Kategori Aqidah

Masalah-masalah ilmiyah yang berasal dari Allah dan RosulNya, yang wajib diyakini oleh setiap muslim
Kajian Bertema Aqidah

بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم

📚┃ Materi : Kitab Bulughul Maram
📚┃ Syarah : Minhatul 'Allam fi Syarhi Bulughul Maram
🎙┃ Pemateri : Ustadz Deka Mujahidin, S.P.di Hafizhahullah (Pengajar Mabais Jajar Solo)
🗓┃ Hari/Tanggal : Kamis, 9 Oktober  2025 M / 17 Rabi’ul Akhir 1447 H
🕌┃Tempat : Masjid Al-Qomar Purwosari Solo
🕌┃Daftar Isi:



 Pertemuan #2: Kitab Thaharah - Bab Air

كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ - بَابُ اَلْمِيَاهِ

Hadits ke-6: Hukum Kencing di Air yang Tergenang

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ – أَخْرَجَهُمُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub.” (Dikeluarkan oleh Muslim). [HR. Muslim, no. 283]

وَلِلْبُخَارِيِّ: – لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ –

Menurut riwayat Imam Bukhari, “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian kencing dalam air yang tergenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” [HR. Bukhari, no. 239]

وَلِمُسْلِمٍ: “مِنْهُ”

وَلِأَبِي دَاوُدَ: – وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ –

Menurut riwayat Muslim disebutkan, “(kemudian dia mandi) darinya.” [HR. Muslim, no. 282]

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Janganlah seseorang mandi junub di dalamnya.” [HR. Abu Daud, no. 70]

📗Penjelasan:

  • Makna: (لا يغتسلْ) لا: merupakan larangan
  • Makna: (أحدكم) kata ini ditujukan untuk seluruh umat, sehingga mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi dipilih bentuk laki-laki dalam penyampaian sebagai keutamaan, meskipun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan.
  • Makna: (الماء الدائم) dijelaskan dalam riwayat al-Bukhari: ((الماء الدائم الذي لا يجري)) artinya: tetap dan terus-menerus yang tidak berpindah dari tempatnya karena mengalir, seperti air kolam di kebun, dan aliran di padang pasir, dan lain-lain. Jadi, frasa: ((لا يجري)) merupakan penjelasan tentang sesuatu yang tetap dan memperjelas maknanya. Ada juga yang mengatakan bahwa ini untuk menetapkan air yang tergenang dan tidak mengalir, seperti kolam dan sejenisnya.
  • Makna (ثم يغتسل فيه) menggunakan bentuk mudhari’ dengan taqdir: kemudian dia mandi di dalamnya, artinya: dia tidak buang air kecil di dalamnya karena perintah terakhir adalah untuk mandi di dalamnya, jadi bagaimana dia buang air kecil di sesuatu yang nanti akan digunakan untuk bersuci baginya?! Dalam kalimat ini terdapat isyarat pada hikmah larangan.
  • Makna: (وهو جنب) yaitu: sedang dalam keadaan junub, dan hal itu termasuk yang wajib mandi karena berhubungan badan atau keluar mani.
  • Perbedaan antara riwayat Bukhari: ((ثم يغتسل فيه)) dan riwayat Muslim: ((ثم يغتسل منه)) serta riwayat Abu Dawud: ((ولا يغتسل فيه من الجنابة)) adalah bahwa riwayat Bukhari menunjukkan larangan mandi dengan mencelupkan seluruh tubuh dalam air yang digunakan untuk kencing, maksudnya: bagaimana mungkin seseorang buang air kecil dalam air yang juga digunakan untuk mandi atau keperluan lainnya?!
    • Riwayat Muslim menunjukkan larangan mengambil air dari wadah untuk mandi di luar wadah tersebut.
    • Masing-masing riwayat memiliki makna yang saling melengkapi; riwayat (فيه) menunjukkan makna pencelupan secara langsung dan melarang pengambilan air untuk mandi, sedangkan riwayat (منه) menunjukkan sebaliknya.
    • Adapun riwayat Abu Dawud menunjukkan larangan terhadap buang air kecil atau mandi secara terpisah, artinya seseorang tidak boleh buang air kecil dalam air yang tergenang walaupun tidak berniat untuk mandi darinya.
    • Jadi, dari seluruh riwayat dapat disimpulkan bahwa semua tindakan tersebut dilarang, karena buang air kecil atau mandi di air yang tergenang dapat menyebabkan air menjadi kotor dan tercemar bagi orang lain walaupun tidak sampai terjadi najis, seperti akan dijelaskan insya Allah.
    • Yang mendukung larangan buang air kecil secara terpisah adalah hadis Jabir yang meriwayatkan dari Rasulullahﷺ :(Dia melarang buang air kecil di air yang tergenang) (diriwayatkan Muslim (281)).

