As-Shahihah Daftar Isi >
PERINGATAN TERHADAP ORANG YANG MENGABAIKAN BERKATA BENAR (168)
PreviousNext

PERINGATAN TERHADAP ORANG

YANG MENGABAIKAN

BERKATA BENAR

 

 

١٦٨  -  áÇó íóãúäóÚóäøó ÑóÌõáÇð åóíúÈóÉó ÇáäøóÇÓö Ãóäú íóÞõæúáó ÈöÍóÞøö ÅöÐóÇ Úóáöãóåõ ( Ãóæú ÔóåöÏóåõ Ãóæú ÓóãöÚóåõ )

          Janganlah kewibawaan seseorang menghalangi seseorang untuk berkata benar manakala dia mengetahuinya (atau menyaksikannya atau mendengarkannya).”

 

          Hadits ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2/30), Ibnu Majah (4007), Al-Hakim (4/506), Ath-Thayalisi (2156), Ahmad (3/19, 50, 61), Abu Ya’la (Q. 72/1) dan Al-Qudha’i dalam Musnad Asy-Syihab (Q. 79/1) dari jalur Ali bin Zaid Ibnu Jad’an Al-Qurasyiyyi dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al-Khudzri secara marfu’. Kemudian At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan shahih.”

 

          Sedang Al-Hakim berkata: “Ali bin Zaid tidak dibutuhkan oleh Asy-Syaikhain.” Sementara Adz-Dzahabi menyatakan: “Saya katakan: Ia bagus haditsnya.”

 

          Saya berpendapat: Yang benar di sini adalah bahwa para ulama itu berbeda pendapat. Namun pendapat yang lebih unggul adalah bahwa Ali bin Zaid tersebut lemah. Ini sesuai  dengan pendapat Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Ia lemah sebab hafalannya buruk, bukan karena persangkaan buruk terhadapnya. Sehingga manakala ada hadits pendukung maka ia akan diputuskan hasan atau shahih. Adapun hadits ini dari Abi Nadhrah tidak menyendiri periwayatannya, tetapi diikuti oleh jamaah (segolongan ulama hadits):

 

          Pertama: Abu Salamah bahwa dia mendengar dari Abu Nadhrah.

 

          Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/44) dan Ibnu Asakir (7/91/2).  Abu Salamah disebut juga Abu Sa’id bin Zaid dan saya tidak mengenalnya. Namun yang jelas bahwa penyebutan ini hanyalah kekeliruan saja dari sebagian perawi. Sesungguhnya saya tidak menemukan seseorang yang diberi julukan Abu Salamah mengenakan nama itu, tidak juga nama Kuniyyah Ad-Daulabi. Yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa ia itu Ubbad bin Manshur An-Naji Al-Bashri Al-Qadhi. Dia memang dari jajaran ini. Termasuk perawi dari jajaran itu juga adalah Syu’bah bin Al-Hujjaj. Dialah yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Salamah, jika hal ini benar, maka sanadnya adalah hasan dikaitkan dengan perawi sebelumnya, karena Ubbad sendiri di sini lemah dari segi hafalannya.

 

          Kedua: Al-Mustamir bin Ar-Rayyan Al-Ayyadi: “Telah bercerita kepadaku Abu Nadhrah.”

 

          Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi (2158), Ahmad (3/46-47) dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya (78/2, 83/1).

 

          Al-Mustamir ini adalah tsiqah. Ia termasuk perawi Muslim. Demikian juga perawi-perawi yang lain. Sehingga hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Muslim.

 

          Ketiga: At-Tamiyyi: “Telah bercerita kepadaku Abu Nadhrah.” Hanya saya dia berkata:

 

“Jika dia melihatnya atau menyaksikannya atau mendengarkannya.” Mendengar itu Abu Sa’id berkata: “Aku suka bahwa aku tidak mendengarnya.” Dan Abu Nadhrah berkata juga: “Aku suka bahwa aku tidak mendengarnya.”

         

          Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (3/53): “Telah bercerita kepadaku Yahya dari At-Tamiyyi.”

 

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih juga menurut syarat Muslim. Dan At-Tamiyyi, namanya adalah Sulaiman Ibnu Tharhan. Dia tsiqah dan dibuat hujjah oleh Asy-Syaikhain.

 

          Keempat: Qatadah, dia mengatakan: “Aku dengar Abu Nadhrah: Dia menambahkan:

 

“Telah berkata kepadaku Abu Sa’id Al-Khudzri: “Tidak henti-hentinya kami ditimpa bala seminggu kami menahannya. Dan kami mengalami nasib buruk.”

 

          Hadits itu dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi (2151): “Telah bercerita kepadaku Syu’bah dari Qatadah.” Kemudian Imam Ahmad (3/92) dan Al-Baihaqi (10/90) dari dua jalan lain yang bersumber dari Syu’bah dan dalam suatu riwayatnya (3/84) yang memberitahukan: “Telah bercerita kepadaku Yazid bin Harun: Telah bercerita kepadaku Syu’bah dari Amer bin Murrah, dari Abi Al-Bakhtari, dari seorang lelaki dari Abu Sa’id Al-Khudzri secara marfu’. Syu’bah berkata: “Kemudian aku menceritakan hadits ini kepada Qatadah. Lalu dia berkata: “Apa ini?” Sementara Amer bin Murrah dari Abi Al-Bakhtari dari seorang lelaki dari Abu Sa’id memberitakan: “Telah bercerita kepadaku Abu Nadhrah.” Hanya saja dia berkata:

 

          Apabila dia menyaksikan atau mengetahuinya.”

 

          Lalu Abu Sa’id berkata: “Kemudian dia melibatkan ke dalam hal ini. Aku berangkat kepada Mu’awiyah, lalu aku isi penuh kedua telinganya selanjutnya aku pulang. Syu’bah berkata: “Telah menceritakan kepadaku mengenai hadits ini empat orang dari Abu Nadhrah. Yaitu Qatadah, Abu Salamah, Al-Jariri dan seorang lelaki lain.”

 

          Saya berpendapat: Hadits ini shahih sanadnya.

 

          Hadits ini juga mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh Ma’la bin Ziyad Al-Qurdusi dari Al-Hasan dari Abi Sa’id dengan lafazh:

 

“Manakala dia melihat atau menyaksikannya. Sesungguhnya ia tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan daripada rezki, atau dia mengakatakan yang benar atau mengingat Yang Maha Agung.”

 

          Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad (3/50 dan 87) dan Abu Ya’la (88/1-2). Al-Hasan menjelaskan bahwa hadits ini sanadnya shahih.

 

          Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan (3/71) dari jalur Ali bin Zaid, dari Al-Hasan itu, tanpa ada tambahan.

 

          Para perawi di jalur ini adalah tsiqat, hanya saja Al-Hasan dianggap mudallis (menutupi kecacatan hadits). Namun demikian tidak mengapa (“la ba’sa bih”) karena ada beberapa syahid (hadits pendukung).

 

          Hadits itu juga dimuat oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Al-Kabir dari riwayat Ahmad, Abdullah bin Hamid dan Abi Ya’la serta Ath-Thabrani dalam Al-Kabir di samping itu disebutkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id dan Ibnu An-Najar dari Ibnu Abbas. Juga As-Suyuthi menampilkannya pula (1/293/1) dari Abu Ya’la dari Abu Sa’id dengan tambahan:

 

          “Sesungguhnya ia tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak pula menjauhkan dari rezki.”

 

          Kemudian tambahan itu tidak ada dalam musnadnya, seperti sudah kami sebutkan tidak adanya hadits itu dalam kumpulan hadits-hadits At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Mustadrak.

 

          Selanjutnya dalam hadits mengisyaratkan larangan menyembunyikan kebenaran hanya karena takut kepada manusia, atau karena tamak terhadap kehidupan dunia. Maka setiap orang yang menyembunyikan kebenaran agar terhindar dari serangan orang lain terhadapnya berupa pukulan, kutukan atau terputusnya rezki serta hilangnya sikap hormat mereka kepadanya dan sebagainya, maka dia termasuk dalam larangan ini dan menyalahi Nabi e. Jika demikian keadaan orang yang menyembunyikan kebenaran sedang dia mengetahuinya, maka bagaimana pula dengan orang yang sengaja membiarkan kebatilan merusak agama dan aqidah mereka, hanya karena hendak menghindari tuduhan dan anggapan sesat dari orang lain terhadapnya. Ya Allah, semoga Engaku tetapkan kami dalam kebenaran. Dan hindarkan kami dari segala fitnah.

 

 

****

 

 

         

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com