Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97)
MENDAHULUKAN THAWAF IFADHAH SEBELUM MELONTAR ATAU SEBELUM WUKUF
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh mendahulukan thawaf ifadhah dan sa'i sebelum melontar jumrah 'aqabah atau sebelum wukuf di Arafah ? Mohon penjelasan.
Jawaban Boleh mendahulukan thawaf dan sa'i haji sebelum melontar jumrah, tapi tidak boleh melakukan thawaf ifadhah sebelum wukuf di Arafah atau sebelum tengah malam Idul Adha. Namun jika seseorang bertolak dari Arafah dan singgah di Muzdalifah pada malam Idul Adha maka dia boleh thawaf dan sa'i pada paruh kedua malam Idul Adha atau pada hari Idul Adha sebelum melontar jumrah. Sebab dalam hadits disebutkan.
"Artinya : Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata : 'Saya thawaf ifadhah sebelum melontar ?' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Tidak mengapa'. [Hadits Riwayat Darimi dan Ibnu Hibban]
Dan jika seseorang meninggalkan Muzdalifah pada hari Idul Adha atau pada akhir malam Idul Adha seperti kaum wanita dan yang seperti mereka, maka mereka boleh memulai thawaf jika wanita tidak haidh sebelum thawaf ifadhah. Demikian juga jika laki-laki yang lemah, jika dia memulai thawaf kemudian baru melontar maka tiada berdosa. Tapi yang utama adalah melontar, kemudian menyembelih kurban jika dia mempunyai kurban, kemudian mencukur habis atau memotong rambut tapi mencukur habis lebih utama, kemudian thawaf ifadhah seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melontar jumrah pada hari Id, kemudian memakai parfum, kemudian naik unta ke Mekkah untuk thawaf. Tapi jika seseorang mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain, seperti menyembelih kurban, atau mencukur habis sebelum menyembelih kurban sebelum melontar, atau mencukur habis sebelum menyembelih kurban, atau mencukur sebelum melontar, atau thawaf sebelum melontar, atau thawaf sebelum menyembelih kurban, atau thawaf sebelum mencukur, maka masing-masing tersebut telah mencukupi. Sebab ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang mendahulukan dan mengakhirkan maka beliau bersabda : "Tidak mengapa, tidak mengapa"
Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang mengakhirkan thawaf ifadhah kepada thawaf wada' dan menjadikan dalam satu thawaf dengan niat thawaf ifadhah dan thawaf wada' sekaligus ? Dan apakah boleh melaksanakan thawaf ifadhah pada waktu malam ?
Jawaban Tiada dosa dalam demikian itu. Jika seseorang telah melaksanakan semua amal haji maka ketika dia telah thawaf ifadhah sudah cukup baginya dari thawaf wada', baik dia niat thawaf wada' bersama thawaf ifadhah ataupun tidak. Maksudnya, jika seseorang ingin meninggalkan Mekkah setelah melaksanakan semua amal haji maka sudah cukup baginya dengan hanya thawaf ifadhah. Dan jika diniatkan untuk thawaf ifadhah sekaligus thawaf wada maka tiada dosa dalam demikian itu. Sedangkan pelaksanaan thawaf ifadhah ataupun thawaf wada' maka boleh pada malam hari maupun pada siang hari.
HAL-HAL YANG DILAKUKAN SETELAH THAWAF WADA'
Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa yang dilakukan orang yang haji setelah thawaf wada' ?
Jawaban Thawaf wada adalah akhir dari semua rangkaian ibadah haji. Maka jika seseorang telah thawaf wada' hendaknya berusaha berhenti di Multazam seraya berdo'a dengan apa yang dapat dilakukan dan memohon kepada Allah agar dikaruniai-Nya dapat kembali ke Baitullah dan berharap agar ibadah haji yang dilakukannya bukan sebagai akhir kedatangannya di Mekkah, Kemudian dia keluar dengan cara yang wajar dan tidak dengan berjalan mundur membelakangi Ka'bah, tapi berjalan bisa dengan menjadikan Ka'bah pada arah belakangnya. Kemudian setelah dia pulang. Jika dia berhenti lama, seperti setengah jam karena tidak ada keperluan penting maka dia harus mengulangi thawaf wada'. Jika seseorang melakukan jual beli atau pekerjaan yang menunjukkan dia ingin muqim, maka dia harus mengulangi thawaf wada'. Adapun jika seseorang membeli sesuatu untuk perjalanannya atau untuk kebutuhan keluarganya, maka dia tidak wajib mengulangi thawaf wada'. Wallahu a'lam.
PERGI KE JEDDAH SEBELUM THAWAF WADA' BAGI ORANG YANG HAJI
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi orang yang haji pergi ke Jeddah tanpa thawaf wada'. Dan kewajiban apa yang harus dilakukan bagi orang yan melakukan hal tersebut ? Jawaban Tidak boleh bagi orang yang telah rampung hajinya meninggalkan Mekkah kecuali setelah thawaf wada'. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah" [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihya dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu]
Dan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, ia berkata :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan manusia (yang haji) agar akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah. Tetapi beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh" [Muttafaqun 'alaih]
Maka bagi penduduk Jeddah, Thaif dan lain-lain tidak boleh keluar dari Mekkah setelah haji kecuali setelah thawaf wada'. Bagi orang yang meninggalkan Mekkah sebelum thawaf wada' wajib menyembelih kurban karena meninggalkan kewajiban dalam haji. Sebagian ulama mengatakan, jika dia kembali lagi ke Mekkah dengan niat thawaf wada', maka sudah cukup baginya dan tidak wajib menyembelih kurban. Tapi pendapat ini diperdebatkan ulama. Maka yang lebih hati-hati bagi orang mukmin yang pergi dalam jarak yang diperbolehkan qashar shalat dan dia tidak melakukan thawaf wada', maka dia wajib menyembelih kurban untuk menyempurnakan hajinya.
MENGHADIAHKAN PAHALA THAWAF DAN YANG LAIN KEPADA KAUM MUSLIMIN YANG MENINGGAL
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita bertanya "Ketika di Mekkah, saya mendapat berita bahwa seorang wanita kerabat saya meninggal, lalu saya thawaf di sekeliling Ka'bah dan saya niatkan pahalanya untuk dia. Apakah demikian itu boleh ?".
Jawaban Ya, kamu boleh thawaf sebanyak tujuh kali putaran di sekeliling Ka'bah dan pahalanya kamu peruntukkan orang yang kamu kehendaki dari kaum Muslimin. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad Rahimahullah. Yaitu beliau berkata : "Bentuk ibadah apapun yang dilakukan seorang muslim dan pahalanya diperuntukkan orang muslim lain yang meninggal atau hidup, maka demikian itu bermanfaat baginya. Baik ibadahnya dalam bentuk amaliah badan murni seperti shalat dan thawaf, atau dalam bentuk harta saja seperti sedekah, atau memadukan keduanya". Tapi seyogianya seseorang mengetahui bahwa yang utama bagi manusia adalah menjadikan semua amalnya yang shalih untuk dirinya sendiri dan mengkhususkan orang yang dikehendaki dari kaum muslimin dengan do'a, Sebab demikian ini adalah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya.
"Artinya : Jika manusia meninggal maka terputus amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan kepadanya".