Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Aqidah
ʙɪꜱᴍɪʟʟᴀʜ
 
📚┃Materi : "Fiqh Muamalah" - Kitab : Al Mulakhas Al Fiqhiy
✍🏼Karya : Syaikh Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan حفظه الله تعالى
🎙┃Pemateri : Ustadz Muhammad Hamid Alwi, Lc حفظه الله تعالى
▪ Pembina Yayasan Al Mahir Attarbawiyah
▪ Mudir Pondok Pesantren Joglo Qur'an Boyolali
🗓┃Hari & Tanggal : Selasa , 3 Rabi’ul Awal 1447 / 9 September 2025
🕰┃Waktu : Ba'da Maghrib - Isya'

Fiqh Muamalah#3


Video Kajian: KPMI Solo Raya     Maaf, recording rusak.

BAB TENTANG: SYARAT-SYARAT DALAM JUAL BELI

Dalam jual beli, sering kali terjadi pengajuan syarat-syarat transaksi. Terkadang, penjual dan pembeli atau salah satu keduanya mengajukan satu syarat atau lebih. Hal inilah yang mendorong pentingnya dilakukan kajian seputar syarat-syarat tersebut sekaligus dijelaskan mana syarat yang sah dan mengikat dan mana yang tidak sah.

Para fuqaha’ mendefinisikan ‘syarat dalam jual beli’ sebagai suatu bentuk permohonan yang mengharuskan salah satu pihak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi pihak lainnya yang memohon sebagai akibat dari transaksi. Menurut mereka, syarat dalam jual beli tidak dianggap berlaku kecuali bila disebutkan di tengah transaksi. Karenanya, syarat yang disebutkan sebelum atau setelah transaksi tidaklah sah hukumnya.

Syarat-syarat dalam jual beli terbagi menjadi dua: syarat yang sah dan syarat yang tidak sah (rusak).

Pertama: SYARAT-SYARAT YANG SAH

Yaitu syarat-syarat yang tidak menyelisihi tujuan dari sebuah transaksi. Syarat jenis ini bersifat mengikat dan harus dipenuhi.

Dalilnya adalah sabda Nabi:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ.

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.”‘

Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3594) [IV:16] kitab al-Qadha’, bab 12, dari hadits Abu Hurairah, dan at-Tirmidzi (no. 1352)[III:634] kitab al-Ahkam, bab 17, dari hadits ‘Amru bin ‘Auf al-Muzani dari bapaknya dari kakeknya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (no. 1303).

Di samping itu, hukum asal suatu syarat adalah sah kecuali yang dibatalkan dan dilarang oleh syari’at.

Syarat yang dianggap sah terbagi dalam dua jenis:

- Jenis pertama: Syarat demi kemaslahatan transaksi.

Yaitu syarat yang menjadikan transaksi lebih kuat, dan maslahatnya kembali kepada yang mensyaratkan. Seperti mensyaratkan barang jaminan (borgh), atau penjamin. Syarat semacam ini akan menenangkan penjual.

Atau mensyaratkan jangka waktu tertentu bagi sebagian atau seluruh harga yang harus dibayarkan. Syarat semacam ini bermanfaat bagi pembeli. Jika syarat ini terpenuhi maka transaksi jual beli menjadi sah dan mengikat.

Demikian halnya bila pembeli mensyaratkan sifat tertentu pada barang yang akan dibeli, seperti kualitas yang baik atau produk dan merek tertentu. Mengingat naik-turunnya minat pembeli sangat tergantung pada perbedaan kualitas dan merek tersebut. Jika barang yang dibeli ternyata sifatnya sesuai dengan yang diinginkan pembeli, maka transaksi jual beli menjadi sah dan mengikat. Namun, jika tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka pembeli berhak membatalkan transaksi atau menerimanya dengan mendapat ganti rugi yang sesuai.

Yaitu dengan menaksir harga barang yang dibeli dengan semua syaratnya yang terpenuhi, lalu menaksirnya kembali dengan cacat yang ada (hilangnya syarat yang diminta). Kemudian selisih harga yang ada berhak diberikan kepada pembeli jika ia memintanya.

– Jenis kedua: Dari syarat yang dianggap sah dalam jual beli adalah bila salah satu pihak mengajukan syarat kepada pihak lainnya untuk memberikan suatu manfaat yang mubah dalam barang yang dibeli.

Misalnya jika penjual mensyaratkan untuk diizinkan menempati rumah yang dijual selama waktu tertentu, atau diizinkan mengendarai hewan atau kendaraan yang dijual hingga tempat tertentu. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Nabi menjual seekor unta dengan persyaratan masih boleh menungganginya sampai Madinah.

Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2718) [V:385] kitab asy-Syuruth, bab 4, dan Muslim (no. 715 (4098)) [VI:32] kitab al-Musaqah, bab 21.

Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya menjual hewan tunggangan seraya mengajukan syarat masih boleh menungganginya hingga lokasi tertentu. Adapun selain hewan maka tinggal diqiyaskan saja.

Demikian pula bila si pembeli mengajukan syarat kepada penjual agar ia melakukan pekerjaan tertentu berkaitan dengan barang yang dibeli.

Contohnya bila ia membeli setumpuk kayu bakar dengan syarat agar kayu tersebut diantar ke tempat tertentu. Atau membeli selembar kain dengan syarat agar kain tersebut dijahit.

Kedua: SYARAT-SYARAT YANG TIDAK SAH (RUSAK)

Syarat-syarat semacam ini ada beberapa jenis:

– Jenis pertama: Syarat yang tidak sah dan membatalkan transaksi secara total.

Contohnya jika salah satu pihak mensyaratkan transaksi lain kepada pihak kedua. Misalnya dengan mengatakan: “Barang ini saya jual kepadamu dengan syarat engkau mengontrakkan rumahmu kepadaku,” atau mengatakan: “Barang ini saya jual kepadamu dengan syarat engkau menjadikanku partner dalam usahamu atau dalam kepemilikan atas rumahmu,” atau mengatakan: “Barang ini saya jual kepadamu seharga sekian dengan syarat engkau memberiku pinjaman uang sekian.”

Syarat-syarat semacam ini hukumnya tidak sah dan membatalkan transaksi secara keseluruhan. Sebab Nabi , melarang dua transaksi dalam satu akad jual beli. – Hadits shahih, at-Tirmidzi (no. 1231) [III:533] kitab al-Buyu’, bab 18, an-Nasa-i (no. 4646) [IV:340] kitab al-Bwyu’, bab 73, dari hadits Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 6943)

Hadits ini ditafsirkan oleh Imam Ahmad sebagaimana yang telah kami jelaskan.

– Jenis kedua: Dari syarat-syarat yang tidak sah dalam jual beli adalah syarat yang dianggap rusak namun tidak membatalkan transaksi.

Contohnya bila pembeli mengajukan syarat kepada penjual, jika ada kerugian ia boleh mengembalikan barang tersebut. Atau penjual mengajukan syarat kepada pembeli agar ia tidak menjual barang tersebut, dan yang semisalnya. Syarat-syarat seperti ini dianggap rusak dengan sendirinya karena bertentangan dengan konsekuensi dari transaksi yang terjadi. Sebab konsekuensi dari jual beli adalah pembeli bebas melakukan apa saja terhadap barang yang telah dibelinya secara mutlak. Dalilnya adalah sabda Nabi:

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ؛ فَهُوَ بَاطِلًّ، وَإِنْ گان مِئةً شَرْط.

“Barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullaah, maka syarat tersebut batil walaupun seratus syarat.” – Muttafaq ‘alaib, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2155) [IV:467] kitab al-Bunyu’, bab 76, dan Muslim (no. 1504 (3779)) [V:380] dari hadits ‘Aisyah kitab al-‘Itq, bab 2.

Kitabullaah di sini maksudnya hukum Allah yang meliputi Sunnah Rasulullah juga.

Meskipun demikian, jual beli tidak serta merta menjadi batal karena syarat yang batil ini. Sebab Nabi dalam kisah Barirah [Yaitu budak wanita yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah setelah dibeli dari majikannya di zaman Nabi], yaitu ketika penjual (majikan) mengajukan syarat agar Barirah tetap berwala* kepadanya setelah dimerdekakan, Nabi membatalkan syarat tersebut dan tidak membatalkan jual beli itu sendiri.

– [Wala’ seorang mantan budak terhadap majikannya ialah dengan menasabkan diri kepada sang majikan, misalnya dengan menamakan dirinya Barirah maula ‘Aisyah dan semisalnya. Lalu jika mantan budak tadi wafat dan meninggalkan warisan, maka orang yang memerdekakannya ikut mewarisi hartanya]

Beliau mengatakan:

إِنَّمَا الوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.

“Wala’ itu hanyalah bagi orang yang memerdekakan.” – Muttafaq’alaih, dan ini merupakan penggalan dari hadits ‘Aisyah yang sebelumnya.

Seorang muslim yang berprofesi sebagai pedagang hendaknya mempelajari hukum-hukum jual beli beserta syarat-syaratnya, baik syarat yang dianggap sah maupun tidak.

Hal ini agar ia memiliki pengetahuan yang jelas dalam bermuamalah, juga demi menghindari terjadinya perselisihan dan sengketa antara sesama kaum muslimin. Sebab kebanyakan sengketa dan perselisihan itu muncul akibat kejahilan mereka terhadap hukum jual beli, atau karena mereka menetapkan syarat-syarat yang tidak sah dalam bertransaksi.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم