Kota Jeddah Bukan Miqat Jama'ah Haji Indonesia
Sebagaimana lazimnya, jama'ah haji Indonesia yang berangkat ke tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji, dibagi menjadi dua gelombang.
Gelombang pertama yaitu para jama'ah haji yang langsung menuju ke Madinah, dan gelombang kedua biasanya langsung menuju Makkah, dengan mendarat di bandara "Malik Faishal"- Jeddah.
Untuk gelombang pertama insya Allah tidak bermasalah, karena miqat mereka adalah miqat penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulai-fah/Bir 'Ali, berdasarkan pada hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam .
Sebagaimana lazimnya, jama'ah haji Indonesia yang berangkat ke tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji, dibagi menjadi dua gelombang.
Gelombang pertama yaitu para jama'ah haji yang langsung menuju ke Madinah, dan gelombang kedua biasanya langsung menuju Makkah, dengan mendarat di bandara "Malik Faishal"- Jeddah.
Untuk gelombang pertama insya Allah tidak bermasalah, karena miqat mereka adalah miqat penduduk Madinah, yaitu Dzul Hulai-fah/Bir 'Ali, berdasarkan pada hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam .
"(Miqat-miqat) itu adalah (tempat berihram bagi penduduknya) dan orang-orang yang datang kepadanya yang bukan dari pen-duduknya, bagi mereka yang ingin menger-jakan ibadah haji dan umrah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sedangkan jama'ah haji gelombang kedua yang bertolak dari Indonesia dengan tujuan langsung ke Makkah, maka mereka harus berihram di atas pesawat dengan bantuan informasi dari awak pesawat. Biasanya awak pesawat mengumumkannya satu jam atau setengan jam sebelum tiba di atas miqat atau di tempat yang sejajar dengan miqat, agar jama'ah haji mempersiapkan diri untuk ber-ihram.
Adapun menjadikan kota Jeddah sebagai miqat jama'ah haji Indonesia adalah sebuah kesalahan besar yang menyelisihi al-Qur-an atau Sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam .
Berikut ini penyusun menukil fatwa Majelis Ulama Besar Saudi Arabia No. 5730 tertanggal 21/10/1399 H dalam bantahan mereka ter-hadap fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh 'Abdullah bin Zaid Alu Mahmud, Ketua Mah-kamah Syar'iyyah dan Urusan Agama Negeri Qatar.
Dalam fatwa tersebut Syaikh 'Abdullah bin Zaid Alu Mahmud membolehkan untuk menjadikan kota Jeddah sebagai miqat bagi para jama'ah haji yang menggunakan pesawat terbang dan kapal laut.
Maka setelah mempelajari fatwa beliau dengan seksama, para anggota Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memandang bahwasanya dasar-dasar yang dijadikan sandaran adalah tertolak dan terbantah oleh nash-nash syari'at (al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah  yang shahihah-Pent), serta ijma' Salaful ummah. Se-telah merujuk kepada dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama muslimin perihal miqat makani dan setelah melakukan dialog tentang permasalahan ini dari segala segi. Majelis me-ngeluarkan ketetapan sebagai berikut:
* Bahwa sesungguhnya fatwa yang dikeluar-kan oleh Syaikh 'Abdullah bin Zaid Alu Mahmud –Ketua Mahkamah Syar'iyyah dan Urusan Agama Negeri Qatar- yang membolehkan untuk menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para jama'ah haji yang menggunakan pesawat terbang dan kapal laut adalah fatwa yang bathil, karena tidak bersandar pada ayat al-Qur-an atau hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dan ijma' (kesepakatan) para Salaf umat ini, serta tidak pernah ada seorang pun di antara ulama muslimin yang mendahuluinya (dalam fatwa terse-but).
* Tidak dibolehkan bagi mereka yang melewati atau melintas salah satu dari miqat-miqat makani atau yang melintasi tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut, baik melalui udara maupun lautan, (tidak dibolehkan bagi mereka) untuk melewati miqat-miqat tersebut tanpa berihram, sebagaimana hal tersebut disaksikan/diko-kohkan oleh dalil-dalil dan ditetapkan oleh para ulama kaum muslimin ÑÍãåã Çááå.
Demikian (fatwa ini ditetapkan).
Selanjutnya, dibawah ini kami menukil dua fatwa, masing-masing dari ulama besar abad ini yang tidak diragukan lagi keilmuan dan ketakwaan mereka.
Yang pertama yaitu fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baaz , mantan Mufti Kerjaan Saudi Arabia, ketika beliau ditanya tentang masalah ini, sebagai berikut:
Pertanyaan :
Sebagian orang berfatwa bahwa jama'ah haji yang datang dengan menggunakan pesawat udara, berihram dari Jeddah, sebagian lagi mengingkari hal itu, Nah, bagaimanakah sebenarnya dalam masalah ini?
Jawaban :
Bagi semua jama'ah haji baik yang datang melalui udara atau darat atau laut, wajib berihram dari miqat yang mereka lewat di darat atau miqat yang mereka melintasinya, jika kedatangan mereka melalui udara atau laut, hal ini berdasarkan pada sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam :
Adapun Jeddah bukanlah sebagi miqat bagi para rombo-ngan jamaa'ah haji dan umrah, akan tetapi dia (Jeddah) adalah miqat bagi penduduknya dan bagi mereka yang datang ke-sana, yang tidak berkeinginan untuk haji dan umrah (ketika pertama kali mereka datang,-Pent), kemudian setelah mereka ber-ada disana, timbul niat untuk mengerjakan haji dan umrah.
(Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Ab-dullah bin Baaz t).
Yang kedua, yaitu fatwa Syaikh Muham-mad bin Shalih al-'Utsaimin-seorang Ulama Besar dan Ahli Fiqih abad ini- ketika beliau ditanya tentang cara berihram di atas pesawat, sebagai berikut:
Pertanyaan :
Tolong dijelaskan kepada kami bagaimana cara berihram seseorang yang datang ke Makkah melalui pesawat udara.
Jawaban :
Seorang yang datang ke Makkah melalui pesawat udara, wajib mengucapkan ihramnya apa-bila berada diatas miqat atau sejajar dengan miqat.
Atas dasar ini, seyogianya bagi seseorang mempersiapkan diri dengan mandi dirumahnya lalu memakai pakaian ihram sebelum tiba di miqat. Dan apabila telah tiba di miqat, dia niat untuk masuk ke dalam ibadah serta tidak boleh terlambat, sebab jalannya pesawat itu cepat. Dalam waktu satu menit bisa jadi telah menempuh jarak yang cukup jauh. Hal ini dilakukan oleh sebahagian orang, mereka tidak bersiap-siap sebelumnya, jika telah diumumkan oleh awak pesawat, bahwasanya telah sampai di miqat, barulah mereka tergesa-gesa menanggalkan pakaian mereka lalu memakai pakaian ihram. Ini adalah sikap yang sangat meremehkan, padahal para awak pesawat tampaknya telah mengingatkan para penumpang sejak seperempat jam sebelum melintasi miqat, ini adalah suatu perbuatan yang patut disyukuri.
Dengan demikian mereka telah memberi kesempatan untuk mengganti pakaian dan persiapan lainnya. Namun dalam kondisi seperti ini sepatutnya atau bahkan wajib bagi setiap orang yang akan berihram untuk senantiasa memperhatikan waktu. Jika awak pesawat telah mengumumkan 15 menit sebelum melewati miqat, maka ia harus melihat jamnya, hingga waktu yang 15 menit tersebut berlalu atau 2–3 menit sebelumnya, lalu dia-pun mengucapkan "Talbiyah" untuk ibadah yang dikehendakinya.
(Muhammad bin Shalih al-'Utsa-imin ).