Sedekah semuanya baik, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung niat, kondisi orang yang bersedekah dan kepentingan proyek atau sasaran sedekah. Di antara sedekah yang utama menurut Islam adalah sbb:
1. Sedekah Sirriyyah
Sedekah sirriyyah adalah sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedekah ini sangat utama karena lebih mendekati ikhlas dan selamat dari sifat riya’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Perlu diketahui, bahwa yang utama untuk disembunyikan adalah pada sedekah kepada fakir dan miskin. Hal ini, karena ada banyak jenis sedekah yang mau tidak mau harus ditampakkan, seperti membangun masjid, membangun sekolah, jembatan, membuat sumur, membekali pasukan jihad dan sebagainya.
Di antara hikmah menyembunyikan sedekah kepada fakir miskin adalah untuk menutupi aib saudara kita yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah dan bahwa dia orang yang tidak punya. Hal ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam berbuat ihsan kepada fakir-miskin. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji sedekah sirriyyah, memuji pelakunya dan memberitahukan bahwa dia termasuk tujuh golongan yang dinaungi Allah Subhanahu wa Ta’ala nanti pada hari kiamat.
Gharib Jamal, salah satu peletak batu pertama bank Islam dalam makalahnya Al-Masharif wa Buyut At-Tamwil (hal. 45) menerangkan bahwa bank Islam adalah setiap lembaga yang bergerak di bidang perbankan yang berkomitmen menjauhi sistem pembungaan ribawi.
Dr. Abdullah As-Sa'idi menyebutkan definisi yang lebih detail: "Lembaga perbankan berorientasi bisnis yang dibangun di atas syariat Islam." (Ar-Riba, 2/1021)
Menilik definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bank-bank syariah memiliki ruang gerak yang cukup luas:
a. Sistem bagi hasil (profit sharing)
Di dalamnya terdapat masalah musyarakah (partnership, project financing participation), mudharabah (trust financing, trust investment), muzara'ah (harvest yield profit sharing), dan musaqah (plantation management fee based an certain portion of yield).
b. Sistem jual beli (sale and purchase)
Di dalamnya terdapat masalah
Berikut hal-hal yang berkaitan dengan muamalah terhadap orang kafir yang diperbolehkan menurut syariat:
1. Jual-Beli
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Secara hukum asal tidak diharamkan bagi manusia untuk melakukan semua muamalah yang dibutuhkannya, kecuali jika ada keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengharamkannya. Seperti halnya ibadah, tidak disyariatkan bagi siapa pun untuk melakukannya dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah 'azzawajalla, melainkan jika ada keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena agama adalah apa yang disyariatkan oleh Allah 'azzawajalla dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah 'azzawajalla.” (as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 155)
Berangkat dari kaidah ini, bermuamalah dengan orang-orang kafir dalam jual-beli dan hadiah, tidak termasuk dalam kategori muwalah. Artinya, boleh melakukan transaksi jual-beli dengan mereka.
Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam “Bab Jual-Beli dengan Orang-Orang Musyrik dan Musuh” di kitab Shahih-nya (4/410 no. 2216) dari Abdurrahman bin Abi Bakr Radhiyallohu'anhu, ia berkata, “Ketika kami tengah bersama dengan Nabi sholallohu'alaihi wasallam, datanglah seorang laki-laki musyrik yang rambutnya panjang dan tidak rapi sambil menuntun seekor kambing. Nabi sholallohu'alaihi wasallam bertanya kepadanya, ‘Apakah ini untuk dijual atau hadiah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, ini hanya untuk dijual.’ Lalu Nabi sholallohu'alaihi wasallam membeli kambing itu darinya.”Ibnu Baththal rahimahullah mengemukakan, “Bermuamalah dengan orang kafir boleh-boleh saja, selain menjual sesuatu yang dapat membantu orang-orang kafir/musuh untuk memudaratkan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 4/410)
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.