بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab: Pokok-pokok Aqidah (Ushulus Sunnah) Imam Ahmad
Pemateri: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawiy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan 5: 20 Safar 1447 / 13 Agustus 2025
Tempat: Masjid Al-Aziz - Jl. Soekarno Hatta no. 662 Bandung.
POKOK-POKOK SUNNAH MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH
Tidak ada Qiyas dalam Aqidah & Sunnah Tidak Boleh Dibantah dengan Permisalan, Akal dan Hawa Nafsu
Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:
وَلَيْسَ فِي السُّنَّةِ قِيَاسٌ، وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالعُقُولِ وَلَا الأَهْوَاءِ، إِنَّمَا هِيَ الِاتِّبَاعُ وَتَرْكُ الهَوَى.
(6) Tidak ada analogi (qiyas) dalam Sunnah. (7) Sunnah tidak boleh dibantah dengan permisalan dan tidak boleh dibantah dengan akal dan hawa nafsu. Akan tetapi Sunnah disikapi dengan ittiba (diikuti dan diterima) dan meninggalkan hawa nafsu.
Maksud beliau tidak ada qiyas (analogi) dalam masalah akidah karena aqidah itu bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi ﷺ bukan berdasarkan akal. Akal sifatnya terbatas dan akal digunakan untuk memahami sumber dalil yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah bukan menghakimi keduanya.
Jadi maksud beliau adalah qiyas (analogi) yang batil, seperti menganalogikan Allah ﷻ dengan makhluk.
Demikian juga menganalogikan hukum dunia dengan alam barzakh. Seperti orang-orang zindiq yang manganalogikan dengan alam dunia, sehingga mereka tidak percaya dengan azab kubur.
Maka, selama sudah ada ada dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka tidak ada analogi-analogi yang melibatkan akal yang memiliki keterbatasan, tugas kita hanya sami'na wa atha'na.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا ينتهي إِلَيْهِ مَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا ينتهي إِلَيْهِ
“Akal memiliki batas, sebagaimana mata juga mempunyai batas penglihatan.” - [Adab asy-Syafi’i wa Manaqibuhu karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 271]
Bukan maksud beliau dengan qiyas di sini adalah qiyas dalam masalah fiqh yang benar, buktinya salah satu sumber hukum madzhab Imam Ahmad adalah qiyas, namun yang diingkari oleh beliau adalah analogi-analogi yang bathil untuk menentang wahyu. Seperti perkataan iblis ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam adalah, "Aku lebih baik dari padanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
Iblis menggunakan akalnya, menolak perintah sujud karena merasa dirinya lebih mulia dari Adam berdasarkan asal penciptaannya.
Para ulama mengatakan, setiap qiyas yang bertentangan dengan dalil maka itu adalah qiyas yang rusak atau tidak sah.
Demikian juga tidak boleh membantah dalil dengan permisalan-permisalan.
Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu meriwayatkan dari Nabi ﷺ sebuah hadits: “Hendaklah berwudhu setelah memakan makanan yang terkena api.”
Maka ada seorang sahabat berkata padanya (Abu Hurairah), “Tidakkah kamu perintahkan mereka agar berwudhu setelah minum air panas.” Maka ia jawab, “Wahai anak saudaraku, jika aku menyampaikan padamu hadits Nabi ﷺ maka janganlah kamu membuat permisalan-permisalan untuknya.”
📖 (Isnadnya hasan sesuai dengan syarat Imam Muslim, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (79) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah menjawab,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim, no. 335)
Sunnah juga tidak boleh dibantah dengan akal dan hawa nafsu.
Akal bukan standar dalil, tidak boleh untuk membantah nash yang sudah ada. Karena sifat akal yang terbatas dan tidak mungkin mengetahui segala dalil yang ada. Jika akal dijadikan standar, maka akal siapa yang bisa dijadikan standar kebenaran? Sesuatu hal yang tidak pasti!
Ulama mengibaratkan akal seperti handphone, tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada pulsa(signal), akal juga seperti mata yang tidak berfungsi jika tidak ada cahaya, begitupun akal tidak berfungsi tanpa bimbingan wahyu dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 59:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)
Dalam ayat ini, Allah ﷻ tidak menyuruh mengembalikan kepada akal.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Demikian juga jangan membantah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hawa nafsu, karena hawa nafsu bukan standar kebenaran yang bisa diikuti.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Shad ayat 26:
وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Dalam surat Al-Mukminun ayat 71:
وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Maka, salah satu tujuan pokok syari'at adalah menentang atau menyelisihi hawa nafsu.
Dari paparan ini, kita bisa simpulkan beberapa poin penting:
1. Tunduk dan Patuh kepada Dalil
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Maka, kewajiban kita adalah tunduk dan patuh kepada Dalil, karena apa yang disampaikan Rasûlullâh pasti kebenaran.
Abdullah bin 'Amr -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan, Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ karena ingin menjaganya, tetapi orang-orang Quraisy melarangku. Mereka mengatakan, "Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah ﷺ, sedangkan Rasulullah ﷺ seorang manusia yang berbicara ketika marah dan rida?" Sehingga aku berhenti menulis. Lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau menunjuk dengan jari ke mulutnya seraya bersabda, "Tulislah! Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran." - [Sahih] - [HR. Abu Daud] - [Sunan Abu Daud - 3646]
Contoh sahabat dalam ittibâ kepada Rasulullah ﷺ:
- Sikap para sahabat dalam meniru Rasulullah, meskipun Rasulullah melepas sandal dalam shalat:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu,
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى فخَلعَ نَعليهِ فخلعَ النَّاسُ نعالَهُم فلمَّا انصرَف قالَ: لمَ خَلعتُمْ نعالَكُم ؟ قالوا: يا رسولَ اللَّهِ، رأيناكَ خلَعتَ فخَلَعنا قالَ: إنَّ جَبرئيلَ أتاني فأخبرَني أنَّ بِهِما خَبثًا فإذا جاءَ أحدُكُمُ المسجِدَ فليقلِب نعليهِ فلينظُر فيهما خبثٌ؟، فإن وجدَ فيهما خبثًا فليمسَحهما بالأرضِ، ثمَّ ليصلِّ فيهما
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika sedang shalat beliau melepas sandalnya. Maka para makmum pun melepas sandal mereka. Ketika selesai shalat Nabi bertanya, ‘mengapa kalian melepas sandal-sandal kalian?’ Para sahabat menjawab, ‘wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun mengikuti engkau.’ ‘(Adapun aku,) sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua pasang sandalku terdapat najis. Maka jika salah seorang dari kalian mendatangi masjid, hendaknya ia lihat bagian bawahnya apakah terdapat najis Jika ada maka usapkan sandalnya ke tanah, lalu shalatnya menggunakan keduanya’” (HR. Al-Hakim 1/541, Abu Daud no. 650, Ibnu Hibban no. 2185, Al-Hakim menyatakan shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, Al-Albani dalam Shahih Abu Daud menyatakan Shahih).
- Pada peristiwa Isra miraj (perjalanan risalah hanya dalam satu malam), banyak yang tidak mempercayai kisah Rasulullah ﷺ yang tidak masuk akal tersebut.
Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah yang paling pertama membenarkan peristiwa tersebut, karena keimanannya yang kuat terhadap peristiwa Isra Miraj dan perkataan Nabi ﷺ.
أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ
“Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.”
Maka, sungguh benar apa yang disampaikan Imam Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, wahyu itu dari Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ hanya menyampaikan dan kewajiban kita adalah tunduk dan patuh.
Seperti halnya juga, Umar tatkala mencium Hajar aswad. Umar bin Khattab pernah berkata,
إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan mudhorot (bahaya), tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (HR. Muslim no. 1270).
2. Jangan menentang wahyu dengan akal, logika dan hawa nafsu
Jika seseorang melakukan hal ini, maka dia menyerupai Iblis ketika membantah Allah ﷻ tatkala disuruh kepada Adam alaihissalam.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
ما عارض أحدٌ الوحيَ بعقله إلا أفسد اللهُ عليه عقلَه، حتى يقول ما يضحك منه العقلاء!
“Tidaklah seseorang menentang wahyu dengan akalnya, kecuali Allah akan menjadikan akalnya rusak. Akibatnya, dia akan mengatakan hal-hal yang menjadi bahan tertawaan orang-orang yang berakal sehat.” 📚 Ash-Shawa’iqul Mursalah, jilid 3 hlm. 1002.
Imam Ibnul Abi Izz Rahimahullah berkata, siapa yang menentang wahyu dengan akalnya, maka dia seperti iblis, tatkala menentang perintah Allah dengan akalnya. (Syarh Aqidah Thohawiyyah)
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 11—12)
Perbuatan menentang wahyu dengan akal adalah warisan iblis. Dialah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.
Perhatikan kisah berikut:
أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.
“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)
Ibnu Abbas pernah dibantah seseorang tatkala memberitahukan hadits dan dibantah dengan perkataan Abu Bakar dan Umar, maka beliau berkata:
يُوشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنْ السَّمَاء. أَقُولُ لَكُمْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَتَقُولُونَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ؟!
“Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”, tetapi kalian malah mengatakan, “Kata Abu Bakar dan Umar?!”.”
Lihatlah, bagaimana Ibnu Abbas marah besar tatkala ucapan Nabi dibantah dengan pendapat Abu Bakar dan Umar, lantas bagaimana kiranya jika dibantah dengan pendapat orang zaman sekarang?!
Suatu ketika Abu Muawiyah yang buta berbicara di majlis Harun Ar-Rasyid, maka ia menyampaikan hadits: "Suatu saat Nabi Adam dan Musa 'alaihima sallam berdebat dan Adam memenangkannya.
Tiba-tiba Ali bin Ja'far menyela: "Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, masa kehidupan Nabi Adam dan Nabi Musa kan berbeda masa yang lama". Lalu khalifah Harun Ar-Rasyid menghardiknya: "Dia menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kamu membantah dengan bagaimana mungkin?" Beliau terus mengulang-ulangi, sampai Ali bin Ja'far terdiam"
Abu Utsman Ash Shabuni berkata: "Demikianlah seharusnya seseorang dalam mengagungkan hadits-hadits Nabi, menerimanya dengan sepenuh penerimaan, kepasrahan dan mengimaninya". (Aqidah Salaf Ashabul Hadits - Imam Ashabuni hal. 12).
3. Hukuman bagi Orang yang Menolak Sunnah-sunnah Nabi ﷺ
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 63:
فَلْيَحْذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Seseorang datang kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah, ia bertanya, "Wahai Abu Abdillah! Dari manakah aku mulai berihram? Jawab Imam Malik, "Dari Dzul Hulaifah sebagaimana ihramnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Orang itu berkata, "Aku ingin berihram dari Masjid Nabawi." Imam Malik berkata, "Jangan engkau lakukan itu!"
Orang itu berkata, "Aku ingin berihram dari masjid Nabawi dari samping kubur Nabi." Imam Malik berkata, "Jangan engkau lakukan! Karena aku khawatir engkau ditimpa fitnah."
Dia berkata, "Fitnah apa? Itu hanya menambah beberapa mil saja dari tempat miqat yang seharusnya?" Imam Malik berkata, "Fitnah apakah yang lebih besar dari engkau memandang lebih mendapatkan keutamaan sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mencontohkannya?"
Sesungguhnya aku mendengar Allah berfirman,
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم
"Maka orang-orang yang menyelisihi perintahnya hendaklah mereka takut akan ditimpa fitnah (syirik) atau azab yang pedih." (QS. An-Nur: 63). 📚 Hilyatul Awliya' (6/326)
Dari Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah seorang tabi’in, bahwa ia pernah melihat seorang yang shalat dua raka’at setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at, ia melakukan banyak rukuk dan sujud. Maka Sa’id melarangnya melakukan hal itu, lalu lelaki itu berkata kepada Sa’id:
يَا أَبَا مُحَمَّدٍ، أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلَاةَ ؟!
“Wahai Abu Muhammad, apakah Allah subhanahu wata’ala akan mengadzabku atas shalatku ini?!” Sa’id menjawab:
لَا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ
“Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu lantaran kamu menyelisihi sunnah.” (Ad-Darimi: 1/404, Al-Baihaqi: 2/466, Abdurrazaq: 4755)
Imam Adzahabi mengisahkan dalam Syiar Alami Nubala, ada seorang ulama menyampaikan hadits tentang larangan jual beli musharrah yaitu menjual kambing atau unta dengan membiarkan susunya tidak diperah agar terlihat gemuk.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
لاَ تُصِرُّوا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ
“Janganlah kalian menahan susu unta dan kambing (agar kelihatan gemuk)..."
Lalu ada seorang pemuda berkomentar bahwa hadits Abu Hurairah tidak diterima. Maka, tiba-tiba ada seekor ular dari atap masjid yang mengejar pemuda tersebut, maka orang-orang menasihati bertaubatlah, hingga dia bertaubat. Maka ular tersebut akhirnya menghilang.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismalil At-Taimy berkata : Aku pernah membaca dalam sebagian kisah, bahwa pernah ada seorang ahlul bid’ah tatkala mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْسِلَهَا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Apabilah salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia mencucinya terlebih dahulu, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.
Maka ahlu bid’ah tersebut berkata dengan nada mengejek: “Aku mengetahui di mana tanganku bermalam di atas tempat tidur !! maka ketika ia bangun, tangannya telah masuk ke dalam duburnya sampai pergelangan tanganya”.
At-Taimy berkata: ”Hendaklah seseorang merasa takut menganggap ringan terhadap sunnah serta keadaan-keadaan yang (seharusnya ia) tawaqquf/diam. Maka lihatlah akibat yang telah sampai pada orang tersebut akibat akibat kejekan perbuatannya” (Bustanul A’rifin, An Nawawi hal 94).
Maka hati-hati dan waspada dari menolak hadits Nabi, seperti ada diantara manusia yang tidak mempercayai hadits tentang lalat:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila lalat masuk/terjatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah (lalat itu) kemudian buanglah, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit (racun) dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya.”(HR. al-Bukhari)
Banyak juga yang menolak isbal, masuk neraka gara-gara celana panjang yang menutupi mata kaki, karena menurutnya tidak masuk akal! Na'udzubillahmindalik. Padahal Hadits yang berkenaan dengan isbal adalah mutawatir yang diriwayatkan dari 30 sahabat.
Maka, hati-hatilah dengan meremehkan hadits-hadits Nabi ﷺ.
Ada beberapa kaidah penting yang disampaikan oleh Syaikh Sholeh Sindi Hafidzahullah dalam kitabnya Manzilatul aql fil islam - "kedudukan akal dalam Islam":
- Akal memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam. Islam menjunjung tinggi akal yaitu dengan menempatkan nya sebagai syarat taklif. Yaitu ketentuan yang menjadikan seseorang wajib menjalankan hukum-hukum syariat Islam, dengan berakal sehat. Maka, Orang gila diangkat penanya. Dan diantara Lima perkara yang sangat dijaga dalam Islam adalah akal: agama, nyawa, harta, akal dan nasab.
Begitu juga Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. - Ahlussunnah menetapkan kedudukan akal di pertengahan. Tidak berlebihan (seperti mu'tazilah dan ahli filsafat) dan tidak merendahkan (seperti sufiah ahli khurafat).
- Tidak ada pertentangan antara dalil yang shahih dengan akal yang sehat. Jika ada sekilas pertentangan bisa maka jadi: dalilnya tidak shahih, pemahamannya tidak tepat atau akalnya yang belum menjangkau.
- Sesungguhnya Akal memiliki batas, sebagaimana mata memiliki batas, maka akal tidak menjangkau ilmu ghaib, bahkan tuh pada manusia itu sendiri.
- Akal itu mengikuti naql (dalil), dan naql itu diikuti oleh akal.
Seorang penyair pernah menggambarkan keistimewaan ilmu dalam bari demi baris kalimat yang bertutur tentang perdebatan antara Ilmu dan Akal. Sang penyair berkata:
عِلْمُ الْعَلِيْمِ وَعَقْلُ الْعَاقِلِ اخْتَلَفَا
مَنْ ذَا الَّذِيْ مِنْهُمَا قَدْ أَحْرَزَ الشَّرَفَا
فَالْعِلْمُ قَالَ: أَنَا أَحْرَزْتُ غَايَتَهُ وَالْعَقْلُ قَالَ: أَنَـا الرَّحْمَنُ بِيْ عُرِفَا
فَأَفْصَحَ الْعِلْمُ اِفْصَاحًا وَقَالَ لَهُ بِأَيْنَا اللهُ فِي فُرْقَانِهِ اتَّصَفَا
فَبَانَ لِلْعَقْلِ أَنَّ الْعِلْمَ سَيِّدُهُ فَقَبَّلَ الْعَقْلُ رَأْسَ الْعِلْمِ وَانْصَرَفَا
“Ilmu orang yang ‘alim dan Akal orang yang cerdik, berselisih pendapat”
“Tentang siapakah di antara keduanya yang telah meraih (puncak) kemuliaan”
“Ilmu berkata: ‘Aku telah menggapai puncaknya’”
“Akal lantas menyahut: ‘Akulah Sang akal, yang dengannya ar-Rahman (Allah) bisa dikenali (melalui keajaiban ciptaannya di alam semesta)”
“Maka dengan terang dan lugas ilmu menjawab: ‘Dengan apakah Allah dalam al-Qur’an disifatkan (dengan al-‘Aliim atau al-‘Aaqil..??)
“Maka jelaslah bagi akal, bahwa ilmu adalah tuan majikannya”
“Sang akal pun mencium kening ilmu (sebagai bentuk penghormatan), lantas ia pun pergi berlalu”
📖 [Dinukil dari Mu-aanastul Jaliis hal. 12]
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم