Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Saya telah menelaah apa yang disebarkan oleh Fadhilah Al-Akh Syaikh Ahmad bin Muhammad Jamal –semoga Allah menujukannya kepada yang diridhai-Nya. Yaitu yang dimuat di sebagian Koran lokal, tentang penilaiannya yang menganggap aneh pelarangan takbir jama’i di masjid-masjid sebelum shalat Ied, dengan anggapan bahwa amalan ini merupakan bid’ah yang wajib dilarang. Syaikh Ahmad dalam makalahnya tersebut berusaha untuk memberikan dalil, bahwa takbir jama’i bukan bid’ah dan tidak boleh dilarang. Dan pandangannya ini di dukung oleh sebagian penulis lain.Karena khawatir persoalan ini menjadi kabur bagi orang yang tidak mengetahui hakikat masalahnya, maka saya ingin menjelaskannya. Bahwasanya hukum asal takbir pada malam Ied, sebelum shalat Iedul Fithri, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan pada hari-hari tasyriq merupakan amalan yang di syariatkan pada waktu-waktu yang utama ini. Pada amalan tersebut terdapat keutamaan yang banyak, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang takbir Iedul Fithri.
“Artinya : Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu dan agar kamu bersyukur” [Al-Baqarah : 185]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan pada hari-hari tasyriq.
“Artinya : Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang dimaklumkan (ditentukan) atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” [Al-Hajj : 28]
(Fatawa: Majalah As-Sunnah Edisi 05 Tahun XIII)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al Utsaimîn rahimahullâh pernah ditanya:
Tentang orang yang mengerjakan ibadah puasa namun meninggalkan shalat, apa nasihat Syaikh buat mereka ?
Beliau menjawab :
Saya menasihatkan kepada orang-orang ini agar merenungi diri sendiri sejenak. Hendaklah mereka menyadari bahwa shalat termasuk rukun Islam yang terpenting setelah dua kalimat syahadat. Orang yang meninggalkan shalat karena menganggap remeh, maka menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) yang didukung dengan dalil dari al-Qur’ân dan Sunnah dan perkataan para Sahabat, orang itu telah kafir, keluar dari agama Islam. Jadi masalah ini bukan masalah sepele.
Dan orang kafir, keluar dari agama Islam tidak akan diterima puasanya, shadaqah atau amalan-amalan lainnya, berdasarkan firman Allâh Ta'ala :
Selengkapnya: MENGKOMERSILKAN JARINGAN INTERNET UNTUK BERDAKWAH..?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ditanya tentang menyolati seorang mayit yang dahulunya (semasa hidupnya) tidak melakukan shalat. Apakah dengan itu seseorang mendapatkan pahala atau tidak? Apakah seseorang berdosa bila meninggalkannya, sementara dia tahu bahwa dahulu si mayit tidak shalat? Demikian pula mayit yang dahulunya meminum khamr dan tidak shalat, bolehkah bagi yang mengetahui keadaannya untuk menyolatinya?
Jawab:
Seseorang yang menampakkan keislaman maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan muslimin, dan yang semacamnya.
Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyolatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyolati orang-orang munafik. Firman-Nya:
وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
"Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (At-Taubah: 84)
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ
"Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka." (Al-Munafiqun: 6)
Adapun yang menampakkan kefasikan bersamaan dengan adanya iman pada dirinya, seperti para pelaku dosa besar, maka sebagian muslimin tetap diharuskan menyolati (jenazah) mereka. Tapi (bila) seseorang tidak menyolatinya dalam rangka memperingatkan orang-orang yang semacamnya dari perbuatan seperti itu, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyolati seseorang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, serta yang mati meninggalkan hutang dan tidak memiliki (sesuatu) untuk membayarnya, juga sebagaimana dahulu banyak dari kalangan salaf (pendahulu) berhalangan untuk menyolati ahli bid'ah, maka pengamalannya terhadap sunnah ini bagus.
Dahulu putra Jundub bin Abdillah Al-Bajali berkata kepada ayahnya: "Aku semalam tidak dapat tidur karena kekenyangan." Jundub radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Seandainya kamu mati maka aku tidak mau menyolatimu." Seolah Jundub mengatakan: "Kamu bunuh dirimu dengan kebanyakan makan."
Yang semacam ini sejenis dengan pemboikotan terhadap orang-orang yang menampakkan dosa besar agar mereka mau bertaubat. Bila perlakuan semacam ini membuahkan maslahat yang besar maka sikap itu baik.
Pertanyaan: Apakah memelihara jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya berdosa atau hanya merusak Dien (agama)? Apakah mencukurnya hanya boleh bila disertai dengan memelihara kumis?
Jawaban: Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalalohu'alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim di dalam shahih keduanya, dari hadits Ibnu Umar Radhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda:
"Selisihilah orang-orang musyrik; potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh lebat-pent.) (Al-Bukhari 5892, 5893, dan Muslim 259).
Di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda: '
"Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang, selisihilah orang-orang Majusi." ( HR. Muslim 260).
Imam an-Nasa`i di dalam sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari Zaid bin ArqamRadhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami." (An-Nasa`i 13, 5047 dan at-Tirmidzi 2761 dan ia berkata: Hasan Shahih.)
Al-Allamah besar dan al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, (Dalam kitabnya: al-Muhalla (2/220) dengan kata semisalnya.) 'Para ulama telah bersepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardhu (wajib).'
Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong kumis dan memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.
Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma' oleh Ibnu Hazm diketahui jawaban terhadap ketiga pertanyaan di atas, ulasan ringkasnya; bahwa memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan, sebab Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam memerintahkan demikian, sementara perintahnya mengandung makna wajib, sebagaimana firman Allah Subhanahuwata'aala :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;. (QS. al-Hasyr:7)
Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya, akan tetapi memotong habis lebih utama, sedangkan memperbanyak atau membiarkannya begitu saja, maka hukumnya tidak boleh karena bertentangan dengan sabda Nabi shalalohu'alaihi wasallam: قصوا الشوارب ('Potonglah kumis.)'(Ahmad 2/229 dengan isnad yang hasan, ath-Thabrani dalam al-Ausath 9426 dan al-Kabir11335, 11724) أَحْفُوا الشَّوَارِبَ ('Potonglah kumis sampai habis.') جُزُّوا الشَّوَارِبَ '(Potonglah kumis.)' مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا(Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami).
Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi shalalohu'alaihi wasallam, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal itu mengandung konsekuensi wajibnya seorang muslim berhati-hati terhadap larangan Allah Subhanahuwata'aala dan Rasul-Nya, dan segera menjalankan perintah Allah Subhanahuwata'aala dan Rasul-Nya.
Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan memotongnya merupakan perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya kemurkaan Allah Subhanahuwata'aala dan azab-Nya.
Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan menyerupai orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan mungkar, tidak boleh dilakukan, berdasarkan sabda Nabi shalalohu'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka." (Sunan Abu Daud, 4031 dan Ahmad 5093, 5094, 5634).
Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan. Wallahu waliyuttaufiq. Washallallahu wa sallam 'ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbih.
Majmu Fatawa wa maqalat mutanawwi'ah 3/362-363.