بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
📚┃ Materi : Kitab Bulughul Maram
📚┃ Syarah : Minhatul 'Allam fi Syarhi Bulughul Maram
🎙┃ Pemateri : Ustadz Deka Mujahidin, S.P.di Hafizhahullah (Pengajar Mabais Jajar Solo)
🗓┃ Hari/Tanggal : Kamis, 25 September 2025 M / 3 Rabi’ul Akhir 1447 H
🕌┃Tempat : Masjid Al-Qomar Purwosari Solo
🕌┃Daftar Isi:
Pertemuan #1: Kitab Thaharah - Bab Air
كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ - بَابُ اَلْمِيَاهِ
Secara etimologi thaharah berarti bersih dari kotoran-kotoran yang bersifat hissi (inderawi) atau maknawi (dipahami dengan akal).
Secara terminologi thaharah adalah terangkatnya hadats dengan air atau debu suci yang diperbolehkan dan hilangnya najis'. Yaitu hilangnya sifat (kotor) yang ada di badan.
Hadats adalah sifat atau status yang melekat pada diri seseorang, jelasnya, sifat yang menyebabkan seseorang itu tidak sah jika melakukan shalat selama status itu ada pada badannya.
Hadats ada 2 macam:
Hukum sifat ini adalah mencegah seseorang unfuk melaksanakan shalat dan sebagainya. Ungkapan yang digunakan dalam hadats adalah lrtifa' (terangkat) karena ia bersifat maknawi sedangkan untuk najis digunakan kata Izalah (merghilangkan) karena ia bersifat inderawi. Sementara istilah izalah tidak digunakan kecuali pada sesuatu yang bersifat inderawi.
*****
١- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- فِي اَلْبَحْرِ: – هُوَ اَلطَّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ,وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut, “Air laut itu suci dan menyucikan, bangkainya pun halal.”
(Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Abi Syaibah. Lafaz hadits menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah dan dianggap sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi’i, dan Ahmad juga meriwayatkannya). [HR. Abu Daud, no. 83; Tirmidzi, no. 69; An-Nasai, 1:50; Ibnu Majah, no. 386. Hadits ini sahih, perawinya terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:26-27].
Orang yang meriwayatkan hadis ini ialah Abu Hurairah (Radhiyallahu’anhu), nama ini sesuai dengan kebiasaan orang-orang Arab, menggunakan nama-nama binatang agar sesuai sifatnya. Nama aslinya adalah 'Abdurrahman ibn Shakhr al-Yamani al-Dausi.
Beliau masuk Islam pada saat perang Khaibar tahun ke-7 Hijriah dan meriwayatkan dari lebih 800 orang sebanyak 5,374 hadis dan termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist dan ahli dalam berfatwa. Beliau sangat mulia dan tawadhu'. Dan termasuk Ahlu Suffah.
Beliau meninggal dunia pada tahun 59 Hijriah dengan usia 78 tahun dan dikebumikan di Madinah.
“Hadits ini adalah jawaban Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk sahabat yang bertanya.
Sebagaimana dalam kitab Al-Muwattho: Bahwasannya Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: “Datang seseorang”. Dalam Musnad Ahmad: “(Orang itu) dari Bani Mudlij”. Dalam riwayat Ath-Thobarani namanya “Abdullah”.
(Ia datang) kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa naik kapal di laut dan kami hanya membawa sedikit air, maka apabila kami berwudhu dengan air itu, kami akan kehausan, bolehkah kami berwudhu dengannya?
Dalam lafaz Abu Daud: (Bolehkah kami berwudhu) dengan air laut?
Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Suci airnya, halal bangkainya.” [Subulus Salaam, 1/20]
*****
٢ - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلىالله عليه وسلم – – إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ – أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan, tak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” (Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai sahih oleh Ahmad).
[HR. Abu Daud, no. 66; Tirmidzi, no. 66; An-Nasai, 1:174; Ahmad, 17:190. Hadits ini sahih karena memiliki penguat atau syawahid. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:29].
Abu Sa’id nama lengkapnya adalah Sa’id bin Malik bin Sinan Al Khazraji Al Anshari. Al Khudri dinisbatkan kepada Khudrah dari Khadzraj, salah satu suku Anshar sebagaimana dalam Al Qamus.
Beliau ikut peperangan bersama Nabi ﷺ(Ghozwah) 12 kali: yang pertama perang Handak, yang saat itu beliau masih kecil.
Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama para shahabat yang menyaksikan Baiat Asy Syajarah. Meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa dalam beberapa waktu.”
Banyak meriwayatkan haditsnya. Sekelompok shahabat meriwayatkan hadits darinya. Ia memiliki 84 hadits dalam Ash-Shahihain.
Abu Sa’id meninggal pada awal tahun 74 H dalam usia 86 tahun. Di makamkan di Baqi.
Hadits tersebut memiliki sebab, yaitu ketika
«قِيلَ لِرَسُولِ لِلَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهِ الْحَيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ: الْمَاءُ طَهُورٌ»
Rasulullah ﷺ ditanya, “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur Budha’ah, yaitu sumur tempat membuang kain-kain bekas haidh, bangkai, anjing dan barang-barang busuk? Maka beliau menjawab, “Air itu suci”.
Demikian yang terdapat dalam sunan Abu Daud dan dalam satu lafazh padanya:
[إنَّ الْمَاءَ]
Sesungguhnya air itu...
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis.
Hadits ini termasuk Jawamiul Kalimat, yaitu ungkapan yang pendek namun penuh dengan makna, karena Nabi ﷺ langsung menjelaskan pada intinya sebagaimana asalnya laut sungai, sumur dan air hujan. Inilah asal kondisi air sampai benar-benar datangnya najis.
Sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Furqan Ayat 48:
وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ ٱلرِّيَٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۚ وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً طَهُورًا
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih,
*****
٣. وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليهوسلم – – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
3. Dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat mengubah bau, rasa, atau warnanya.”
(Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim). [HR. Ibnu Majah, no. 521; Ad-Daruquthni, 1:28; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 8:123. Hadits ini dhaif. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:32].
وَلِلْبَيْهَقِيِّ: ٤ – اَلْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ;بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ –
4. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, “Air itu suci dan menyucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya, atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya.” [HR. Al-Baihaqi, 1:259. Ia mengatakan bahwa hadits ini tidaklah kuat].
Abu Umamah, namanya As-Shudai. Al Bahili dinisbatkan kepada Bahilah. Nama ayahnya Ajlan. Abu Umamah pernah tinggal di Mesir kemudian pindah dan tinggal di Himah lalu meninggal di sana pada tahun 81 H, pendapat lain tahun 86 H. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Syam. Termasuk shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah ﷺ.
Asal dari hadits Abu Umamah ini shahih, Ia mendha’ifkan hadits tersebut karena berasal dari riwayat Rasyid bin Sa’d. Ibnu Yunus berkata, “Dia adalah orang shalih dalam agamanya, lalu ditimpa kelalaian orang-orang shalih, maka ia rancu dalam haditsnya dan ia matruk.”
Ibnu Al Mundzir berkata, “para ulama telah sepakat bahwa air sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh ke dalamnya lalu mengubah rasa atau warna atau baunya maka air itu najis, maka ijma adalah dalil atas najisnya air yang berubah salah satu sifatnya bukan karena tambahan ini.
*****
٥. وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّىعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: – إِذَا كَانَ اَلْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ. وَابْنُ حِبَّانَ
5. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika banyaknya air telah mencapai dua qullah (kulah) maka ia tidak mungkin mengandung najis.” Dalam suatu lafaz hadits, “(Jika air telah mencapai dua kulah), tidaklah najis.” (Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban).
[HR. Abu Daud, no. 63; Tirmidzi, no. 67; An-Nasai, 1:75:46; Ibnu Majah, no. 517. Hadits ini adalah hadits yang sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:36].
Abdullah bin Umar adalah putra Ibnu al Khaththab. Ia masuk Islam sejak kecil di Makkah. Perang yang pertama diikutinya adalah perang Khandak. Setelah meninggalnya Nabi ﷺ, beliau masih mencapai umur 60 tahunan.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya, dan ia termasuk perbendaharaan ilmu. Berhati-hati dalam berfatwa, dan tegas. Meninggal dunia di Makkah pada tahun 73 H dan dimakamkan di Dzawi Thuwa pada pemakaman kaum Muhajirin.
Air dua qullah adalah air seukuran 500 L. Kalau Syafi'i sekitar 200-300 liter. Gambarannya air tersebut bervolume, 1 m x 1 m x 20 cm.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
Melanjutkan pembahasan mengenai beberapa prinsip dalam bermuamalah:
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Dalam hadits tersebut terdapat dua maslahat yang diperintahkan untuk dicari yaitu maslahat dunia dan maslahat akhirat. Maslahat dunia dengan pekerjaan yang halal, maslahat akhirat dengan takwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan alasan kenapa dua hal itu digabungkan. Beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat dalam hadits “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki.” Nikmat dan kelezatan akhirat bisa diraih dengan ketakwaan pada Allah. Ketenangan hati dan badan serta tidak rakus dan serakah pada dunia, dan tidak ada rasa capek dalam mengejar dunia, itu bisa diraih jika seseorang memperbagus dalam mencari rezeki.
Oleh karenanya, siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan mendapatkan kelezatan dan kenikmatan akhirat. Siapa yang menempuh jalan yang baik dalam mencari rezeki (ijmal fii tholab), maka akan lepas dari rasa penat dalam mengejar dunia. Hanyalah Allah yang memberikan pertolongan.” (Lihat Al Fawaid, hal. 96).
Selengkapnya: Al-Wajiz | Kitab Al-Buyu' (Jual Beli) | Beberapa Prinsip Dalam Bermuamalah - 2
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab:Khulashatul Kalam 'alaa Umdatul Ahkam
Karya: Syaikh Abdullah Alu Bassam Rahimahullah
Hari/Tanggal: Selasa, 23 Rabi’ul Awal 1447 / 16 September 2025
Bersama Ustadz Mohammad Alif, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 - Staff Pengajar Ma'had Imam Bukhari Solo
Tempat: Masjid Al-Ikhlash Jl. Adi Sucipto - Kerten Solo
📗 Hadist:Kitab Taysiiril Alam 'alaa Umdatil Ahkam (Ringkasan berikut diambil dari كتاب تيسير العلام شرح عمدة الأحكام).
Daftar Isi:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: «من كلِّ الليل أَوْتَرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أول الليل، وأوسطه، وآخره، وانتهى وِتْرُهُ إلى السَّحَرِ».
[صحيح] - [متفق عليه]
“Dari A'isyah Radhiyallahu’anha berkata: "Setiap malam Rasulullah ﷺ shalat witir kadang di awal malam, ditengahnya dan di akhirnya. Witir Beliau berakhir sampai waktu sahur". - [Hadis sahih] - [Muttafaq 'alaih]
Waktu shalat witir adalah sesudah shalat laya dan asherakhir sampai terbitnya fajar. Karena itu Nabi ﷺ (kadang) shalat witir di awal malam, ditengah malam dan diakhirnya. Tetapi jika dilakukan pada akhir malam maka lebih utama. Pada waktu sahur Beliau tetap melakukan witir, untuk menutup shalat Malamnya.
Selengkapnya: Khulasatul Kalam: Shalat Witir dan Dzikir setelah Shalat
بسم الله الرحمن الرحيم
📚 Kajian Kitab Fiqh Manhaji Ala Imam Syafi'i - Download Jilid 1
🎙┃ Ustadz Muhammad Idrus, SE حفظه الله تعالى
🗓┃Ahad, 7 September 2025 / 14 Rabi'ul Awal 1447 H
🕰┃ Ba'da Shalat Subuh
🕌┃ Masjid Al-Ikhlash Safira Residence Kartasura
Telah berlalu pembahasan mengenai pembagian bejana-bejana
Bejana ialah tempat yang diletakkan di dalamnya cairan atau semisalnyanya. Terdapat beberapa pembahasan yang berkaitan dengannya:
3. Menggunakan bejana yang dibuat dari bahan mahal
Boleh menggunakan bejana-bejana yang dibuat daripada bahan- bahan yang bernilai seperti al-mas (sejenis batu bernilai, sangat keras dan berkilau), permata lu'lu', mutiara dan lainnya. Ini karena ketiadaan nash yang melarangnya dan hukumnya adalah boleh selagi tidak ada dalil yang menunjukkan pengharamannya.
اْلأَصْلُ فِي الأَشِّيَاء الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدَل الدَلِيْل عَلَى التَّحْرِيْم
❝Asalnya segala sesuatunya boleh (mubah), sampai ada dalil yang melarangnya.❞
بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
📚┃ Materi : Kitab Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
🎙┃ Pemateri : Ustadz Hamzah Al-Fajri, S.Pd Hafizhahullah (Pengajar Ilmu Syar'i Pondok Pesantren Imam Bukhori)
🗓┃ Hari, Tanggal : Ahad , 24 Agustus 2025 M / 1 Rabi’ul Awal 1447 H
🕌┃ Tempat : Masjid Al-Ikhlas - Adi Sucipto Jajar Solo.
📖┃Daftar Isi:
Kitab Al-Buyu' (Jual Beli)
Kata buyu' adalah bentuk jama' dari bai' artinya Jual-Beli. Sering dipakai dalam bentuk jama' karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya.
Bai' (البيع) secara istilah ialah pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira' (الشراء) “pembelian” ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual). Dan seringkali masing-masing dari kedua kata tersebut diartikan jual-beli.
Allah ﷻ berfirman :
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah ayat 275).
Firman-Nya lagi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا.
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah". - (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).
Kaum Muslimin sepakat atas bolehnya melakukan perniagaan, dan kebijakan memang mengharuskan adanya aktifitas jual beli ini, karena kebutuhan manusia sehari-hari pada umumnya bergantung pada apa yang ada di tangan kawannya, sedangkan kawan tersebut terkadang tidak memberikannya dengan cuma-cuma kepada rekannya. Maka di dalam pensyariatan jual beli terdapat sarana yang sah untuk menggapai tujuan dengan cara yang sah tanpa, menzhalimi orang lain. (Lihat Fathul Bari IV: 287)