Setiap orang tidak mungkin bisa lepas dari orang lain yang menutupi kebutuhannya. Interaksi antar individu manusia adalah perkara penting yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam. Khususnya yang berhubungan dengan pertukaran harta. Oleh karena itu Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4: 29)
Dewasa ini banyak sekali berkembang sistem perniagaan yang perlu dijelaskan hukum syariatnya, apalagi dimasa kaum muslimin sudah menjauh dari agamanya, ditambah lagi ketidakmengertian mereka terhadap syariat Islam. Salah satu sistem perniagaan tersebut adalah jual beli dengan panjar atau uang muka atau DP.
Pengertiannya.
Panjar (DP) dalam bahasa Arab adalah ‘Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun (الأربون)o[1] Secara bahasa artinya yang jadi transaksi dalam jual beli .[2]
Berkata penulis kitab Al Mishbah Al Munier (hal. 401): Al Arabun dengan difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian pembayarannya atau uang sewanya kemudian menyatakan: Apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu. Dikatakan Al ‘Urbun dengan wazan ‘Ushfur dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli.
Al Ashma’i menyatkan: Al ‘Urbun adalah kata ajam (non arab) yang diarabkan.[3]
Bentuk jual beli ini dapat diberi gambaran sebagai berikut: Sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seseorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila saya tidak jadi mengambil (barang itu), maka uang (DP) tersebut untukmu.[4] Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila si pembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.[5]
Jelas disini bahwa sistem jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. Wallahu A’lam.
Hukum Jual beli ini
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
1. Jual beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Al Khothobi menyatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[6] dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror[7] . Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.[8]
Ibnu Qudamah menyatakan: Ini pendapat imam Malik, Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.[9]
Dasar argumentasi mereka di antaranya:
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Malik menyatakan: Dan menurut yang kita lihat –wallahu A’lam- (jual beli) ini adalah seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.[10]
b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya.[11] Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ 4: 29)
Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya (5/150) menyatakan: Diantara bentuk memakan harta orang lain dengan bathil adalah jual beli dengan panjar (uang muka). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian, ghoror, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.
c. Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.[12] Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يحل سلف وبيع ، ولا شرطان في بيع . رواه الخمسة
Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli (HR Al Khomsah).
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya.[13] Ibnu Qudamah menyatakan: Inilah Qiyas (analogi) .[14]
Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau: Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…. ‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.[15]
2. Jual beli ini diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[16]
Al Khothobi menyatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan: Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya. Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, Karena terputus.[17]
Dasar argumentasi mereka adalah:
a. Atsar yang berbunyi:
Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (5/392) dan Al Bukhori secara mu’allaq (lihat Fathul Bari 5/91) dan Al Atsram meriwayatkannya dalam kitab Sunnahnya dari jalan periwayatan Ibnu ‘Uyainah dari Amru bin Dinaar dari Abdurrahman bin Farukh dengan lafadz:
Dalam sanad ini ada Abdurrahman bin Farukh Maula Al ‘Adawi, Al Haafidz ibnu Hajar dalam Al Taqrieb hal 254 menyatakan: Maqbul dari tabaqat ketiga dan imam Al Bukhori tidak secara gamblang menyebutnya.
Ibnu Hibaan menyebutnya dalam kitab Al Tsiqaat 7/87 dan Al Dzahabi tidak berkomentar dalam Al Miezaan 2/582 serta Muslim menyebutkannya dalam kitab Al Wihdaan hal 117 termasuk orang yang Amru bin Dinar bersendirian meriwayatkan hadits darinya dan Al Bukhori tidak memberikan keterangan tambahan dalam tarikhnya 5/337 selain menyatakan Abdurrahman bin Farukh maula Umar bin Al Khothob dari bapaknya.
Syeikh Al Albani menyatakan dalam Mukhtashor Al Bukhori 2/137: Sungguh Abdurrahman ini telah diisyaratkan Al Dzahabi sebagai perawi majhul, tidak meriwayatkan darinya kecuali Amru bin Dinaar.
Al Haafidz dalam Fathul Bari 5/91-92 menyatakan bahwa Umar bin Syubah meriwayatkannya dalam Akhbar Makkah dari jalan Ibnu Juraij dengan menghapus Abdurrahman dan yang benar bahwa Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Abdurahman ini juga, sebagaimana disampaikan Abdurrazaq dalam Mushonnafnya 5/147-148.
Riwayat ini dapat dijadikan hujjah, sebagaimana dilakukan imam Ahmad bin Hambal.
Al-Atsram berkata: Saya bertanya kepada Ahmad: “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah berpendapat demikian).[18]
Demikian juga Ibnul Qayyim menukilkannya dari beliau pada Bada’i Al Fawa’id 4/84.
Ditambah kisah ini telah masyhur dikalangan para ulama dan penulis sejarah Makkah seperti Al Azraaqi, Al Fakihi dan Umar bin Syubah hingga diriwayatkan penjara ini masih ada sampai zaman Al Fakihie. Wallahu A’lam.[19]
b. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini. Kelemahannya karena semua jalan periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya). Ini karena imam Malik menyatakan: Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di Muwatha’. Sedangkan dalam riwayat Abu Daud dan ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan: telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …. Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al Aslami yang juga lemah.
Hadits ini dinilai lemah oleh Imam Ahmad [20] , Al Baihaqi [21] , Al Nawawi [22] , Al Mundziri [23] , Ibnu Hajar [24] dan Al Albani [25].
c. Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.
d. Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
e. Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram hal. 100 menyatakan: ketidak jelasan dalam jual beli Al Urbun tidak sama dengan ketidak jelasan dalam perjudian, karena ketidak jelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali. Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.[26]
Pendapat Para Ulama zaman ini.
* Syeikh Abdulaziz bin Baaz mantan Mufti Agung Saudi Arabia Rohimahullah pernah ditanya :
Apa hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (Al Urabun) apabila belum sempurna jual belinya. Bentuknya adalah dua orang melakukan transaksi jual beli, apabila jual beli sempurna maka pembeli menyempurnakan nilai pembayarannya dan bila tidak jadi maka penjual mengambil DP (panjar) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Beliau menjawab:
Tidak mengapa mengambil DP (uang panjar) tersebut dalam pendapat yang rojih dari dua pendapat ulama, apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak disempurnakan).[27]
* Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa kerajaan Saudi Arabia)
1. Fatwa no. 9388 yang berbunyi:
pertanyaan: Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (’Urbuun) dari pembeli dan dalam keadaan pembeli gagal membeli atau mengembalikannya apakah penjual berhak secara hukum syari’at mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada pembeli?
Jawaban: Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[28]
2. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan:
Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP (’Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli sistem panjar (’Urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’i menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob rodhiyallohu ‘anhu. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. Dan dari Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.” Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.[29]
*Majlis Fikih Islam pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem panjar adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[30]
*Fatwa Al Hai’at Al Syar’iyah Li Syarikat Al Raajihi Al Mashrafiyah Lil Istitsmaar (Dewan syari’at Bank Islam Al Rajihi KSA), ketetapan no. 99.
Dengan demikian yang rojih –insya Allah- adalah pendapat yang membolehkannya. Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (panjar) tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan dengan seorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya, ada kala karena sangat rugi atau sudah tidak butuh lagi atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan penjualnya menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).[31]
Demikian seputar permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat.
Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel ustadzkholid.com
====================
Catatan kaki:
[1] Diambil dari catatan penulis dari keterangan Syeikh DR. Abdulqayum Al Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Author di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah 6/331.
[2] Lihat Al Qaamus Al Muhith Karya Al Fairuzabadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3] Lihat kitab Lisanul Arab 1/592 dan Al Nihayah Fi Ghoribil Hadits 3/202.
[4] Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum.
[5] Al Mughni 6/ 331
[6] Yaitu hadits Amru bin Syu’aib mendatang (penulis)
[7] Tentang Al Ghoror penulis telah menjelaskan pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah. Atau bisa dilihat di sini.
[8] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[9] Al Mughni 6/331.
[10] HR imam Malik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[11] lihat Al Mughni 6/331
[12] lihat Shohih Fiqh Al Sunnah 4/411
[13] ibid
[14] ibid
[15] Nailul Author 6/289.
[16] Lihat Al Mughni 6/331
[17] Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[18] Kisah ini diriwayatkan Al Atsram dengan sanadnya, lihat AL Mughni 6/331.
[19] Takhrij ini Diringkas dari makalah Abu Abdurrahman Adnan Al Ahmadi berjudul Bahtsun Fil ‘Urbun. Lihat www.Saaid.net.
[20] Dinukil Ibnul Qayyim dalam Bada’i Al Fawa’id 4/84
[21] Al Ma’rifat Wa Al Sunan 4/380
[22] Al Majmu’ 9/335
[23] lihat ‘Aun Al Ma’bud 9/399
[24] Talkhish Al Habier 3/17
[25] Lihat Dhoif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhoif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[26] Dinukil secara ringkas.
[27] Fiqh Wa Fatawa Al Buyu’ disusun Asyrof Abdul maqshud hal 291, dinukil dari Shohih Fiqh Al Sunnah 4/412
[28] Fatawa Lajnah Daimah 13/132
[29] ibid 13/133-134.
[30] Dinukil dari kitab Ma La Yasa’u Al Tajira Jahluhu, karya prof. DR. Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Sholah Al Showi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, terbitan Darul Haq hal 134 (edisi terjemah).
[31] Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 9/237.