Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Asasnya adalah aqidah yang benar, bagunannya adalah amal shalih dan hiasannya adalah akhlak yang mulia. Sebuah pondasi tidak akan bernilai tinggi, jika tidak ada bangunan di atasnya; Sebuah bangunan akan rapuh, meski terkesan kokoh jika pondasinya tidak kuat dan sebuah bangunan tidak akan enak dipandang jika hampa dari hiasan. Artinya, ketiga unsur merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Diantara akhlak islami yang mulia yang menghiasi diri kaum muslimin dan terhitung sebagai bukti atau kensekuensi persaudaraan sejati yaitu berjabat tangan tatkala berjumpa. Pertanyaannya, bagaimana aturan Islam dalam berjabat tangan yang mendatangkan kebaikan itu ? Sudah benarkah praktik yang dilakukan oleh kaum Muslimin sekarang ini ? Ini perlu sekali untuk diketahui bersama, karena tidak beberapa lagi kita akan melaksanakan ibadah puasa yang diakhiri dengan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini, biasanya berjabat tangan itu seakan sudah menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Berikut pembahasan seputar berjabat tangan dalam Islam, hukum dan keutamaannya serta hal-hal yang terkait dengannya.
HUKUM BERJABAT TANGAN DAN ASAL USULNYA
Berjabat tangan adalah sunnah yang disyari’atkan dan adab mulia para shahabat Radhiyallahu anhum yang dipraktikkan sesama mereka tatkala berjumpa.
Imam Bukhâri rahimahullah dalam kitab al-Isti’dzân dalam kitab Shahihnya memuat sebuah bab yang berjudul Babul Mushafahah (Bab: Berjabat Tangan). Dalam bab ini, beliau rahimahullah membawakan beberapa hadits yang menjelaskan sunnahnya berjabat tangan tatkala bersua, diantaranya :
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
Dari Qatâdah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas (bin Mâlik) Radhiyallahu anhu , ‘Apakah berjabat tangan dilakukan dikalangan para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?’ Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya’ [1]
Dalam riwayat lain :
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا
Adalah shahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan dan apabila kembali dari perjalanan mereka saling berangkulan. [2]
Dan hadits Ka’ab Bin Mâlik Radhiyallahu anhu setelah turunnya taubat beliau, ia berkata :
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ فَقَامَ إِلَيَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي
Saya masuk masjid (Nabawi) sementara Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan duduk dan dikelilingi oleh manusia (para shahabat), lalu Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu berlari ( kearahku) lalu beliau Radhiyallahu anhu berjabat tangan denganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku. [3]
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa dalam hadits ini banyak terkandung faedah, diantaranya : “Disunnahkan berjabat tangan tatkala berjumpa. Ini merupakan sunnah yang tidak diperselisihkan.”[4]
Dari sebagian hadits diatas disimpulkan bahwa berjabat tangan tatkala bersua adalah sunnah yang disyari’atkan, sebagaimana yang dipertegas oleh para Ulama, seperti :
- Imam Ibnu Baththal rahimahullah yang mengatakan, “Berjabat tangan adalah kebaikan menurut seluruh Ulama.” [5]
- Imam Nawawi rahimahullah yang juga mengatakan, “Berjabat tangan adalah sunnah tatkala bersua berdasarkan hadits hadits yang shahih dan ijma’ para Imam.” [6]
ASAL-USUL JABAT TANGAN
Orang-orang melakukan ini untuk kali pertama adalah penduduk Yaman yang terkenal dengan keimanan dan keilmuan mereka. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengungkapkan :
لَمَّا جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ
Tatkala penduduk Yaman datang (ke Madinah) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang kepada kalian penduduk Yaman, dan merekalah orang yang pertama sekali yang melakukan berjabat tangan.” [7]
Dalam riwayat lain Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا أَقْوَامٌ هُمْ أَرَقُّ قُلُوبًا لِلْإِسْلَامِ مِنْكُمْ قَالَ فَقَدِمَ الْأَشْعَرِيُّونَ فِيهِمْ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَلَمَّا دَنَوْا مِنْ الْمَدِينَةِ جَعَلُوا يَرْتَجِزُونَ يَقُولُونَ : غَدًا نَلْقَى الْأَحــــِبَّهْ مُــحَمَّدًا وَحِـــزْبَهْ فَلَمَّا أَنْ قَدِمُوا تَصَافَحُوا فَكَانُوا هُمْ أَوَّلَ مَنْ أَحْدَثَ الْمُصَافَحَةَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Besok akan datang kepada kalian kaum yang hati mereka lebih lembut untuk (menerima) Islam dari pada kalian.’ Anas mengatakan, ‘Maka datanglah kabilah Asy’ariyyun, diantara mereka ada Abu Musa al-Asy’ari. Tatkala mereka telah mendekati kota Madinah, mereka melantunkan sebagian sya’irnya seraya berkata, “Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, Muhammad dan shahabatnya”.
Tatkala mereka telah datang mereka berjabatan tangan, merekalah orang yang pertama sekali melakukan jabat tangan. [8]
BERJABAT TANGAN BUKAN HANYA KETIKA BERJUMPA
Untuk diketahui bahwa berjabat tangan bukan diwaktu berjumpa saja, tetapi di syari’atkan juga tatkala berpisah, akan tetapi keutamaan nya tidak seperti tatkala berjumpa.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Sesungguhnya berjabat tangan (disyari’atkan) di waktu berpisah juga”.
Beliau rahimahullah menambahkan, “Pendalilan (tentang hal ini) hanya akan jelas dengan dalil disyari’atkannya mengucapkan salam tatkala berpisah juga, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ وََإِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الأُخْرَى
Apabila salah seorang diantara kamu masuk majlis maka hendaklah ia mengucapkan salam, apabila ia keluar hendaklah ia mengucap salam, tidaklah yang pertama lebih pantas dari yang kedua”, diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmizi dan yang lain dengan sanad yang hasan.[9]
Jadi perkataan sebagian orang, “Sesungguhnya berjabat tangan tatkala berpisah adalah bid’ah” itu adalah perkataan yang tidak perlu dilihat. Benar, sesungguhnya orang yang memperhatikan hadits-hadits tentang (syari’at) berjabat tangan tatkala berjumpa, dia akan mendapatkannya lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan hadits-hadits tentang berjabat tangan tatkala berpisah. Orang yang paham, niscaya akan menyimpulkan dari hadits-hadits tersebut bahwa berjabat tangan yang kedua (tatkala bepisah) tidaklah sama hukum dan kedudukannya seperti yang pertama (tatkala bersua). Yang pertama adalah sunnah (yang sangat di anjurkan) dan yang kedua mustahab, adapun jika dihukumi sebagai bid’ah maka itu tidak benar, berdasarkan dalil yang kami sebutkan.” [10]
KEUTAMAAN BERJABAT TANGAN
Berjabat tangan memiliki keutamaan yang sangat agung dan pahala sangat besar. Berjabat tangan termasuk diantara penyebab terhapusnya dosa, sebagaimana dalam hadits :
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
Dari Barâ’ bin ‘Aazib Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: tidaklah dua orang Muslim bersua kemudian mereka bedua saling berjabat tangan kecuali diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah.” [11]
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَ أَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
Sesungguhnya seorang Mukmin apabila berjumpa dengan Mukmin lainnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya kemudian memegang tangannya dan berjabat tangan, maka berguguran (dihapuskan) dosa mereka sebagaimana daun pohon berguguran .[12]
ETIKA BERJABAT TANGAN
1. Berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunatkan dalam berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremekan suatu kebaikkan apapun sekalipun hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu [13], dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal ini.”[14]
2. Berjabat tangan dengan satu tangan.
Etika ini di ambil dari hadits yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna berjabat tangan secara etimologi.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Memegang dengan satu tangan dalam berjabat tangan. Sungguh telah terdapat penjelasanya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushâfahah secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab : “al-Mushâfahah” artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga at-tashâfuh.
Dan mushafahah dalam hadits bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini. Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)”.
Kemudian beliau membawakan hadits Hudzaifah diatas tentang keutamaan berjabat tangan seraya berkata : “Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam berjabat tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berjabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah.” [15]
3. Tidak membungkuk Saat berjabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ
Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan menciumnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya” [16]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau n menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka.” [17]
BEBERAPA PERKARA YANG DILARANG DAN MENYELISIHI SUNNAH DALAM BERJABAT TANGAN
1. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Tidak diperbolehkan seorang lelaki berjabat tangan dengan wanita dan wanita berjabat tangan dengan laki laki yang bukan mahramnya. Sebagaimana dalam hadits :
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita [18].
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :
وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ
Demi Allâh,tidak pernah tangan Rasûlullâh menyentuh tangan wanita sama sekali dalam bai’at. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengambil bai’at (atas) mereka kecuali dengan perkataan.[19]
2. Waspadai berjabat tangan dengan al-amrad (anak muda ganteng yang belum tumbuh jenggotnya).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dan hendaklah waspada dari berjabat tangan dengan al-amrad yang ganteng, karena melihatnya tanpa ada keperluan adalah haram berdasarkan pendapat yang shahih.” [20]
Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dan di kecualikan dari keumuman perintah untuk berjabat tangan yaitu berjabat tangan wanita lain (bukan mahram) dan amrad (anak muda) yang ganteng” [21]
3. Mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan.
Kebiasan sebagian kaum Muslimin apabila berjabat tangan mereka mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan bahwa ini adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada landasan dalam agama, karena mengucapkan shalawat adalah ibadah, dan tidak terdapat satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa diantara tempat bershalawat adalah tatkala berjabat tangan. Maka jelaslah bahwa ia adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Karena sekiranya hal itu adalah suatu ibadah dan kebaikkan maka tentu Rasul dan para shahabat yang akan lebih dahulu mengamalkannya.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya “Jalâ’ul afhâm fi Fadhli ash-Shalât ‘ala Khairil Anâm” menyebutkan empat puluh satu (41) tempat yang disyari’atkan bershalawat padanya, dan tidak satu dari tempat tersebut diwaktu berjabat tangan. Ini memperkuat pernyataan diatas bahwa bershalawat tatkala berjabat tangan adalah perkara yang bid’ah yand tidak ada landasannya dalam agama, wallahu a’lam.
4. Berjabat tangan sesudah shalat antara makmum dengan imam atau antara para makmum.
Amalan seperti ini tidak ada landasan dalam sunnah, tidak pernah dilakukan oleh rasul dan para shahabatnya, kecuali bila seseorang bertemu dengan teman atau saudaranya yang sebelumnya ia belum bersua, maka diperbolehkan baginya untuk berjabat tangan. Karena berjabat tangan disyari’atkan tatkala berjumpa sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Adapun sesama jama’ah yang setiap hari dan waktu berjumpa di masjid atau mushalla, maka tidak disyari’atkan untuk berjabat tangan setiap selesai shalat, karena perbuatan seperti ini adalah perkara bid’ah yang telah dingkari oleh para Ulama.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun tradisi berjabat tangan yang dilakukan oleh menusia sesudah shalat Shubuh dan Ashar maka tidak ada landasan atau asalnya dalam syari’at seperti ini” [22]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Adapun berjabat tangan setelah shalat fardhu maka tidak diragukan bahwa ia adalah bid’ah, kecuali diantara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya, maka ia adalah sunnah sebagaimana yang Anda ketahui.” [23]
Hukum ini pulalah yang di fatwakan oleh “Lajnah ad daimah” (komite fatwa di Saudi Arabia) seraya berkata, “Tradisi berjabat tangan setelah shalat fardhu antara imam dan makmum atau diantara para makmum, seluruhnya adalah bid’ah tidak ada landasannya. Oleh karena itu, wajib ditinggalkan, karena sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada landasan dari perintah kami maka tertolak” [24], dan adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para shahabatnya, begitu juga para khalifah sepeninggalnya, mereka shalat bersama kaum Muslimin, namun tidak dinukilkan keterangan tentang rutinitas berjabat tangan setelah shalat. Padahal, sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perkara adalah yang baru, dan setiap perkar yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat” [25].
Kesimpulan
Demikianlah pembahasan singkat tentang hukum berjabat tangan dalam Islam, dari apa yang diutarakan bisa disimpulkan beberap poin berikut :
1. Berjabat tangan disyariatkan tatkala berjumpa dan berpisah, sekalipun kedudukannya tidak sama dengan waktu berjumpa.
2. Berjabat tangan merupakan adab dan akhlak para shahabat sesama mereka tatkala bersua.
3. Berjabat tangan diantara sebab pengampunan dosa.
4. Tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
5. Tidak disyari’atkan mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan, karena tidak ada dasarnya.
6. Berjabat tangan setelah shalat adalah ritual yang bid’ah, kecuali antara dua orang yang belum bertemu sebelumnya.
Semogah Allâh Azza wa Jalla senatiasa membimbing kita dan seluruh kaum muslimin untuk mempelajari sunnah dan mengamalkannya serta menghiasi diri kita semua dengan ahklak islamiyah karimah, Amiin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M via manhaj.or.id]
Footnotes:
[1]. HR Bukhâri (no.5908).
[2]. HR. ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Awsath” (no.97). dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash Shahihah (no. 2647).
[3]. HR Bukhâri (no.4156) dan Muslim (no.2769).
[4]. “Syarh Shahih Muslim” Imam Nawawi (17/101).
[5]. Lihat “Fathul Bâri” (11/57) cet. Dar Ar Rayyan.
[6]. “al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab” Imam Nawawi (4/475).
[7]. HR Abu Daud (no. 5213) dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyâdush Shâlihîn dan Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/57). “dengan sanad yang shahih”.
[8]. HR Ahmad (3/155, 223) di shahihkan oleh Syaikh al-Albâni (lihat: Silsilah ash-Shahihah, no. 527).
[9]. Lafazh ini yang tertulis dalam Silsilah ash-Shahihah, akan tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Sunan Abi Daud adalah dengan lafazh
إِذَا انتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَلْيُسَلِمْ فَلَيْسَتِ الأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ الآْخِرَةِ
[10]. Silsilah ash-Shahihah (1/52-53).
[11]. HR Abu Daud (no.5212) dan Tirmizi (no.2727) ia berkata: “Hadits Hasan” dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (no. 525).
[12]. HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul Awsath” (no. 245) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahihah (no.526).
[13]. Shahih Muslim (no. 2626).
[14]. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (4/476).
[15]. Silsilah ash-Shahihah (1/22-23) cet. Al-Maktab al-Islami.
[16]. HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: “Hadits hasan”.
[17]. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635).
[18]. HR Malik dalam al-Muwaththa’ (2/983), Ahmad (6/357), Nasa’I (no. 4181), Ibnu Majah (2874) dan yang lain.
[19]. HR Bukhari (no. 4609).
[20]. Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab (4/476).
[21]. Fathul Bari (11/57).
[22]. Al-Adzkâr (hlm. 337) dan lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab (4/476) “Raudhatuth Thâlibîn” (10/237) dan Fathul Bari ” (11/57).
[23]. As-Silsilah ash-Shahîhah (1/53).
[24]. HR Muslim (no.1718).
[25]. Fatawa al Lajnah ad Daaimah” (no. fatwa: 16843) lihat juga fatwa no. (15148).