ʙɪꜱᴍɪʟʟᴀʜ
📚┃Materi :Jejak Ikhlas #2 (Daurah Camp SAFR)
🎙┃Pemateri : Ustadz Gigih Surya Nugraha, S.H. Hafidzahullah
🗓┃Hari & Tanggal : Sabtu, 23 Muharram 1447 H | 19 Juli 2025 M
🕌┃Tempat : Kemuning Resort - Tawangmangu, Karanganyar.
🎞┃Recording Kajian: Muslim Solo Channel
١- باب الإِخلاصِ وإحضار النيَّة في جميع الأعمال والأقوال والأحوال البارزة والخفيَّة
Bab 1. Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan Dan Perkataan Yang Terang-terangan Maupun Tersembunyi.
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُه لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ » مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ.
Daripada Amirul Mukminin Abu Hafash Umar bin Al-Khaththab bin Nufail bin Abdil Uzzah bin Riyah bin Abdillah bin Quth bin Razah bin Adiy bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib Al-Quraisyiy Al-Adawi radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segala amalan perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dinilai mengikut niatnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang hijrah kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana wànita yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkan.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1. dan Muslim no. 1907]
Pada hadits ini diawali dengan penyebutan nasab Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu.
Nasab adalah hal yang penting dalam agama, karena dengannya kita bisa menyambung silaturahim. sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
‘Barangsiapa senang diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim‘ (Muttafaq Alaih dari hadits Anas).
Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.
Makna hijrah:
- Hijrah hakiki, Hijrah dari suatu tempat ke tempat lain, yaitu seseorang yang hijrah dari tempat yang penuh dengan perbuatan maksiat dan perbuatan fasik, dan bisa jadi hijrah dari negara kafir ke negara Islam. Seperti hijrah dari Mekah ke Madinah atau ke Habasyah.
- Maknawi, hijrah dari satu perbuatan ke perbuatan yang lain adalah seseorang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala seperti perbuatan maksiat dan fasik. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seorang muslim (sejati) adalah seorang (muslim) yang (bisa membuat) orang-orang Islam selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 10, 6484. Muslim no. 40, 41 dan 42]
Salah satu dampak dari ketidakikhlasan adalah menjadikan Ilmu tidak bermanfaat, karena letaknya ilmu adalah di hati, jika hatinya kotor, maka apapun yang ada di dalamnya tidak bersih.
Kata Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah :
“Bersihkan wadah ilmu, yaitu hati. Karena sesuai kadar sucinya hati, sebesar itupula kadar ilmu yang akan masuk kepadanya. Jika semakin bertambah sucinya hati, maka akan semakin bertambah penerimaannya terhadap ilmu.
Siapa yang ingin meraih ilmu, maka perindahlah batinnya, sucikanlah hatinya dari segala najis.” (Lihat : Khulashoh Ta’dhimil ilmi, hal 9)
Beliau mengutip ungkapan yang sangat indah:
فالعلم جوهر لطيف لا يصلح الا للقلب النظيف
“Ilmu adalah permata mulia. Tidak akan cocok bertempat kecuali di hati yang bersih.”
*****
وَعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَغْزُوْ جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوْا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَِوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ. قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: يُجْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ. » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. هَذَا لَفْظُ الْبُخَارِىِِّ.
Daripada Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiyallahu ‘anha dia mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebuah pasukan akan menyerang Ka'bah, ketika mereka sampai di tanah yang luas, mereka semua dibenamkan ke dalam perut bumi dari yang awal (depan) sampai yang akhir (belakang).”
Aisyah berkata, “Aku pun bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin mereka semua dibenamkan dari awal sampai akhir, sedangkan di antara mereka terdapat orang-orang yang hendak berdagang, dan terdapat pula orang yang tidak termasuk golongan mereka?” (yang tidak mempunyai niat menghancurkan Ka'bah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mereka semua akan dibenamkan dari awal sampai akhir, kemudian mereka akan dibangkitkan (hari Kiamat) sesuai dengan niat mereka masing-masing.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2118 dan Muslim no. 2883]
Aisyah tidak memiliki anak, tetapi beliau berkunyah dengan nama Ummu Abdillah, ini menunjukkan bolehnya berkunyah meskipun tidak memiliki anak.
Tempat yang lapang بِبَيْدَاءَ disebutkan para ulama terletak diantara Mekah dan Madinah, Maksudnya tanah lapang yang luas, Allah Ta'ala membinasakan mereka semua dari awal sampai akhir mereka. Bumi menggoncang mereka, semuanya tenggelam ke perut bumi, tidak terkecuali para pedagang dan orang-orang yang bersama mereka.
Allah menenggelamkan mereka semua dari awal sampai akhir mereka. Saat Rasulullah mengatakan hal tersebut, muncul pertanyaan dalam fikiran Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟
“Bagaimana mungkin mereka semua dibenamkan dari awal sampai akhir, sedangkan di antara mereka terdapat orang-orang yang hendak berdagang, dan terdapat pula orang yang tidak termasuk golongan mereka?”
Pasukan gajah ini bukanlah pasukan gajah Abrahah. Tetapi pasukan lain seperti yang disebutkan dalam hadits tentang hari akhir.
1. Orang yang ikut serta dengan orang-orang yang melakukan kebatilan, orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang yang memusuhi Allah, maka orang tersebut disamakan dengan mereka dalam menerima siksa dari Allah, baik orang tersebut tergolong orang yang shalih maupun orang jahat.
- Apabila suatu siksa menimpa manusia, maka akan menimpa mereka secara merata, tidak seorang pun yang tersisa. Kemudian pada hari kiamat, mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.
2. Pentingnya amar ma'ruf nahi munkar, agar azab Allah ﷻ bisa dicegah, karena hal itu akan menimpa semuanya.
3. Dalam hadits ini Nabi ﷺ bukan berarti Nabi ﷺ mengetahui ilmu ghaib. Tetapi Nabi ﷺ mendapatkan informasi dari Allah ﷻ dalam beberapa kasus atau peristiwa.
Antara lain: Peristiwa perang Mu'tah, dimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.
Ketika ketiga panglima tadi terbunuh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu berada di Madînah menceritakan kepada para sahabatnya peristiwa yang sedang terjadi secara live (ini menunjukkan karomah beliau), Dalam Shahîhul Bukhâri disebutkan, setelah Ibnu Rawâhah terbunuh, Rasûlullâh mengatakan panji-panji kemudian diambil oleh salah satu pedang Allâh, maksudnya Khâlid ibnul Walîd Radhiyallahu anhu , lalu Allâh Azza wa Jalla memenangkan mereka. Radhiyallahu’anhum.
Kalau Nabi ﷺ mengetahui ilmu ghaib tentu:
- Beliau akan mengetahui Aisyah kehilangan kalung disaat kasus fitnah kepada beliau Radhiyallahu’anha.
- Beliau akan tahu kondisi musuhnya dan akan menang di setiap peperangan.
Beliau hanya tahu, kalau diberi tahu Allah ﷻ dan ini adalah kekhususan beliau. Maka, tidak mungkin di zaman sekarang ini kalau ada orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib.
*****
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْ تُمْ فَانْفِرُوْا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَمَعْنَاهُ: لَا هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لِأَنَّهَا صَارَتْ دَاَتْ دَارَ إِسْلاَمٍ.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah. Yang ada adalah jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka berperanglah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3899 dan Muslim no. 1864]
Maksudnya, tidak ada lagi hijrah dari Mekah, karena Mekah sudah menjadi kawasan Islam. (tahun 8H).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, (لَا هِجْرَةَ) “Tidak ada lagi hijrah.”
Peniadaan hijrah bukan secara umum, yakni hijrah tidak dihapus dengan sebab adanya penaklukan Mekah.
- Penghapusan kewajiban hijrah dari Makkah ke Madinah, karena kota itu sudah menjadi Darul Islam. Dalam kaitan ini, hukum kota Makkah sama seperti kota-kota lainnya jika telah dibebaskan oleh kaum Muslimin (dari belenggu kaum musyrikin).
2. Berita gembira dari Nabi ﷺ bahwa Makkah akan menjadi Darul Islam untuk selama-lamanya.
3. Hijrah tetap disyari'atkan selama di dunia masih terdapat Darul Kufur (negeri kafir) dan Darul Islam (negeri Islam).
4. Keharusan keluar untuk berjihad apabila pemimpin kaum Muslimin sudah menetapkannya. Pada yang demikian itu terdapat penjelasan bahwasanya di antara syarat berjihad fi sabilillah yakni terdapat imam atau pemimpin dan bendera.
*****
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ: « إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا، وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوْا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ » وَفِي رِوَايَةٍ: « إِلاَّ شَرَكُوكُمْ فِي الأَجْرِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu peperangan, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang (yang tidak ikut perang), di mana kalian tidak menempuh suatu perjalanan dan melewati suatu lembah kecuali mereka pasti bersama kalian, tetapi mereka tertahan oleh sakit.”
