dalam Al-Ishabah.
Hadits itulah yang saya gunakan sebagai pendukung.
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |