HUKUM DAN WAKTU MABIT DI MUZDALIFAH
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ?
Jawaban
Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam.
Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.
Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo'a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ?
Jawaban
Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan.
Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar'i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu.
"Artinya : Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban" [Hadits Riwayat Malik]
Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar'i.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya.
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : "Ambillah manasikmu dariku". Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama' kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam.
Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo'a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan.
HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ?
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do'a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya.
[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabaia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal 186-189, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di Muzdalifah, berapa lama waktunya, dan kapan orang yang haji bertolak darinya ?
Jawaban
Menurut pendapat yang shahih, mabit di Muzdalifah adalah wajib. Tapi sebagian ulama mengatakan mabit di Muzdalifah sebagai rukun haji, dan sebagian lain mengatakan sunnah. Adapun yang benar dari pendapat tersebut, bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib. Maka siapa saja yang meninggalkannya wajib membayar dam.
Adapun yang sunnah dalam mabit di Muzdalifah adalah tidak meninggalkan Muzdalifah melainkan setelah shalat Subuh dan setelah langit menguning sebelum matahari terbit. Di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat shubuh di Muzdalifah dan berdzikir setelah shalat, lalu setelah langit menguning beliau bertolak manuju ke Mina dengan bertalbiyah.
Tetapi bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita dan orang-orang tua, diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah pada tengah malam kedua. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka untuk hal tersebut. Adapun orang-orang yang kuat, maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat shubuh dan banyak dzikir setelah shalat kemudian kemudian bertolak menuju Mina sebelum matahari terbit. Ketika berdo'a di Muzdalifah disunnahkan mengangkat kedua tangan seraya menghadap kiblat seperti ketika di Arafah. Dan bahwa kawasan Muzdalifah adalah tempat mabit.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH DAN HANYA MELINTASINYA
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana pedoman dalam mabit di Muzdalifah ? Dan apa hukum bagi orang yang berhalangan mabit di Muzdalifah dan hanya melintasinya ?
Jawaban
Wajib atas orang yang haji mabit di Muzdalifah hingga tengah malam. Dan jika seorang menyempurnakan mabit sampai shalat shubuh dan banyak dzikir serta istighfar setelah shalat hingga langit ke kuning-kuningan adalah lebih utama. Dan bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah dari keluarga beliau dalam hal tersebut. Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di Muzdalifah dan shalat shubuh di sana dengan membaca dzikir, tahlil (la ilaha illallah) dan istighfar (astagfirullah) setelah shalat. Lalu ketika langit telah sangat menguning, beliau bertolak ke Mina. Maka yang paling sempurna bagi orang-orang yang haji adalah meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Namun bagi orang-orang yang lemah diperbolehkan meninggalkan Muzdalifah sebelum shubuh seperti telah disebutkan.
Adapun bagi orang yang meninggalkan mabit di Muzdailifah tanpa alasan syar'i, maka dia wajib membayar dam (menyembelih kurban) karena melanggar sunnah dan perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu.
"Artinya : Barangsiapa meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia harus menyembelih kurban" [Hadits Riwayat Malik]
Tidak diragukan bahwa mabit di Muzdalifah adalah ibadah besar dalam haji hingga sebagian ulama mengatakan sebagai rukun haji, meskipun ada yang mengatakan sunnah. Tetapi pendapat yang paling tengah, bahwa mabit di Muzdalifah wajib dalam haji dimana yang meninggalkannya wajib membayar dam disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan secara syar'i.
TIDAK MABIT DI MUZDALIFAH KARENA MACET
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kita melihat saat sekarang ini bila berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, maka akan ada kemacetan besar di mana orang yang haji sampai ke Muzdalifah tidak mampu mabit di sana dan mendapat kesulitan dalam hal tersebut. Apakah boleh meninggalkan mabit di Muzdalifah dan adakah sangsi bagi orang yang meninggalkannya ? Apakah shalat Maghrib dan Isya mencukupi dari wukuf dan mabit di Muzdalifah, di mana orang yang haji shalat maghrib dan isya di Muzdalifah kemudian langsung ke Mina ? Dan apakah sah wukuf di Muzdalifah dengan cara seperti itu ? Mohon penjelasan tentang hal tersebut beserta dalilnya.
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mabit dan shalat Shubuh di Muzdalifah lalu berdzikir setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan, dan beliau bersabda : "Ambillah manasikmu dariku". Maka orang yang haji tidak dinilai telah melaksanakan kewajiban ini jika dia shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan jama' kemudian meninggalkan Muzdalifah. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan meninggalkannya melainkan kepada orang-orang yang kemah setelah tengah malam.
Dan jika seseorang tidak mabit di Muzdalifah, maka dia wajib membayar dam karena meninggalkan kewajiban. Dan telah maklum bahwa diantara ulama terdapat perbedaan pendapat tentang hukum mabit di Muzdalifah, ada yang mengatakan rukun, ada yang mengatakan wajib, dan juga ada yang mengatakan sunnah. Tapi yang terkuat dari beberapa pendapat tersebut adalah, bahwa mabit wajib dalam haji, dan bagi orang yang meninggalkannya wajib menyembelih kurban dan hajinya sah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dan bahwa mabit di Muzdalifah tidak diberikan keringanan untuk meninggalkannya sampai tengah malam bagian kedua melainkan kepada orang-orang yang lemah. Adapun orang-orang yang kuat maka yang sunnah bagi mereka adalah tetap di Muzdalifah hingga shalat Shubuh dan memperbanyak dzikir serta berdo'a kepada Allah setelah shalat hingga langit kekuning-kuningan kemudian bertolak ke Mina sebelum terbit matahari karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapa yang tidak mampu sampai di Muzdalifah melainkan sehabis tengah malam dari orang-orang yang lemah, maka cukup bagi mereka muqim di Muzdalifah pada sebagian waktu kemudian meninggalkan Muzdalifah karena mengambil rukhsah (dispensasi). Dan Allah adalah yang memberikan pertolongan kepada kebaikan.
HUKUM MENINGGALKAN MABIT DI MUZDALIFAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum bagi orang yang haji meninggalkan mabit di Muzdalifah pada malam idul Adha ?
Jawaban
Mabit di Muzdalifah adalah wajib, tapi diberikan keringanan bagi orang-orang yang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam. Adapun meninggalkannya karena sengaja maka dosa hukumnya dan harus membayar fidyah menurut jumhur ulama. Tapi jika karena tidak tahu maka hanya wajib membayar fidyah saja. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka mabit di Muzdalifah menjadi gugur sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain. Tapi bagi orang yang mendapatkan shalat shubuh pada awal waktu dan tetap di Muzdalifah setelah shalat dengan membaca dzikir dan do'a kemudian bertolak ke Mina maka demikian itu telah cukup baginya.
[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabaia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i hal 186-189, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]