Pengertian Iman
Al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) mengatakan,
وَهُوَ قُوْلٌ وَفِعْلٌ وَيَزِيْدُ وَيَنْقُصُ
“Iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” (lihat Sahih al-Bukhari, cet. Maktabah al-Iman hal. 14).
Abu Bakr al-Isma’ili rahimahullah (wafat tahun 371 H) mengatakan,
وَيَقُوْلُوْنَ إِنَّ الإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَمَعْرِفَةٌ، يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ، مَنْ كَثُرَتْ طَاعَتُهُ أَزْيَدُ إِيْمَانًا مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ فِي الطَّاعَةِ
“Mereka -para imam ahli hadits- mengatakan bahwa iman itu terdiri dari ucapan dan perbuatan dan pengetahuan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Barangsiapa yang banyak ketaatannya maka lebih bertambah imannya daripada orang yang ketaatannya berada di bawahnya.” (I’tiqad A’immat al-Hadits, hal. 15 as-Syamilah).
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah (wafat tahun 386 H) mengatakan,
وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 600 H) mengatakan,
والإِيْمَانُ بِأَنَّ الإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ ، يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ
“Dan mengimani bahwasanya iman itu mencakup ucapan, perbuatan, dan keinginan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (Tadzkirat al-Mu’tasi karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 293).
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 620 H) mengatakan,
وَالْإِيمَانُ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ, وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ وَعَقْدٌ بِالْجَنَانِ, يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ, وَيَنْقُصُ بِالْعِصْيَانِ
“Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad, lihat Syarah Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) mengatakan,
وَقَدْ حَكَى غَيْرُ وَاحِدٍ إجْمَاعَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْحَدِيثِ عَلَى أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ . قَالَ أَبُو عُمَرَ بْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي ” التَّمْهِيدِ ” : أَجْمَعَ أَهْلُ الْفِقْهِ وَالْحَدِيثِ عَلَى أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَلَا عَمَلَ إلَّا بِنِيَّةِ وَالْإِيمَانُ عِنْدَهُمْ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ وَالطَّاعَاتُ كُلُّهَا عِنْدَهُمْ إيمَانٌ إلَّا مَا ذُكِرَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِ فَإِنَّهُمْ ذَهَبُوا إلَى أَنَّ الطَّاعَةَ لَا تُسَمَّى إيمَانًا قَالُوا إنَّمَا الْإِيمَانُ التَّصْدِيقُ وَالْإِقْرَارُ وَمِنْهُمْ مَنْ زَادَ الْمَعْرِفَةَ وَذَكَرَ مَا احْتَجُّوا بِهِ . . . إلَى أَنْ قَالَ : وَأَمَّا سَائِرُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ وَالْآثَارِ بِالْحِجَازِ وَالْعِرَاقِ وَالشَّامِ وَمِصْرَ مِنْهُمْ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ والأوزاعي وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ راهويه وَأَبُو عُبَيْدٍ الْقَاسِمُ بْنُ سَلَامٍ وداود ابْنُ عَلِيٍّ والطبري وَمَنْ سَلَكَ سَبِيلَهُمْ ؛ فَقَالُوا : الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَهُوَ الْإِقْرَارُ وَاعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ مَعَ الْإِخْلَاصِ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ . قَالُوا : وَكُلُّ مَا يُطَاعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ مِنْ فَرِيضَةٍ وَنَافِلَةٍ فَهُوَ مِنْ الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ يَزِيدُ بِالطَّاعَاتِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعَاصِي وَأَهْلُ الذُّنُوبِ عِنْدَهُمْ مُؤْمِنُونَ غَيْرُ مُسْتَكْمِلِي الْإِيمَانِ مِنْ أَجْلِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّمَا صَارُوا نَاقِصِي الْإِيمَانِ بِارْتِكَابِهِمْ الْكَبَائِرَ
“Tidak hanya satu ulama yang menukilkan ijma’ Ahlus Sunnah dan Ahli Hadits yang menegaskan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amal perbuatan. Abu Umar yaitu Ibnu Abdil Barr mengatakan di dalam at-Tam-hid : para fuqaha’/ahli agama dan ahli hadits sepakat bahwa iman itu meliputi ucapan dan perbuatan, dan tidak ada amal tanpa niat. Iman itu menurut mereka bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang akibat melakukan kemaksiatan. Segala macam ketaatan dalam pandangan mereka adalah -bagian dari- iman, kecuali pendapat yang disebutkan dari Abu Hanifah dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa ketaatan tidak disebut iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu hanya terbatas pada tashdiq/pembenaran hati dan ikrar/pengakuan lisan saja. Ada pula di antara mereka yang menambahkan unsur ma’rifah. Kemudian dia menyebutkan dalil-dalil yang mereka gunakan… sampai akhirnya dia mengatakan : Adapun segenap fuqaha’/ahli agama dari kalangan ahli ra’yi dan para pakar hadits di negeri Hijaz, Iraq, Syam, dan Mesir, di antara mereka terdapat Malik bin Anas, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Dawud bin Ali, at-Thabari serta para ulama yang meniti jalan mereka, bahwa mereka semua mengatakan iman itu mencakup ucapan dan perbuatan -ucapan lisan yaitu dengan ikrar-, keyakinan di dalam hati, dan amal dengan anggota badan yang disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas. Mereka mengatakan : Segala sesuatu yang boleh dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla baik yang hukumnya wajib ataupun sunah maka itu adalah bagian dari iman. Iman bertambah karena ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Sedangkan menurut mereka, para pelaku dosa besar adalah orang-orang yang beriman yang imannya tidak lengkap akibat dosa yang mereka perbuat. Mereka menjadi orang-orang yang berkurang imannya gara-gara dosa-dosa besar yang mereka lakukan…” (Majmu’ al-Fatawa [2/127] as-Syamilah)
Dalil-dalil yang mendasari pengertian di atas, antara lain :
Firman Allah ta’ala,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang ketika disebutkan -nama- Allah maka takutlah hati mereka, dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan (mereka). Dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguhnya…” (QS. al-Anfal [8]: 2-4).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً, أَعْلَاهَا شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ, وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اَلْأَذَى عَنْ اَلطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman terdiri dari tujuh puluh cabang lebih. Yang tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah. Yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, diriwayatkan pula oleh Bukhari namun dengan lafaz ‘enam puluh cabang lebih’ dan tanpa ada ungkapan ‘yang tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah’, lihat Sahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 15).
Amalan termasuk iman
al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Sahihnya dengan judul ‘Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari iman’ kemudian beliau membawakan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Beliau juga membawakan hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua, anak-anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari)
al-Bukhari rahimahullah juga membuat bab di dalam Sahihnya dengan judul ‘Mencintai kaum Anshar merupakan salah satu tanda keimanan’ kemudian beliau membawakan hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
al-Bukhari rahimahullah juga membuat bab di dalam Sahihnya dengan judul ‘Rasa malu bagian dari iman’ kemudian beliau membawakan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang dari kaum Anshar yang sedang menasihati saudaranya dalam masalah malu -yang ada padanya-, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Biarkan dia, sesungguhnya rasa malu adalah bagian dari iman.’.” (HR. Bukhari)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 143).
al-Bukhari rahimahullah menafsirkan kata ‘iman kalian’ di dalam ayat di atas dengan sholat kalian di sisi Ka’bah -dengan menghadap ke Baitul Maqdis- (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 21. Tafsiran serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir, lihat tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/249]).
al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu meriwayatkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا صَلَاةَ الْعَصْرِ وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ وَكَانَتْ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّي قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَهْلُ الْكِتَابِ فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ فِي حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ }
“Dahulu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali tiba di Madinah, beliau singgah di rumah kakek-kakeknya” atau dia berkata “di rumah paman-pamannya” -perawi ragu- dari kalangan Anshar. Pada awalnya beliau sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan ketika itu beliau sangat ingin apabila kiblatnya dipindah ke arah Ka’bah. Sholat pertama kali yang beliau lakukan ke arah kiblat yang baru adalah sholat ‘Ashar dengan disertai sekelompok orang bersamanya. Kemudian, ada salah seorang di antara jama’ah yang sholat bersamanya keluar lalu melewati jama’ah lain yang sedang mengerjakan sholat di suatu masjid, ketika itu mereka dalam posisi ruku’, maka dia mengatakan, ‘Aku bersumpah atas nama Allah, sungguh aku telah sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke Mekah.’ Maka mereka pun berputar arah dengan posisi sebagaimana ketika menghadap Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi heran terhadap hal itu, sebab sebelumnya beliau [Nabi] sholat menghadap Baitul Maqdis sama sebagaimana kaum Ahli Kitab. Ketika beliau sudah mengalihkan wajahnya [ketika sholat] untuk menghadap ke Ka’bah maka mereka pun mengingkarinya.” Zuhair -salah seorang perawi- mengatakan, “Abu Ishaq menuturkan kepada kami dari al-Bara’ di dalam haditsnya ini bahwasanya dahulu ada beberapa orang yang telah meninggal dan terbunuh ketika sholat masih menghadap ke kiblat -Baitul Maqdis- sebelum diubah arahnya, maka kami pun tidak tahu apa yang harus kami ucapkan tentang mereka itu, karena itulah Allah ta’ala menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.’.” (HR. Bukhari).
al-Qurthubi rahimahullah (wafat tahun 671 H) mengatakan, “Para ulama sepakat bahwasanya ayat ini -QS. al-Baqarah: 143- turun mengenai orang yang telah meninggal dalam keadaan sholat masih menghadap ke Baitul Maqdis sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang tertera di dalam Sahih al-Bukhari dari penuturan al-Bara’ bin Azib yang baru saja berlalu.” (Tafsir al-Qurthubi [2/157] as-Syamilah)
Oleh sebab itu, mengeluarkan amal anggota badan dari pengertian iman merupakan pemahaman Murji’ah yang sesat. Para ulama mengatakan, “Bukan termasuk pendapat Ahlus Sunah pendapat yang mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau pembenaran hati dan diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai amal anggota badan! Barangsiapa yang berpendapat semacam itu maka dia adalah orang yang sesat, dan ini merupakan -keyakinan- mazhab Murji’ah yang sangat buruk itu!” (Mujmal Masa’il al-Iman al-Ilmiyah, disusun oleh Husain al-Awaisyah, Muhammad bin Musa Alu Nashr, Salim al-Hilali, Ali al-Halabi, dan Masyhur Hasan Salman, hal. 14).
Iman bisa bertambah dan berkurang
Abu Dawud rahimahullah (wafat tahun 275 H) membuat bab di dalam Sunannya dengan judul ‘Dalil yang menunjukkan bahwa iman mengalami penambahan dan pengurangan’, di antara dalil yang beliau bawakan adalah hadits Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدْ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan juga karena Allah, maka sungguh dia telah menyempurnakan keimanan (pada dirinya).” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [380] as-Syamilah).
Ibnu Batthah rahimahullah (wafat tahun 387 H) menyebutkan riwayat dari Umair bin Habib radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,
« الإِيمَانُ يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ » قِيْلَ : وَمَا زِيَادَتُهُ وَنُقْصَانُهُ ؟ قَالَ : « إِذَا ذَكَرْنَا اللهَ فَحَمِدْناَهُ وَسَبَّحْنَاهُ فَتِلْكَ زِيَادَتُهُ ، وَإِذَا غَفَلْنَا وَنَسِيْنَا فَذَلِكَ نُقْصَانُهُ »
“Iman itu bertambah dan berkurang.” Ada yang bertanya, “Apakah maksud pertambahan dan pengurangannya?”. Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah kemudian kita memuji dan menyucikan-Nya maka itulah pertambahannya. Dan apabila kita lalai dan melupakan-Nya maka itulah pengurangannya.” (al-Ibanah al-Kubra [3/153], lihat juga Fath al-Bari Ibnu Rojab [1/5] as-Syamilah).
Maka pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan antara Hanafiyah dengan mayoritas ulama salaf lainnya -semoga Allah merahmati mereka semua- dalam mendefinisikan iman adalah semata-mata perbedaan yang semu -sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu penulis Syarah Aqidah Thahawiyah, semoga Allah mengampuninya- merupakan pendapat yang keliru. Sebab mereka -Hanafiyah- telah mengeluarkan amal dari hakikat iman, sehingga hal itu menyebabkan mereka menyelisihi ulama salaf dalam hal keyakinan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang. Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Kemudian, bagaimana bisa dibenarkan kalau perselisihan tersebut adalah sesuatu yang semu sementara mereka (Hanafiyah) membolehkan orang paling bejat di antara mereka untuk berkata, ‘Imanku sama seperti iman Abu Bakar as-Shiddiq! Bahkan sama dengan iman para nabi dan rasul, Jibril dan Mika’il ‘alaihimus sholatu was salam’! Bagaimana mungkin, sementara dengan landasan mazhab mereka itu mereka tidak memperbolehkan bagi salah seorang dari mereka -betapa pun berat kefasikan dan dosanya- untuk berkata, ‘Saya adalah mukmin, insya Allah ta’ala’. Bahkan -menurut mereka- dia harus mengatakan, ‘Saya adalah mukmin sejati’! Padahal Allah ‘azza wa jala berfirman (yang artinya) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang ketika disebutkan -nama- Allah maka takutlah hati mereka, dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan (mereka). Dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguhnya…” (QS. al-Anfal [8]: 2-4)….” (al’Aqidah at-Thahawiyah, Syarh wa Ta’liq, hal. 43-44).
Adapun pernyataan bahwa ‘Pokok keimanan berada di dalam hati dan amal lahiriyah merupakan cabang dan konsekuensi darinya’ sama sekali bukan termasuk keyakinan Murji’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “..pokok keimanan itu tertanam di dalam hati yaitu ucapan dan perbuatan hati. Ia mencakup pengakuan yang disertai pembenaran dan rasa cinta dan ketundukan. Sedangkan apa yang ada di dalam hati pastilah akan tampak konsekuensinya dalam perbuatan anggota-anggota badan. Apabila seseorang tidak melakukan konsekuensinya maka itu menunjukkan bahwa iman itu tidak ada atau lemah [padanya]. Oleh karena itu maka amal-amal lahir itu merupakan konsekuensi dari keimanan di dalam hati. Ia merupakan pembuktian atas apa yang ada di dalam hati, tanda dan saksi baginya. Ia merupakan cabang dari totalitas keimanan dan bagian dari kesatuannya. Walaupun demikian, apa yang ada di dalam hati itulah yang menjadi pokok/sumber bagi apa-apa yang muncul pada anggota-anggota badan…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah, lihat juga Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah, hal. 15).
Allah ta’ala berfirman,
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُم
“Orang-orang Arab badui itu mengatakan, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah, ‘Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah ‘Kami telah berislam’. Karena iman itu belum meresap ke dalam hati kalian.” (QS. al-Hujurat [49]: 14).
az-Zajaj rahimahullah (wafat tahun 311 H) mengatakan,
الإِسْلاَمُ : إِظْهَارُ الخُضُوعِ وَالقَبُولِ لِمَا أَتَى بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبِذَلِكَ يُحْقَنُ الدَّمُ . فَإِنْ كَانَ مَعَهُ اِعْتِقَادٌ وَتَصْدِيْقٌ بِالْقَلْبِ ، فَذلِكَ الإِيْمَانُ
“Yang dimaksud dengan Islam -dalam konteks ayat ini- adalah menampakkan ketundukan dan penerimaan terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sebab itulah maka darah (nyawa) menjadi terjaga. Apabila bersama dengan itu diikuti dengan keyakinan dan pembenaran hati maka itulah iman.” (Zaad al-Maasir [5/406] as-Syamilah).
al-Baghawi rahimahullah (wafat tahun 516 H) mengatakan,
فَأَخْبَرَ أَنَّ حَقِيْقَةَ الإِيْمَانِ التَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ، وَأَنَّ الإِقْرَارَ بِاللِّسَانِ وَإِظْهَارَ شَرَائِعِهِ بِالأَبْدَانِ لاَ يَكُوْنُ إِيمَانًا دُونَ التَّصْدِيْقِ بِالْقَلْبِ وَالإِخْلاَصِ
“Allah memberitakan bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran dengan hati dan sesungguhnya pengakuan dengan lisan serta sikap menampakkan syari’at-syari’at lahiriyah bukanlah keimanan apabila tidak diiringi dengan pembenaran hati dan keikhlasan.” (Ma’alim at-Tanzil [7/350] as-Syamilah).
al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Amir bin Sa’ad dari ayahnya yaitu Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu’anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَيَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا فَسَكَتُّ قَلِيلًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika memberikan kepada sekelompok orang dan ketika itu Sa’ad sedang duduk. Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak memberi) kepada salah seorang lelaki yang paling aku (Sa’ad) kagumi, maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada apa dengan si fulan? Demi Allah, aku tidak melihatnya melainkan seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau barangkali muslim?’. Lalu aku pun terdiam sejenak namun apa yang aku ketahui tentangnya lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku tadi, ‘Ada apa dengan si fulan? Demi Allah aku benar-benar memandangnya seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau barangkali muslim?’. Kemudian apa yang aku ketahui tentangnya masih lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku tadi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengulangi ucapan beliau tadi. Lantas beliau bersabda, ‘Wahai Sa’ad, sesungguhnya bisa jadi aku memberikan kepada seseorang sedangkan orang yang lain lebih aku cintai darinya karena aku khawatir Allah akan melemparkannya ke dalam neraka.’.” (HR. Bukhari)
Dinding pemisah antara Ahlus Sunah dengan Wa’idiyah
Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) mengatakan, “Salaf mengatakan bahwa iman itu mencakup keyakinan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Yang mereka maksud dengan itu adalah bahwa amal merupakan syarat kesempurnaannya. Dari sinilah muncul pernyataan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang…” Beliau juga mengatakan, “Perbedaan antara Mu’tazilah dengan Salaf adalah mereka -yaitu Mu’tazilah- menjadikan amal sebagai syarat sahnya iman. Adapun salaf menjadikannya sebagai syarat penyempurna baginya…” (Fath al-Bari [1/60])
Namun, apa yang beliau sampaikan di atas perlu untuk diluruskan. Syaikh Ali bin Abdul Aziz as-Syibil mengatakan, “Yang benar ialah bahwa amal menurut Salaf Sholeh:
- Kadang menjadi syarat sahnya iman. Artinya ia sebagai bagian dari hakikat iman, di mana iman hilang karena hilangnya amalan tersebut seperti: sholat.
- Kadang menjadi syarat kesempurnaannya yang wajib, maka iman berkurang dengan kehilangannya, seperti amal-amal selain sholat yang jika ditinggalkan menyebabkan kefasikan dan maksiat, tapi tidak sampai pada kekafiran.
Perincian seperti ini harus dilakukan untuk memahami perkataan Salaf Sholeh dan tidak mencampurkannya dengan perkataan wa’idiyah (Mu’tazilah dan Khawarij, pen). Dan harus diketahui bahwa amal bagi Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah salah satu rukun dari rukun-rukun (pilar) iman yang tiga, yaitu ucapan, amal, dan i’tiqad. Dan iman menurut mereka bertambah dan berkurang, berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah. Wallahu waliyyut taufiq.” (Peringatan atas Kesalahan Aqidah dalam Fathul Bari, hal. 43-44).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali mengatakan, “Mu’tazilah dan Khawarij mendefinisikan iman sebagai ucapan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan anggota badan. Namun ia tidak bertambah dan tidak berkurang.” Beliau juga menjelaskan, “Mu’tazilah dan Khawarij yang mendefinisikan iman dengan pengertian tersebut berbeda pendapat dalammenghukumi pelaku dosa besar. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dos a besar berada dalam posisi di antara dua keadaan -yaitu di antara Islam dan kekafiran- sehingga dia tidak tergolong kafir tapi juga tidak digolongkan sebagai muslim. Adapun Khawarij mengatakan mengenai pelaku dosa besar -yaitu yang meninggal dan tidak bertaubat darinya- bahwa ia kekal di neraka, halal darah, harta, dan harga dirinya ketika di dunia, dan di akhirat ia kekal di neraka. Maka ini merupakan perkataan yang mengatasnamakan Allah tanpa landasan ilmu apabila dosa besar -yang dimaksud- itu bukan tergolong syirik akbar, kufur akbar, atau nifak i’tiqadi. Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam hal hukum akhirat yaitu bahwa pelaku dosa besar meskipun ia adalah seorang muwahhid maka dia dihukum kekal di dalam neraka. Hukum yang zalim ini terbantahkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui (meyakini) bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah maka dia pasti akan masuk surga, meskipun Allah tabaraka wa ta’ala memberikan siksa kepadanya sesuai dengan kadar dosa besar yang dilakukannya, hanya saja ujung perjalanannya adalah ke surga, dan sama sekali tidak ada keraguan tentang hal itu. Inilah mazhab Ahlus Sunah wal Jama’ah…” (Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 170-171)