"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali 'Imran: 97)
Dalam kitabnya al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziiz, asy-Syaikh 'Abdul 'Azhim Badawi berkata: "Kemampuan (untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah) terwujud dengan beberapa syarat:
- Kesehatan jasmani.
- Memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta mencukupi segala hajat/ kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya dalam hal nafkah.
- Keamanan dalam perjalanan (menuju tanah suci).
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةُ الْحَجِّ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: حُجِّى عَنْهُ
Syarat yang kedua didasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam :
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
"Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya."Adapun persyaratan adanya jaminan (ke-amanan dalam perjalanan), hal ini disebabkan karena mewajibkan ibadah haji yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan merupakan sesuatu yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan syari'at bahwa sesuatu yang berbahaya harus dihindari.
Jika ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka telah wajib bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji bagi laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi bagi seorang wanita, ada sebuah syarat tambahan yang wajib di-penuhinya, yaitu adanya mahram yang me-nemaninya selama perjalanan ibadah haji dan jika tidak memiliki mahram, maka dia tidak tergolong sebagai seorang yang mampu (mustathi’ah).