KEUTAMAAN DOA
DAN KEBAJIKAN
١٥٤ - áÇó íóÑõÏøõ ÇáúÞóÖóÇÁó ÅöáÇøó ÇáúÏõÚóÇÁõ
æóáÇó íóÒöíúÏõ Ýöí ÇáúÚõãúÑö ÅöáÇøó ÇáúÈöÑøõ .
“Tidak
akan menolak qadha’ melainkan doa dan tidak akan menambahkan umur melainkan
kebaikan.”
Hadtis
ini dikeluarkan oleh At-Tirmdizi (2/20), Ath-Thahawi dalam Al-Musykil
(4/169), Ibnu Hayawiyyah dalam Hadits-nya (3/4/2) dan Abdul Ghani
Al-Muqaddasi dalam Ad-Du’a (142-143). Semuanya dari jalur Abu Maudud
dari Sulaiman At-Tamimi dari Abu Utsman An-Nahdi, dari Salman. At-Tirmdizi mengatakan:
“Hadits
itu hasan gharib dari Salman. Dan mengenai Abu Maudud ada dua orang. Pertama.
Fadhah. Ia yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang Bashari. Dan yang lain
adalah Abdulaziz bin Abi Sulaiman seorang Bashari pula. Keduanya ada dalam satu
Saya
katakana: Dia adalah dha’if, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dari
ayahnya (3/293). Mungkin juga bila At-Tirmidzi menanggap baik terhadap
haditsnya adalah karena melihat adanya syahid (hadits pendukung) dari hadits
Tsauban yang diriwayatkan secara marfu’ dengan tambahan: “Dan sesungguhnya
seorang lelaki menghalangi rezki karena dosa yang menimpanya.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4022), Imam Ahmad (5/277, 280, 282), Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf (12/157/2), Muhammad bin Yusuf Al-Fairuyabi
dalam Ma Asnada Sufyan (1/43/2),
Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (4/169), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam
Al-Kabir (1/147/2), Abu Muhammad Al-Adl Al-Mukhallidi dalam Al-Fawaid
(2/2232. 246/2, 268/2), Ar-Raubani dalam Musnad-nya
(25/133/1), Al-Hakim (1/493), Abu Na’im dalam Akhbaru Ashbihani (2/60),
Al-Baghawi dalam Syahrhus Sunnah (4/81/2), al-Qudha’i (142-143) dari
beberapa jalur, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdullah bin Isa dari Ibnu Abil
Ja’di dari Tsauban secara marfu’.
Demikian pula, sebagian yang
mentakhrij (mengeluarkan hadits) mengatakan: “Ibnu Abil Ja’d itu bukan namanya.
Sebagian mereka menamakannya Salim Ibnu Abil Ja’d sedang yang lain menamakannya
Abdullah bin Abil Ja’d. Jika yang benar yang pertama maka munqathi (ada
yang gugur perawinya sebelum sampai sahabat karena Salim tidak mendengar dari
Tsauban). Namun jika ia yang kedua, maka dia adalah majhul (tidak
dikenal), seperti yang dikatakan oleh Ibnul Qaththan, meskipun disini Ibnu
Hibban menilainya tsiqah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan,
kemudian dia mengatakan:
“Abdullah itu, meskipun dianggap
tsiqah, sesungguhnya di situ ada ketidakjelasan.”
Kemudian hadits itu dikeluarkan oleh
Ar-Raubani (162/1) dari jalur Umar bin Syahib: “Telah bercerita kepadaku
Abdullah bin Isa dari Hafsh dan Ubaidillah bin Akhi Salim dari Salim dari
Tsauban. Selanjutnya Ar-Raubani menambahkan:
“Sesungguhnya dalam Taurat itu
tertulis: “Wahai anak Adam, takutlah pada Tuhanmu, berbaktilah kepada kedua
orang tuamu, dan hubungilah sanak kerabatmu, maka Dia akan memanjangkan umurmu,
memberikan kemudahan bagimu dan menghindarkan kesulitan darimu.”
Saya berpendapat: Ini telah menguatkan
bahwa hadits itu memang dari riwayat Salim bin Abil Ja’d. Tetapi Umar bin
Syahib di sini dha’if, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib.
Adapun mengenai Hafsh dan Ubaidillan
bin Akhi Salim, saya tidak mengenalinya.
Jika ketetapan mengenai penguatan ini
benar, maka hadits itu adalah munqahti’ (perawinya ada yang gugur sebelum
sampai sahabat). Jika tidak, maka ia adalah muttashil (sanadnya tetap
bersambung). Tetapi di sini ada ketidakjelasan. Kemudian mengenai komentar
Al-Hakin di ujungnya, yaitu “Hadits ini shahih sanandnya,” adalah ditolak,
meskipun disepakati oleh Adz-Dzahabi, karena ada ketidakjelasan tersebut. Dan
sesungguhnya ketidakjelasan tersebut telah dijelaskan oleh Adz-Dzahabi. Dalam
masalah ini memang banyak mengandung pertentangan.
Hadits ini juga mempunyai jalur lain
dari Tsauban. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ali Ad-Dirasi: “Telah bercerita
kepadaku Thalhah bin Zaid dati Tsaur dari Rasyid bin Sa’d dari Tsauban.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi
(Q. 34/1). Dia memberikan catatan:
“Abu Ali Ad-Dirasi dan Basyar bin
Ubaid adalah mungkarul hadits (orang yang tidak diakui haditsnya) dan
sangat lemah.”
Saya katakana, bahwa Al-Adzi
menilainya dusta. Dalam Al-Mizan dia mengetengahkan hadits-hadits Abu
Ali Ad-Dirasi seraya berkata: “Hadits-hadits ini tidak shahih, kita memohon
pertolongan dari Allah.”
Kemudian ada pula orang lain yang
menelitinya, lalu mengatakan: “Hadits ini maudhu (hadits yang dibuat
dengan dusta).”
Ringkasan: Sesungguhnya hadits
itu adalah hasan. Seperti dikatakan oleh At-Tirmidzi dengan syahid (hadits
pendukung) dari hadits Tsauban, tanpa tambahan apapun. Namun saya tidak
menemukan syahid (hadits pendukung) untuknya. Bahkan yang ada, diriwayatkannya
suatu hadits yang berlawanan dengannya, dengan lafazh:
“Sesungguhnya kemaksiatan itu
tidak dapat mengurangi rezki dan kebaikan juga tidak dapat menambahkannya.”
Tetapi saya katakana bahwa hadits ini
adalah maudhu’ (hadits yang dibuat dengan dusta) sebagaimana yang telah
saya buktikan dalam Al-hadits Adh-Dha’ifah (nomor 179), jadi tambahan
itu tidak tepat.
Yang dimaksudkan dengan ‘qadha’
dalam hadits itu adalah sesuatu yang telah ditentukan (ditakdirkan), kalau saja
tidak diiringi dengan doa. Sedangkan pada kata “Tidak menambahkan kepada
umu,” yakni umur yang pendek, kalau saja tidak ada kebaikannya.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |