Sidang pembaca rahimakumullah…
Segala puji dan puja hanya patut ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla yang menurunkan kitab suci kepada hamba-hambaNya yaitu Al-Qur’an. Sholawat serta salam patut ditujukkan kepada kekasihNya yaitu penghulu kita Nabi Muhammad Sholallohu'alaihi wasallam. Demikian juga kepada ahlul bait dan para sahabatnya sekalian.
Allah Taala berfirman, “Allah tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. Dia menurunkan kitab Alquran padamu (Muhammad) dengan sebenarnya, membenarkan kitab-kitab yang telah lebih dulu daripadanya dan juga menurunkan kitab Taurat dan Injil sebelum (Alquran diturunkan, Taurat dan Injil itu) menjadi petunjuk bagi manusia. Dan Dia menurunkan Al-Furqan (Alquran).” (Q.S. Ali Imran 3:24)
Kitab suci Alquran memiliki keistimewaan-keistimewaan yang dapat dibedakan dari kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya, di antaranya ialah:
1 Al quran memuat ringkasan dari ajaran-ajaran ketuhanan yang pernah dimuat kitab-kitab suci sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil dan lain-lain. Juga ajaran-ajaran dari Tuhan yang berupa wasiat. Alquran juga mengokohkan perihal kebenaran yang pernah terkandung dalam kitab-kitab suci terdahulu yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa, beriman kepada para rasul, membenarkan adanya balasan pada hari akhir, keharusan menegakkan hak dan keadilan, berakhlak luhur serta berbudi mulia dan lain-lain.
Allah Taala berfirman, “Kami menurunkan kitab Alquran kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya, untuk membenarkan dan menjaga kitab yang terdahulu sebelumnya. Maka dari itu, putuskanlah hukum di antara sesama mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah. Jangan engkau ikuti nafsu mereka yang membelokkan engkau dari kebenaran yang sudah datang padamu. Untuk masing-masing dari kamu semua Kami tetapkan aturan dan jalan.” (Q.S. Al-Maidah:48)
Selengkapnya: E-book: At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran
Allah subhanahuwata'aala telah memberikan kesempatan-kesempatan istimewa kepada para hambaNya. Juga menentukan ibadah-ibadah tertentu untuk mendulang ganjaran dan memohon maghfirah atas perbuatan dosa. Alangkah beruntungnya orang-orang yang mampu memanfaatkan kesempatan dan ibadah-ibadah tertentu ini dalam usaha mencapa ridha Allah subhanahuwata'aala.
Diantara kesempatan itu adalah sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah dan diantara ibadah itu adalah ibadah haji dan ibadah kurban.
Dalam Islam, ibadah qurban memiliki kedudukan yang agung. Ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama ini. Dia juga termasuk jenis ibadah agung yang berkait dengan harta. Dengannya, seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahuwata'aala.
Semoga buku kecil ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua, agar dapat memanfaatkan momen ini sebaik mungkin dan tidak membiarkannya berlalu begitu saja tanpa ada manfaat yang kita raih.
E-Book berikut, terjemahan dari The Wahhabi Myth yang fenomenal, oleh penulis disusun sebagai upaya untuk meluruskan kesalahpahaman yang telah menyebar begitu luas, mengenai penisbatan aksi-aksi teror kepada pemahaman Salaf atau yang lebih khusus diberi istilah Salafi “Wahhabi”. Kesalahpahaman ini tidak saja dipahami dan disebarkan oleh media asing (baca: Barat), akan tetapi juga di kalangan kaum Muslimin sendiri.
Sepanjang pembahasan buku ini, penulis menggunakan istilah “Wahhabi” dengan tanda petik, bukan untuk membenarkan penggunaan istilah tersebut, karena tidak seorang pun dari kaum Muslimin, khususnya yang berpegang teguh kepada manhaj Salaf, pernah menisbatkan dirinya pada istilah tersebut. Penggunaan “Wahhabi” di sini justru untuk menunjukkan poin yang dimaksudkan penulis kepada para pembaca, bahwa apa yang sebenarnya dijuluki “Wahhabiyyah” atau orang-orang yang disebut “Wahhabi” itu tidak lain dari pemahaman yang berusaha meng-implementasikan prinsip dasar ajaran agama Islam, yakni tauhid, dan berusaha mengembalikan kemurniannya dari segala bentuk kesyirikan dan bid’ah dan khurafat di dalam agama. Melalui buku ini pula, pembaca diajak untuk mengetahui realitas di balik aksi-aksi teror serta organiasi yang berada di belakangnya. (Author: www.raudhatulmuhibbin.org )
Orang yang pertama kali didaulat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadi utusanNya adalah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menyampaikan fatwanya berdasarkan wahyu. Beliau adalah sebagai Hakim, dan fatwanya wajib diikuti, dilaksanakan dan dijadikan pondasi kehidupan setelah Al Qur’an. Akan tetapi dalam menanggapi persoalan umat yang beragam, perbedaan pendapat seringkali tak terelakan. Jika hal tersebut pada akhirnya terjadi, Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya agar mengembalikan urusan tersebut kepada-Nya dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” [An Nisaa: 59]
Ilustrasi di atas menggambarkan betapa mulianya orang-orang yang mendapat “rekomendasi” dari Rabbnya untuk menyampaikan ajaran-Nya.
Dalam konteks pembahasan buku ini, mereka itu disebut sebagai “I’lamul Muwaqi’in ‘an rabbul ‘alamiin“, yakni orang-orang yang menyampaikan syari’at Allah Rabb seru sekalian alam. Dalam perkembangannya kemudian mereka disebut “mufti” atau “pemberi fatwa“. Mufti di sini berkedudukan sebagai “pemegang kebijakan yang memiliki otoritas memutuskan hukum suatu perkara. Karena itulah mereka diletakkan pada “bingkai para mufti” yang dapat mencegah mereka dari keputusan yang salah. Sebab keputusan mufti berlaku bagi setiap orang dan dimana saja, meski terkadang dapat dilaksanakan dan dapat pula ditinggalkan.
Sedangkan keputusan hakim hanya berlaku bagi tedakwa dan harus dilaksanakan. Dengan demikian baik mufti maupun hakim dihadapkan pada bahaya (ancaman) besar dan pahala besar pula. Keduanya laksana orang yang berdiri dengan kaki kiri di neraka dan kaki kanan di surga.
Selengkapnya: E-book: I’lamul Muwaqi’in - Panduan Hukum Islam
Imam Al Baihaqi dalam Al Kubro 2/466, Abdurrazak 3/55, Sunan Ad Darimi 1/116 dan yang lainnya , dengan sanad Shahih menceritakan sebuah atsar dari Sa'id Al Musayyib -rahimahullah- " Sesungguhnya Dia (Sa'id) melihat seorang lelaki yang sholat setelah terbit fajar lebih dari dua rokaat dengan memperpanjang ruku dan sujudnya, maka Sa'id bin Al Musayyib pun melarangnya. Kemudian lelaki tadi pun berkata kepada beliau,'Wahai Abu Muhammad ( Sa'id), Apakah Alloh akan menyiksaku dengan sebab sholat ?', Sa'id pun menjawab,'Tidak, namun Alloh akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah."
Syaikh Al Albani -rahimahullah- dalam kitab beliau Irwaul Ghalil 2/236 mengomentari atsar ini dengan perkataan," Ini adalah jawaban yang sangat bagus dari Sa'id Al Musayyib -rahimahullah- dan merupakan senjata tajam atas ahlu bid'ah yang sering menganggap baik perbuatan bid'ah dengan label ibadah kemudian mereka mengingkari Ahlus Sunnah yang membantah perbuatan mereka dan menuduh Ahlus Sunnah telah mengingkarinya. Padahal Ahlus Sunnah hanyalah mengingkari perbuatan penyimpangan mereka yang menyelisihi sunnah dalam dzikir, sholat dan ibadah lainnya.".
Begitu banyak bid'ah dan penyimpangan yang dilakukan muslimin yang sangat jauh dari tuntunan agama yang disebabkan karena kebodohan dan hawa nafsu.
Selengkapnya: E-book: Al Itishom - Buku Induk Pembahasan Sunnah dan Bidah