KEUTAMAAN TAUHID
DAN ISTIGHFAR
١٢٧ - قَالَ اللهُ تَعَالٰى يَا اِبْنُ
آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلٰى مَا كَانَ
فِيْكَ وَلاَ أُبَالِّي يَا اِبْنُ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ
ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِّي يَا اِبْنُ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ
أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لِقَيْتَنِي لاَ تَشْرِكً ِبيْ شَيْئَا
لأَتَيْتَكَ بِقَرَابِهَا مَغْفِرَةً .
“Allah
berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu bermohon kepada-Ku dan
berharap kepada-Ku, maka Aku mengampuni kepadamu atas apa yang ada padamu dan
Aku tidak perduli. Wahai anak Adam, kalaupun dosamu sampai kea wan di langit,
kemudian kamu memohon ampun kepada-Ku, maka Aku mengampunimu dan Aku tidak
perduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu datang kepada-Ku dengan
kesalahan seluas bumi, kemudian kamu menjumpai-Ku dimana kamu tidak
menyekutukan Aku dengan sesuatu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan
seluas bumi pula.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh At-Tirmdizi (2/270), dari jalan Katrsir bin Faid yang
memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Sa’di bin Ubaid, dia berkata, “Aku
mendengar Bakar bin Abdullah Al-Muzni memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku
Anas bin Malik, dia berkata. “Aku dengar Rasulullah r bersabda: (lalu dia menyebutkan hadits ini).”
Selanjutnya At-Tirmidzi berkata: “Hasan ini hasan gharib yang saya tidak
menemukannya kecuali dari jalur ini.”
Saya melihat:
Saya menilai: Hadits ini berstatus
hasan, sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidzi. Lebih-lebih karena hadits ini
mempunyai syahid (hadits pendukung) dari hadits Abu Dzar yang
diriwayatkan oleh Syahr bin Hausyab dari Umar bin Ma’dikariba dari Anas bin
Malik secara mafru’, baik dengan mendahulukan maupun dengan mengakhirkan
perawinya.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh
Ad-Darimi (2/322) dan Ahmad (5/172) dari jalan Ghirar Ibnu Jarir dari Syahr
tersebut.
Dalam hal ini Abdul Hamid, yakni Ibnu
Bahram, tidak sependapat. Dia berkata, :Telah bercerita kepadaku Syahr dari
Ibnu Ghanam yang mengatakan bahwa Abu Dzar telah bercerita kepadanya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(5/154). Sedang Syahr di sini dinilai lemah dari segi hafalannya. Karena itu
jalur yang pertama adalah lebih shahih kerena Ghilan lebih tsiqah daripada Ibnu
Bahram.
Hadits ini juga mempunyai syahid
(hadits pendukung) lain menurut Ath-Thabrani, seperti disebutkan dalam beberapa
Mujma’-nya, dari Ibnu Abbas, dimana juga dikeluarkan dalam Ar-Raudl
An-Nadhir (342).
Bahkan hadits ini juga mempunyai jalan
yang lain secara ringkas dari Abdu Dzar dengan lafazh:
١٢٨ - قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى
الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا أَوْ يَزِيْدُ وَالسَّيِّئَةُ وَاحِدَةٌ أَوْ أَغْفِرُهَا
وَلَوْ لَقَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا مَا لَمْ تُشْرِكْ بِيْ شَيْئَا
لَقَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Allah I berfirman: “Kebaikan itu (digandakan) dengan
sepuluh kali lipat atau lebih, sedang keburukan hanyalah satu atau Aku
mengampuninya. Dan kalau kamu menjumpai-Ku dengan kesalah seluas bumi, selama
kamu tidak menyekutukan Aku, maka aku akan mengampunimu dengan ampunan seluas
itu.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (4/241) dan Ahmad (5/108) dari Ashim dari
Al-Ma’ruf Ibnu Suwaid, bahwa Abu Dzar menuturkan:
“Telah
bercerita kepadaku orang yang benar dan dibenarkan (Rasul r) tentang sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya,
bahwa dia berfirman: “Kebaikan itu…”
Selanjutnya Al-Hakim menilai: “Hadits
ini sanadnya shahih.” Penilaian ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Saya menilai: Ashim atau Ibnu Bahdilah
adalah bagus haditsnya. Sedangkan perawi-perawi yang lain adalah tsiqah, yakni
para perawi Bukhari-Muslim, sehingga sanad-sanadnya dinilai hasan.
١٢۹ - قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ
وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ .
“Sunggu beruntung orang yang
menyerahkan diri (Islam) diberi rizki cukup dan Allah membuatnya menerima
segala yang telah Allah berikan kepadanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Muslim (3/102), At-Tirmidzi (2/56), Ahmad (2/168), dan Al-Baihaqi (4/196) dari
jalur Abdullah bin Yazid Al-Muqri yang memberitahukan: “Telah bercerita
kepadaku Sa’id bin Abi Ayub: “Telah bercerita kepadaku Syarahbil bin Syarik,
dari Abi Abdurrahman Al-Hibli, dari Abdullah Ibnu Amr bin Al-Ash dengan marfu’
(disandarkan kepada Nabi).”
At-Tirmdizi mengatakan: “Hadits ini hasan
shahih.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu
Majah (4138) dari Ibnu Luhai’ah dari Ubaidillah bin Abi Ja’far dan Hamid bin
Hani’ Al-Khaulani, bahwa keduanya mendengar Abu Abdurrahman Al-Hibli yang
mengabarkan dari Abdullah Ibnu Amr.
