Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97)
Oleh Lembaga Hukum Islam [Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islamiyah]
Lembaga Hukum Islam (Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islamiyah) di Mekkah Al-Mukarramah mendiskusikan tema : "Hukum-Ihram di Jeddah". Demikian itu adalah karena tidak tahunya banyak orang yang datang ke Mekkah untuk haji dan umrah lewat udara dan laut tentang arah tempat-tempat miqat yang telah ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram dari tempat-tempat tersebut kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dan selain penduduk yang ingin haji dan umrah.
Setelah saling mempelajari dam memaparkan dalil-dalil syar'i tentang hal tersebut maka majelis menetapkan sebagai berikut.
Pertama. Sesungguhnya tempat-tempat miqat yang ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram darinya kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduknya yang ingin haji dan umrah adalah Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Madinah, dan tempat itu sekarang dinamakan Abyar Ali (untuk jama'ah haji Indonesia lebih populer dengan nama Bi'r Ali -pent), lalu Juhfah bagi penduduk Syam (Yordania, Suriah, Palestina dan Libanon) dan Mesir, dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk beberapa negara tersebut, dan sekarang tempat itu dinamakan Rabigh, lalu di Qarnul Manazil bagi penduduk Najd dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Najd, dan tempat itu sekarang dinamakan Wadi Muhrim, dan juga dinamakan Al-Sayl, lalu di Dzatu 'Irq bagi penduduk Irak dan Iran serta orang-orang yang melewati dua negara tersebut, dan tempat itu sekarang dinamakan Al-Dharibah, lalu di Yalamlam bagi penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman. Mereka menerapkan wajibnya ihram kepada orang-orang yang niat haji dan umrah jika mereka berada pada lokasi yang searah tempat terdekat dari lima miqat tersebut, baik mereka yang lewat udara maupun lewat laut. Dan jika mereka mengalami kebingungan terhadap hal tersebut dan tidak mendapatkan orang yang mebimbing mereka pada tempat yang searah dengan lima miqat tersebut maka mereka harus bersikap hati-hati dengan ihram sebelum tempat-tempat miqat tersebut. Sebab ihram sebelum miqat diperbolehkan namun termasuk makruh tapi sah hukumnya. Dan dengan kehati-hatian serta pencermatan karena takut melewati miqat tanpa ihram maka hilanglah kemakruhan. Sebab tiada hukum makruh dalam melakasanakan kewajiban. Dan semua ulama dalam empat madzhab menyebutkan apa yang telah kami sebutkan. Dan untuk itu mereka berpedoman dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukan beberapa miqat kepada orang-orang yang haji dan umrah. Mereka juga berpedoman kepada riwayat shahih dari Amiril Mu'minin Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu ketika penduduk Iraq berkata kepadanya : "Sesungghnya Qarnul Manazil sangat merepotkan jalan kami". Maka beliau berkata kepada mereka : "Perhatikanlah arahnya dari jalanmu".
Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum orang yang melewati miqat tanpa ihram, baik ketika dia datang ke Mekkah untuk haji, umrah atau tujuan yang lain ?
Jawaban Orang yang datang ke Mekkah untuk haji atau umrah dan dia belum ihram ketika telah melewati miqat maka dia wajib kembali ke tempat miqat dan ihram untuk haji dan umrah dari miqat tersebut. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian itu dalam sabdanya.
"Artinya : Penduduk Madinah ihram dari Dzul-Hulaifah, penduduk Syam (Yordania, Palestina dan sekitarnya) ihram dari Juhfah, penduduk Najd ihram dari Qarnul Manazil, dan penduduk Yaman ihram dari Yalamlam" [Hadits Riwayat Nasa'i]
Demikianlah yang terdapat dalam hadits shahih. Dan Ibnu Abbas berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan miqat bagi penduduk Madinah di Dzulhulaifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Tempat-tempat miqat tersebut adalah bagi penduduk masing-masing tempat tersebut dan bagi orang-orang yang datang ke tempat tersebut dari bukan penduduknya bagi orang-orang yang ingin haji dan umrah".
Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Rajab tahun 1405H saya berniat umrah tapi saya telah melewati miqat Yalamlam, miqat penduduk Yaman dan saya belum berihram. Ketika saya bertemu salah satu kawan saya dinasehati -semoga Allah membalas kebaikan kepadanya- agar saya kembali lagi ke Yalamlam. Dan ia berkata, bahwa saya tidak boleh masuk Mekkah degan baju biasa. Maka saya kembali dalam jarak 3 km dan saya ihram dari miqat tersebut. Mohon penjelasan, apakah saya wajib membayar dam jika saya masuk Mekkah dengan tanpa ihram ? Dan apakah saya boleh ihram dari tempat saya bertemu teman saya yang menasehati saya untuk lembali, ataukah saya harus kembali le miqat ?
Jawaban Kewajiban orang yang pergi ke Mekkah untuk haji atau umrah adalah ihram dari miqat yang dilewatinya dan tidak boleh melewati miqat tersebut tanpa ihram. Sebab ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberaoa miqat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tempat-tempat miqat ini adalah bagi penduduknya dan bagi orang-orang yang melewatinya dari mereka yang bukan penduduknya, yaitu bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan barangsiapa yang tempat tinggalnya lebih dekat ke Mekkah daripada tempat-tempat miqat tersebut maka dia ihram dari tempat ia berada, hingga bagi pendukuk Mekkah, maka mereka berihram dari Mekkah" [Muttafaqun 'Alaihi]
Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah yang disebut miqat zamani dan miqat makani dalam haji dan umrah ..?
Jawaban Miqat zamani dalam haji adalah bulan Syawwal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Maka seseorang tidak boleh ihram haji melainkan pada waktu tersebut. Firman-Nya :
"Artinya : (Musim) Haji adalah dalam beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji" [Al-Baqarah : 197]
Barangsiapa ihram haji dalam waktu tersebut maka ihramnya sah, tapi dia harus tetap dalam ihram hingga wukuf di Arafah pada hari Arafah. Sedangkan waktu umrah maka tidak ada waktu khusus, bahkan dapat dilakukan dalam sepanjang tahun. Tapi yang paling utama adalah umrah pada bulan Ramadhan karena pahalanya sebanding dengan haji.