Fiqh Muamalah#3
Video Kajian: KPMI Solo Raya Maaf, recording rusak.
BAB TENTANG: SYARAT-SYARAT DALAM JUAL BELI
Dalam jual beli, sering kali terjadi pengajuan syarat-syarat transaksi. Terkadang, penjual dan pembeli atau salah satu keduanya mengajukan satu syarat atau lebih. Hal inilah yang mendorong pentingnya dilakukan kajian seputar syarat-syarat tersebut sekaligus dijelaskan mana syarat yang sah dan mengikat dan mana yang tidak sah.
Para fuqaha’ mendefinisikan ‘syarat dalam jual beli’ sebagai suatu bentuk permohonan yang mengharuskan salah satu pihak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi pihak lainnya yang memohon sebagai akibat dari transaksi. Menurut mereka, syarat dalam jual beli tidak dianggap berlaku kecuali bila disebutkan di tengah transaksi. Karenanya, syarat yang disebutkan sebelum atau setelah transaksi tidaklah sah hukumnya.
Selengkapnya: Mulakhas Fiqhi#3 | Syarat-syarat dalam Jual Beli
Fiqh Muamalah#2
Video Kajian: KPMI Solo Raya Untuk Muroja'ah Pertemuan#1: Transaksi Jual beli dan Syarat-syaratnya
BAB TENTANG: JUAL BELI YANG TERLARANG
Jual beli adalah sesuatu yang diperbolehkan Allah ﷻ atas hamba-Nya selama tidak mengakibatkan terlewatkannya hal-hal yang lebih bermanfaat dan lebih penting. Seperti menyibukkan seseorang dari ibadah wajib, atau menimbulkan kemudharatan atas orang lain.
Maka dari itu, jual beli yang dilakukan setelah adzan kedua pada hari Jum'at oleh orang yang terkena kewajiban shalat Jum'at hukum-nya tidak sah. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إذَا نُودِىَ لِلصَّلَوةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاأسْعَوْاْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَّ ذَالِكُمْ خَيّرٌ لَّكُم إِن كُنُتُمْ تَعْلَمُونَ
"Wahai orang-orang beriman, bila kalian diseru untuk shalat pada hari Jum'at, maka bergegaslah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui." (QS. Al Jumu'ah: 9)
Adapun alasan di balik larangan Allah ﷻ tersebut ialah agar jangan sampai perniagaan melalaikan seseorang dari menghadiri shalat Jum'at. Padahal perniagaan itu adalah sarana terpenting bagi penghidupan manusia sehingga Allah ﷻ pun mengkhususkannya (dalam ayat ini). Tentunya, larangan ini berkonsekuensi pada keharaman dan tidak sahnya jual beli tersebut.
Selengkapnya: Mulakhas Fiqhi#2: Kitab Jual Beli | Jual Beli yang Terlarang
Fiqh Muamalah#1
Video Kajian: KPMI Solo Raya
Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan hingga masih dipertemukan dalam majelis ilmu.
Sebagai pembuka Ustadz, mengawali dengan menjelaskan pentingnya mempelajari kaidah-kaidah dasar dalam ilmu fiqh seperti yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dahulu. Dengannya, mereka mampu menganalisa masalah-masalah fiqh kontemporer, dan ini hanya bisa dilakukan dengan cara mengikuti para ulama.
BAB TENTANG: HUKUM JUAL BELI
Dalam al-Qur’an dan Sunnah, Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan hukum-hukum dalam bermuamalah mengingat besarnya hajat manusia terhadap hal itu. Manusia memerlukan makanan yang membuat tubuhnya menjadi kuat, juga pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan primer maupun sekunder dalam kehidupan, (dan itu hanya bisa diperoleh lewat jual-beli).
Sebab itulah jual beli diperbolehkan dalam al-Qur’an, Sunnah, ijima’ dan qiyas. Allah ﷻ berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ
“Allah telah menghalalkan jual beli…” (QS. Al-Baqarah: 275).
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ
“Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian” . (QS. Al Baqarah: 198)
Selengkapnya: Mulakhas Fiqhi#1: Kitab Jual Beli | Transaksi dan Syarat-syaratnya
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Peran Pengusaha Kaya dalam Dakwah
Alhamdulillah atas nikmat yang Allah ﷻ berikan kepada kita setelah melaksanakan shalat maghrib dilanjutkan dengan menuntut ilmu. Tidaklah lahir keimanan kecuali dari ilmu dan tidaklah seluruh amal kebaikan dimulai dari ilmu.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, "Ilmu itu tidak dapat ditandingi oleh amal apa pun bagi orang yang benar niatnya.” Ada yang bertanya, “Bagaimana niat yang benar itu?” Beliau menjawab, "Seorang meniatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.”
Kebodohan adalah penyakit dan Sesungguhnya obat bagi kebodohan adalah bertanya. “Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui (hukumnya), sesungguhnya tiada lain obat penyakit bodoh adalah bertanya.” [HR. Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu dan Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkan sanadnya dalam Shahih Abu Dawud 336].
Termasuk ilmu adalah dasar dalam pengelolaan harta ada di tangan kita. Banyaknya harta tanpa ilmu, akan mendatangkan musibah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلاَّ مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا ، فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak (harta) adalah orang-orang yang menyedikitkan (kebaikannya) pada hari Kiamat, kecuali orang yang diberi harta oleh Allâh, lalu dia memberi kepada orang yang di sebelah kanannya, kirinya, depannya, dan belakangnya; dan dia berbuat kebaikan pada hartanya [HR. al-Bukhâri, no. 6443; Muslim, no. 94].
Harta dalam islam disebut Al-khoir, karena bisa melahirkan kebaikan di tangan orang yang baik. Dan ilmu memberitahukan, bahwa harta semakin banyak di dunia, maka kebaikan di akhirat sedikit, karena harta merenggut waktu, pikiran dan tenaga. Agar, harta minimal tetap atau bertambah, hingga semuanya mengakibatkan lalai dari mengingat Allah ﷻ. Hingga sedikitlah amalnya dan bertambah beban hisabnya di akhirat.
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dengan ‘memperbanyak’ adalah dengan harta, dan ‘menyedikitkan’ adalah dengan pahala akhirat. Ini (terjadi) pada diri orang yang memperbanyak harta, akan tetapi dia tidak memenuhi sifat dengan yang ditunjukkan oleh pengecualian setelahnya, yaitu berinfaq”. [Fathul Bari 18/261].
Allah ta'aala berfirman dalam Surat Al-Qari’ah Ayat 6-9:
فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُ.ۥ فَهُوَ فِى عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ. وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَٰزِينُهُۥ. فَأُمُّهُۥ هَاوِيَةٌ
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
Akan tetapi, jika harta dikelola oleh orang yang berilmu, maka ia akan banyak mendatangkan kebaikan.