كشف الشبهات
لشيخ الإسلام محمد بن عبدالوهاب رحمه الله
Jawaban yang Bersifat Umum dan yang Bersifat Rinci
Saya akan menuturkan kepada anda beberapa hal [1] yang sudah disebut oleh Allah dalam kitab-Nya sebagai jawaban terhadap suatu ucapan yang dipakai hujjah oleh orang-orang musyrik pada zaman kami (yang ditujukan) kepada kami. Maka, kami akan katakan: Jawaban untuk para pengikut kebatilan itu ada dua cara:
- Mujmal (secara global)
- Mufashshal (secara terperinci).
Jawaban secara mujmal itu merupakan sesuatu yang agung dan merupakan pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mau memikirkannya. Hal itu adalah firman Allah Subhanahu wata'ala:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan , maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari takwilnya” (Ali Imran:7).
Sebuah hadits shahih (dalam shahih Bukhari dan muslim) dari ‘Aisyah Radhiallahu‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى الله فَاحْذَرْهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah: (dengan sebutan “fi qulubihim zaigh”), maka waspadalah kalian terhadap mereka.”
Sebagai contoh atas hal itu, apabila sebagian orang-orang musyrik itu mengatakan kepada anda:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62).
Dan bahwa Syafaat itu sesuatu yang haq (benar), dan bahwa para nabi itu mempunyai kedudukan dan tempat di sisi Allah. Atau sebagaimana orang musyrik itu menyebut suatu ucapan dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam yang ia gunakan dalil bagi suatu hal dari kebatilannya, sementara anda tidak mengerti makna ucapan yang ia sebut itu, maka hendaklah anda jawab dengan ucapan:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala sudah menyebut bahwa orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka meninggalkan ayat-ayat muhkamat dan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. Dan apa yang saya tuturkan kepadamu, bahwa Allah telah menyebut bahwa orang-orang musyrik itu sama mengakui tauhid rububiyah dan bahwa kekufuran mereka adalah dengan sebab ketergantungan mereka kepada malaikat, para nabi dan para wali, padahal mereka sekedar mengucapkan:
هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” (Yunus:18).
Hal itu adalah merupakan sesuatu yang muhkam (baku, terang dan mudah difahami) lagi jelas, tidak seseorang pun kuasa untuk merubah maknanya. Dan apa yang kamu sebutkan kepada saya wahai orang musyrik, baik dari Al-Qur’an ataupun dari sabda Nabi Shallallahu'alaihi wasallam saya tidak tahu maknanya. Akan tetapi, saya yakin, bahwa kalam Allah tidak ada yang saling bertentangan. Dan sabda Nabi Shallallahu'alaihi wasallam sama sekali tidak bertentangan dengan kalam Allah. Itulah jawaban yang tepat."
Akan tetapi jawaban itu hanya akan difahami oleh orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wata'ala. Maka anda jangan menyepelekan hal itu. Sebab, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 35).
Adapun jawaban kedua yang mufashshal, ialah: bahwasanya musuh-musuh Allah itu mempunyai banyak dalil yang bersifat menentang untuk menghalangi manusia dari agama Allah.
Tiga Syubhat Terbesar
Tiga Syubhat Terbesar
Di antaranya adalah ucapan mereka: “Kami tidak menyekutukan Allah, bahkan kami bersaksi bahwa tiada yang menciptakan, yang memberi rezeki, yang memberi manfaat dan tidak ada yang memberi madharat kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kami bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam itu tidak berkuasa menarik manfa’at bagi dirinya dan tidak pula menolak kemudharatan, apalagi syaikh Abdul Qadir atau lainnya. Akan tetapi, saya orang yang berdosa, dan sementara orang-orang shalih itu mempunyai jaah (pangkat/kedudukan ) di sisi Allah. Maka saya memohon kepada Allah dengan perantara mereka [2],"
Untuk itu anda harus jawab dengan jawaban yang sudah lewat (di atas), yaitu, bahwasanya orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mereka mengakui apa yang kamu sebutkan itu, mereka juga mengakui, bahwasanya berhala-berhala mereka tidak dapat mengatur urusan apapun, hanya saja mereka ingin dirinya kedudukan dan syafa’at (pertolongan), dan bacakan kepadanya dalil-dalil yang sudah disebutkan terdahulu oleh Allah dalam kitab-Nya [3] serta sudah diperjelas oleh Nya.
Jika dia mengatakan: “ayat-ayat itu kan turun untuk menerangkan tentang orang- orang yang menyembah berhala-berhala, bagaimana kalian menyamakan orang- orang shalih itu dengan berhala?"
Perkataan itu hendaklah anda jawab dengan apa yang sudah tertera di atas. Sebab, jika dia mengakui, bahwa orang-orang kafir itu bersaksi, bahwa seluruh Rububiyyah itu untuk Allah semata, dan mereka tidak menginginkan dari makhluk atau benda yang mereka tuju dalam pemujaan mereka itu selain syafa’at, hanya saja dia ingin sekedar membedakan antara perbuatan mereka dan perbuatannya dengan apa yang sudah ia tuturkan itu. Maka, katakan kepadanya bahwa di antara orang-orang kafir itu, ada yang berdo’a kepada orang-orang shalih dan berhala-berhala. Ada juga yang berdo’a kepada para wali, yang mana Allah Subhanahu wata'ala telah katakan tentang mereka:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb (Pemelihara) mereka. Siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). (Al Isra’: 57).
Mereka berdo’a kepada Nabi 'Isa bin Maryam dan ibunya, padahal Allah Subhanahu wata'ala sudah berfirman:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Al-Masih (Isa) putera maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan Makanan. Perhatikan bagaimana kita menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan (dari memperhatikan ayat-ayat itu).” (Al Maidah: 75).
Dan bacakan kepadanya firman Allah Ta’ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلائِكَةِ أَهَؤُلاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “apakah mereka ini dahulu menyembah kamu? “Malaikat-malaikat itu menjawab: maha suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin (syetan), kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba’: 40-41).
Dan juga firman Allah Ta’ala:
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ
“Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” menjawab (Isa):“Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya)”. (Al Maidah:116).
Lalu katakan padanya: “kamu kini sudah tahu, bahwa Allah telah mengkafirkan orang yang menujukan pemujaannya kepada berhala-berhala. Dan Allah telah mengkafirkan orang yang menujukan pemujaannya kepada orang-orang shalih, dan orang-orang yang semacam itu telah diperangi oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam“.
Jika dia mengatakan: “Orang-orang kafirlah yang menginginkan dari orang-orang shalih itu, sedangkan saya bersaksi, bahwasanya Allah-lah yang memberi manfa’at, Yang memberi madharat, yang mengatur segala urusan. Saya tidak bermaksud kecuali Dia, sedangkan orang-orang shalih itu tidak memiliki kekuasaan apapun. Hanya saja saya bermaksud kepada mereka untuk mengharap dari Allah syafa’at mereka bagiku”.
Sebagai jawaban ucapan itu adalah: Bahwasanya ucapan seperti itu adalah sama persis dengan ucapan orang-orang kafir. Lantas bacakan kepadanya firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-sekatnya.” (Az Zumar: 3).
Dan firman Allah Ta’ala:
هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (Yunus:18).
Ketahuilah (wahai saudaraku seiman) bahwasanya ketiga syubhat (hujjah batil yang mereka anggap benar) itu [4] adalah syubhat yang paling besar yang ada pada mereka, untuk itu jika anda sudah ketahui, bahwasanya Allah sudah menjelaskan tiga hal itu di dalam kitab-Nya, dan anda pun sudah memahaminya dengan pemahaman yang baik, maka berbagai syubhat selain itu akan terasa lebih mudah dibanding tiga syubhat di atas.
Doa Kepada Orang-Orang Shalih
Doa Kepada Orang-Orang Shalih
Kemudian apabila dia mengatakan:“Saya tidak menyembah kecuali kepada Allah, sedangkan berlindung kepada orang-orang shalih dan berdo’a kepada mereka semacam ini bukanlah ibadah”.
Maka, katakan kepadanya: “Bukankah kamu mengakui, bahwasanya Allah telah mewajibkan kepadamu pemurnian ibadah hanya untuk-Nya, dan itu merupakan hak Dia atas kamu?" Jika dia menjawab: "Ya", maka katakan padanya: “Coba terangkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan kepadamu, yaitu: keikhlasan, kemurnian beribadah hanya untuk Allah semata, dan itu merupakan hak Allah atas kamu.”
Sesungguhnya dia tidak akan tahu apa itu ibadah dan apa macam-macamnya. Untuk itu terangkanlah hal itu kepadanya dengan ucapan anda:
Allah subahanahu wa ta’ala telah befirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Al A’raaf: 55).
Lalu jika anda sudah memberi tahukan hal itu kepadanya, maka katakan kepadanya: “Apakah kamu tahu, bahwa berdo’a itu merupakan ibadah kepada Allah?" Maka pasti dia akan mengatakan: "Ya, do’a itu puncak ibadah".
Lantas katakan kepadanya: “Kalau kamu sudah mengakui, bahwa do’a itu adalah ibadah kepada Allah, dan kamu sendiri sudah berdo’a kepada Allah sepanjang malam dan siang hari dengan rasa takut dan harap, kemudian kamu berdo’a untuk keperluan tertentu kepada seorang Nabi atau yang lainnya; apakah bukan berarti kamu telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu Allah dalam beribadah kepada- Nya?" Maka, pasti dia akan menjawab: "Ya."
Lalu katakan kepadanya lagi: “Apabila kamu sudah mengamalkan firman Allah, di saat Dia berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (Al Kautsar: 2).
Dan kamu sudah taat kepada Allah serta sudah pula menyembelih kurban untuk Dia; apakah hal ini (bukan) merupakan ibadah?" Pasti ia akan menjawab: "Ya."
Lantas katakan kepadanya: “Jika kamu menyembelih kurban demi untuk seseorang makhluk, baik itu seorang nabi atau jin ataupun yang lainnya, bukankah kamu sudah menjadikan selain Allah sekutu bagi-Nya dalam beribadah kepada-Nya?" Dia pasti akan mengakui dan mengatakan: "Ya."
Dan katakan kepadanya lagi: “Orang-orang musyrik -yang mana Al-Qur’an telah turun menjelaskan tentang keadaan mereka-, apakah mereka dulu senantiasa menyembah malaikat, Orang-orang shalih, Al Latta dan yang lainya?" Sudah pasti dia akan mengatakan: "Ya."
Maka katakan kepadanya: “Bukankah ibadah mereka kepada malaikat, orang-orang shalih dan yang lain-lain itu hanya dalam bentuk do’a, penyembelihan kurban, berlindung kepada mereka di saat ada kebutuhan dan yang semacamnya? Jika tidak seperti itu lalu apa? Mereka mengakui, bahwasanya mereka adalah hamba-hamba Allah dan di bawah kekuasaannya, dan bahwasanya Allah lah yang mengatur segala urusan, namun mereka berdo’a kepada malaikat, orang-orang shalih dan berlindung kepada mereka karena mereka yakin bahwa yang mereka puja itu memiliki jaah (kedudukan tinggi) dan syafa’at, hal ini jelas sekali."
Syafaat Hanya Milik Allah Ta'ala
Syafaat Hanya Milik Allah Ta'ala
Kalau dia mengatakan: “Apakah engkau mengingkari syafa’at Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berlepas diri dari padanya?"
Maka jawablah: “Saya sama sekali tidak mengingkari syafa’at itu, juga tidak berlepas diri darinya, bahkan saya meyakini, bahwa beliau Shalallahu'alaihi wasallam adalah Asysyaafi’ (yang memberi syafa’at) dan Musyaffa’ (mendapatkan hak memberi syafa’at dari Allah) dan saya benar-benar mengharap syafa’at beliau itu.
Akan tetapi, bagaimanapun juga semua syafa’at itu kepunyaan Allah semata, sebagaimana yang difirmankan-Nya:
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
Katakanlah:“Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semua.” (Az Zumar: 44).
Dan tidak akan ada syafa’at itu kecuali sesudah mendapatkan izin dari Allah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ
“Siapa yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Al Baqarah: 255).
Dan Nabi Shalallahu‘alaihi wasallam tidak akan dapat memberi syafa’at terhadap seseorang kecuali sesudah Allah mengizinkan untuk memberi syafa’at kepada orang itu, sebagaimana Allah Ta'ala telah berfirman:
وَلا يَشْفَعُونَ إِلا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiyaa’: 28).
Sedangkan Allah sendiri hanya ridha kepada tauhid. Seperti yang difirmankan-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya.” (Ali ‘Imran: 85).
Jadi, jika syafa’at itu semuanya kepunyaan Allah dan tidak akan ada kecuali sesudah mendapatkan izin Allah, sedang Nabi Shalallahu‘alaihi wasallam sendiri dan yang lainnya tidak dapat memberi syafa’at terhadap seseorang sebelum Allah mengizinkannya untuk memberi syafa’at kepada seseorang itu, serta syafa’at itu hanya diizinkan untuk ahli tauhid, maka dari sini menjadi jelas dan teranglah bagi anda, bahwasanya syafa’at itu semuanya kepunyaan Allah, dan saya akan memohon syafa’at itu dari Dia. Untuk itu saya berdo’a:
اللهم لا تحرمني شفاعته، اللهم شفعه في
“Ya Allah, janganlah engkau jadikan aku orang yang tak mendapatkan bagian dari syafa’at Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Ya Allah, berilah beliau hak memberi syafa’at untukku,”
Dan do’a-do’a yang sejenisnya"
Syafaat Rasulullah Shalallahu‘alaihi wasallam
Syafaat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
Apabila dia mengatakan: “Nabi Shalallahu‘alaihi wasallam telah diberi hak memberi syafa’at, lalu saya memohon kepada beliau Shallallahu‘alaihi wasallam sebagian apa yang telah Allah berikan kepada beliau."