💡 Faedah Hadits:

1. Dalam hadis terdapat dalil yang melarang mandi junub di air yang tetap (tergenang), karena hal itu akan mencemari air dengan kotoran dan najis junub.

2. Namun, mandi junub dengan mengambil air dari air yang tergenang menggunakan wadah atau tangannya setelah membersihkannya tidak termasuk larangan ini, sebagaimana telah disebutkan oleh Abu Hurairah. Maksudnya adalah diperbolehkannya mandi junub di air yang mengalir.

3. Larangan buang air kecil di air yang tetap(tergenang); karena hal itu mengakibatkan air tersebut tercemar oleh najis atau penyakit yang mungkin dibawa oleh urin, sehingga membahayakan siapa saja yang menggunakan air tersebut, bahkan mungkin orang yang buang air itu sendiri saat menggunakannya.

4. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang air kecil langsung di air atau buang air ke wadah kemudian dituangkan ke air, begitu juga jika buang air di dekat air sehingga urin mengalir ke dalamnya; semua itu tercela, kotor, dan dilarang.

5. Makna dari hadis ini membolehkan buang air kecil di air yang mengalir, karena urin ikut mengalir bersama air.

6. Tidak ada perbedaan apakah air yang terus-menerus itu sedikit atau banyak, dan tidak ada alasan untuk memperinci, bahwa jika banyak maka dilarang karena makruh, dan jika sedikit maka dilarang karena haram, seperti salah satu pendapat dalam masalah ini; karena hadis tidak menjelaskannya secara rinci. Memang benar bahwa larangan pada yang sedikit lebih kuat; karena lebih cepat terkena kotoran dan berubah, tetapi mengatakan bahwa larangan pada yang banyak sebagai makruh dapat menyebabkan orang bersikap longgar dalam hal ini. Yang wajib adalah menutup apa yang ditutup oleh Nabi dan melindungi apa yang dijaganya, dan hal-hal ini tujuannya jelas serta manfaatnya nyata, sehingga larangan diambil menurut hakikatnya, yaitu haram, walaupun airnya banyak. Karena semua riwayat tidak menentukan jumlahnya, hanya disebutkan sebagai air yang terus-menerus. Adapun air yang sangat banyak, seperti yang luas laut yang tidak mungkin terpengaruh oleh air seni atau terkontaminasi oleh wudu, maka menurut kesepakatan tidak termasuk larangan, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Daqiq al-‘Id Rahimahullah [Syarah Umdah 1/127]. Wallohua’lam.

7. Pembatasan mandi hanya untuk mandi janabah adalah bersifat umum, sehingga tidak boleh dipahami bahwa diperbolehkan mandi di luar janabah, maka mandi lainnya lebih dilarang, karena kotoran lebih parah pencemarannya bila dibandingkan dengan mandi janabah.