Dalam salah satu riwayat lain disebutkan, “Kecuali mereka sama dengan kalian dalam memperoleh pahala.”
[Shahih muslim no. 1911]
Dalam riwayat lain juga disebutkan.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « إِنَّ أَقْوَامًا خَلْفَنَا بِالْمَدِيْنَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ » رَوَاهُ الْبُجَارِيُّ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, “Kami pulang dari perang Tabuk bersama Rasulullah, seketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di belakang kita, di Madinah ada sekelompok kaum, di mana kita tidak menyusuri celah bukit dan lembah kecuali mereka bersama kita, tetapi mereka tertahan kerana udzur.
[Shahih Al-Bukhari no. 2839]
Dalam sejarah Islam, perang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ disebut ghazwah, sedangkan perang yang tidak diikuti oleh beliau namun dipimpin oleh sahabat atas perintah beliau disebut sariyyah. Jadi, perbedaannya terletak pada kehadiran fisik Nabi dalam pertempuran tersebut.
Kecuali pada perang Mu'tah disebut ghazwah, para ulama menyebutkan, meskipun dipimpin 3 utusan Nabi ﷺ, seakan-akan Nabi ﷺ bersama mereka dan jumlah pasukannya sangat banyak.
1. Derajat orang-orang yang berjihad berbeda satu dengan yang lain.
2. Bolehnya tidak ikut berjihad jika mempunyai udzur.
3. Apabila seseorang sudah berniat untuk melakukan amal shalih, tetapi dia tidak mampu melakukannya karena ada suatu aral rintangan, maka ditulis baginya pahala apa yang diniatkan.
4. Jika melakukannya dalam kondisi tidak memiliki udzur; maksudnya pada saat dia dalam keadaan mampu, dia melakukan amal shalih tersebut, tiba-tiba setelah itu dia tidak mampu melakukannya kembali, maka ditulis baginya pahala amal perbuatannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa dia lakukan, saat dia sedang sehat dan tidak bepergian.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2996]
Inilah bukti rahmat Allah ﷻ kepada para hamba-Nya. Orang yang mengharapkan sebuah amal kebaikan dan sangat memperhatikannya, jika dia biasa mengerjakannya namun kemudian terhalang oleh suatu aral rintangan, maka ditulis baginya pahala perbuatan tersebut secara penuh. Misalnya, apabila ada seseorang yang biasa mendirikan shalat berjamaah di masjid, tapi suatu saat dia tidak bisa datang ke masjid karena dia tidur atau sakit dan yang sejenisnya, maka ditulis baginya pahala shalat berjamaah secara penuh, tanpa berkurang sedikit pun.
Begitu juga orang yang biasa melakukan shalat sunnah, tiba-tiba terhalang oleh suatu hal dan tidak memungkinkan baginya untuk mengerjakannya, maka ditulis baginya pahala shalat sunnah dengan sempurna.
*****
وَعَنْ أَبِيْ يَزِيْدَ مَعْنِ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ الأَخْنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَهُوَ وَأَبُوْهُ وَجَدُّهُ صَحَابِيُّوْنَ، قَالَ: كَانَ أَبِي يَزِيْدُ أَخْرَجَ دَنَانِيْرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ: وَاللهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ، فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَامَعْنُ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Yazid Ma'n bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu anhum -dia, ayahnya dan kakeknya termasuk golongan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dia berkata,
“Ayahku, Yazid, mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Dia memasrahkan uang dinar itu kepada seseorang yang berada di masjid (untuk dibagikan). Lalu aku mendatangi orang itu dan mengambil dinar-dinar tersebut, kemudian aku datang kepada ayahku dengan membawa uang dinar itu. Seketika ayahku berkata, “Demi Allah, aku tidak berniat (untuk menyedekahkannya) kepadamu.”
Kemudian aku mengadukan kepada Rasulullah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bagimu apa yang kamu niatkan, wahai Yazid. Dan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma'n.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1422]
- Mengisyaratkan bolehnya berbicara tentang berbagai karunia Allah serta berbincang tentang nikmat nikmat Nya.
- Tidak mengapa mewakilkan pembagian sedekah kepada orang lain. Terutama sedekah tathawwu' (yang bersifat sukarela), karena dalam sedekah yang demikian terdapat kerahasiaan amal.
- Diperbolehkan mengerjakan suatu amalan yang redaksi perintah nashnya bersifat mutlaq (tidak terikat), yakni mengamalkan dalil itu sesuai dengan kemutlakan atau keumuman cakupannya. Memang tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman bagi orang yang memutlakkan redaksi tersebut, yaitu tebersit dalam hatinya sesuatu yang tidak mutlak, namun hal ini dapat dihindari dengan penjelasan terhadap hakikatnya.
- Diperbolehkan menyerahkan sedekah tathawwu' kepada furu' (yakni anak, cucu, dan keturunannya).
- Seseorang yang bersedekah akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya, baik sedekah itu sampai kepada orang yang berhak menerima ataupun kepada orang yang tidak berhak menerimanya.
*****
وَعَنْ أَبَيْ إِسْحَاقَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ مَالِكِ بْنِ أُهَيْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلاَبِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ الْقُرشِيِّ الزُّهْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَحَدِ الْعَشْرَةِ الْمَشْهُوْدِ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ: « جَاءَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِيْ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِيْ مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى، وَأَنَا ذُوْ مَالٍ وَلَا يَرِثُنِيْ إِلاَّ ابْنَةٌ لِيْ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيْرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِىْ بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِي امْرَأَتِكَ. قَالَ: فَقَلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِِي؟ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلاَّ ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً وَلَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِحَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ. اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدَ بْنَ خَوْلَةَ يَرٔثَى لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Ishaq Sa'ad bin Abi Waqqas, Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay Al-Qurasyi Az-Zuhri radhiyallahu anhu, dia termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin surga.
Dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahiku saat aku sakit keras pada tahun haji wada.' Kemudian aku berkata, “Ya Rasulullah, sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat. Aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja. Bolehkah aku menyedekahkan 2/3 hartaku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.”
Aku berkata, “Separuh hartaku, ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.”
Aku berkata, “Sepertiga hartaku, wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sepertiga boleh, Sepertiga itu sudah cukup banyak (atau besar). Sesungguhnya, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, dan meminta belas kasihan orang lain. Tidaklah kamu menginfakkan hartamu kerana mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu, hingga makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.”
Sa'ad bin Waqqash berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal daripada sahabat-sahabatku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kamu tertinggal, lalu kamu melakukan sebuah amal perbuatan semata-mata kerana wajah Allah, kecuali dengan perbuatan tersebut derajat dan kedudukanmu semakin tinggi. Barangkali kamu akan berumur panjang, sehingga kamu bermanfaat bagi banyak kaum meski membahayakan (merugikan) kaum yang lain. “Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku, dan janganlah engkau kembalikan mereka ke belakang (tempat semula).”
Tetapi yang kasihan adalah Sa'ad bin Khaulah. Rasulullah menyayangkan kerana dia (Sa'ad bin Khaulah) meninggal di Mekah.
[Shahih Al-Bukhari no. 1295. Muslim no. 1628]
- Hadits ini menunjukkan sayangnya Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya, dan hukum menjenguk adalah fardhu kifayah.
- Bolehnya Wasiat berupa harta, tetapi maksimal sepertiga.
- Menunjukkan keimanan para sahabat juga bertingkat-tingkat.
- Bolehnya mengumpulkan harta asal mengandung keberkahan, bukan karena ketamakan.
*****
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ » [ وَأَعْمَالِكُمْ ]. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu anhu dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati (dan amal perbuatan) kalian.”
[Shahih Muslim no. 2564]
Hadits ini senada dengan kandungan firman Allah Ta'ala,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurât: 49: 13)
Allah Ta'ala tidak melihat fisik para hamba-Nya, besar atau kecil, sihat atau sakit. Allah tidak melihat rupa mereka, cantik atau buruk. Allah tidak melihat nasab mereka, tinggi atau rendah. Allah tidak melihat harta benda mereka, Allah tidak melihat itu semua, kerana di sisi-Nya hal itu tidak berarti.
Sedangkan di akhirat, pengetahuan didasarkan pada apa yang ada di hati, semoga Allah Ta'ala membersihkan hati kita.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Wahai saudaraku! Hal yang terpenting adalah mengobati hatimu secara terus menerus! Jadilah kamu orang yang selalu membersihkan hati hingga jadi suci, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk mensucikan hati mereka.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 41)
Kesucian hati adalah hal yang sangat penting, semoga Allah membersihkan hati kita dan menjadikan kita sebagai orang yang ikhlas dan mengikuti ajaran Rasul-Nya.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم