بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
📚┃ Materi : Kitab Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
🎙┃ Pemateri : Ustadz Hamzah Al-Fajri, S.Pd Hafizhahullah (Pengajar Ilmu Syar'i Pondok Pesantren Imam Bukhori)
🗓┃ Hari, Tanggal : Ahad , 24 Agustus 2025 M / 1 Rabi’ul Awal 1447 H
🕌┃ Tempat : Masjid Al-Ikhlas - Adi Sucipto Jajar Solo.
📖┃Daftar Isi:
Kitab Al-Buyu' (Jual Beli)
Kata buyu' adalah bentuk jama' dari bai' artinya Jual-Beli. Sering dipakai dalam bentuk jama' karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya.
Bai' (البيع) secara istilah ialah pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira' (الشراء) “pembelian” ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual). Dan seringkali masing-masing dari kedua kata tersebut diartikan jual-beli.
Allah ﷻ berfirman :
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah ayat 275).
Firman-Nya lagi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا.
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah". - (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).
Kaum Muslimin sepakat atas bolehnya melakukan perniagaan, dan kebijakan memang mengharuskan adanya aktifitas jual beli ini, karena kebutuhan manusia sehari-hari pada umumnya bergantung pada apa yang ada di tangan kawannya, sedangkan kawan tersebut terkadang tidak memberikannya dengan cuma-cuma kepada rekannya. Maka di dalam pensyariatan jual beli terdapat sarana yang sah untuk menggapai tujuan dengan cara yang sah tanpa, menzhalimi orang lain. (Lihat Fathul Bari IV: 287)
Sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat-riwayat di bawah ini:
Dari Al Miqdam, dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)
عن الزبير بن العَوَّام رضي الله عنه مرفوعاً: «لأَن يأخذ أحدكم أُحبُلَهُ ثم يأتي الجبل، فيأتي بِحُزْمَة من حطب على ظهره فيبيعها، فَيَكُفَّ الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس، أعْطَوه أو مَنَعُوه».
[صحيح] - [رواه البخاري]
Dari Az-Zubair bin Al-'Awwām -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, lalu ia pergi ke gunung, kemudian ia kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, sehingga dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya. Itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberinya ataupun tidak." - [Hadis sahih] - [Diriwayatkan oleh Bukhari
Hadits ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang utama adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri, maka menjadi petani lebih baik dari pedagang, dan menjadi pedagang lebih baik dari pada menjadi pegawai, dengan catatan tingkat ketawakalan semuanya sama karena pada akhirnya barometer kebaikan pekerjaan seseorang adalah tingkatan ketawakalannya.
Beberapa poin alasan petani adalah pekerjaan mulia:
Ustadz juga mengingatkan akan kehalalan penghasilan, antara lain hal yang tidak disadari adalah konsekuensi pada jam kerja yang sering dilalaikan.
لاَ بَأْسَ باِلْغِنىَ لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرَ مِنَ الْغِنَى وَطِيْبُ النَّفْسِ مِنَ النَّعِيْمِ
“Tidak mengapa dengan kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan bagi orang yang bertaqwa adalah lebih baik daripada kekayaan. Hati yang tentram adalah adalah termasuk dari kenikmatan.”
Hadits ini telah ditakhrij oleh Ibnu Majah (1241), Al-Hakim (2/3), Ahmad (5/272 dan 381) dari jalur Abdullah bin Sulaiman bin Abi Salamah bahwa dia mendengar Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Dalam hadits tersebut terdapat dua maslahat yang diperintahkan untuk dicari yaitu maslahat dunia dan maslahat akhirat. Maslahat dunia dengan pekerjaan yang halal, maslahat akhirat dengan takwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan alasan kenapa dua hal itu digabungkan. Beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat dalam hadits “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki.” Nikmat dan kelezatan akhirat bisa diraih dengan ketakwaan pada Allah. Ketenangan hati dan badan serta tidak rakus dan serakah pada dunia, dan tidak ada rasa capek dalam mengejar dunia, itu bisa diraih jika seseorang memperbagus dalam mencari rezeki.
Oleh karenanya, siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan mendapatkan kelezatan dan kenikmatan akhirat. Siapa yang menempuh jalan yang baik dalam mencari rezeki (ijmal fii tholab), maka akan lepas dari rasa penat dalam mengejar dunia. Hanyalah Allah yang memberikan pertolongan.” (Lihat Al Fawaid, hal. 96).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab:Khulashatul Kalam 'alaa Umdatul Ahkam
Karya: Syaikh Abdullah Alu Bassam Rahimahullah
Hari/Tanggal: Selasa, 25 Safar 1446 / 19 Agustus 2025
Bersama Ustadz Mohammad Alif, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 - Staff Pengajar Ma'had Imam Bukhari Solo
Tempat: Masjid Al-Ikhlash Jl. Adi Sucipto - Kerten Solo
📗 Hadist:Kitab Taysiiril Alam 'alaa Umdatil Ahkam (Ringkasan berikut diambil dari كتاب تيسير العلام شرح عمدة الأحكام).
بَابُ الدّعاء بعد التشهد الأخير
Bab: Do'a Sesudah Tasyahud Akhir
📖 Hadits ke-1/118: Do'a Berlindung dari Siksa Kubur, Fitnah Kehidupan, Kematian dan Dajjal
عَنْ أبي هُريرة رضيَ الله عَنْهُ قال: كانَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَدْعُو: " اللَّهُمَّ إِنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّار وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمسِيحِ الدَّجَّالِ".
وفي لفظ لمسلم "إذَا تَشَهَّدَ أحَدُكمْ فَلْيَسْتَعِذْ بالله مِنْ أرْبَع، يقول: اللهُمَّ إِني أعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ثم ذكر نحوه.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: "Rasulullah ﷺ, selalu berdoa (pada tasyahud akhir -pent): "Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa api neraka, dari fitnah kehidupan, finah kematian dan dari fitnahnya Al Masih Ad Dajjal (penipu)".
Sementara dalam lafadz Muslim: "Apabila salah seorang dari. kalian duduk Tasyahud, hendaklah berlindung kepada Allah dari empat perkara, yaitu berdoa: "Ya Allah! Aku berlindung pada-Mu dari siksa Neraka Jahanam, dan seterusnya seperti di atas". (HR. Bukhari)
Doa ini sangatlah penting, karena memohon kepada Allah ﷻ agar dihindarkan dari kejahatan yang paling berbahaya dan sebab sebabnya. Nabi ﷺ secara khusus sangat mementingkannya.
Rasulullah ﷺ selalu berdoa dan memerintahkan umatnya untuk berdoa dengannya. Beliau ﷺ menjadikan tempat doa ini di akhir shalat-shalat. (yang ada) karena merupakan tempat dikabulkannya do'a.
بسم الله الرحمن الرحيم
📚┃Materi : Dosa Meninggalkan Shalat
🎙┃Pemateri : Ustadz Deka Mujahidin, S.Pdi حفظه الله تعالى
▪Alumnus STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
▪Dosen aktif di MABAIS Surakarta
▪Pengajar Ilmu Syar'i Pondok Pesantren Khulafaurrosyidin Cemani
🗓┃Hari : Jum'at, 14 Shafar 1447 / 8 Agustus 2025
🕰┃Waktu : Ba'da Maghrib - Isya'
🕌┃Tempat : Masjid Al-Qomar Purwosari
Dosa Meninggalkan Shalat
(Penjelasan dari Kitab Al-Kabair - Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah)
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Abbas berkata. "Makna menyia-nyiakan shalat bukanlah meninggalkannya sama sekali. Terapi mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya."
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (16/75). dan As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mantsur (4/498) menambahkan penisbatan perkataan ini kepada Abd Bin Humaid.
Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur'an (penafsir Al-Qur'an), maka beliau paling disegani dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Imam para tabi’in, Sa’id bin Musayyib berkata, “Maksudnya adalah orang itu tidak mengerjakan shalat Zhuhur sehingga datang waktu Ashar. Tidak mengerjakan shalat Ashar sehingga datang Maghrib. Tidak shalat Maghrib sampai datang ‘Isya’. Tidak shalat ‘Isya’ sampai fajar menjelang. Tidak shalat Shubuh sampai matahari terbit. Barangsiapa mati dalam keadaan terus-menerus melakukan hal ini dan tidak bertaubat, Allah menjanjikan baginya ‘Ghayy’, yaitu lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam dasarnya lagi sangat tidak enak rasanya.”
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab: Khulashatul Kalam alaa Umdatul Ahkam
Karya: Syaikh Abdullah Alu Bassam Rahimahullah
Hari/Tanggal: Selasa, 11 Safar 1446 / 5 Agustus 2025
Bersama Ustadz Mohammad Alif, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 - Staff Pengajar Ma'had Imam Bukhari Solo
Tempat: Masjid Al-Ikhlash Jl. Adi Sucipto - Kerten Solo
٢٤. بَاب ما جَاء في الثوم والبصل ونحوهما
Bab-24: Tentang Makan Bawang Putih, Bawang Merah dan Semisalnya
Hadits ke-1/114: Pemakan Bawang Dilarang di Masjid.
الحديث الأول:
١١٤. عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الله رَضىَ الله عَنْهُمَا عَنْ النَّبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلمَ قالَ:
"مَنْ أكَل ثُوماً أوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلنا - أوْ ليعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا- ليْقْعُدْ في بَيتهِ".
وَأُتي بقِدْرٍ فيه خَضِراتٌ من بُقُولٍ فَوَجَدَ لها ريحاً، فسأل، فَأُخْبِرَ بِمَاَ فِيهَا من البُقُولِ، فَقَال: " قرِّبُوهَا " إِلى بَعْض أصحَابِهِ. كان معه- فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أكلهَا قال: "كُل فإنّي أنَاجي من لا تُنَاجى ".
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, hendaklah meninggalkan kami (atau hendaklah dia meninggalkan masjid kami) dan tinggallah di rumahnya".
Didatangkan kepada Rasulullah ﷺ satu bejana (yang biasa dibuat masak) di dalamnya terdapat Sayur-sayuran dari Kubis, kemudian Rasulullah ﷺ mendapati bau dan bertanya. (Salah seorang shahabat) memberitahu apa yang ada dalam bejana adalah Kubis maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada sebagian shahabatnya: "Dekatkan itu"! Setelah Rasulullah melihatnya, Beliau ﷺ tidak suka memakannya dan bersabda: "Makanlah! Sesungguhnya aku akan bermunajat yang tidak sama dengan munajatnya orang lain”. (Hal ini merupakan kekhususan Beliau ﷺ -pent).
بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
📚┃ Materi : Kitab Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
🎙┃ Pemateri : Ustadz Hamzah Al-Fajri, S.Pd Hafizhahullah (Pengajar Ilmu Syar'i Pondok Pesantren Imam Bukhori)
🗓┃ Hari, Tanggal : Ahad , 3 Agustus 2025 M / 9 Safar 1447 H
🕌┃ Tempat : Masjid Al-Ikhlas - Adi Sucipto Jajar Solo.
Kitab Nikah - Bab Khulu' dan Iddah
Menurut bahasa, kata khulu' berasal dari khala' ats tsauba idzaa azaalahu yang artinya melepaskan pakaian, karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah ﷻ berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ
Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka. (QS. al-Baqarah: 187).
Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu' adalah seorang menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya.
Dan khulu' disebut juga fidyah atau iftida' (tebusan) (Fiqhus Sunnah II:53 Manarus Sabil Il: 226 dan Fathul Bari IX: 395).