8. Adapun hukum air yang disebutkan adalah benar bahwa air tidak menjadi najis kecuali jika berubah karena Najis, baik karena air kencing atau penggunaannya untuk mandi, dan larangan itu tidak berarti air menjadi najis; karena larangan itu hanya diperuntukkan untuk kencing atau mandi, bukan untuk menyatakan bahwa air menjadi najis. Jadi, itu merupakan larangan terhadap perbuatan, bukan menyangkut airnya. Demikian pula jika seseorang bangun dari tidur dan mencelupkan tangannya ke dalam wadah sebelum mencucinya tiga kali, air itu tidak menjadi najis, sesuai prinsip yang disebutkan sebelumnya: الماء طهور لا ينجسه شيء  (Air suci, tidak menjadi najis oleh apa pun), meskipun orang itu berdosa karena melanggar larangan.

9. Termasuk Buang air kecil dalam hal ini juga memiliki makna yang sama, seperti buang air besar, bahkan lebih buruk, begitu pula semua hal yang menjijikkan karena adanya sebab, yaitu mencemari air dan membuatnya najis bagi orang lain. Ibnu Qudamah mengatakan: (Sebagian besar ulama tidak membedakan antara air kencing dan najis lainnya). Hukum wudhu dengan air yang tergenang sama dengan hukum mandi, hal ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallohu’ahu secara marfu’: ((Janganlah seorang dari kalian buang air kecil di air yang tetap kemudian menggunakan air itu untuk wudhu)), dan ini karena mandi dan wudhu setara dalam makna yang mengandung larangan. Wallohua’lam.

*****

Hadits ke-7: Larangan Laki-laki Mandi Bekas Perempuan

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “أَنْ تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ, أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ, وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Ada seorang laki-laki yang merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan. Namun, hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama.

(Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i, dan sanadnya sahih) [HR. Abu Daud, no. 81 dan An-Nasa’i, 1:130. Hadits ini sanadnya sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:46].

📗Penjelasan:

Hadits ini menjadi dalil larangan bagi wanita untuk mandi memakai air yang tersisa dari mandi seorang pria, dan larangan bagi pria untuk mandi memakai air yang tersisa dari mandi seorang wanita, serta membolehkan keduanya mandi dari satu wadah dengan mengambil air menggunakan tangan.

Larangan ini bertentangan dengan dalil yang lebih kuat dan lebih banyak jalur perawinya, yang menunjukkan bolehnya hal itu sehingga diamalkan. Judulnya: جواز اغتسال الرجل بفضل المرأة [Bolehnya laki-laki mandi bekas wanita atau sebaliknya].

Kaidah Menjelaskan: Asal hukum dalam larangan itu haram, tetapi jika kemudian Nabi melakukannya, maka derajatnya menjadi Makruh.

Ini berlaku bila ada air lain untuk mandi selain sisa air wanita. Namun, bila kebutuhan mendesak terhadap sisa air wanita, maka makruh menjadi hilang; karena mandi adalah wajib, wudhu juga wajib, sehingga tidak ada kemakruhan dengan adanya wajib pada kebutuhan air. Apabila terdapat banyak air, yang utama adalah tidak mandi dengan sisa air wanita ataupun wanita tidak mandi dengan sisa air pria, dan Allah Maha Mengetahui.

💡 Faedah Hadits:

  1. Hukumnya makruh bila laki-laki mandi dari bekas perempuan dan sebaliknya, apalagi jika masih ada air yang banyak.
  2. Jika ada kebutuhan, tidak jadi masalah laki-laki mandi dari bekas perempuan.
  3. Yang dianjurkan adalah mandi berbarengan antara suami-istri.

Hadits Ke-8 & 9: Bolehnya Mandi Bekas Isteri

HADITS KE-8:  

 وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah radhiyallahu ‘anha. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) [HR. Muslim, no. 323]

HADITS KE-9

وَلِأَصْحَابِ “اَلسُّنَنِ”: – اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا, فَقَالَ: “إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ” – وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Menurut para penyusun kitab Sunan, sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya, “Sesungguhnya aku tadi junub.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.”

(Hadits sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah). [HR. Abu Daud, no. 68; Tirmidzi, no. 65; An-Nasa’i, 1:173; Ibnu Majah, no. 370; Ibnu Khuzaimah, 1:57; Al-Hakim, 1:159. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih dalam bab thaharah, walaupun tidak dikeluarkan Bukhari-Muslim, tidak diketahui ada ‘illah atau cacat dalam hadits ini.Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:49].

  •  Perawi:

Periwayat hadits yaitu Abu Al-Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib Al-Hashimi Al-Quraisy, ulama dan faqih umat serta penafsir Al-Qur'an [ترجمان القرآن], lahir tiga tahun sebelum Hijrah, Rasulullah ﷺ mendoakannya dengan sabda:

اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل   ] أخرجه أحمد (١٥٩/٥ - ١٦٠)، وابن أبي شيبة (١١١/١٢ -١١٢) وغیرهما، وإسناده صحيح، وهو في الصحيحين مختصراً، ((فتح الباري)) (٢٤٤/١).

'Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya penafsiran.' [Dikeluarkan oleh Ahmad (159/5 - 160), dan Ibnu Abi Syaibah (111/12 - 112) dan lain-lain, dan sanadnya shahih, dan dalam Shahihain secara ringkas, (Fathul Bari) (244/1)].

Beliau memperoleh banyak ilmu, sempat menyaksikan wafatnya Rasulullah ﷺ, dan meninggal di Taif pada tahun enam puluh delapan. Jenazahnya dishalatkan oleh Muhammad bin Al-Hanafiyah, yang berkata: 'Hari ini wafat guru besar umat ini.'

  • Keutamaan Maimunah

Beliau adalah Maimunah binti Al-Harith Al-Hilaliyah, yang dinikahi Nabi pada tahun ke-tujuh setelah melakukan Umrah al-Qadiyah, dan dia membangun rumah dengannya di (Sarif) - sebuah tempat antara Sarif dan Al-Tan'im sejauh tiga mil - itu setelah kematian suaminya Abu Ruhm bin Abdul 'Uzza, dan dia adalah wanita terakhir yang dinikahi Nabi.

Aisyah memujinya dengan berkata: (Dia termasuk orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling menghubungkan silaturahmi). Dia wafat di Sarif pada tahun lima puluh satu menurut pendapat yang paling kuat.

💡 Faedah Hadits:

  1. Hadits ini dan hadits sebelumnya menunjukkan bolehnya seseorang mandi dengan air bekas istrinya. Mandi seperti ini tidak berpengaruh pada kesucian air. Karena air tidaklah jadi najis kala itu.
  2. Larangan dalam hadits sebelumnya dimaknai makruh, bukanlah haram.
  3. Dan tidak dikatakan: ini khusus untuk Nabi, sehingga perbuatannya bertentangan dengan sabda beliau yang khusus bagi umat; karena sabdanya: إن الماء لا يجنب ((Air tidak najis)) dan الماء لا ينجسه شيء  ((Air tidak menajiskan sesuatu)) menunjukkan bahwa hal itu tidak khusus bagi Nabi, dan karena bentuk الرجل  (laki-laki) dalam hadits mencakupnya secara lahir, sebagaimana dalam ilmu ushul.
  4. Adapun pembolehan wanita mandi menggunakan kelebihan air bersih bagi laki-laki, tidak ada dalil khusus yang datang, tetapi hal itu diqiyaskan pada pembolehan bagi laki-laki. Ibn Abd al-Barr berkata: (Tidak masalah jika masing-masing dari keduanya menggunakan kelebihan air yang suci dari pasangannya, secara syar’i dan mayoritas ulama bersepakat. Dia berkata: Riwayat yang berkaitan dengannya mutawatir, lalu disebutkan hadits Ibn Abbas.. ((Al-Istidhkar)) (2/129).

*****

Hadits ke-10: Tata Cara Membersihkan Susatu yang Terkena Jilatan Anjing

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَفِي لَفْظٍ لَهُ: – فَلْيُرِقْهُ –

وَلِلتِّرْمِذِيِّ: – أُخْرَاهُنَّ, أَوْ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ –

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sucinya tempat air seseorang di antara kalian jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan tanah.” (Dikeluarkan oleh Muslim). [HR. Muslim, no. 279, 91]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Hendaklah ia membuang air itu.”