Mengenai Ibnu Luhai’ah, dia buruk
hafalannya. Tetapi dalam hadtis-hadits mutabi’at (hadits-hadits
pengikut) dia dinilia la ba’sa bih (tidak mengapa).
Peringatan
Ash-Shuyuti dalam Ash-Shaghir
dan Al-Kabir (2/95/1) menyandarkan hadits
ini kepada Imam Muslim dan orang-orang yang telah saya sebut selain Al-Baihaqi,
sehingga Al-Manawi mengomentari dengan penjelasannya:
“Dalam hal ini penyadarannya mengikuti
apa yang disebutkan oleh Abdul Haq. Dia berkata dalam Al-Manar. Ini
tidak disebutkan oleh Imam Muslim, tetapi hanya menurut At-Tirmidzi….”
Saya berpendapat: Ini adalah praduga
dari penulis Al-Manar, kemudian juga Al-Manawi. Jadi hadits itu
kedudukannya tetap seperti yang saya isyaratkan dari Imam Muslim dalam Kitabuz-Zakat.
Dalam
hadits ini ada tambahan kafaf (الكفاف ) dan qana’ah
( والقناعة ), dan yang searti dengan itu
adalah hadits berikut ini:
“Ya
Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad berupa makanan pokok.”
Hadits
itu dikeluarkan oleh Imam Bukhari (4/222), Imam Muslim (2/103, 8/217) dan Imam
Ahmad (juz II, hal. 232) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin
Fudhail dari bapaknya, dari Umara bin Al-Qa’qa dari Abu Zar’ah dari Abu
Hurairah yang menuturkan: “Telah bersabda Rasulullah r: (kemudian dia menyebutkan hadits itu). Adapun lafazh
itu adalah menurut Imam Muslim. Demikian pula Imam Ahmad. Hanya saja Imam Ahmad
menyebutkan: Baiti (keluarga rumahku) menggantikan ‘Muhammad’, sedangkah
lafazh Al-Bukhari adalah:
“Ya
Allah berilah rizki keluarga Muhammad berupa makanan pokok.”
Lafazh
yang pertama dikeluarkan oleh Al-A’masy, dimana dia telah meriwayatkannya dari
Ammarah bin Al-Qa’qa’ah.
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dan At-Tirmidzi (2/57-Buhaq), Ibnu Majah
(4139) dan Al-Baihaqi (7/46) dari beberapa jalur yang berasal dari Waqi’ yang
memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Al-A’masy.” At-Tirmidzi dalam hal ini
menilai: “Hadits ini hasan shahih.”
Imam
Muslim mengeluarkan hadits ini dari jalan Abi Usamah yang mengatakan: “Aku
mendengar Al-A’masy.” Hanya saja disini dia menyebutkan rizki yang memadai
sebagai ganti (makanan pokok).”
Demikian
pula hadits ini diriwayatkan oleh Al-Qasim As-Sirqisthi dalam Gharibul
Hadits (juz 2/5/2), dari Hammad bin Usamah, dia menuturkan: “Telah
bercerita kepadaku Al-A’masy…” Hanya saja dia menyebutkan:
“Rizki
dan rizki keluarga Muhammad kecukupan.”
Sungguh
ada perbedaan mengenai matan hadits yang dibawakan oleh Al-A’masy. Namun
riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menurut saya lebih tepat,
karena ada kesusaian dengan sebagian perawi lain yang juga dari Al-A’masy.
Wallahu a’lam.
Peringatan
Imam
As-Suyuthi memasukkan hadits dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir dengan lafazh
Muslim, disertai tambahan ( فى الدنيا ) (di
dunia), dan dia menyandarkannya kepada Imam Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Demikian pula dia menyebutkannya dalam Al-Jami’ Al-Kabir (1/309) juga
dari riwayat tiga orang tersbut. Begitu juga Imam Ahmad, Abu Ya’la dan
Al-Baihaqi, menurut mereka, tidak ada dasar penambahan itu, kecuali menurut Abu
Ya’la, dimana hal itu dianggap sebagai sesuatu yang jauh, bahkan menurutnya
jika tambahan itu memang ditetapkan, maka akan merupakan tambahan yang asing,
karena berbeda dengan riwayat perawi-perawi lain yang tsiqah dan hafizh.
Wallahu a’lam.
Kandungan Hadits
Hadits
ini dan yang sebelumnya menunjukkan keutamaan rizki yang ‘secukupnya’ saja,
mengambil dunia ala kadarnya dan zuhud terhadap segala yang lebih
daripada itu. Merangsang agar mengejar kenikmatan akhirat dan mementingkan yang
abadi darpada yang fana. Maka sudah seharusnya bagi umat Islam mencotoh
Rasulullah r. Dalam masalah ini Al-Qurthubi menjelaskan:
“Makna
hadits ini adalah mencari ‘cukup’. Adapun makanan pokok adalah yang menguatkan
badan dan kemudian tidak memerlukan yang lain. Dalam kondisi yang demikian
diharapkan selamat dari bahaya kekayaan maupun kekafiran sekaligus.” Demikian
dalam Fathul Bari II/251-252).
Saya
berpendapat: Tidak diragukan lagi bahwa pengertian ‘cukup’ di sini adalah
berbeda menurut masing-masing orang, masa dan kondisi. Oleh karena itu bagi
orang yang bijak tentulah akan dapat mengambil langkah yang tepat. Tidak
terlilit kefakiran dan tidak pula tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan. Sungguh
sedikit orang yang selamat dari bahaya menumpuk harta. Apalagi di zaman
sekarang, dimana penuh fitnah dan banyak macam-macam tawaran buat orang-orang
kaya. Semoga Allah I menghindarkan kita dari cobaan itu dan memberi kita
kehidupan secukupnya saja.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |