Majalah Syir'ah, Tahannus, Februari 2004
Oleh Mujtaba Hamdi
Ternyata dalam ingatan kita makna berkah memiliki porsi tersendiri . Saat kata berkah hadir dalam sebuah percakapan, misalnya, tiba-tiba dalam memori kita muncul gambar sebuah keberlimpahan yang bersifat murni kehendak Ilahi. Berkah berupa rezeki: gambar yang segera timbul di benak kita adalah duit yang banyak, berlimpah ruah, atau setidaknya uang yang punya manfaat berlipat. Berkah berupa ilmu: memori kita seakan melayang ke sosok yang pengetahuannya banyak berguna bagi masyarakat.
Sebaliknya, rezeki tidak berkah atau ilmu tidak berkah mengingatkan kita akan sebuah ketidakbergunaan dan kesia-siaan. “Rezekinya tidak berkah. Lihat saja, meski berduit, anak-anaknya badung,” begitu kata orang. “Ia pandai, tapi ilmunya tidak berkah. Buktinya, pikiran-pikirannya sesat, menyeleweng dari syariah,” ini juga ungkapan yang biasa terdengar.
Ingatan kita tentang berkah, yang berasal dari kata al-barakah, seolah-olah ada begitu saja. Kita hampir tak pernah bertanya sejak kapan gambaran macam itu tumbuh di kepala. Barangkali, kita juga tidak menyadari bahwa kisah tentang berkah yang disampaikan kepada kita selalu yang itu-itu juga. Kisah Rasulullah di masa Perang Tabuk ini, contohnya. Syahdan, para Sahabat dilanda kekurangan bahan makanan. Mereka pun mengusulkan kepada Rasulullah, “Ya Rasul, izinkanlah kami menyembelih unta-unta itu untuk kami makan.”
Rasulullah langsung saja mengiyakan. “Lakukanlah,” kata beliau. Tapi, Umar bin al-Khaththab tiba-tiba bersuara. “Ya Rasul,” kata Umar, “kalau engkau mengizinkan maka semakin berkuranglah kendaraan kita. Tapi serulah mereka, para pasukan, untuk mengumpulkan sisa-sisa bekal. Lalu, berkatilah, doailah sisa-sisa bekal itu dengan doa berkah sehingga Allah benar-benar menurunkan berkah.”
Syukurlah, Rasulullah menyetujui usulan Umar. Beliau kemudian membentangkan selembar kulit. Dan diserulah para Sahabat untuk mengumpulkan sisa-sisa bekal mereka. Lalu satu orang memberikan segenggam sorgum. Datang seorang lagi membawa segenggam kurma. Yang lain-lain cuma mengumpulkan sedikit-sedikit saja.
Hingga kemudian, terisilah bentangan kulit itu dengan sisa-sisa bekal yang tak banyak. Rasulullah segera memberi doa pada makanan itu dengan doa berkah. “Ambillah dengan masing-masing wadah kalian,” seru Rasulullah kemudian. Para pasukan pun segera mengambil wadah-wadah makanan mereka, dan mengisi semuanya hingga tak ada satu pun wadah yang kosong. “Mereka lalu menyantapnya hingga kenyang, dan itu pun masih meninggalkan sisa,” tutur Abu Sa’id Al-Khudri yang meriwayatkan hadis ini.
Kisah yang tercatat dalam Shahih Muslim ini menjadi kegemaran para mubalig saat berdakwah tentang berkah. Kisah-kisah serupa lain yang juga kerap diceritakan biasanya tentang Sahabat yang menyambut tamu. Sahabat tersebut semula hanya punya persediaan makan untuk dua orang, tapi karena berkah menjadi cukup untuk lima orang. Juga kisah tentang seorang Sahabat yang mendapat untung berlimpah dari dagangannya. Singkatnya, kisah-kisah ini menjadi “penjaga ingatan” kita tentang berkah: sebuah keberlimpahan murni dari Ilahi.
Dan kita nyaris tak tahu lagi bahwa al-barakah, kata yang kita terjemahkan menjadi berkah itu, bermula dari imaji tentang unta yang mendekam. Orang Arab dahulu jamak mengatakan ba-ra-ka al-ba’îr, unta itu mendekam. Biasanya, ketika unta kekenyangan setelah menghabiskan pakan, ia segera menekuk lututnya untuk kemudian mendekam di pepasiran dalam waktu yang lama. Atau ketika merasa badannya terlalu panas oleh sengatan matahari, ia pun segera turun ke air, dan mendekam di sana. Unta itu menetap di sana.
Imaji ini lalu berkembang, dan setiap sesuatu yang “mendekam” dan “menetap” diungkapkanlah dengan kata ba-ra-ka. Maka, tak heran jika al-barakah suka didefinisikan khairât tsâbitah, nikmat yang “menetap”. Keuntungan hasil perdagangan adalah sebuah nikmat, tapi dia tidak dikatakan berkah jika tidak “menetap” di sana. Jika muncul lalu hilang, itu berarti tidak berkah. Al-Zarqâni dalam syarahnya atas Muwaththa’ Imam Malik, dan tentu banyak ulama lain, sering kali menerangkan bahwa al-barakah berarti al-tsubût wa al-luzûm, menetap-di-sana, ada dan berlama-lama di sana.
Kemudian kita tahu al-barakah tak hanya diartikan al-tsubût wa al-luzûm tapi lebih dari itu: al-numuw wa al-ziyâdah, bertumbuh dan bertambah. Sebuah nikmat yang murni Ilahi tak cukup hanya “menetap” saja, tapi “menetap dan terus bertumbuh”. Dan itulah berkah yang kita kenal. Keberlimpahan pun menjadi pandangan umum ulama-ulama saat menerangkan pengertian al-barakah. Ibnu Abbas menjelaskan al-barakah sebagai al-katsrah fi kulli khair, kelimpahruahan yang ada pada tiap nikmat baik. Al-Zarqâni juga mengutip pandangan ulama-ulama bahwa al-barakah adalah al-ziyâdah min al-khair wa al-karâmah, kenikmatan dan kemurahan yang bertambah-tambah.
Al-Quran sendiri ketika mau menggambarkan sebuah nikmat Ilahi yang meruah, juga memakai kata ba-ra-ka. Dalam al-Isrâ’ (17): 1, misalnya, disebutkan, “… al-masjidi al-aqshâ al-ladzî bârakna haulahu … ”, Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya. Gambaran tentang Palestina yang mendapat nikmat karena nabi-nabi diturunkan di sana, dan sekaligus bertanah subur, disampaikan dengan kalimat “yang telah Kami berkati”.
Begitu juga saat menggambarkan tanah Syam yang subur, berkah menjadi bahasa-penyampai. Dalam al-Anbiya’ (21): 71 tercatat, “ … al-ardhi al-latî bârakna fîhâ … ”, sebuah negeri yang Kami berkati, untuk menunjuk Syam. Tentang Syam ini juga direkam dalam Saba’ (34): 18 dengan bahasa, “ … al-qurâ al-ladzî bâraknâ … ”, negeri-negeri yang telah Kami limpahkan berkah padanya.
Dan gambaran-gambaran semacam ini tanpa kita sadari telah membentuk pikiran kita tentang berkah. Tahu-tahu, sudah ada begitu saja di kepala kita bahwa berkah adalah sebuah nikmat berlimpah yang murni Ilahi, tak tersentuh kekotoran manusiawi. Gambaran ini mau tak mau lalu memberi arah pada harapan-harapan kita. Allahumma bârik lanâ fîmâ razaqtanâ … , ya Allah berilah berkah pada rezeki kami …. Berkah selalu memenuhi sudut-sudut kata dalam doa-doa kita.
Namun, kita tak ingat lagi bahwa berkah yang kerap menjadi kunci dalam doa itu ternyata bermula dari imaji yang begitu profan dan sederhana dari kehidupan gurun.*