Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba‘du,
Kita akan memberikan beberapa catatan mengenai fiqh sedekap ketika shalat.
Diantara dalil mengenai bersedekap adalah hadis dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat... beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR. Ahmad 18854 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Berdasarkan hadis ini, jumhur ulama mengatakan bahwa bersedekap hukumnya anjuran. Ibnu Qudamah mengatakan, Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat, termasuk sunah shalat, menurut pendapat jumhur ulama. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Abu Hurairah, Ibrahim an-Nakhai, Abu Mijlaz, Said bin Jubair, at-Tsauri, as-Syafii, para ulama Kufah, dan Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa ini pendapat Imam Malik. (al-Mughni, 1/549).
Ulama berbeda pendapat mengenai posisi tangan ketika sedekap. An-Nawawi menyebutkan secara ringkas perbedaan pendapat ini dalam Syarh Sahih Muslim (4/114),
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, termasuk syafiiyah menurut pendapat yang masyhur.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Sufyan at-Tsauri, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Ishaq al-Maruzi (ulama Syafiiyah).
Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat al-Auzai, dan Ibnul Mundzir.
Ini merupakan pendapat Imam as-Sindi, dan dinilai lebih kuat oleh al-Albani (Ashlu Shifat Shalat, 1/209).
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba‘du,
Kalimat takbiratul ihram [تكبيرة الإحرام ] terdiri dari dua kata: takbirah dan al-Ihram. Takbir artinya bacaan Allahu akbar, sedangkan al-Ihram berarti masuk ke dalam wilayah larangan, dimana orang yang telah melakukan takbiratul ihram maka terlarang baginya untuk melakukan perbuatan apapun di luar kegiatan shalat.
Karena itulah takbir ini disebut takbiratul ihram, karena dia takbir yang mengharamkan. Sebagian ulama menyebutnya juga dengan takbirah taharrum |تكبيرة تحرّم], artinya takbir yang mengharamkan. (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1/199).
Takbiratul ihram termasuk rukun shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ‘pintu’ yang membatasi kegiatan sebelum shalat dengan kegiatan shalat. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkan adalah takbir, dan yang menghalalkan adalah salam.” (HR. Abu Daud 61, Turmudzi 3, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Disebut ‘yang mengharamkan’, karena takbiratul ihram adalah batas antara kegiatan sebelum shalat dengan di dalam shalat. Sebagaimana salam adalah batas antara kegiatan di dalam shalat dengan kegiatan setelah shalat.
Badruddin al-Aini mengatakan, Makna kalimat ‘yang mengharamkan adalah takbir’ artinya yang mengharamkan shalat adalah ucapan takbir. Ketika orang yang shalat telah masuk shalat dengan bertakbir maka terlarang baginya untuk bicara, atau melakukan perbuatan apapun di luar kegiatan shalat. Sehingga takbir ini disebut at-Tahrim, karena mencegah orang yang shalat dari perbuatan di luar shalat tersebut. Untuk itu disebut ‘takbiratul ihram’. (Syarh Sunan Abu Daud, 1/184)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba‘du,
Dalam hadits tentang orang yang shalatnya salah, lalu minta diajari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang itu mengatakan, Demi Allah, Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak bisa shalat lebih baik dari itu, karena itu ajari saya.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,
“Apabila kamu sudah siap untuk shalat, segera bertakbir, kemudian baca surat Al-Qur’an yang kamu hafal...” (HR. Bukhari 75/, Muslim 911, dan yang lainnya)
Dalam hadits lain, sahabat Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu menceritakan cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Sungguh akan kuperhatikan cara shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri menghadap kiblat, lalu beliau bertakbir, beliau angkat kedua tangannya setinggi telinganya...'(HR. Ahmad 18850, Abu Daud 726 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Berdasarkan beberapa hadits di atas, para ulama menegaskan bahwa tidak ada do'a atau bacaan khusus yang disunahkan untuk dibaca sebelum shalat. Baik bentuknya ta’awudz, surat al-Falaq dan an-Nas, atau lafadz niat atau bacaan lainnya.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Diantara praktek yang memudahkan kita untuk belajar khusyu adalah mengamalkan sunah yang beragam.
Para ulama menyebut sunah yang beragam ini dengan sunah tanawwu’ [التنوّع], yaitu praktek amalan yang semuanya diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ibadah shalat, ada banyak sekali sunah yang beragam. Baik yang bentuknya gerakan, maupun bacaan.
Sebagai contoh:
1. Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram
Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan setinggi pundak, dan terkadang setinggi telinga. Keduanya berdasarkan riwayat yang shahih.
2. Kesesuaian antara takbiratul ihram dan mengangkat tangan
Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan dulu, baru mengucapkan takbiratul ihram. Terkadang beliau melakukan takbiratul ihram, baru mengangkat kedua tangan. Dan terkadang bersamaan.
Ketiga sunah ini berdasarkan riwayat yang shahih.
3. Ada banyak redaksi doa iftitah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan perawi sahabat yang berbeda-beda.
Demikian pula doa rukuk, tidal, sujud, maupun duduk diantara dua sujud, ada beberapa redaksi yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan masih banyak lagi. Apa yang kami sebutkan di atas, hanya contoh.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ibnul Qayim dalam kitabnya al-Wabil as-Shayib menuliskan tentang 5 tingkatan manusia dilihat dari kualitas shalatnya. Dimulai dari tingkatan yang paling rendah, hingga tingkatan yang paling sempurna.
Tingkat pertama dan terendah, Mereka yang tidak memperhatikan kesempurnaan bagian lahiriyah dalam shalat. Sehingga sisi lahiriyah shalatnya masih sangat kurang. Seperti, wudhunya tidak sempurna, waktunya telat, pakaiannya tidak pantas, gerakannya sangat cepat sehingga tidak tumakninah ketika mengerjakan rukun-rukun shalat.
Ibnul Qayim menyebutnya sebagai martabat (tingkatan) al-Mufrith (orang yang meremehkan).
Tingkatan kedua, mereka yang shalatnya sudah baik dari sisi lahiriyah. Wudhunya sudah bagus, tepat waktu, pakainnya sopan, juga rukun dan gerakannya sempurna. Hanya saja pikirannya masih sering melayang-layang. Prosentase kekhusyu’an sangat minim, pikirannya lebih banyak teralihkan untuk urusan dunia atau urusan di luar shalat. Sementara itu, tidak ada upaya darinya untuk fokus dan mengembalikan kekhusyu'annya ketika shalat.
Tingkatan ketiga,mereka yang shalatnya secara lahiriyah sudah baik. Sementara batin pikirannya selalu berjuang untuk khusyu’. Hatinya berperang melawan bisikan setan, mereka berusaha untuk konsentrasi. Sehingga pikirannya tidak dibiarkan bebas melayang ke mana-mana. Ibnul Qayim mengatakan, orang ini mengerjakan shalat sambil berjihad melawan was-was.