Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Aqidah

بسم الله الرحمن الرحيم

𝗗𝗔𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥 𝗞𝗘-𝟮𝟲 & 𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥𝗜 𝗗𝗔𝗞𝗪𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥
bersama : 𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗔𝗺𝗺𝗶 𝗡𝘂𝗿 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘀, 𝗦𝗧., 𝗕𝗔 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩
📚  Amalan Sunnah itu Anugerah
📆 Jum'at, 4 Rabi’ul Akhir 1447/ 26 September 2025
🕌 Rumah Ustadz Isnan - Izighawa Qatar
📖 Daftar Isi:



Kajian kali ini berkenaan dengan motivasi untuk beramal, yang kita lihat dari perspektif lain, bukan sekedar motivasi banyaknya pahala. Kita mulai dari hadits Arba'in ke-30 berikut:

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: «إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا» حِدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ.

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa–, maka janganlah engkau membahasnya.”

(Hadits hasan, HR. Ad-Daruquthni no. 4316 dan selainnya) [Hadits ini dikomentari oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin, hadits ini sanadnya terputus. Namun, hadits ini kata Ibnu Rajab punya penguat].

Dalam hadits ini disebut Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, karena melaksanakan kewajiban tapi dengan asal-asalan, statusnya tercela. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Maun ayat 4-5:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ.ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

Di sini Allah ﷻ mencela orang-orang yang shalat tetapi asal-asalan. Dan dalam Al-Qur’an disebut ancaman untuk orang-orang munafik:

  1. Nifak I'tiqadi, Allah berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” [An-Nisaa/4: 145]

  1. Nifak amali, semua orang Islam pasti mengalaminya, seperti berbohong, khianat, dan lainya.

Dan ternyata, munafik I'tiqadi juga melakukan shalat, tetapi malas-malasan. Sifat shalat orang munafik disebutkan dalam ayat berikut ini,

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’: 142).

Anas memerintahkan mereka untuk shalat ‘Ashar. Setelah mereka shalat, Anas berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً

“Ini adalah shalat orang munafik. Ia duduk hingga matahari berada antara dua tanduk setan. Lalu ia mengerjakan shalat ‘Ashar empat raka’at. Ia hanyalah mengingat Allah dalam waktu yang sedikit.” (HR. Muslim no. 622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya. Akhirnya pahalanya hanya sedikit, itupun jika diterima...

Hadits yang dimaksud, lafalnya adalah sebagai berikut,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ، وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْر صَلاَتِهِ، تُسْعُهَا ثُمُنُها، سُبْعُها سُدُسُها، خُمُسُها، رُبُعُها، ثُلُثها، نصفُها

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mengerjakan shalat, namun pahala shalat yang tercatat baginya hanyalah sepersepuluh (dari) shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan seperduanya saja.” (HR. Abu Daud (796).

Maka, amalan-amalan sunnah itu anugerah, karena dengannya amalan-amalan wajib bisa ditambal. Andaikan Allah ﷻ tidak menyediakan amalan-amalan sunnah, maka banyak diantara kita yang gagal karena banyaknya amalan-amalan wajib yang asal-asalan.

Dalilnya adalah hadits berikut:

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ أَكْمَلَهَا كُتِبَتْ لَهُ نَافِلَةً، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَكْمَلَهَا، قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِمَلَائِكَتِهِ: انْظُرُوا، هَلْ تَجِدُونَ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَأَكْمِلُوا بِهَا مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَتِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ”

Dari Tamim Ad-Dariy radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, beliau bersabda: “Pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat (wajib)nya. Jika dia menyempurnakan sholat (wajib)nya, (sholat) nafilah (sunah) ditulis kebaikan baginya. Jika dia tidak menyempurnakan sholat (wajib)nya, Alloh Subhanahu berkata kepada para malaikat-Nya: ‘Perhatikan, apakah kamu dapati hambaKu ini memiliki sholat tathowwu’ (sunah), (jika ada) maka sempurnakan-lah dengannya apa yang telah dia sia-siakan dari sholat wajibnya!’. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu”.

(HR. Ibnu Majah, no: 1426; Ahmad, no. 16954. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Amalan yang pertama kali dihisab kelak adalah:

  1. Amalan badan: shalat.
  2. Muamalah: masalah darah
  3. Harta: air putih

Kekurangan amalan wajib yang bagaimana yang bisa ditutup dengan amalan Sunnah.

Syaikh Mubarak furi rahimahullah dalam Tuhfat Al-ahwadzi menjelaskan bahwa ada dua makna amalan wajib yang kurang:

  1. Ketika melaksanakan amalan wajib tidak sempurna, mungkin ada amal gerakan yang kurang,baik rukun, wajib, atau sunnahnya.
  2. Sama sekali meninggalkan amalan-amalan wajib, seperti tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat.

Jika pendapat ini benar, bagaimana jika ada yang bertahun-tahun meninggalkan shalat dan tidak bertaubat? Tidak ada qadha, tapi wajib bertaubat. Qadha berlaku bagi yang lupa atau ketiduran, bukan yang sengaja meninggalkan shalat. Maka, solusinya adalah memperbanyak sholat sunnah.

Dan hukuman Allah ﷻ ada dua:

  1. Kafarah di dunia, seperti melanggar sumpah, nadzar dan lainnya.
  2. Tanpa ada penjelasan kafarah.

Maka, kesalahan kedua tidak ada solusi,ini konsekuensinya lebih berat. Termasuk meninggalkan shalat dengan sengaja.

Ada tiga tafsiran para ulama, berkenan maksud ibadah sunnah akan menyempurnakan ibadah wajib, ibadah sunnah yang bagaimana?

  • Pertama, ibadah sunnah yang satu kelompok dengan ibadah wajib.

Seperti, kekurangan shalat Isya’ akan disempurnakan oleh shalat sunnah rawatib sebelum (qabliyah) atau setelahnya (ba’diyah). Shalat Shubuh, disempurnakan oleh shalat sunnah Fajar. Shalat Dzuhur, oleh shalat rawatib yang membersamainya. Zakat, disempurnakan oleh sedekah harta yang hukumnya sunnah.

  • Kedua, ibadah sunnah yang satu jenis dengan ibadah wajib.

Artinya ibadah sunnah akan berfungsi sebagai penyempurna, hanya untuk ibadah-ibadah yang sejenis. Seperti, kekurangan pada shalat wajib, akan tertutupi oleh semua shalat sunnah yang kita lakukan. Kekurangan pada puasa wajib, akan terbayar dengan semua puasa sunnah yang kita kerjakan. Kekurangan pada zakat, akan terlengkapi oleh semua sedekah sunnah yang kita tunaikan. Demikian seterusnya.

Jadi asal ibadah sunnah itu sejenis dengan ibadah wajib, maka bisa berfungsi sebagai penyempurna untuk ibadah wajib yang sejenis tersebut. Shalat dengan sholat, puasa dengan puasa, zakat dengan sedekah, dst.

  • Ketiga, semua ibadah sunnah, meski tidak sekelompok atau sejenis, dapat menghapus kekurangan semua Ibadah wajib.

Jadi shalat sunnah kita dapat berfungsi menyempurnakan kekurangan pahala di puasa wajib kita. Sedekah-sedekah kita, dapat berfungsi menyempurnakan kekurangan pada shalat wajib kita dan seluruh ibadah wajib kita.

Dari ketiga penafsiran di atas, yang tampaknya paling tepat adalah yang kedua, wallahua’lam bis showab.

Maula Ali Al-Qari rahimahullah, dalam kitab Mirqootul Mafaatih menegaskan,

(هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطُوِّعٍ؟ ) : فِي صَحِيفَتِهِ ، وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِ مِنْهُمْ ، أَيْ: سُنَّةٍ ، أَوْ نَافِلَةٍ ، مِنْ صَلَاةٍ ، عَلَى مَا هُوَ ظَاهِرٌ مِنَ السِّيَاقِ ، قَبْلَ الْفَرْضِ ، أَوْ بَعْدَهُ ، أَوْ مُطْلَقًا “.

Firman Allah ta’ala, “Lihatlah apakah hambaKu memiliki ibadah Sunah?”, Maksudnya di lembaran catatan amalnya, dan Allah lebih mengetahui daripada para malikat pencatat amal itu, adakah penyempurna dari shalat, sebagaimana yang tersebut dalam zahir hadis; baik shalat sunnah rawatib qabliyah (sebelum sholat fardhu) ataupun ba’diyah (setelah sholat fardhu), atau sholat sunah mutlak (yang tak terikat waktu). (Lihat : Mirqootul Mafaatih 3 /379)

Kasus: Mana yang Diutamakan Qobliah atau Ba'diyah

Sholat ini adalah sholat sunnah yang waktu mengerjakannya sangat berkaitan dengan waktu sholat wajib.

Qobliyah itu adalah sholat sunnah yang dikerjakan sebelum sholat wajib, para ulama’ mengatakan bahwa hal ini bertujuan sebagai pemanasan agar ketika mengerjakan sholat wajibnya, badan kita sudah segar. Selain juga sebagai penyempurna shalat wajib.

Jika pemain sepak bola saja sangat membutuhkan pemanasan, agar bisa bermain lebih kuat dalam pertandingan, maka ini juga berlaku untuk sholat. Setelah bangun malam, mungkin badan kita masih terasa lemes, mata masih redup, dan lainnya, sehingga membutuhkan sebuah pemanasan agar dengannya badan kita lebih segar, maka dalam hal ini Rosul ShallAllahu alaihi wasallam meminta kita untuk bisa memulainya dengan sholat sunnah dua raka’at sebelum subuh.

Sedangkan ba’diyah adalah sholat sunnah yang dikerjakan setelah sholat wajib, dan ini bertujuan juga sebagai penyempurna atau sebagai penutup jika saja ada kebolongan-kebolongan yang secara tidak sadar terjadi ketika sholat wajib.

Mungkin saja ketika sholat wajib, ada beberapa hal yang mengganggu kekhusyu’an sholat, sehingga pikiran kita kemana-mana, yang ujung-ujungya bisa menyebabkan berkurangnya nilai sholat wajib kita.

Inilah fungsi terbesar sholat ini, sebagai penambah nilai jika saja nilai sholat wajib yang dikerjakan dibawah standar. Bukan hanya ujian saja, yang ada sistem penambahn nilai, sholat juga ada.

Kasus: Shalat qabliyah lebih dianjurkan di rumah. Tapi bagaimana jika dikerjakan di rumah, kita tdk mendapat shaf pertama ketika jamaah?

Secara umum, shalat sunah di rumah lebih utama dari pada dikerjakan di masjid. Berdasarkan hadis dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

Sesungguhnya shalat seseorang yang paling afdhal adalah shalat yang dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat wajib. (HR. Bukhari 731, Muslim 1861 dan yang lainnya)

Akan tetapi, bagaimana jika dikerjakan di rumah menyebabkan kita tidak mendapatkan shaf pertama ketika berjamaah?

Jawabannya, lebih dianjurkan untuk shalat rawatib qabliyah di masjid, agar mendapat shaf pertama ketika shalat jamaah.

Ada beberapa pertimbangan yang menguatkan pernyataan ini,

  • Pertama, di sana ada 2 keutamaan yang saling bersinggungan,
  1. Keutamaan shalat sunah di rumah. Dan keutamaan ini terkait amal sunah
  2. Keutamaan mendapat shaf pertama. Dan keutamaan ini terkait dengan amal wajib.

Menimbang kaidah,

تقديم الفريضة على النافلة

Lebih mengutamakan yang wajib dari pada yang sunah

Turunan dari kaidah ini adalah lebih mengutamakan keutamaan yang terkait dengan amal wajib dari pada keutamaan yang terkait dengan amal sunah. Inilah yang diisitilahkan para ulama dengan,

إلحاق التوابع بأصولها

“Menggabungkan yang cabang kepada pokoknya.”

Dengan melihat pokoknya, kita bisa mengembalikan cabangnya. Selanjutnya, kita bisa membandingkan masing-masing pokoknya.

  • Kedua, ketika ada dua maslahat, yang satu memiliki badal (pengganti) dan yang satu tidak memiliki badal, maka diutamakan yang tidak memiliki badal.
  1. Shalat sunah di rumah, ada badalnya, yaitu dikerjakan di masjid
  2. Mendapat shaf pertama, tidak ada badalnya. Orang yang tidak mendapat shaf pertama, tidak bisa diganti dengan shaf kedua.

Ulama memberikan kaidah,

تقديم ما ليس له بدل على ما له بدل

“Mendahulukan maslahat yang tidak memiliki badal dari pada maslahat yang memiliki badal.”

Kasus: Puasa 6 hari Syawal (amal sunnah terbatas) atau qadha (kewajiban yang longgar)?

Jawaban:

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa yang puasa ramadhan, kemudian dia ikuti dengan 6 hari puasa syawal, maka seperti puasa setahun.” (HR. Muslim 1164)

Pada hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan janji pahala seperti puasa setahun dengan 2 syarat:

  1. Menyelesaikan puasa ramadhan.
  2. Puasa 6 hari di bulan syawal

Sebagian ulama menegaskan, seseorang belum dikatakan telah menyelesaikan puasa ramadhan, jika dia masih memiliki hutang puasa ramadhan. Karena berarti dia belum berpuasa penuh satu bulan ramadhan.

Berikut keterangan Imam Ibnu Utsaimin,

صيام ستة أيام من شوال فإنها مرتبطة برمضان ولا تكون إلا بعد قضائه، فلو صامها قبل القضاء لم يحصل على أجرها

Puasa 6 hari di bulan syawal memaliki kaitan dengan ramadhan, sehingga tidak dilaksanakan kecuali setelah mengqadha utang ramadhan. Jika ada orang yang berpuasa sebelum mengqadha utangnya, dia tidak mendapatkan janji pahala seperti puasa setahun.

Selanjutnya, Imam Ibnu Utsaimin menyebutkan hadis di atas. Kemudian, beliau melanjutkan,

ومعلوم أن من عليه قضاء فإنه لا يقال: إنه صام رمضان حتى يكمل القضاء

Dan kita tahu bersama bahwa orang yang masih memiliki utang puasa, dia tidak dikatakan, ‘telah menyelesaikan puasa ramadhan’, sehingga dia menyempurnakan qadha ramadhan. [Liqa’at Bab Al-Maftuh, Volume 5, no. 5].

Karena itu, bagi anda yang ingin mendapatkan keutamaan berupa pahala puasa selama setahun, yang harus anda lakukan adalah mengqadha ramadhan terlebih dahulu, kemudian puasa 6 hari di bulan syawal.

Bolehkah mengakhirkan qadha puasa ramadhan?

Jawabannya boleh, dan waktunya selama setahun sampai datang ramadhan berikutnya. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan pahala puasa setahun sebagaimana yang dijanjikan dalam hadits Abu Ayub di atas, disyaratkan dia harus menyelesaikan puasa ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan syawal.

Allahu a’lam

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم