بسم الله الرحمن الرحيم
🎙Bersama: Al Ustadz Fuad Efendi Lc.,M.H حفظه الله تعالى
📘 Materi : Kitab Tauhid Bab 35: Termasuk Iman Kepada Allah; Sabar Dengan Takdir-Nya
🗓 Hari : Selasa, 26 Muharram 1447 / 22 Juli 2025
🕰 Waktu: Ba'da Maghrib - Isya'
🕌 Tempat: Masjid Jajar Surakarta
Bab 35: Termasuk Iman Kepada Allah; Sabar dengan Takdir-Nya
- Sabar kepada Takdir Allah ﷻ adalah bagian dari iman kepada Allah ﷻ dan merupakan cabang dari iman Kepada Allah ﷻ.
- Sabar adalah kesempurnaan tauhid.
- Tidak sabar kepada takdir Allah ﷻ adalah haram, dan akan mengurangi kesempurnaan tauhid.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
1. Allah ﷻ berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tiada suatu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11)
‘Al-Qamah (seorang tabi’in) rahimahullah menafsirkan Iman yang disebutkan dalam ayat ini dengan mengatakan:
هُوَ الرَّجُلُ تُصِيْبُهُ المُصِيْبَةُ فَيَعْلَمُ أَنَّهَا مِنْ عِنْدِ اللهِ فَيَرْضَى وَيُسْلِمُ
“Yaitu: orang yang ketika ditimpa musibah, ia meyakini bahwa itu semua dari Allah, maka ia pun ridha dan pasrah (atas takdir-Nya)
- Allah ﷻ mensyaratkan orang yang beriman mengakui bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan, menerima takdir tersebut dan sabar atas takdir yang telah menimpanya.
- Orang yang menerimanya dan bersabar atasnya, akan diberikan hidayah kepada hatinya. Makna diberikan hidayah:
1. Diberikan ketenangan hati.
2. Diberikan petunjuk untuk mengucapkan inna lillahi wanna ilaihi raaji'uun.
3. Ditambahkan keimanan kepadanya.
Maka, sisi pendalilan dari ayat ini, barangsiapa yang beriman kepada Allah, maknanya sabar adalah bagian dari keimanan dan hukumnya wajib. Dan tidak sabar hukumnya haram, karena tidak akan mendapatkan petunjuk.
Tetapi, bagi yang tidak sabar, tidak dihukumi kafir. Karena beriman kepada Allah ﷻ ada rukun-rukunya, dan rukun keenam adalah beriman kepada Takdir Allah ﷻ.
Rukun-rukun Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir berdiri di atas empat rukun yang disebut tingkatan-tingkatan takdir atau rukun-rukunnya, dan merupakan pengantar untuk memahami masalah takdir. Iman kepada takdir tidak sempurna kecuali dengan merealisasikannya secara keseluruhan, sebab sebagiannya berkaitan dengan sebagian lainnya. Barangsiapa yang memantapkannya secara keseluruhan, maka keimanannya kepada qadar telah sempurna, dan barangsiapa yang mengurangi salah satu di antaranya atau lebih, maka keimanannya kepada qadar telah rusak. Rukun-rukun tersebut ialah:
1. Al-‘Ilm (ilmu).
2. Al-Kitaabah (pencatatan).
3. Al-Masyii-ah (kehendak).
4. Al-Khalq (penciptaan).
Dan orang-orang yang tidak sabar, dia tahu bahwa takdir dari Allah ﷻ tetapi marah, maka dia sebenarnya beriman tetapi tidak sempurna.
Tingkatan orang yang terkena musibah secara Syar'i :
- Sabar: yaitu menahan diri agar tidak marah terhadap hukum Allah ﷻ (qodari-musibah dan Syar'i-Perintah dan larangan).
- Ridha: Menerima hukum Allah ﷻ dengan senang dan lapang hati.
- Syukur: Memuji Allah ﷻ dengan hatinya akan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihat] Segala puji hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah ala kulli hal] Segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Keadaan terakhir inilah tingkatan tertinggi dalam mengahadapi musibah yaitu seseorang malah mensyukuri musibah yang menimpa dirinya. Keadaan seperti inilah yang didapati pada hamba Allah yang selalu bersyukur kepada-Nya, dia melihat bahwa di balik musibah dunia yang menimpanya ada lagi musibah yang lebih besar yaitu musibah agama.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِى. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ. فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِى بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?” Mereka berkata, “Benar.” Allah berfirman, “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku saat itu?” Mereka berkata, “Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).” Allah berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku di surga, dan namai ia dengan nama baitul hamdi (rumah pujian).” (HR. Tirmidzi, no. 1021; Ahmad, 4: 415. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ridha ada dua macam:
1. Ridha terhadap perbuatan Allah ﷻ
2. Ridha terhadap musibah yang menimpanya.
- Musibah yang murni perbuatan Allah ﷻ, maka wajib Ridha di sini minimal adalah sabar. Misalnya anak meninggal.
- Kalau musibah adalah perbuatan hamba Allah ﷻ maka ada ketaatan (ridha) dan kemaksiatan (membencinya).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
2. Diriwayatkan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اثْنَانِ فِيْ النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ فِيْ النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى المَيِّتِ
“Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua-duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati.”
Dalam hadits ini disebut dua cabang kekafiran (yang tidak mengeluarkan dari agama), tandanya bentuk كُفْرٌ - nakirah.
- Mencela nasab: seperti meragukan nasab tanpa keperluan.
- Meratapi mayit: dengan marah atas musibahnya atau bentuk perbuatan yang menunjukkan tidak sabar.
Beberapa bentuk perbuatan yang dilakukan seorang hamba yang bukan bentuk niyahah (meratapi mayit):
1. Tangisan yang wajar, seperti putera Nabi ﷺ Ibrahim meninggal dunia dunia.
Beliau berkata ketika Ibrahim meninggal,
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻌَﻴْﻦَ ﺗَﺪْﻣَﻊُ ﻭﺍﻟﻘَﻠﺐ ﻳَﺤْﺰﻥُ ، ﻭَﻻَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﻳُﺮْﺿِﻲ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ، ﻭَﺇﻧَّﺎ ﻟِﻔِﺮَﺍﻗِﻚَ ﻳَﺎ ﺇﺑﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻟَﻤَﺤﺰُﻭﻧُﻮﻥَ
“Sungguh mata menangis dan hati bersedih, akan tetapi tidak kita ucapkan kecuali yang diridhai oleh Allah, dan sungguh kami sangat bersedih berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari no. 1303).
2. Menyebut kebaikan-kebaikan orang yang meninggal.
صحيح البخاري ٤١٠٣: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام وَا كَرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ
Dalam Shahih Bukhari 4103: Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] Telah menceritakan kepada kami [Hammad] dari [Tsabit] dari [Anas] dia berkata: Tatkala sakit Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam semakin parah hingga beliau hampir pingsan, Fathimah 'alaihas salam berkata: "Wahai betapa parahnya sakit ayahku!" Nabi bersabda kepadanya: "Ayahmu tidak akan sakit parah lagi setelah hari ini."
فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ يَا أَبَتَاهْ مَنْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ
Dan tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, Fathimah berkata: "Wahai ayahku yang telah memenuhi panggilan Rabbnya, wahai ayahku yang surga Firdaus adalah tempat kembalinya, wahai ayahku yang kepada Jibril kami memberitahukan kematiannya." Dan tatkala telah dikuburkan, Fathimah 'alaihas salam berkata: "Wahai Anas, apakah engkau tidak merasa canggung menaburi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tanah?"
Demikian juga yang dilakukan para ulama, mereka memuji orang yang meninggal dunia.
3. Mengumumkan kematian dengan tujuan mengurus jenazahnya dan mendo'akannya.
Hukum Mencela Nasab
Hukumnya haram, seperti meragukan nasab tanpa keperluan. Jika ada yang mengaku-ngaku dengan bukti, maka terima saja, kecuali ada unsur mencari harta.
Termasuk mencela nasab adalah mencela suku dan orang tua orang lain.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم