Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khaththyy Radhiyallahu’anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dulu sebelum kamu, ada tiga orang berjalan-jalan kemudian mereka mendapatkan sebuah gua yang dapat dimanfaatkan untuk berteduh, maka merekapun masuk ke dalamnya. Kemudian tiba-tiba ada batu dari atas bukit yang menggelinding dan menutup pintu gua itu sehingga mereka tidak dapat keluar.
Salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan kamu sekalian dari bencana ini kecuali bila kamu sekalian berdo’a kepada Allah ﷻ denga menyebutkan amal-amal shalih yang pernah kalian perbuat.
Salah seorang di antara mereka menimpali, “Wahai Allah, saya mempunyai ayah ibu yang sudah tua renta, saya biasa mendahulukan memberi minuman susu kepada keduanya sebelum saya memberikannya kepada keluarga dan budak saya. Pada suatu hari saya terlambat pulang dari mencari kayu dan saya menemui keduanya sudah tidur, saya terus memerah susu untuk persediaan minum keduanya. Karena saya mendapati mereka berdua telah tidur maka saya pun enggan untuk membangunka mereka. Kemudian saya berjanji tidak akan memberi minum susu itu baik kepada keluarga maupun kepada budak sebelum saya memberi minum kepada ayah bunda.
Sebagian orang khususnya dari kalangan para mahasiswa mengira bahwa kemuliaan seorang ustadz dan kapasitas keilmuannya ditandai oleh jumlah jamaah yang hadir di dalam majelisnya, ini merupakan pemahaman yang salah dan tidak benar. Diriwayatkan dari Al-Auza’iy, ia berkata: “Adalah ‘Atha’ bin Abi Rabah merupakan orang yang paling diridhai di tengah-tengah manusia, dan tidaklah yang hadir di majelisnya melainkan tujuh atau delapan orang saja.” [1]
Perhatikan bersama-sama saya, isi tazkiyah (rekomendasi) agung tersebut yang berasal dari Imam mulia ini, dan perhatikan juga bahwa seorang dari penguasa Bani Umaiyah pernah mengumumkan bahwa: “Tidak ada yang boleh memberikan fatwa untuk orang-orang pada musim haji selain Atha'”. Dan sebagaimana dikatakan oleh Maimun bin Mahran, “Tidak ada lagi orang semisalnya (Atha’) yang dapat menggantikannya setelah dirinya,” namun demikian beliau tidak sombong atau bermalas-malasan dari meneruskan kajiannya, kendati sedikitnya jumlah orang yang hadir di dalamnya.
Begitu pula Imam Ahmad rahimahullah menyampaikan kajian kitab Musnad-nya terhadap tiga orang saja, berkata Hanbal bin Ishaq: “Kami bertiga dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal; Saya, Shaleh, dan Abdullah. Lalu beliau membacakan kepada kami isi Musnad-nya yang tidak didengar oleh orang selain kami bertiga. Dan beliau berkata: ‘Kitab ini telah saya kumpulkan dan telah pula saya bersihkan dari tujuh ratus lima puluh ribu hadits lebih’.” [2]
Dan rupanya, jumlah/kuantitas jamaah masih menjadi alat pembuktian atas kehebatan seorang da’i dalam mempengaruhi hati para jama’ahnya, maka Anda akan dapati da’i seperti itu akan riang gembira dengan banyaknya jamaahnya, namun sebaliknya, akan loyo dengan berkurangnya jamaahnya! Sedangkan jiwa pada kondisi demikian memiliki kecenderungan dengan segala tujuan dan niat yang berbeda-beda. Akan tetapi ada yang penting untuk disebutkan pada kesempatan ini, yaitu bahwa seorang da’i yang jujur tidak sepatutnya menahan dirinya dari meneruskan dakwahnya kendati melemahnya antusiasme para jamaah, serta sedikitnya jumlah orang-orang yang hadir dalam kajian dan nasehatnya. Sebagai panutan dalam kondisi seperti itu adalah apa yang dikatakan Allah Ta’ala terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam: اِنْ عَلَيْكَ اِلَّا الْبَلاَغُ Artinya: “Tidak ada kewajibanmu melainkan menyampaikan saja.”
•┈┈┈┈┈••❀•◎﷽◎•❀••┈┈┈┈┈•
SAAT SUJUD, SEORANG IMAM MASJID MENDENGAR SERUAN PUTRANYA YANG HAMPIR MATI TENGGELAM
Ayahku adalah seorang imam masjid, namun demikian aku tidak shalat. Beliau selalu memerintahkan aku untuk shalat setiap kali datang waktu shalat. Beliau membangunkanku untuk shalat subuh. Akan tetapi aku berpura-pura seakan-akan pergi ke masjid padahal tidak. Bahkan aku hanya mencukupkan diri dengan berputar-putar naik mobil hingga jama’ah selesai menunaikan shalat.
Keadaan yang demikian terus berlangsung hingga aku berumur 21 tahun. Pada seluruh waktuku yang telah lewat tersebut aku jauh dari Allah dan banyak bermaksiat kepada-Nya. Tetapi meskipun aku meninggalkan shalat, aku tetap berbakti kepada kedua orang tuaku.
Inilah sekelumit dari kisah hidupku di masa lalu.
Selengkapnya: Kisah Kekuatan Do'a Orang Tua Terhadap Anaknya