Maka jawabannya sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah telah memberi beliau Shallallahu‘alaihi wasallam hak memberi syafa’at, tetapi Dia melarang kamu berdo’a memohon kepada Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam. Untuk itu Allah berfirman:
فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Maka janganlah kamu berdo’a kepada seseorang disamping (berdoa kepada) Allah.” (Al Jin:18).
Dan juga, bahwasanya syafa’at itu juga diberikan kepada selain Nabi Shallahu‘alaihi wasallam, maka benar, bahwasanya para malaikat akan memberi syafa’at. Begitu juga para wali itu akan memberi syafa’at. Lalu, apakah kamu mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi kepada mereka (yang disebut di atas) itu hak memberi syafa’at, dan saya memohon syafa’at itu dari mereka?" Jjika kamu memang mengatakan (mengakui) begitu, maka berarti kamu telah kembali kepada penyembahan kepada orang shalih yang sudah nyatakan Allah dalam kitab-Nya, akan tetapi jika kamu mengatakan: Tidak, (tidak mengatakan seperti ucapan di atas), maka menjadi batallah ucapanmu terdahulu: “Allah telah memberi kepada beliau Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam hak memberi syafa’at, lalu saya memohon kepada beliau sebagian apa yang sudah Allah berikan padanya.”
Berdo'a Kepada Orang Shalih
Berdoa Kepada Orang Shalih
Lalu, kalau dia mengatakan sama sekali tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah. Dan sekali-kali tidak, akan tetapi, berlindung (iltija’) kepada orang- orang shalih bukanlah perbuatan syirik.
Maka katakan kepada dia, ”Jika kamu sudah mengakui, bahwasanya Allah telah mengharamkan syirik, itu melebihi dari pada mengharamkan zina, dan kamu mengakui pula, bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, maka masalah apa yang diharamkan Allah dan Dia sebut bahwasanya Dia tidak akan mengampuninya itu?"
Pasti dia tidak akan tahu. Maka, katakan lagi kepadanya: “Lantas bagaimana kamu membebaskan dirimu dari melakukan syirik, sementara kamu sendiri tidak mengetahui syirik itu. Atau bagaimana Allah mengharamkan syirik itu atas kamu dan Dia menyebut bahwasanya Dia tidak akan mengampuni dosa syirik itu, sementara kamu tidak menanyakan apa itu syirik dan tidak mengetahuinya. Apakah kamu mengira, bahwa Allah mengharamkan syirik, tapi tidak menerangkannya kepada kita?"
Salah Paham Definisi Syirik
Salah Paham Definisi Syirik
Apabila dia mengatakan, ”Syirik itu menyembah berhala-berhala.”
Maka jawablah: “Apa makna menyembah berhala-berhala itu? apakah kamu mengira, bahwasanya orang-orang musyrik itu beri’tikad/ berkeyakinan, bahwa kayu- kayu yang mereka sembah dan pohon-pohon itu yang menciptakan, dan yang memberi rezeki dan yang mengatur urusan orang yang berdo’a kepadanya? pendapatmu itu tidak dibenarkan oleh Al Qur’an, sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala :
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. (Yunus :31)."
Jika dia mengatakan: “Orang-orang yang menujukan pemujaan kepada kayu atau suatu batu atau bangunan di atas sebuah kuburan atau yang lainnya seraya berdo’a kepada benda-benda itu dan menyembelih kurban demi untuknya: Bahwasanya benda-benda itu dapat mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan dapat menolak bala’ dari kami dengan barokahnya.”
Maka katakan, “Anda telah jujur menjawab, dan hal itulah yang kamu kerjakan di sisi batu-batu, bangunan-bangunan yang ada di atas kuburan dan yang lainnya”. Si penentang itu mengakui bahwa perbuatan orang-orang semacam itu, sama saja dengan menyembah berhala.
Perlu juga dikatakan kepadanya lagi: ucapanmu, “Syirik itu menyembah kepada berhala“ Apakah yang kamu maksud, bahwa syirik itu khusus kepada penyembahan berhala saja, sedangkan bergantung kepada orang-orang shalih serta berdo’a kepada mereka tidak termasuk syirik? Padahal hal ini dibantah oleh ayat yang disebutkan Allah dalam kitabnya tentang kekufuran orang yang selalu bergantung kepada para malaikat, Nabi ‘Isa dan orang-orang shalih. Maka wajib kamu akui, bahwasanya orang yang mempersekutukan seseorang dari orang-orang shalih dalam beribadah kepada Allah, bentuk syirik yang semacam itu adalah bentuk syirik yang tercantum dalam Al-Qur’an."
Dan memang inilah kesimpulan pembahasan yang dicari. Rahasia masalah ini adalah jika dia mengatakan: “Saya tidak syirik (mempersekutukan) Allah”.
Maka tanyakan kepadanya: “Apakah sebenarnya arti syirik kepada Allah itu, coba jelaskan arti syirik itu kepadaku?"
Jika dia mengatakan, “Syirik itu adalah menyembah berhala-berhala."
Maka katakan: “Lalu apa makna menyembah berhala itu, coba jelaskan kepadaku? Jika dia mengatakan: “Saya hanya menyembah Allah semata”.
Maka katakan: “Apakah makna menyembah Allah semata itu? Coba jelaskan kepadaku!
Jika dia menjelaskan kalimat itu dengan apa yang sudah dijelaskan Al-Qur’an, maka jawaban itulah yang diharapkan .
Akan tetapi dia tidak mengetahui hal itu. Dan jika dia menafsirkan hal itu tidak sesuai dengan makna sebenarnya, maka hendaknya anda jelaskan kepadanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang syirik kepada Allah dan makna menyembah berhala- berhala. Atau jelaskan kepadanya bahwa hal itulah yang dilakukan oleh sebagian orang pada zaman ini. Dan jelaskan pula, bahwa menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, itulah yang membuat mereka menentang kami dan berteriak sebagaimana kawan-kawan mereka (para jahiliyyah) telah berteriak, sambil mengatakan:
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan”. (Shaad: 5).