Menurut riwayat Tirmidzi, “Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan tanah).” [HR. Tirmidzi, no. 91]

📗Penjelasan:

Hadis ini menjadi bukti kenajisan anjing, karena sabda belia:  أحدكم طهور إناء  ((Suci wadah salah seorang dari kalian)), dan kata 'suci' hanya dapat digunakan untuk hadats atau kenajisan, dan tidak mungkin ada hadats pada wadah, sehingga yang tersisa hanyalah kenajisan, dan karena beliau memerintahkan untuk membuang isi wadah - seperti yang akan dijelaskan insya Allah -, dan jika semua ini terdapat pada mulut anjing, yang merupakan bagian terbaik darinya karena hewan ini sering mengendus, maka bagian tubuh yang lain lebih utama lagi untuk dianggap najis.

Hadis ini menjadi dalil kewajiban membersihkan apa pun yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali; karena najis anjing termasuk jenis yang paling berat, dan air liurnya serta apa pun yang keluar dari tubuhnya seperti kencing, keringat, dan lainnya adalah najis.

Banyaknya pencucian khusus untuk najis anjing, dan tidak dapat diterapkan pada hewan lain seperti babi; karena ibadah adalah urusan yang bersifat taukifiyah [harus berdasarkan dalil syar'i dari Al-Qur'an dan Sunnah baik cara, bilangan, waktu atau tempat], dan hal-hal ini tidak dapat dipahami dengan pendapat atau analogi. Tidak disebutkan dalam kasus lain selain anjing tentang banyaknya mencuci, dan babi disebutkan dalam Al-Qur'an dan ada pada zaman Nabi, namun tidak dikaitkan dengan aturan tersebut, maka najisnya sama dengan najis lainnya.

Nabi menunjukkan bahwa anjing itu najis dari jilatan karena ia merupakan kebiasaan, anjing tidak buang air atau kotorannya di dalam wadah. Sesuatu yang keluar dengan cara yang diluar kebiasaan dapat diabaikan, sehingga najis anjing berlaku untuk seluruh tubuhnya dan dibersihkan dengan cara yang disebutkan. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Ulama Dzahiriyah [Seperti Ibnu Hazm] berkata: Dibersihkan tujuh kali khusus untuk najis akibat jilatan, sedangkan air kencingnya, kotorannya, darahnya, atau keringatnya seperti najis biasa. An-Nawawi berkata: (Ini adalah pandangan yang benar, dan kuat dari segi dalil), dan ini dipilih oleh al-Syaukani.

💡 Faedah Hadits:

  1. Hadits ini menunjukkan najisnya anjing.
  2. Wajib menyucikan jilatan anjing sebanyak tujuh kali.
  3. Najis anjing itu najis berat (mughallazhoh).
  4. Wajib menyucikan dengan tanah bersama air.
  5. Air yang dijilati anjing dalam wadah dihukumi najis karena air tersebut diperintahkan untuk dibuang.

*****

Hadits Ke-11: Sucinya Bekas Makan atau Minum dari Kucing

 وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ-فِي اَلْهِرَّةِ-: – إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّمَا هِيَ مِنْ اَلطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ. وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal kucing bahwa kucing itu tidaklah najis, ia termasuk hewan yang berkeliaran di sekitar kalian. (Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap sahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah). [HR. Abu Daud, no. 75; An-Nasai, 1:55, 178; Ibnu Majah, no. 367; Ibnu Khuzaimah, no. 104. Hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:60].

 Perawi

Dia adalah Abu Qatadah Al-Harith bin Rabi' Al-Ansari Al-Khazraji, beliau mengikuti Perang Uhud dan setelahnya, dan beliau dijuluki: ‘Ksatria Rasulullah’ فارس رسول الله. Seperti yang tercatat dalam Shahih Muslim, Nabi juga menolongnya dalam beberapa perjalanan ketika beliau tergelincir dari tunggangannya saat tidur. Ketika terbangun, Nabi bersabda kepadanya: 'Semoga Allah menjaga kamu sebagaimana kamu telah menjaga Nabi-Nya.' Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim.

📗Penjelasan:

Hadis ini menjadi bukti kesucian mulut kucing, dan juga kesucian bekas makanan mereka karena adanya kesepakatan bahwa kucing tidak termasuk najis, terkait alasan berkeliaran sebagaimana disebutkan dalam hadits, dan penegasan bahwa kucing tidak najis, serta wudhu dari bekas makanannya setelah wadahnya dijilatinya. Dalam sabdanya: إنها ليست بنجس (Sesungguhnya ia tidak najis) terdapat dalil kesucian seluruh anggota tubuh dan badannya menurut pendapat yang kuat, berbeda dengan mereka yang berpendapat bahwa kesuciannya hanya terbatas pada bekas makanannya dan apa yang disentuh oleh mulutnya, sedangkan bagian tubuhnya yang lain tetap najis, karena hal ini bertentangan dengan makna hadits.

Ini merupakan salah satu prinsip dari kaidah besar المشقة تجلب التيسير (kesulitan membawa kemudahan), karena banyaknya keliling dan meluasnya paparan jangkauan padanya membuat apa yang disentuh kucing menjadi suci walaupun masih basah. Ibnu Qudamah berkata setelah hadis Abi Qatadah: (Ini menunjukkan secara tekstual penghapusan makruh dari bekas makanan kucing, dan dengan alasannya juga menghapus makruh dari apa yang disentuhnya ketika melakukan putaran di sekeliling kita...) (Al-Mughni 1/11). Dengan demikian, semua hal yang sering bersentuhan dengan manusia dan sulit dihindari hukumnya seperti kucing, maka dihukumi suci.

Adapun memasukkan syarat kecil, yaitu yang lebih kecil dari kucing dalam penciptaan, tidak memiliki dasar, karena tidak ada dalil yang mendukung, dan hukum ini bukan hanya khusus pada mulutnya, tetapi seluruh tubuhnya juga; karena sabda beliau: إنها ليست بنجس إنها من الطوافين عليكم (Sesungguhnya ia tidak najis, ia termasuk hewan yang berkeliaran di sekeliling kalian).

Yang benar menurut pendapat ulama adalah menyamakan keledai dan baghal dengan kucing dalam hal kesucian najis dari kencing dan keringatnya, karena sebab yang disebutkan, dan kebutuhan manusia terhadap mereka untuk menunggang dan mengangkut, terutama sebelum adanya mobil, dan karena Nabi ﷺ pernah menungganginya dan mereka ditunggangi pada zamannya, serta pada masa sahabat ﷺ. Jika hewan itu najis, tentu Nabi akan menjelaskannya.

Ada bukti tentang baiknya metode pengajaran Nabi dalam menjelaskan hukum, di mana beliau mengaitkan hukum dengan sebabnya, dan hal ini memiliki manfaat, antara lain:

  1. Menunjukkan keagungan dan kesempurnaan syariat, dan bahwa setiap hal memiliki hikmah.
  2. Memperkuat iman orang yang berkewajiban terhadap hukum tersebut jika ia mengetahui sebabnya.
  3. Menerapkan hukum pada setiap hal yang terdapat sebabnya, Wallohu’alam.

💡 Faedah Hadits:

  1. Hadits ini menunjukkan bahwa mulut kucing itu suci.
  2. Bekas makan dan minum kucing itu suci.
  3. Berwudhu dari bekas minum kucing itu sah.
  4. Seluruh tubuh kucing itu suci, kecuali untuk kotoran dan kencingnya tetap dihukumi najis sebagaimana hewan yang haram dimakan lainnya.
  5. Setiap hewan yang biasa berkeliaran di tengah manusia dan sulit dihindari keberadaannya, maka dihukumi suci. Para ulama menyamakan kucing di sini dengan keledai yang di masa silam dijadikan sebagai kendaraan.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini