A. Larangan Mencela Sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
Salah satu prinsip-prinsip utama yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah (kewajiban) selamatnya hati dan lidah mereka (dari mencela) sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah disifatkan oleh Allah Subhanahu waTa’ala dalam firmanNya,
Artinya: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 10).
Hal ini juga termasuk bentuk kepatuhan terhadap perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dalam sabdanya,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
"Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, kalaupun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu mud atau setengah mud dari salah seorang mereka." (Mutafaq 'alaih).
Ahlus Sunnah menerima semua yang disebutkan dalam kitab dan sunnah tentang keutamaan-keutamaan mereka, dan meyakini bahwa mereka adalah generasi terbaik, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
خَيْرُكُمْ قَرْنِيْ
"Sebaik- sebaik kalian adalah generasiku." (HR. al-Bukhari).
Dan ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan bahwasanya semuanya (tempatnya) di neraka kecuali satu golongan saja, lalu para sahabat bertanya kepada beliau tentang golongan yang satu ini. Beliau menjawab,
هُمْ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
"Mereka adalah orang yang berada pada (jalan) seperti (jalan) yang aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya hari ini." (HR. Ahmad dan lainnya).
B. Larangan Mencela Para Imam Dari Ulama Umat Ini
Setelah para sahabat, yang menduduki tingkatan berikutnya dalam keutamaan, kemuliaan dan derajat yang tinggi adalah para imam dari kalangan tabi'in dan para pengikut mereka dari generasi-generasi berikutnya dan juga orang-orang yang datang setelah mereka yang mengikuti dengan baik jejak para sahabat radiyallaahu ‘anhum sebagaimana firman Allah Subhanahu waTa’ala,
Artinya: "Dan orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah." (At-Taubah: 100).
Oleh karena itu, tidak boleh kita mencaci dan mencela mereka semua, sebab mereka adalah tokoh-tokoh petunjuk jalan. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
Artinya: "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa': 115).
Ibnu Abil Izz -pensyarah kitab Thahawiyah- berkata, "Diwajibkan bagi setiap muslim, setelah dia memberikan kesetiaan dan kecintaannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, untuk memberikan kesetiaan dan kecintaannya pula kepada orang-orang mukmin. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Qur'an, khususnya kesetiaan dan kecintaan itu diberikan kepada mereka yang termasuk pewaris para nabi (ulama) yang mereka dijadikan oleh Allah Subhanahu waTa’ala seperti bintang-bintang yang bisa dijadikan patokan arah dalam kegelapan di darat maupun di laut, dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa mereka mendapat hidayah dan pengetahuan (tentang syariat).
Merekalah para pengganti Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam umatnya dan merekalah yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah (ajaran) beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah mati (ditinggalkan). Dengan mereka kitab al-Qur'an menjadi tegak dan dengan Kitab al-Qur'an mereka bangkit, dengan mereka kitab al-Qur'an dapat berbicara (pada kita), dan dengan kitab al-Qur'an mereka berbicara. Mereka semua telah bersepakat dengan penuh keyakinan atas wajibnya (seorang muslim) mengikuti ajaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bila ada pendapat yang dikemukakan salah seorang mereka ternyata bertentangan dengan hadits shahih, maka tentu saja ada sesuatu alasan baginya untuk meninggalkannya.
Alasan-alasan itu ada tiga yaitu:
1. Dia tidak meyakini bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda demikian.
2. Dia tidak meyakini bahwa sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, itu dimaksudkan untuk masalah tertentu.
3. Keyakinan bahwa hukum tersebut telah dihapus.
Mereka itu berjasa pada kita semua, merekalah yang lebih dahulu memeluk Islam dan menyampaikan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Merekalah yang menjelaskan kepada kita hal-hal yang tidak kita ketahui dari syariat ini, maka Allah Subhanahu waTa’ala pun ridha kepada mereka dan menjadikan mereka ridha (kepadaNya).
Artinya: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al- Hasyr: 10).
Melecehkan ulama, hanya Karena keliru dalam berijtihad adalah sikap orang-orang ahli bid'ah dan juga termasuk strategi musuh-musuh umat Islam untuk menimbulkan keraguan dalam agama Islam dan membangkitkan permusuhan di kalangan umat Islam, serta untuk memutuskan hubungan antara generasi Islam masa kini dengan pendahulu-pendahulunya, juga guna memecah belah antara kaum muda dan para ulama seperti yang terjadi sekarang ini. Oleh karenanya, hendaklah sadar para pelajar-pelajar muda yang melecehkan kedudukan ulama ahli fikih, juga melecehkan pengetahuan fikih Islam, tidak acuh untuk mempelajarinya dan mengambil manfaat dari kebenaran yang ada di dalamnya. Hendaklah mereka bangga dengan fikih mereka dan menghormati para ulama; janganlah mereka tertipu dengan propaganda-propaganda yang menyesatkan. Semoga Allah Subhanahu waTa’ala memberikan TaufikNya.