Apabila anda sudah tahu bahwa hal yang dinamakan oleh orang-orang musyrik pada zaman ini dengan “Al I’tiqaad,” adalah merupakan “syirik” yang dimaksud dalam Al- Qur’an dan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam memerangi manusia lantaran syirik itu, maka ketahuilah, bahwasanya bentuk syirik orang-orang dahulu itu lebih ringan dari bentuk syirik orang-orang zaman ini, hal ini karena dua hal :
Yang pertama:
Bahwasanya orang-orang dahulu tidak melakukan kesyirikan, tidak menyembah dan berdo’a kepada malaikat, para wali dan berhala-berhala disamping menyembah dan berdoa kepada Allah kecuali dalam keadaan senang. Sedangkan di waktu susah mereka mentuluskan ibadah dan do’a mereka kepada Allah Ta'ala. Seperti firman Allah:
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan adalah manusia itu selalu tidak berterima kasih”. (Al Israa’ :67).
Dan firman Allah:
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ
Katakanlah: “Bagimana pendapat kalian jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Tidak) bahkan hanya Dialah yang kalian seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang kamu berdo’a kepadanya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sesembahan-sesembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)”. (Al An’aam: 40-41).
Dan Allah berfirman:
وَإِذَا مَسَّ الإنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon pertolongan kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Dia memberikan nikmat- Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu- sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu, sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (Az Zumar: 8).
Dan firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (Luqman: 32).
Maka, barang siapa yang paham masalah yang sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab-Nya ini, yaitu: bahwasanya orang-orang musyrik yang diperangi Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam itu mereka berdo’a (menyeru kepada) Allah dan berdo’a pula kepada selain Allah dalam keadaan senang, sedangkan di waktu ditimpa bahaya dan susah, mereka hanya berdo’a kepada Allah semata, tiada sekutu baginya, dan mereka tinggalkan para penghuni kubur yang selalu mereka seru “Ya sayyidi, ya sayyidi", dengan demikian semakin teranglah baginya perbedaan antara bentuk syirik orang-orang zaman kita dan bentuk syirik orang-orang dahulu.
Namun mana orang yang hatinya paham masalah ini dengan pemahaman yang dalam? Hanya Allahlah tempat memohon pertolongan (untuk menuju ibadah yang sebenarnya kepada-Nya).
Yang kedua:
Bahwasanya orang-orang dahulu itu, disamping menyembah Allah, mereka berdo’a kepada orang yang sangat dekat di sisi Allah, baik itu para nabi atau para wali ataupun malaikat. Dan juga mereka menyembah (berdo’a) kepada pepohonan dan batu-batu yang semua itu tunduk dan taat kepada Allah, tidak maksiat kepada-Nya. Sedangkan orang-orang zaman kita, disamping menyembah Allah mereka berdo’a kepada orang-orang yang tergolong manusia paling fasiq, dan orang-orang yang mereka seru itu justru orang-orang yang mereka sebut-sebut sendiri banyak melakukan kejelekan –kejelekan; mulai dari berzina, mencuri, meninggalkan shalat dan lain-lain.
Orang yang beri’tiqad terhadap orang shalih dan sesuatu yang tidak maksiat kepada Allah seperti kayu dan pohon, tentunya lebih ringan dari pada orang yang beri’tiqad terhadap orang yang ia sendiri melihat kefasikan dan kerusakannya, dan ia menyaksikan dengan jelas.
Apabila sudah jelas bagi anda, bahwasanya orang-orang yang pernah diperangi Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang paling ringan kesyirikannya dari orang-orang musyrik sekarang, maka hendaklah anda tahu, sesungguhnya mereka mempunyai syubhat yang mereka kemukakan sebagai jawaban terhadap apa yang sudah kami sebutkan, dan syubhat ini adalah syubhat yang terbesar. Makanya pusat pendengaran anda baik-baik terhadap jawaban dari syubhat itu.
Musyrikin Zaman Dahulu dengan Zaman Sekarang
Musyrikin Zaman Dahulu Dengan Zaman Sekarang
Syubhat itu adalah, bahwasanya mereka mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang Al-Qur’an telah turun tentang keadaan mereka, tidak pernah bersaksi, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan mereka mendustakan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, mengingkari hari kebangkitan, mendustakan Al-Qur’an dan menganggapnya sebagai sihir, sedangkan kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam adalah utusan Allah. Kami membenarkan Al Qur’an, beriman dengan adanya hari kebangkitan, melaksanakan shalat dan kami pun melaksanakan puasa, bagaimana kalian menyamakan kami seperti orang-orang musyrik dulu?"
Sebagai jawaban atas syubhat ini adalah: Bahwasanya tidak ada perbedaaan pendapat antara para ulama’, bahwa seseorang jika membenarkan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dalam satu hal, dan mendustakan beliau Shallallahu‘alaihi wasallam dalam hal yang lain, hukumnya adalah kafir, tidak masuk dalam Agama Islam, begitu pula, jika seseorang beriman dengan sebagian isi Al- Qur’an, tetapi mengingkari sebagian yang lain seperti misalnya: seorang mengakui tauhid, tetapi mengingkari kewajiban shalat, atau mengakui tauhid dan mengakui shalat, tetapi mengingkari zakat, ataupun dia mengakui semua itu (tauhid, shalat dan zakat) tetapi mengingkari puasa, atau dia mengakui semua itu, tetapi ia mengingkari haji, maka orang yang semacam itu hukumnya kafir. Dan ketika beberapa orang tidak menunaikan ibadah haji pada zaman Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam maka Allah langsung menurunkan wahyu tentang orang-orang itu:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali Imran: 97)
Dan barang siapa yang mengakui semua yang tersebut di atas itu, tetapi mengingkari hari kebangkitan, maka hukumnya kafir menurut ijma’ (kesepakatan para ulama’) dan darah serta harta bendanya menjadi halal. Sebagaimna firman Allah Subhanahu wata’ala:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا. أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan Rasul-rasul-Nya (beriman kepada Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya), dengan mengatakan: “kami beriman kepada sebahagian (dari rasu-rasul itu), dan kafir terhadap sebahagian (yang lain), “serta bermaksud (dengan perkataan itu) mangambil jalan antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan" (An Nisaa’:150-151).
Maka, Jika Allah sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya dalam kitab-Nya, bahwasanya barang siapa beriman kepada sebahagian dari rasul-rasul-Nya dan kafir terhadap sebahagian yang lain, hukumnya adalah kafir yang sebenar-benarnya; dengan demikian hilanglah syubhat tersebut. Dan hal ini yang dituturkan oleh sebagian penduduk Ahsaa’ (nama suatu daerah di wilayah timur saudi arabia, pent) dalam surat yang telah dikirimkan kepada kami [5]
Dikatakan pula: Apabila kamu sudah mengakui bahwasanya barang siapa yang sudah membenarkan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dalam segala urusan, tetapi mengingkari kewajiban shalat maka dia dihukumi kafir, halal darahnya menurut ijma’ (kesepakatan ulama’). Demikian juga, jika dia mengakui semua hal itu kecuali hari kebangkitan, ia mengingkarinya, maka ia dihukum kafir, halal darah dan hartanya. Begitu pula, jika dia mengingkari puasa ramadhan tetapi tidak mengingkari hari kebangkitan maka hukumnya pun kafir. Semua madzhab tidak berselisih dalam hal ini, dan Al-Qur’an pun telah menjelaskan tentang hal itu seperti yang telah kami kemukakan di atas. Maka dari sini, jelaslah bahwasanya “tauhid” itu termasuk fardhu (kewajiban) yang terbesar yang dibawa oleh Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam.
Tauhid lebih besar dari ibadah shalat, zakat, puasa dan haji, jika seseorang mengingkari Satu hal dari hal-hal itu dihukumi kafir, meskipun dia sudah mengamalkan semua syari’at Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, tepatkah orang yang mengingkari tauhid -yang mana tauhid itu merupakan agama seluruh rasul- rasul- tidak dihukumi kafir? Subhanallah (Maha Suci Allah) Alangkah anehnya kebodohan yang semacam ini.
Dikatakan pula: Mereka para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam telah memerangi bani Hanifah padahal mereka benar-benar sudah masuk Islam bersama Nabi Shalallahu‘alalaihi wasallam, mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dan mereka juga mengerjakan shalat dan azdan.
Maka jika dia mengatakan: “Sesungguhnya mereka berkata bahwasanya Musailamah (Al-Kadzdzab) adalah seorang nabi,"
Kami katakan: inilah jawaban yang dicari, yakni jika ada orang yang mengangkat seorang lelaki sederajat dengan Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam dihukum kafir, halal harta dan darahnya, dan dua ucapan syahadat dan shalat tidak bermanfaat baginya, bagaimana dengan orang yang mengangkat Syamsan atau Yusuf atau seorang sahabat ataupun seorang Nabi ke derajat yang Maha Menguasai langit dan bumi? Maha suci Allah, betapa agung urusan-Nya.
كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami”. (Ar Ruum: 59).
Dikatakan pula: Orang-orang yang dibakar oleh ‘Ali Bin Abi Thalib dengan api, mereka semua mengaku dirinya Islam, dan mereka sahabat-sahabat Ali Radhiallahu‘anhu serta belajar ilmu dari para sahabat, akan tetapi mereka beri’tiqad terhadap Ali, seperti I’tiqad orang terhadap Yusuf dan Syamsan dan orang yang semisal keduanya, maka, bagaimana bisa para sahabat itu sepakat untuk membunuh dan mengkafirkan mereka?
Apakah kalian menyangka, bahwasanya para sahabat itu mengkafirkan orang-orang muslim? Atau kalian menyangka bahwa beri’tiqad terhadap suatu taaj (mahkota) dan sejenisnya tidak mengganggu iman sedang beri’tiqad terhadap Ali bin Ali Thalib menjadi kafir?
Dikatakan juga: Bani ‘Ubaid Al-Qaddah yang menguasai negeri Maghrib dan Mesir pada zaman bani Al-Abbaas, mereka semua bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wasallam adalah utusan Allah. Mereka pun mengaku menganut Islam dan melaksanakan shalat Jum’at dan shalat berjamaah, akan tetapi tatkala mereka memperlihatkan perlawanan terhadap syariah dalam beberapa hal yang tidak sebesar apa yang mereka tentang pada zaman kita ini, para ulama’ pun sepakat untuk mengkafirkan mereka. Dan difatwakan bahwa negeri mereka adalah negeri “Dar Harb” yang harus diperangi. Lalu, kaum muslimin memerangi mereka sampai kaum muslimin dapat membebaskan negeri orang-orang Islam yang berada dalam cengkraman mereka.
Dikatakan juga: jika orang-orang dulu tidak kafir melainkan lantaran mereka hanya memadukan antara syirik dan mendustakan Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dan Al-Qur’an serta mengingkari hari kebangkitan dan yang lainnya. Maka apalah artinya bab yang di sebut oleh Para ulama’ seluruh madzhab: “bab hukum orang murtad”. Yaitu yang tak lain adalah orang muslim yang menjadi kafir sesudah dirinya Islam. Kemudian para ulama’ menyebutkan beberapa macam murtad. Setiap macam dari macam-macam murtad itu dihukumi kafir dan dijadikan darah dan harta bendanya itu halal. Sampai-sampai para ulama’ itu menyebutkan hal-hal yang gampang terjadi dan dilakukan orang. Seperti; seseorang yang menyebut sesuatu kalimat dengan lisannya, tanpa ada keyakinan dalam hatinya ataupun menyebut suatu kalimat dengan bercanda dan main-main.
Dan dikatakan pula: orang-orang yang Allah katakan tentang mereka:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu), Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah islam”. (At Taubah: 74).
Apakah kamu tidak mendengar, bahwasanya Allah telah mengkafirkan mereka hanya karena mereka mengucapkan satu kalimat? padahal semasa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam mereka berjihad bersama beliau Shallallahu‘alaihi wasallam. Mengerjakan shalat bersama beliau, berzakat, menunaikan ibadah haji dan mentauhidkan Allah.
Demikian pula, orang-orang yang Allah katakan tentang mereka:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (QS. At-Taubah: 65-66).
Allah Subahanahu wata’ala telah menerangkan dan menjelaskan dengan sejelas- jelasnya, bahwasanya mereka itu kafir sesudah beriman, padahal mereka ikut bersama Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam dalam perang Tabuk, mereka telah mengucapkan satu kalimat kekafiran, meski mereka katakan bahwa mereka mengucapkan kalimat itu atas dasar gurau belaka.
Ancaman Kufur
Ancaman Kufur
Oleh karenanya renungkan syubhat berikut ini, yaitu ucapan mereka: “Mengapa kalian mengkafirkan orang-orang Islam yang mereka bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, mereka mengerjakan shalat dan puasa?"
Kemudian renungkan jawaban syubhat itu, karena jawaban ini adalah termasuk paling bermanfaat di antara isi lebar-lembaran ini.
Dan termasuk dalil atas hal itu juga adalah apa yang sudah Allah ceritakan tentang Bani Israil dengan keislaman, keilmuan, dan keshalihan mereka, masih saja mereka mengatakan kepada nabi musa ‘alaihi sallam:
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ
“Buatlah untuk kami suatu tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai tuhan- tuhan (berhala).” (QS.Al A’raaf:138).
Dan ucapan beberapa sahabat:
اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ
“Buatlah untuk kami dzaatu anwaath (nama sebuah Pohon).”
Mendengar ucapan itu Rasulullah Shalallahu‘alaihi wasallam lalu bersumpah, bahwasanya ucapan itu serupa dengan ucapan Bani Israil “buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala).”
Tetapi, orang-orang musyrik mempunyai syubhat, yang mereka pakai sebagai hujjah dalam kisah Bani Israil itu. Syubhat itu adalah mereka mengatakan, bahwa Bani Israil itu tidak kafir, begitu pula beberapa sahabat yang telah mengatakan:
اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ
“Buatlah untuk kami pohon Dzaatu Anwaath,” mereka pun tidak kafir.
Sebagai jawabannya, hendaklah anda katakan:
“Sesungguhnya Bani Israil tidak melakukan itu, demikian pula orang-orang yang telah memohon kepada Nabi Shalallahu‘alaihi wasallam tidak juga melakukan itu. Tetapi jika melakukan itu yakni membuat tuhan berhala, jelas mereka akan kafir. Seperti juga tidak ada perbedaan pendapat antara ulama’ bahwa orang-orang yang dilarang Rasulullah Shalallahu‘alaihi wasallam itu andaikan tidak mentaati beliau Shalallahu‘alaihi wasallam dan mengambil Dzaatu Anwaath itu sesudah mereka dilarang, niscaya mereka pun menjadi kafir." Dengan demikian terjawablah.
Akan tetapi kisah ini memberi pelajaran:
(a) Bahwasanya seorang muslim, bahkan seorang ‘alim, terkadang dapat terperosok ke dalam macam syirik tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian kisah ini pun memberi pelajaran kepada kita agar belajar dan berhati-hati serta mengerti bahwa ucapan seorang bodoh, “kami sudah faham tauhid itu“, adalah kebodohan yang terbesar dan termasuk makar (tipu daya) syaithan yang terbesar,
(b) Kisah ini juga memberi pelajaran, bahwa seorang muslim jika mengucapkan perkataan kufur dan dia tidak tahu, lalu diingatkan atas perbuatannya itu, kemudian seketika itu juga bertaubat dari ucapan itu, maka ia tidak kafir, sebagaimana yang sudah dilakukan kaum Bani Israil dan sahabat yang meminta kepada nabi Shalallahu‘alaihi wasallam dalam kisah di atas,
(c) Dan kisah itu juga memberi pelajaran, bahwasanya jika dia tidak kafir maka dia harus ditegur dengan perkataan yang keras kepadanya, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu‘alaihim wasallam, kepada orang-orang lain dari sahabat itu.
Orang Musyrik yang Mengucapkan Laa Ilaha Illallah
Orang Musyrik yang Mengucapkan Laa Ilaha Illallah
Orang-orang musyrik mempunyai syubhat lain, mereka mengatakan bahwa nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyalahkan pembunuhan Usamah Radhiallahu‘anhuma terhadap orang yang sudah mengatakan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
dan beliau bersabda kepadanya:
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
"Mengapa engkau bunuh setelah ia mengucapkan: Laa Ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)?"
Begitu juga sabda beliau Shallallahu‘alaihi wasallam:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah)"
Dan hadits-hadits lain tentang menahan diri dari orang yang telah mengucapkan kalimat tauhid. Yang diinginkan orang-orang bodoh itu adalah, bahwasanya barang siapa yang sudah mengucapkan kalimat itu, maka tidak dikafirkan dan tidak dibunuh, meski ia telah berbuat apa saja, maka, harus dikatakan kepada orang- orang bodoh itu:
Sudah maklum, bahwasanya Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam telah memerangi orang-orang Yahudi dan menawan mereka padahal mereka mengatakan Laa Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Seperti juga sudah maklum, bahwa sahabat- sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam telah memerangi Bani Hanifah, padahal mereka bersaksi, bahwasanya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, mereka juga mengerjakan shalat dan mengaku dirinya Islam. Demikian pula halnya orang-orang yang dibakar oleh ‘Ali bin Abi Thalib dengan api, dan orang-orang bodoh itu mengakui, bahwa barang siapa yang mengingkari hari pembalasan, maka ia dihukum kafir dan boleh dibunuh, meskipun telah mengucapkan Laa Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah). dan barang siapa mengingkari sesuatu dari rukun-rukun Islam, ia juga kafir dan boleh dibunuh meskipun telah mengucapkan kalimat tauhid itu. Lalu, kalau orang yang mengingkari satu cabang agama, pengakuan Islamnya batal dan tak berguna, adakah berguna pengakuan keislaman orang yang mengingkari tauhid yang merupakan asas dan dasar agama para Rasul?
Namun, memang musuh-musuh Allah tidak faham makna hadits-hadits itu. Adapun hadits Usamah adalah bahwasanya ia telah membunuh seorang lelaki yang sudah mengaku dirinya Islam disebabkan karena Usamah menyangka, bahwa lelaki itu tidak mengaku Islam kecuali karena rasa takut atas darah dan hartanya. Jadi, jika seorang telah memperlihatkan keislamannya, maka wajib bagi muslim menahan diri, dan tidak tergesa-gesa membunuhnya sehingga diketahui dengan teliti pada dirinya apa-apa yang bertentangan dengan keislamannya itu. Tentang hal itu, Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka betabayunlah (telitilah).” (An Nisaa’: 94).
Tabayyun yakni tatsabbut, berhati-hati dalam bertindak, tidak ceroboh, ayat tersebut menunjukkan kewajiban menahan diri dan bertasabbut. Lantas, jika sudah terang (setelah diteliti) ada sesuatu yang berlawanan dengan Islam, maka boleh dibunuh, berdasarkan firman Allah -maka telitilah- kalau seandainya tidak boleh dibunuh jika ia mengucapkan kalimat tauhid, padahal telah terbukti, setelah diteliti bahwa ia menentang Islam, maka perintah “tatsabbut” tidak akan mempunyai arti.
Demikian pula hadits lain yang sejenisnya, maknanya adalah seperti yang sudah kami sebutkan, dan bahwasanya barang siapa yang telah menampakkan ketauhidan dan keislaman, maka wajib orang muslim menahan diri darinya, kecuali jika sudah terang darinya sesudah diteliti, hal-hal yang membatalkan ketauhidan dan keislamannya itu. Sebagai dalil atas hal itu adalah bahwasanya Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
“Mengapa kamu bunuh dia sesudah mengatakan Laa Ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)?”.
Dan beliau shallallahu‘alaihi wasallam juga yang bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah)"
Beliau Shallallahu‘alaihi wasallam pula yang bersabda tentang kaum khawarij:
أَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Dimana saja kamu sekalian bertemu mereka, maka bunuhlah. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka (khawarij) niscaya pasti akan aku bunuh mereka (seperti) terbunuhnya kaum ‘Aad.”
Padahal orang-orang khawarij itu termasuk orang-orang yang banyak beribadah, bertahlil dan bertasbih. Sampai-sampai para sahabat merasa rendah diri di hadapan orang-orang khawarij itu. Mereka telah belajar ilmu dari para sahabat, akan tetapi meski begitu, ucapan mereka Laa Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah) sama sekali tidak berguna bagi mereka.
Begitu juga ibadah mereka yang banyak dan pengakuan Islam mereka juga tidak berguna tatkala telah tampak dari mereka perlawanan terhadap syari’ah.
Demikian halnya apa yang sudah kami sebutkan tentang peperangan terhadap orang-orang Yahudi dan peperangan para sahabat terhadap bani Hanifah.
Begitu juga Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam ingin memerangi Bani Mushthaliq tatkala seorang lelaki dari mereka memberitahu beliau Shallallahu‘alaihi wasallam bahwasanya Bani Mushthaliq enggan membayar zakat, sehingga Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (Al Hujuraat: 6).
Dan benar, bahwa lelaki itu telah berbohong dalam memberitakan tentang mereka.
Semua ini menunjukkan bahwa maksud Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang mereka pakai sebagai hujjah itu adalah seperti apa yang kami sudah sebutkan di atas.
Istighatsah Kepada Selain Allah
Istighatsah Kepada Selain Allah
Dan orang-orang musyrik itu masih mempunyai syubhat lain. Yaitu apa yang pernah disebutkan oleh Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam bahwasanya manusia nanti di hari kiamat akan baristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam ‘Alaihissalam, kemudian kepada Nabi Nuh ‘Alaihissalam, kemudian kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, kemudian kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, kemudian kepada Nabi 'Isa ‘Alaihissalam, lalu semuanya tidak dapat melakukan sehingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Orang-orang musyrik itu mengatakan: “Hal itu menunjukkan, bahwasanya istighatsah kepada selain Allah itu tidak Syirik”.
Sebagai jawabannya, hendaklah kita katakan: Maha Suci Allah Yang Mengunci mati hati musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya istighatsah kepada makhluk dalam hal yang dia mampu kami tidak memungkirinya, sebagaimana firman Allah tentang kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam:
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (Al Qashash:15).
Dan sebagaimana seseorang meminta pertolongan kepada teman-temannya dalam peperangan atau hal lain yang makhluk mampu mengerjakannya. Kami hanya mengingkari istightsah Al-ibadah (istightsah yang bersifat penyembahan) yang mereka lakukan di sisi kuburan-kuburan para wali atau istightsah kepada wali itu di saat para wali itu di tempat yang jauh, bukan di hadapannya, dalam hal-hal yang tidak ada seorangpun mampu atas hal itu kecuali Allah Subhanahu wata'ala.
Jika ini telah tegas, maka istightsah mereka kepada para Nabi di hari kiamat seraya menginginkan dari nabi-nabi itu untuk berdo’a kepada Allah agar segera melakukan hisab kepada manusia sehingga penduduk syurga dapat beristirahat terlepas dari susah dan payahnya keadaan waktu itu.
Hal ini memang boleh di dunia dan di akhirat. Yaitu, misalnya; anda datang kepada seorang yang shalih yang masih hidup, dia duduk mendampingi anda dan mendengarkan perkataan anda, anda mengatakan kepadanya: “Berdo’alah kepada Allah untukku”, sebagaimana dahulu para sahabat Rasulullah memohon hal itu kepada beliau Shallallahu‘alaihi wasallam di saat beliau hidup.
Sedangkan sesudah beliau wafat, sekali-kali tidak dan sekali-kali tidak, dan tidaklah para sahabat itu memohon hal itu di sisi kuburan beliau Shallallahu‘alaihi wasallam.
Bahkan, ulama’ salaf mengingkari orang yang bermaksud berdo’a kepada Allah di sisi kuburan beliau Shallallahu‘alaihi wasallam, lebih-lebih berdo’a memohon kepada diri beliau Shallallahu‘alaihi wasallam?
Meminta Pertolongan Kepada Selain Allah
Meminta Pertolongan Kepada Selain Allah
Syubhat lain yang dimiliki orang-orang musyrik adalah kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam tatkala dilempar ke dalam api, Malaikat Jibril ‘Alaihissalam menghalanginya di udara. Lalu, Jibril bertanya kepada Ibrahim ‘Alaihissalam,
ألك حاجة؟
“Apakah kamu butuh sesuatu?" Maka Ibrahim ‘Alaihissalam menjawab,
أما إليك فلا
“Kepadamu saya sama sekali tidak butuh”. Lantas mereka (orang-orang musyrik) mengatakan: "Kalau istighatsah itu syirik tentu Jibril tidak akan menawarkan pertolongannya kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam."
Sebagai jawabannya ialah: Sesungguhnya hal ini termasuk jenis syubhat sebelumnya. Sebab, sesungguhnya malaikat Jibril ‘Alaihissalam telah menawarkan kepada Ibrahim ‘Alaihissalam untuk memberi pertolongan kepadanya dalam hal yang Jibril ‘Alaihissalam mampu melaksanakan hal itu. Karena sesungguhnya malaikat Jibril ‘Alaihissalam seperti yang difirmankan Allah tentang diri Jibril ‘Alaihissalam:
شَدِيدُ الْقُوَى
“Yang sangat kuat.” (An Najm: 5)
Maka, jika diizinkan untuk mengambil api dan apa yang ada di sekitar api itu lalu ia lemparkan ke ufuk timur atau barat niscaya akan ia kerjakan. Jika Allah memerintahkannya untuk meletakkan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam di tempat yang jauh dari mereka, niscaya ia dapat melakukannya. Dan jika Allah memerintahkannya untuk mengangkat Ibrahim ‘Alaihissalam ke langit, niscaya ia dapat melakukannya.
Hal ini tak beda seperti seorang lelaki kaya-raya sedang melihat orang yang membutuhkan. Lantas ia menawarkan kepadanya untuk menghutanginya dan memberinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi, orang yang membutuhkannya itu tidak mau meminjam dan bahkan ia terus bersabar sampai Allah mendatangkan kepadanya rezeki yang ia tidak merasa tertumpangi jasa orang lain.
Betapa jauhnya perbedaan antara hal ini dengan istighatsah al-ibadah dan syirik, jika mereka benar-benar orang-orang yang mengerti [6].
Penutup: Ajakan Untuk Bertaubat
Penutup: Ajakan Untuk Bertaubat
Baiklah, kami segera tutup pembicaraan ini dengan suatu masalah yang besar dan penting, yang dapat dipahami dari hal-hal yang terdahulu. Akan tetapi kami khususkan pembicarannya mengingat betapa besarnya masalah ini dan betapa banyaknya salah pengertian dalam masalah ini. Maka kami katakan:
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama’ bahwasanya tauhid itu wajib diwujudkan dengan hati, lisan dan amal perbuatan. Maka, jika hilang satu saja dari ketiga hal itu (hati, lisan dan amal) maka seorang belum dikatakan muslim. Lalu, jika seorang mengetahui tauhid, tetapi tidak melaksanakan tauhid itu, maka ia dihukum kafir Mu’aanid (orang kafir yang membangkang), seperti kekafiran fir’aun, Iblis dan yang serupa dengan keduanya.
Banyak dari manusia yang salah pengertian dalam masalah ini, mereka mengatakan: “Sesungguhnya hal ini haq (benar) dan kami memahaminya serta bersaksi, bahwasanya hal itu benar. Akan tetapi, kami tidak Mampu untuk melaksanakannya. Dan tidak dibolehkan penduduk negeri kami, kecuali orang yang sepaham dengan mereka”. Atau berbagai alasan yang lain.
Si bodoh yang miskin pengertian ini tidak tahu, bahwa sebagian besar pemuka- pemuka kafir mereka mengetahui kebenaran itu dan mereka tidak meninggalkannya dengan berbagai alasan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala:
اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا
“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (At Taubah: 9).
Dan ayat-ayat yang lain. Seperti firman Allah Subhanahu wata’ala::
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (Al Baqarah:146).
Jika seorang melaksanakan tauhid dengan perbuatan yang tampak mata, sedangkan dia tidak memahami tauhid itu dan tidak meyakininya dengan hatinya, maka dia adalah munafiq. Dan orang munafiq lebih jelek dari orang kafir.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkat yang paling bawah dari neraka.” (An Nisaa’: 145).
Ini masalah yang panjang, akan jelas bagi anda jika anda telah merenungkannya melalui apa yang keluar dari lisan-lisan manusia. Anda akan lihat orang yang mengetahui al haq (kebenaran) tetapi tidak mau melaksanakan kebenaran itu karena rasa takut kekurangan dunia atau karena pangkat di bidang agama atau dunia ataupun karena basa-basi menyesuaikan diri dengan orang. Dan anda juga akan melihat orang yang mengamalkan secara zhahir, sedang batinnya menolak. Akan tetapi wajib bagi anda untuk memahami dua ayat dari kitab Allah ini.
Ayat yang pertama adalah firman Allah ta’ala:
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah minta ma’af (beralasan), karena kamu kafir sesudah beriman.” (At Taubah: 66).
Jika telah jelas bagi anda, bahwasanya sebagian para sahabat yang telah memerangi bangsa Romawi bersama Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam itu kafir hanya karena mereka mengucapkan suatu kalimat (perkataan) atas dasar main- main dan canda, maka teranglah bagi anda, bahwasanya orang yang mengucapkan dirinya kafir karena rasa takut kekurangan harta atau karena demi pangkat ataupun karena berbasa-basi menyesuaikan diri dengan orang, adalah lebih besar kesesatannya dari orang yang mengucapkan suatu kalimat kekafiran dengan maksud bercanda.
Ayat yang kedua adalah firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ. ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesunguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.” (An Nahl:106-107).
Maka, Allah tidak menerima uzur mereka kecuali orang yang dipaksa kafir disertai keberadaan hati yang tetap tenang dalam keimanan. Adapun selain itu, maka ia benar-benar telah kafir sesudah beriman, baik ia mengerjakan itu karena rasa takut atau sekedar berpura-pura untuk menyesuaikan diri dengan orang, atau karena rasa bakhil dengan negerinya atau keluarganya atau kerabat-kerabatnya ataupun harta bendanya. Ataupun ia melakukan tindakan kekafiran itu atas dasar canda atau karena atas tujuan-tujuan lain, kecuali orang yang dipaksa kafir.
Oleh karenanya, ayat di atas menunjukkan hal itu dari dua segi;
Yang pertama: firman Allah Ta’ala:
إِلا مَنْ أُكْرِهَ
“kecuali orang yang dipaksa kafir” Disini Allah hanya mengecualikan orang yang dipaksa kafir, dan sudah maklum, bahwasanya orang tidak dipaksa kecuali supaya mengucap atau berbuat, sedangkan keyakinan (I’tikad) hati, tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk meyakininya.
Yang kedua: firman Allah Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat.”(QS.An Nahl: 107).
Maka, Allah telah menerangkan ayat itu dengan jelas, bahwasanya kekafiran dan siksa tidaklah disebabkan I’tikad, kebodohan dan kebencian kepada agama, serta cinta kepada kekafiran melainkan sebabnya adalah karena mereka mendapat keuntungan-keuntungan dunia, lalu hal itu ia utamakan melebihi agama
والله سبحانه وتعالى أعلم وأعز وأكرم، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
تمت والحمد لله رب العالمين
____________
Footnotes:
[1] Penulis Rahimahullah ingin menerangkan keadaan–keadaan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh para Rasul-Nya yang senantiasa menghadang pada jalan kepada pengetahuan tentang agama Allah serta menghalangi manusia dari jalan itu.
[2] Yakni dengan menjadikan orang-orang shalih itu sebagai washithah (perantara) antara dia dengan Allah Yang Maha Dekat lagi memperkenankan do’a hamba- hamba-Nya, hal ini yang ada pada para penyembah orang-orang mati, perbuatan itu kufur berdasarkan kesepakatan para ulama.
[3] Yakni ayat-ayat yang menunjukkan atas kekufuran orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah baik itu orang-orang mati, batu dan lain-lain dengan penyembelihan- penyembelihan dan nadzar.
[4] Syubhat pertama: ucapan mereka: “kami tidak menyekutukan Allah”, kedua: ucapan mereka: “bahwa ayat-ayat itu turun tentang hal orang yang menyembah berhala,” dan syubhat yang ketiga: Ucapan mereka: “orang-orang kafir itulah yang menginginkan dari mereka (orang-orang yang shalih)…. Dst (lihat diatas).
[5] Dahulu daerah Ahsa’ pada zaman syaikh, terdapat banyak Ulama-ulama’ dari berbagai madzhab, sebagian dari ulama itu keras kepala menentang dan sebagian yang lain diberi hidayah oleh Allah, lalu mengikuti kebenaran dan petunjuk karena taufiq Allah.
[6] Orang yang telah mati tidak akan mendengar do’a orang yang berdo’a kepada mereka dan tidak pula mendengar Istighatsah orang yang beristighatsah kepada mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
إِنْ تَدْعُوهُمْ لا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu” (Al-Fatir: 14).
Maka para penyembah orang mati senantiasa dalam kesesatan, selagi mereka tetap berdo’a kepada orang-orang mati itu, karena ibadah mereka berlawanan dengann nash Al-Qur’an.
Kajian Pembahasan Kitab Ini ada di link berikut...
Atau lihat di sini:
Kajian Kitab Kasyfu Syubuhat bersama Uztadz Muhammad Luqman Baabduh Hafidzahullah: