Kategori Aqidah

Masalah-masalah ilmiyah yang berasal dari Allah dan RosulNya, yang wajib diyakini oleh setiap muslim
Kajian Bertema Aqidah

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: Pokok-pokok Aqidah (Ushulus Sunnah) Imam Ahmad
Pemateri: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawiy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan 8: 11 Rabi'ul Awal 1447 / 3 September 2025
Tempat: Masjid Al-Aziz - Jl. Soekarno Hatta no. 662 Bandung.



POKOK-POKOK SUNNAH MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH

Daftar Isi:

Ushulus Sunnah - Imam Ahmad #8 | Bab ke-5: Beriman Melihat Allah ﷻ di Akhirat

 Nasihat di Zaman Fitnah

Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas kemudahan dalam menghadiri majelis ilmu dalam keadaan aman, dan ini sesuatu yang harus dijaga.

Nabi ﷺ memberikan indikasi pentingnya nikmat aman. Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).

Dengan aman kita bisa beribadah dan beraktivitas dengan tenang, sungguh menyedihkan hati adanya huru-hara beberapa hari ini yang sampai memakan korban, karena demikianlah fitnah jika terjadi maka akan menimpa siapa saja, bahkan orang yang pandai pun akan sulit untuk membendungnya. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal Ayat 25:

وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.

Oleh karenanya Ustadz mengingatkan akan 5 hal yang penting dalam menghadapi hari-hari fitnah:

1. Sibukkanlah diri dengan beribadah.

Memperbaiki diri sendiri dengan banyak beristighfar dan memohon ampun, karena banyaknya fitnah adalah ujian dari Allah ﷻ disebabkan dosa-dosa kita.

Dalam Surat Ar-Rum Ayat 41:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Simak baik-baik hadis yang mulia ini. Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia, Ma’qal bin Yasaar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ

“Beribadah di masa haraj (sulit) itu layaknya berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim no. 2948 dan Tirmidzi no. 2201)

Ketika menghadapi pemberontakan Ibnul Asy'ats kepada pemimpin yang kejam dan zalim Al Hajjaj bin Yusuf, ulama Thalaq Ibnu Habib mengatakan, jika terjadi fitnah atau kekacauan maka tangkislah dengan Taqwa kepada Allah ﷻ. Karena kekacauan disebabkan dosa, dan ini bisa ditangkis dengan Ketaqwaan.

Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu– mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

2. Melaksanakan wasiat Nabi ﷺ :

Dari Uqbah bin Amir رضي الله عنه bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, apa kiat agar selamat?” Nabi ﷺ menjawab:

امْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, tetaplah di dalam rumahmu, dan menangislah atas segala kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi: 2406, Ahmad 5/259, dinyatakan shahīh oleh al-Albani dalam ash-Shahīhah no. 890).

3. Menjaga Persatuan

Ini adalah prinsip Islam yang mulia, dan sesuai dengan nilai dasar negara kita yaitu Persatuan Indonesia.

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 103:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,

Janganlah terpengaruh oleh provokator dari setan-setan yang berbentuk manusia yang mengajak kepada kerusakan.

Dahulu dikatakan oleh Yahya Al-Yamani rahimahullah, provokator bisa membuat kerusakan dalam sekejap, apa yang tidak dilakukan tukang sihir dalam waktu satu bulan.

4. Menerapkan prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah: Mendengarkan dan Taat kepada Pemerintah dan Tidak Memberontak

Mentaati penguasa mengandung kemaslahatan yang besar dibanding dengan seorang muslim memberontak atau tidak memiliki pemimpin untuk mengatur kemaslahatan khalayak ramai.

Inilah prinsip dasar Ahlus Sunnah yang disebutkan dalam kitab-kitab Aqidah salaf.

Pemberontakan tidak akan menghasilkan apapun kecuali kerusakan yang besar.

5. Berdo'a agar Allah ﷻ memberikan keamanan dan kebaikan pemimpin

Seperti Ibrahim berdo'a yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 126:

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنْ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

ʀᴀʙʙɪᴊ’ᴀʟ ʜᴀᴅᴢᴀ ʙᴀʟᴀᴅᴀɴ ᴀᴀᴍɪɴᴀɴ ᴡᴀʀᴢᴜQ ᴀʜʟᴀʜᴜ ᴍɪɴᴀꜱᴛ ꜱᴛᴀᴍᴀʀᴀᴀᴛɪ ᴍᴀɴ ᴀᴀᴍᴀɴᴀ ᴍɪɴʜᴜᴍ ʙɪʟʟᴀʜɪ ᴡᴀʟʏᴀᴜᴍɪʟ ᴀᴀᴋʜɪʀ

"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian".

Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام

“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy).

Maka, ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang diberi hidayah ilmu yang dapat membuat cahaya untuk melihat kebenaran.

Maka, penting untuk mempelajari akidah, dan ini teruji jika menjumpai zaman fitnah seperti sekarang ini.


Ushulus Sunnah - Imam Ahmad #8 | Pokok Aqidah #5: Beriman Melihat Allah ﷻ di Akhirat

Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:

وَالإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ،

(14) Beriman terhadap ru’yatullah (melihat Allah) di hari Kiamat (Surga), sebagaimana dalam riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

📃 Penjelasan:

Pentingnya mempelajari Aqidah Melihat Allah ﷻ di Akhirat

Pembahasan mengenai hal ini adalah pembahasan yang sangat penting dengan beberapa alasan :

  1. Pokok Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang mutawatir serta ijma' ulama.
  2. Para ulama mencantumkan masalah ini dalam kitab-kitab aqidah dan sebagian ulama menulisnya dalam kitab khusus, seperti Imam Ad-Daaruquthni rahimahullah dalam kitabnya Kitabur Ru'yah, demikian juga Al-Imam Al-Ajurri (Imam Madzhab Syafi’i) yang menulis At-Tashdiiqu bin Nadzar.
  3. Karena melihat Allah ﷻ adalah kenikmatan di surga yang paling tinggi. Hal ini memotivasi orang-orang yang beriman untuk semangat beramal shalih tuk menggapainya.
  4. Adanya paham yang menyimpang dan sesat, seperti kelompok sufi yang para tokoh mereka mengaku melihat Allah ﷻ di dunia dan di akhirat (berlebihan), juga Jahmiyah dan Mu'tazilah, yang mengingkari orang-orang yang beriman melihat Allah ﷻ di Akhirat (tidak beriman).

Dalil-dalil Tentang Melihat Allah ﷻ di Akhirat

Allah ta’ala berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

Allah ta’ala berfirman:

كَلَّآ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. (QS. Al-Muthaffifin: 15).

Imam Syafi'i Rahimahumullah menafsirkan dengan makna terbalik (mafhum mukhalafah) mengatakan bahwa ayat ini bisa dijadikan dalil bahwa orang-orang Mukmin tidak akan terhalangi dari memandang Allah di akhirat, sebagaimana firman-Nya: Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhannya. (al-Qiyamah/75: 22-23).

Demikian juga hadits-hadits tentang melihat Allah ﷻ di Surga dijelaskan dengan hadits mutawatir (memiliki banyak sekali jalur), seperti yang disampaikan dalam kitab Hadil Arwah ila Biladil Afrah oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, yang menjelaskan bahwa hadits-hadits tentang ini diriwayatkan dari 30 sahabat.

Contoh-contoh hadits-hadits mutawatir antara lain hadits tentang larangan berdusta atas nama Rasulullah, tentang melihat Allah ﷻ di Akhirat, syafaat, telaga, mengusap khuf (sepatu) dan lainnya.

Dan keimanan tentang masalah ini disepakati oleh ijmak para ulama, seperti yang disebutkan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam Risalah Ila Ahli Saghar, berbeda dengan Mu'tazilah dan Jahmiyah dalam masalah ini.

*****

Apakah Nabi ﷺ Melihat Allah ﷻ pada Saat Isra' Mi'radj?

Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:

وَأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدْ رَأَى رَبَّهُ، وَأَنَّهُ مَأْثُورٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ صَحِيحٌ، رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَرَوَاهُ الحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ، وَرَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مِهْرَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَالحَدِيثُ عِنْدَنَا عَلَى ظَاهِرِهِ كَمَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَالكَلَامُ فِيهِ بِدْعَةٌ، وَلَكِنْ نُؤْمِنُ بِهِ كَمَا جَاءَ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَلَا نُنَاظِرُ فِيهِ أَحَدًا.

Juga beriman bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat Rabbnya, dan riwayat ini shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu diriwayatkan Qotadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan dari Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihron dari Ibnu Abbas. (16) Hadits ini menurut kami (Ahlus Sunnah) dipahami zohirnya sebagaimana datangnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Membicarakan hadits ini adalah bid’ah. Adapun kami, mengimaninya sesuai zohirnya dan tidak mendiskusikannya dengan siapapun.

📃 Penjelasan:

Bahasan ini hendaknya dibedakan dengan melihat Allah ﷻ di Akhirat, karena ini masalah lain yang berbeda yaitu apakah Nabi melihat Allah saat Isra' Mi'raj ﷺ.

Agar lebih jelas, berikut penjelasannya:

  1. Melihat Allah ﷻ di Akhirat. Orang-orang yang beriman melihat Allah ﷻ di Akhirat. Ini disepakati oleh ulama.
    Melihat di akhirat adalah:
    • Di surga: Hanya orang-orang yang beriman yang mampu melihatNya, dan hal ini para ulama sepakat.
    • Di Mahsyar: orang-orang yang beriman mampu melihatNya, dan hal ini para ulama sepakat. Tetapi apakah orang-orang kafir melihatnya, para ulama berbeda pendapat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:
      1. Orang-orang kafir dan munafik bisa melihat tetapi dalam pandangan adzab, bukan rahmat.
      2. Orang-orang Kafir tidak bisa melihat.
      3. Orang munafik melihat setelah itu tertutupi.
  1. Melihat Allah ﷻ di dunia : Ulama sepakat, semua manusia tidak bisa melihat dengan pandangan mata. Demikian dibuktikan dengan ayat yang mengisahkan nabi Musa. Karena nikmat melihat Allah ﷻ adalah nikmat tertinggi dan hanya ada di tempat yang suci dan bersih, sementara dunia adalah tempat maksiat. Demikian juga manusia tidak akan mampu melihatnya sama seperti Musa.
  2. Masalah Nabi ﷺ melihat Allah ﷻ saat Isra Mi'raj. Ini diperselisihkan para ulama menjadi dua pendapat:

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi ﷺ tidak melihat Allah ﷻ. Dalilnya:

  • Dalam hadis dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نور أنى أراه

“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”

Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).

  • Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

من زعم أن محمدًا رأى ربه فقد أعظم الفرية على الله

“Siapa yang meyakini bahwa Muhammad pernah melihat Tuhannya, berarti dia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR. Bukhari 4855, Muslim no. 428, Turmudzi 3068, dan yang lainnya).

2. Berpendapat bahwa Nabi ﷺ melihat Allah ﷻ, inilah yang disampaikan Imam Ahmad rahimahullah. Juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Jumhur ulama, yang menyatakan Nabi ﷺ tidak melihat RabbNya.

Adapun pendapat kedua, dimaknai bahwa Nabi ﷺ melihat RabbNya dengan hatinya seolah-olah melihat karena begitu dekatnya seperti halnya pada pengertian Ihsan.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan melihat Allah ﷻ

1. Klasifikasi Manusia dalam Mengimani Rukyatullah
  1. Kelompok yang mengatakan dapat melihat Allah ﷻ di dunia dan di akhirat, inilah kelompok Sufi.
  2. Kelompok yang mengatakan tidak dapat melihat Allah ﷻ di dunia dan di akhirat, kelompok Jahmiyah dan Mu'tazilah.
  3. Ahlussunnah wal Jama'ah selalu pertengahan, Allah ﷻ tidak bisa dilihat di dunia dan bisa dilihat di akhirat. Inilah pendapat yang benar.
2. Kiat-kiat Agar Dapat Melihat Allah ﷻ

1. Beriman, karena hanya orang-orang yang beriman yang mampu melihat Allah ﷻ.

2. Ihsan. Sebagaimana Firman-Nya dalam Surat Yunus Ayat 26:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (QS. Yunus : 26).

Ziyadah dalam ayat ini artinya melihat Allah di akhirat. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷺ.

Bagi orang-orang yang beriman (orang-orang yang ihsan) yaitu orang-orang yang Ihsan di dunia:

  • Ihsan itu merasa dilihat oleh Allāh subhanahu wa ta’ala akhirnya dia beriman akhirnya dia bertakwa dan beramal shaleh.
  • Kemudian dia berbuat Ihsan kepada manusia.

3. Menjaga shalat Subuh dan Shalat Ashar

Dari sahabat Jarir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu malam, kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” (Yang beliau maksud adalah shalat subuh dan shalat ashar, pent.)

Kemudian Jarir membaca ayat,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

“(Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya).” (QS. Qaaf: 39). (HR. Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633)

Dalam ayat ini Nabi ﷺ tidak menyamakan Allah ﷻ dengan rembulan, tetapi yang beliau samakan adalah cara melihat.

Dalam hadits tersebut, terdapat hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

“Dikatakan tentang kesesuaian antara perintah untuk menjaga dua shalat ini (shalat subuh dan shalat ashar) setelah menyebutkan tentang nikmat rukyah (melihat wajah Allah Ta’ala), bahwa sesungguhnya nikmat tertinggi di surga adalah melihat wajah Allah Ta’ala. Sedangkan amal yang paling mulia di dunia adalah dua shalat tersebut. Oleh karena itu, dengan menjaga dua shalat tersebut, seseorang diharapkan masuk surga dan kemudian melihat wajah Allah Ta’ala di dalam surga.” (Fathul Baari, 4: 323)

4. Berdo'a Memohon agar Bisa melihat Wajah Allah

Karena do'a adalah kunci kebaikan.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ

ᴀʟʟᴀᴀʜᴜᴍᴍᴀ ɪɴɴɪɪ ᴀꜱ-ᴀʟᴜᴋᴀ ʟᴀᴅᴢᴅᴢᴀᴛᴀɴ ɴᴀᴅᴢᴏʀɪ ɪʟᴀᴀ ᴡᴀᴊʜɪᴋᴀ ᴡᴀꜱʏ ꜱʏᴀᴜQᴏ ɪʟᴀᴀ ʟɪQᴏᴏɪᴋᴀ ꜰɪɪ ɢʜᴏɪʀɪ ᴅʜᴏʀʀᴏᴏ-ᴀ ᴍᴜᴅʜɪʀʀᴏᴛɪɴ ᴡᴀ ʟᴀᴀ ꜰɪᴛɴᴀᴛɪɴ ᴍᴜᴅʜɪʟʟᴀᴛɪɴ

“Ya Allah, Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di Surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan.” - HR. An-Nasa’i

3. Apakah wanita juga bisa melihatNya?

Ada tiga pendapat dalam hal ini:

  1. Tidak dapat melihat.
  2. Dapat melihatnya, karena wanita adalah saudaranya laki-laki, maka jika tidak ada dalil yang menetapkannya maka hukum asalnya sama dengan laki-laki. Inilah pendapat yang kuat.
  3. Dapat melihat dalam momen tertentu seperti momen perayaan.
4. Apakah Jin bisa MelihatNya?

Ulama berselisih pendapat:

  1. Dapat melihat
  2. Tidak melihat.

Keduanya diawali dengan perbedaan pendapat apakah jin masuk surga? Yang kuat, adalah jin juga masuk surga, maka mereka bisa melihat Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahqaf Ayat 19:

وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۖ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَٰلَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.

Yakni setiap golongan dari orang-orang kafir dan orang-orang beriman dari golongan jin dan manusia memiliki kedudukan masing-masing di sisi Allah pada hari kiamat.

Semoga Allah Ta’ala memberikan anugerah kepada kita untuk melihat Allah ﷻ dan menganugerahkan nikmat aman di negeri ini. Aamiin.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini