Beberapa Contoh Tentang Setia Dan Memusuhi Karena Allah
1. Sikap Nabi Ibrahim Alaihissalam dan pengikutnya terhadap kaumnya yang kafir.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mutahanah: 4)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhannahu wa Ta’ala berkata kepada hamba-hambaNya yang mukmin yang diperintahkanNya untuk memerangi, memusuhi dan menjauhi orang-orang kafir, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia”, maksudnya adalah pengikut-pengikutnya yang mukmin. “Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah’,” maksudnya, kami melepaskan diri dari kalian dan dari tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah.
“Kami ingkari (kekafiran) mu”, maksudnya dien-mu dan jalanmu. “Dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya”, maksudnya telah disyari’atkan permusuhan dan kebencian -mulai dari sekarang- antara kami dan kalian selama kalian tetap kafir. Maka selamanya kami berlepas diri dari kalian serta membenci kalian.
“Sampai kamu beriman kepada Allah saja”, maksudnya sampai kalian mentauhidkan Allah semata, tanpa syirik dan membuang semua tuhan yang kalian sembah bersamaNya. Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa al-wala’ wal bara’ ada-lah ajaran Nabi Ibrahim, yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Allah menceritakan hal tersebut agar kita mencontohnya. Dia berfirman, “Telah terdapat bagimu teladan yang baik.” Dan pada penutup ayat, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada tela-dan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahakaya lagi terpuji.” (Al-Mumtahanah: 6)
2. Sikap orang-orang Anshar Terhadap Saudara-sauda-ranya dari Kaum Muhajirin.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Maksudnya, orang-orang yang tinggal di Darul Hijrah, yaitu Madinah, sebelum kaum Muhajirin, dan kebanyakan mereka beriman sebelum Muhajirin, mereka mencintai dan menyayangi orang-orang yang berhijrah kepada mereka, karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, dengan membagikan harta benda mereka tanpa merasa iri terhadap keutamaan yang diberikan kepada Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri juga sangat membutuhkan. Ini adalah puncak itsar (mengutamakan saudara) dan wala’ kepada Allah terhadap para penolong Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam.
3. Sikap Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap kemunafikan ayahnya yang berkata dalam salah satu pertempuran.
“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.” (Al-Munafiqun: 8)
Dia menginginkan al-a’azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Maka ketika hal itu didengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, dan dia mendengar bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ingin membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa anda ingin membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, maka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda”. Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Bahkan kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita.”
Maka tatkala Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah bin Abdullah berdiri menghadang di pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat, ia berkata kepada ayahnya, “Mundur!” Ayahnya bertanya keheranan, “Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!” Maka ia menjawab, “Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina).”
Maka ketika Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anaknya, Abdullah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya.” Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pun mengizinkannya, lalu Abdullah berkata, “Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengizinkan maka lewatlah sekarang.”