KISAH YANG MENAKJUBKAN...
Ibnul Mubarak (TABI'UT TABI'IN) -rahimahullah- menceritakan kisahnya : “Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat istisqa’ di Masjid Al-Haram. Saya bergabung dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di pundaknya.
Dia mencari tempat yang agak tersembunyi di samping saya. Maka saya mendengarnya berdoa, “Ya Allah, dosa-dosa yang banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram, dan Engkau telah menahan hujan dari langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu Wahai Yang Pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab, Wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka hujan sekarang.”
Dia terus mengatakan : “Berilah mereka hujan sekarang.”
Hingga langit pun penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara saya pun tidak mampu menahan air mata. Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui di mana tempat tinggalnya.
Lalu saya pergi menemui Fudhail bin Iyyadh (TABI'UT TABI'IN) -rahimahullah-. Ketika melihat saya maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat dirimu nampak sangat sedih?”
Setelah gagal menyulut sentimen kesukuan ditengah para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum munafik tidak lantas putus asa. Mereka memanfaatkan insiden lain untuk menyebar racun di tengah kaum Muslimin. Peristiwa ini terkenal dengan haditsul ifki (kisah dusta).
Kisah ini bermula ketika istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapat giliran menyertai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Muraisi’ ini yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma kehilangan kalungnya saat perjalanan menuju Madinah pasca peperangan.
Dalam perjalanan pulang itu, mereka beristirahat di sebuah tempat. Saat itu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma keluar dari sekedupnya (semacam tandu yang berada di atas punggung unta) untuk suatu keperluan. Ketika kembali ke sekedupnya, beliau Radhiyallahu anhuma kehilangan kalung, akhirnya beliau Radhiyallahu anhuma keluar lagi untuk mencarinya. Saat kembali untuk yang kedua kali inilah, beliau Radhiyallahu anhuma kehilangan rombongan, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat. Para shahabat yang menaikkan sekedup itu ke punggung unta tidak menyadari bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tidak ada di dalamnya karena dia masih ringan.
Beliau Radhiyallahu anhuma tentu gelisah karena ditinggal rombongan, namun beliau Radhiyallahu anhuma tidak kehilangan akal. Beliau Radhiyallahu anhuma tetap menunggu di tempat semula, dengan harapan rombongan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyadari ketiadaannya dan kembali mencarinya di tempat mereka istirahat. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, sampai akhirnya salah shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Shafwân bin al-Mu’atthal as-Sulami lewat di tempat itu dan mengenali ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , karena Shafwân Radhiyallahu anhu pernah melihat beliau Radhiyallahu anhuma saat sebelum hijab diwajibkan. Shafwân Radhiyallahu anhu kemudian membantu beliau Radhiyallahu anhuma . Shafwân menidurkan untanya agar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bisa naik unta sementara Shafwân menuntunnya sampai ke Madinah. Sejak bertemu dan selama perjalanan, Shafwân Radhiyallahu anhu tidak pernah mengucapkan kalimat apapun kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , selain ucapan Innalillah wa Inna Ilaihi Raji’un karena kaget saat mengetahui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tertinggal.
Selengkapnya: Kisah Dusta yang Menimpa Aisyah radhiyallahu ‘anha
Pembicaraan tentang putra dan putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk pembicaraan yang jarang diangkat. Tidak heran, sebagian umat Islam tidak mengetahui berapa jumlah putra dan putri beliau atau siapa saja nama anak-anaknya.
Enam dari tujuh anak Rasulullah terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Rasulullah memuji Khadijah dengan sabdanya,
قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR Ahmad no.24864)
Saat beliau mengucapkan kalimat ini, beliau belum menikah dengan Maria al-Qibtiyah.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Rasulullah memiliki tiga orang putra; yang pertama Qasim, namanya menjadi kunyah Rasulullah (Abul Qashim). Qashim dilahirkan sebelum kenabian dan wafat saat berusia 2 tahun. Yang kedua Abdullah, disebut juga ath-Thayyib atau ath-Tahir karena lahir setelah kenabian. Putra yang ketiga adalah Ibrahim, dilahirkan di Madinah tahun 8 H dan wafat saat berusia 17 atau 18 bulan.
Adapun putrinya berjumlah 4 orang; Zainab yang menikah dengan Abu al-Ash bin al-Rabi’, keponakan Rasulullah dari jalur Khadijah, kemudian Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lalu Ruqayyah dan Ummu Qultsum menikah dengan Utsman bin Affan.